MOZAIK 1: Laki-Laki Zenit Dan Nadir
Jika hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen relativitas Einstein, maka pengalaman demi pengalaman yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbong di atas rel itu. Relativitasnya berupa seberapa banyak kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman yang melesat-lesat itu. Analogi eksperimen itu tak lain, karena kecepatan cahaya bersifat sama dan absolut, dan waktu relatif tergantung kecepatan gerbong ini pendapat Einstein maka pengalaman yang sama dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana, dan secepat apa pengalaman yang sama tadi memberi pelajaran pada seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain.
Banyak orang yang panjang pengalamannya tapi tak kunjung belajar, namun tak jarang pengalaman yang pendek mencerahkan sepanjang hidup. Pengalaman semacam itu bak mutiara dan mutiara dalam hidupku adalah lelaki yang mengutuki hidupnya sendiri, namanya Weh.
Kini lihatlah perbuatan Weh. Taikong Hamim, penggawa masjid, sampai mengacung-acungkan tombak mimbar pada khalayak yang silang sengketa.
"Tahu apa kalian soal hukum agama!”
"Jangan mandikan mayatnya di masjid! Biar dia hangus di neraka berdaki-daki!"
***
Langit, kemudi, dan layar, itulah samar ingatku tentang Weh. Tapi di sekolah lama Mollen Bass Technisce School di Tanjong Pandan, aku pernah melihat fotonya. Tak bohong orang bilang bahwa dia bukan sembarang, karena Belanda hanya menerima pribumi yang paling cerdas di sekolah calon petinggi teknik kapal keruk timah itu. Foto kuno itu sudah buram. Weh seorang pemuda yang gagah. Ia bergaya, berdiri condong menumpukan tubuh kekarnya di atas pemukul kasti. Namun, sesuatu yang menyayat tersembunyi dalam matanya. Seringainya hambar, jauh, dan kesakitan. Weh mengawasi lekat siapa pun yang mendekati fotonya. Aku menatapnya, lama, lalu bisikan garau mendesis dari foto itu, "Engkau, laki-laki zenit dan nadir ...." Bulu tengkukku meruap, seseorang seakan berdiri di belakangku, aku berbalik, sepi. Mengapa Weh kesakitan?
Semula ia baik-baik saja, bahkan tempatnya terhormat di kelas. Sampai penyakit nista merampok hidupnya. Ia kena burut. Burut terkutuk yang meniup skrotum dan kelaki-lakiannya, bengkak seperti balon sampai jalannya pengkor. Jampi dan ramuan tak mempan. Ia atau sanak leluhurnya pernah melangkahi Cjur'an, kualat, tuduh orang kampung tanpa perasaan. Hidup Weh disita malu. Semangat pemuda penuh harapan itu tumbang. Ia keluar dari Technisce School, mengasingkan diri, meninggalkan tunangannya. Weh menjadi nelayan, tinggal di perahu.
***
Aku masih kecil dan Weh sudah tua ketika kami bertemu. Weh adalah sahabat masa kecil ayah ibuku. Puluhan tahun ia telah hidup di perahu. Perkenalan kami terjadi gara-gara aku disuruh ayahku mengantar beras dan knur untuknya. Semula aku ragu mendekati perahunya. Laki-laki itu keluar dari lubang palka, tubuhnya aneh. Ia tampak miris bertemu manusia.
"Lemparkan!" hardiknya melihat benda-benda di tanganku.
Aku terkejut. Enak saja, tidak adil. Ayahku membawa kebaikan untuknya dan ia sama sekali tak punya basa-basi. Dia bisa menakuti siapa saja, bukan aku. Weh meradang, aku bergeming.
"Keras kepala! Mirip sekali ibumu!"
Ia menibar pokok terunjam, merapatkan perahunya ke pangkalan. Aku melompat dan berdiri tertegun di buritan. Sampai aku pulang kami tak berkata-kata.
Esoknya, tak tahu apa yang menggerakkanku, aku kembali ke pangkalan. Weh juga pasti tak tahu mengapa ia kembali menibar pokok terunjam. Ia hilir mudik di depanku lalu menghunus sebilah terampang dari punggungnya sambil menunjuk gerinda di dekatku. Tanpa bicara, aku meraih terampang itu, memutar gerinda, dan mengasah lekak-lekuknya.
Aku masih tak tahu mengapa setiap hari aku mengunjungi Weh. Yang kutahu, ketika melihat matanya yang bening dan kesakitan, hatiku ngilu, ketika melihat jalannya timpang karena burut mengisap air dalam tubuhnya, mengumpul di selangkang, kubuang pandanganku karena hatiku perih, dan ketika melihatnya tidur, memasrahkan tubuhnya yang dikhianati nasib pada senyap sungai payau, aku gelisah sepanjang malam. Akhir bulan aku memecahkan tabungan pramukaku lalu bersepeda puluhan kilometer ke Manggar demi satu tujuan: membeli radio saku untuk Weh.
"Irama Semenanjung Pak Cik, programa RPM Malaysia. Banyak pantun dan lagu cinta, pasti Pak Cik senang." Weh menerima radio itu, meletakkannya di atas rak, dan tak menyentuhnya selama seminggu.
Dua minggu berikutnya aku harus ke Tanjong Pandan mengikuti ujian sekolah. Tak tahu mengapa, setiap hari di Tanjong Pandan, aku merindukan Weh. Kembali dari Tanjong Pandan aku bergegas ke pangkalan. Dekat perahu Weh kudengar sayup lagu sendu. Aku menyelinap pelan-pelan. Weh tidur meringkuk sambil memeluk radio pemberianku. Tak pernah kulihat wajahnya sedamai itu. Programa RPM Malaysia mengalunkan "Kasih Tak Sampai", kemerosok, timbul tenggelam. Aku menggenggam kuat-kuat bungkusan beras di tanganku, hatiku mengembang.
***
Berminggu-minggu berikutnya aku bersusah payah membujuk ayahku agar diizinkan berlayar bersama Weh.
"Tak ada orang yang bernyali ke Mentawai hanya dengan menaikkan layar. Kautahu, Bujangku? Weh menyelami teripang, empat puluh meter di dasar Lingga yang pekat, dengan tabung udara dadanya saja. Hanya dia yang masih berani ke Pulau Lanun. Ia tak peduli lagi dengan nyawanya."
Ayah memilih kata dengan teliti. Ia tak ingin aku terinspirasi keberanian Weh yang gelap. Namun, semakin keras Ayah melarangku, semakin kuat inginku. Ketika Ayah menyerah, semalam suntuk tak dapat kupejamkan mataku.
Akhir pekan, pagi buta, kami bertolak ke tenggara. Weh mengambil jalur pintas penuh bahaya. Perahu ia layarkan melintasi lor-lor ganas Karimata. Di selat sempit itu, Laut Jawa dari utara dan Laut Cina Selatan beradu, terjebak dalam pusaran yang dahsyat. Aku melihat buih berlimpah-limpah. Perahu bergoyang halus tapi cepat serupa denting senar sitar, setiap benda gemeletar, paku-paku yang mengikat papan berderak bak gemelutuk gigi, seolah akan bingkas meledak. Perahu meluncur pelan dan waswas dalam intaian maut, laksana melintas titian serambut terbelah tujuh di atas neraka yang berkobar-kobar.
Terlepas dari daya isap pusaran air, Weh tersenyum melihatku yang pucat karena telah memuntahkan seluruh isi lambungku. Perahu terlontar memasuki perairan Kalimantan di wilayah Tanjung Sambar. Tengah malam, Weh menyalakan obor, merapal sebaris mantra, aku merinding melihat gerakan-gerakan halus di bawah air. Ribuan kerisi dan cumi-cumi menyerbu perahu. Sampai habis tenagaku meraupnya. Mereka tersihir cahaya obor dan aku tertenung kehebatan Weh.
Hari pertama bulan September, Weh mengajakku berburu ikan hiu gergaji. Kami menghadang kawanan besar, memotong jalur migrasi kafilahnya dari terumbu-terumbu Belonna yang dingin di Tasmania menuju Kuala Trenggano yang hangat. Semakin dekat, raksasa-raksasa kelabu itu ternyata jauh lebih besar dari yang selalu kubayangkan. Mereka adalah gajah di laut. Air bah bersimbah setiap kali mereka mengempaskan dadanya yang dilekati teritip. Aku gemetar mengokang tuas harpun dan membidik seekor hiu yang lebih panjang dari perahu kami. Kuinjak pegas tuas, tempuling yang ditambat seutas tali melesat dari larasnya, menikam punggung hiu dan penguasa laut itu menggelinjang berguling-guling seperti buaya mematahkan leher lembu. Simpul tempuling dalam genggamku tersentak, aku terlempar ke udara, melayang, lalu tertujam ke laut laksana peluru. Weh terjun menyelamatkanku. Ia meraih tali tempuling, aku menahannya. Aku tak rela melepaskan hiu besar itu. Ini adalah perburuanku yang pertama, pertaruhan harga diriku. Aku terombang-ambing diseret hiu yang kalap. Weh mencabut sundang di pinggangnya, dengan satu gerakan tangkas, meski tertahan tekanan air. Ia menampas tali tempuling. Aku terlonjak ke permukaan, kehabisan napas. "Keras kepala!
"Keras kepala, seperti ibumu!”
"Kau bisa tewas tak berguna!"
Weh menatapku tajam. Aku tahu ia membacaku. Kuangkat wajahku, tak kusembunyikan siapa diriku.
Perburuan itu, pembuktian martabat itu, berakhir dengan kesimpulan bahwa aku pantas diajak Weh mengelana samudra. Ada gunanya tak kulepaskan hiu gergaji itu. Kami beranjak pulang.
Di tengah perjalanan kembali, Weh menghampiriku.
"Ikal, malam ini, engkaulah nakhoda," tantangnya.
Aku terpana. Laut, hanya laut dan riak gelombang, delapan penjuru angin, sejauh pandang. Bagaimana aku akan membawa perahu kecil ini pulang?
"Kalau salah arah, kita akan terdampar di Teluk Hauraki, Selandia Baru, mati kering seperti ikan asin."
Aku mereka-reka arah, tanpa kompas, tak dapat kubuat keputusan apa pun. Weh bersungut-sungut, menikmati saat berkuasa karena ilmunya. Ia diam sampai aku menyerah.
Sejurus kemudian, ia menunjuk ke arah yang jauh, nun di sana, empat kerlip bintang trapesium perlahan menjelma di horizon.
"Rasi belantik ....”
"Itulah timur”
Aku kagum. Perlahan kuputar gagang kemudi. Sekarang barat daya jelas bagiku. Ke sanalah tujuanku. Sepanjang malam aku menatap belantik. Rasi itu bergerak pelan seakan meniti langit karena bumi berputar. Columbus telah lama tahu pengetahuan ini, maka ia berani bertaruh bumi ini bulat. Tengah malam, trapesium belantik terpancang tepat di atas kepalaku, kubelokkan perahu ke timur laut. Weh berkisah.
"Tahukah engkau, Ikal ...?
"Langit adalah kitab yang terbentang Perahu menyusur gugusan pulau.
"Sejak masa Azoikum, ketika kehidupan belum muncul, langit telah mencatat semua kejadian di muka bumi ...."
Dedaunan trembesi yang merunduk memagari tepian delta, pukat yang centang-perenang, tonggak-tonggak tambak yang diabaikan, laut sepi pasang malam, dan kecipuk anak-anak buaya muara, tepekur menyimaknya.
"Semburat awan-awan tipis itu "
Weh menuding langit utara. Berjuta serpih putih terapung-apung seperti telah dihalau tenaga dahsyat, punggung gemawan berkilau membias cahaya rembulan.
"Adalah ekor puting beliung yang sepanjang hari ini menyapu Selat Gaspar ...." Dramatis.
"Awan-awan sisik di tenggara sana mengabarkan sebentar lagi telur-telur ikan belanak akan menetas Aku terpesona.
"Angin ini, semilir angin ini! Ikal! Dapatkah kaurasakan?" Weh bersidekap, kedinginan.
"Ini bukan Angin Selatan! Ini Angin Timur!
"Artinya, kemarau akan panjang tahun ini." Weh bangkit.
"Tampakkah olehmu lingkaran itu?"
Weh menunjuk berjuta bintang, tak kasat olehku lingkaran itu karena tersembunyi di antara gemerlap miliaran benda langit. Ia menarik sebatang kayu bakar dan melukis langit. Bara kayu bakar melingkar merah. Aku mengikuti lukisannya. Perlahan, seperti menyimak gambar tiga dimensi, sebentuk lingkaran merekah. Ia membagi lingkaran menjadi dua belas iris. Ajaib! Di setiap puncak jejarinya tampak bintang yang lebih gemerlap dari sekitarnya. Dipatrinya simbol-simbol aneh dalam setiap iris lingkarannya, berulang-ulang, sehingga dapat kugambar dalam kepalaku.
Pada setiap simbol Weh bersabda, "Keseimbangan, perawan, Leo sang singa, matahari pertama musim panas, bintang kastor, musim menyemai benih.
Mendebarkan! Langit adalah kitab yang terbentang, kata Weh. Laki-laki uzur ini memiliki indra keenam untuk membagi lapisan langit menjadi halaman-halaman ilmu. Aku mengerti, itulah konstelasi zodiak!
Pada iris kesepuluh ia berpaling padaku. "Anak Muda, dirimu, lelaki Oktober. Sambaran api Mars dan arus dingin Pluto akan menjebakmu ...."
Napasku tercekat.
"Engkau, laki-laki zenit dan nadir
Aku terkesiap. Malam itu, ingin kujadikan malam puisi-puisi Lucre-tius tentang jagat angkasa, galaksi androme-da, dan nebula-nebula triangulum. Tak 'kan ku- kejar Weh dengan pertanyaan-pertanyaan praktis untuk menerjemahkan kalimatnya yang bersayap-sayap. Malam itu terlalu agung untuk memohon petunjuk pedoman hidup yang oportunistik kepada seorang pembaca langit yang adiluhung.
Angin meniup layar, perahu menusuk kabut. Dini hari, tampak sayup setangkup wujud diselimuti halimun hanyut. Apakah pulau itu tujuanku?
Tiga ekor elang gugok melesat diam-diam. Aku tahu, predator itu ingin menyerbu kawanan pipit yang baru bangun di sabana Genting Apit. Darah akan bersimbah di bilah-bilah ilalang. Aku yakin, daratan itulah tujuanku, Belitong. Aku berdiri di hidung haluan seperti Admiral Hook. Aku telah menjadi seorang navigator alam. Weh-lah guru yang mengajariku mengeja bintang. Sulit kugambarkan perasaanku. Aku pulang dari tengah samudra dengan membaca langit. Weh telah membuatku, untuk pertama kalinya, merasa menjadi seorang laki-laki.
***
Berat sekali ketika harus kembali kutinggalkan Weh dua minggu untuk ujian sekolah ke Tanjong Pandan. Menghadapi kertas ujian, pikiranku tak dapat kualihkan dari rencana kami berlayar ke Mentawai untuk melihat penduduknya melukis tubuh dengan tinta daun. Pulangnya, kami akan memburu gurita.
Turun dari bus reyot, tak sempat aku pulang ke rumah, aku langsung ke pangkalan. Namun, kulihat perahu Weh limbung, layaknya bahtera tak bertuan. Penambatnya terseret lunglai. Lampu badai masih menyala. Layarnya bergulung. Di ujungnya terjuntai sepasang kaki yang pucat. Hatiku dingin. Aku melompat ke sungai, berenang menuju perahu. Tubuh Weh terbungkus lilitan layar, berayun-ayun. Laki-laki pembaca langit itu telah mati, mati meragan menggantung dirinya sendiri di tiang layar. Penyakit yang tak tertanggungkan telah merobohkan benteng terakhir semangatnya, benteng terakhir itu adalah aku.
Tubuhku menggigil waktu membuka jalinan tali rami yang menjerat lehernya. Kupeluk tubuh Weh, wajahnya yang tua, keras, dan biru terkulai di lenganku. Di sakunya masih mendesis lagu-lagu cinta orang Melayu dari programa radio RPM Malaysia. Aku berteriak-teriak, tapi suaraku surut diisap sunyi semenanjung, serak ditingkah riak ombak, lindap ditelan angin, terhalau ke Laut Cina Selatan.
Usungan digotong. Pemikulnya menggerutu. Seperti hidup mereka yang terbuang, kuburan para pembunuh diri itu pun dipisahkan, dikucilkan nun di sana, dekat rawa-rawa nifah, tempat gulma bergumpal-gumpal disarangi biawak. Aku diam terpancang seperti nisan-nisan kayu sekunyit yang didesaki ilalang. Orang Melayu bekerja keras sepanjang hidup, membanting tulang-belulang, berkeringat darah, berlumur cobaan berat, siapa yang menyerah tak dapat tempat di hati mereka. Hanya aku sendiri yang tersedan. Lututku lemas melihat Weh dicampakkan ke dalam lubang, diuruk sekenanya, ditancapi gagang pacul yang tadi patah waktu menggali liang lahatnya, lalu ditinggalkan begitu saja.
Pesan terakhir Weh, zenit dan nadir, seperti akar ilalang yang menusuk-nusuk kakiku, menikam hatiku. Nanti, harus kujelajah separuh dunia, berkelana di atas tanah-tanah asing yang dijanjikan mimpi-mimpi, akan kutemui perempuan yang membuat hatiku kelu karena cinta, karena rindu yang menyiksa, untuk memahami kalimah misterius itu. Di kuburan usang, di antara nisan para pendusta agama itu, aku sadar aku telah belajar mencintai hidupku dari orang yang membenci hidupnya, dan Weh adalah orang pertama yang mengajariku mengenali diriku sendiri.
***
MOZAIK 2: Persyarekatan Bangsa-Bangsa
Einstein kedua dalam hidupku yang mengenalkanku pada diriku sendiri adalah tokoh legendaris ini: Mak Birah, dukun beranak kampung kami. "Waktu kau lahir, Ikal .... "Nyalo."
Nyah, tak lain ucapan terakhir yang dipakai orang Melayu jika kehabisan kata untuk melukiskan dahsyatnya angin, gemuruh hujan, dan gempita petir.
"Tengah malam pula”
Mengapa alam bergelora menyambutku? Tak jelas, yang pasti hanya saat itu ibuku senewen ingin anak perempuan. Ibu sudah bosan setiap hari dikerubuti laki-laki: ayahku dan empat orang abangku yang cenderung mengacau. Tertekan batinnya mengurusi makhluk yang secara alamiah punya ego lebih besar dari tubuhnya sendiri. Ibu, yang berteori bahwa seni pengelolaan rumah tangga terletak pada anak perempuan, mengaku lambat laun terkorosi jiwanya, sebab bujang-bujang di rumah kami hanya bisa diredam dengan menerapkan manajemen mandor kawat.
Dulu, setelah mendapat anak lelaki pada persalinan pertama, Ibu tersenyum pahit mendengar Mak Birah meneriakkan Bujang! pada persalinan kedua. Ia bersalin lagi, Mak Birah memekik: Nomor tiga! Bujang lagi! Persis teriakan panitia penghitungan suara. Namun Ibu, yang besar dalam penindasan Jepang sehingga menjadi pribadi yang liat, tak sudi takluk meski Mak Birah, lagi-lagi, berseru bujang pada persalinan keempat. Ia pantang menyerah sebelum Mak Birah berteriak dayang!
"Persalinan kelima cerita Mak Birah.
"Bahkan ibumu sudah menyiapkan nama anak perempuan."
Nama itu, Nur Tantiana Wassalam. Nur adalah cahaya. Tantiana dari bahasa Melayu pedalaman, tanti', artinya ditunggu-tunggu. Wassalam, ya wassalam. Secara halus, nama itu berarti cahaya terakhir yang telah lama ditunggu-tunggu. Hari persalinan tiba. Mak Birah selalu menceritakan ini setiap aku mengantar tembakau untuknya.
"Ibumu, perempuan yang keras pendiriannya ....
"Kau tahu, Ikal? Tanggal 23 Oktober waktu itu, pukul setengah dua belas malam, hujan lebat. Sudah satu jam ibumu sakit perut, tapi tak sedikit pun ia mau mengejan."
Perempuan tua temperamental itu meninggikan suaranya.
"Kupaksa berkali-kali ia mengejan, dilawannya semua perintahku! Ibumu tersengal-sengal, matanya melotot melihat jam weker.
"Jam weker! Masya Allah! Jam weker! Aneh, bukan?!"
Tembakau yang tadi kuberikan tak dilinting Mak Birah tapi diremasnya menjadi bola kecil dan dibelesakkannya ke dalam geraham. Artinya, ia sedang serius.
"Tak ada yang paham apa mau ibumu!"
Cerita makin seru.
"Hampir pukul dua belas malam, ketubannya pecah! Ibumu megap-megap tapi masih berkeras tak mau mengejan! Matanya tak berkedip mengawasi jam weker! Bibi-bibimu tak dapat membujuknya agar mengejan, keadaan sudah gawat, kami cemas bukan buatan!
"Kuhardik ibumu: 'Nyi! Mengapa kaupandangi terus jam weker itu?! Kau mau melahirkan tidak?!1
"Ibumu tak peduli! Sama sekali tak peduli! Dianggapnya angin saja gertakku!
"Itulah kalau kau mau tahu watak ibumu! Keras seperti kawat! Aku marah besar!"
Aku tegang menyimak.
"Kumarahi lagi ibumu: 'Apa maumu Nyi?! Keluarkan bayimu! Sekarang!'
"Ibumu pucat, kehabisan napas, tapi masih membatu!
"Air ketuban bersimbah-simbah, aku panik, habis sudah kesabaranku!
'"Apa kau mau mati, Nyi!?' "Ibumu tersentak, ia menatapku, tajam sekali." Dan inilah bagian yang paling kusukai dari seluruh cerita ini.
"Sambil terengah ibumu membentakku; 'Kau tengok baik-baik jam weker itu, Rah! Tunggu sampai jarum panjangnya lewat angka dua belas! Aku ingin anak ini lahir tanggal 24 Oktober! Tidakkah kaudengar maklumat di radio?! Dua puluh empat Oktober adalah hari berdirinya Persyarekatan Bangsa-Bangsa, PBB! Hari yang penting! Aku mau anak ini jadi juru pendamai seperti PBB!'"
Pukul dua belas malam lewat sedikit, bayi itu lahir, sungsang, kakinya lebih dulu. Baru setengah tubuhnya di alam bebas, lewat paha sedikit, bahkan sebelum matanya melihat dunia, demi mengecek propertinya, Mak Birah bersorak.
"Nomor lima! Bujang!"
***
MOZAIK 3: Juru Pendamai
Bayi nomor lima itu berkening luas. Ayahku mena-mainya Agil Barrag Badruddin.
"Aqil, bahasa Arab, artinya akal. Barraq adalah berkilauan, bahasa tinggi orang Yaman," papar Ibu.
Peran serta Badruddin atau purnama agama tak lain adalah karena nama lelaki Melayu selalu berakhiran Din. Dalam terjemahan yang paling bebas, makna namaku itu kurang lebih Anak soleh berjidat mengilap yang tidak akan melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dalam hidupnya.
Di belahan dunia lain orang boleh mengatakan apalah arti sebuah nama. Namun bagi orang Melayu pedalaman seperti kami, nama amat penting, nama berurusan dengan agama dan dianggap sumber aura. Din itu buktinya, asalnya Dienul Islam: agama Islam. Jika tabiat anak tak beres, pasti namanya yang pertama diselidik. Kebijakan purba itu dianut taat oleh ayahku.
Ternyata, harapan menggelora yang diletakkan di atas deretan kata agung namaku itu, hancur berserakan. Aku belum sekolah waktu bersekongkol dengan adikku si nomor enam yang juga bujang dan membuat ibuku kapok bersalin menyembunyikan naskah khatib sehingga ia gelagapan di atas mimbar. Aku dan adikku, bak Qabil dan Habil. Kejadian itu menjadi memorandum premier kejahatanku seumpama catatan debut Qabil dalam sejarah kriminalitas umat.
Kalau terompah Wak Haji pindah ke langit-langit dan beduk bertalu-talu bukan jam salat, pasti aku yang dicari karena memang aku pelakunya. Sering aku menyamar memakai mukena sepupuku, menyelinap dalam saf putri, membuat onar. Bulan puasa, aku melubangi buku-buku bambu dengan linggis, kuisi air dan karbit, lalu kuarahkan ke jendela masjid saat seisi kampung tarawih. Gas karbit yang mampat dalam lubang bambu yang sempit berdentum laksana meriam saat sumbunya kusulut. Jemaah kocar-kacir.
"Keriting berandaaaaaalll!!" teriak Taikong Hamim, penggawa yang kondang garangnya.
Aku ditangkap. Malamnya aku didamprat ibuku. "Lihatlah dirimu itu!" bentak Ibu. "Inikah sang juru pendamai itu!? Bikin malu!"
Wajahnya kaku karena bersusah payah menahan diri. Aku tahu, sebenarnya Ibu ingin menghamburkan omelan yang lebih tajam, tapi pasti ia merasa setiap kata yang ia semprotkan memantul lagi kepadanya. Ia sadar aku menuruni watak kepala batunya, karena setiap inci diriku berasal dari setiap inci dirinya. "Terserah Yah Ni
Ayah yang pendiam hanya menatapku putus asa. Dalam keadaan ini, biasanya Ayah menaikkanku ke tempat duduk belakang sepeda Forever-nya, mengikat kakiku ke tuas di bawah sadel dengan saputangannya agar tak terlibas jari-jari ban, lalu memboncengkanku ke bendungan PN Timah. Sepanjang jalan Ayah menasihatiku tentang kedamaian hidup seperti dicontohkan burung-burung prenjak berdasi, capung-capung, dan kaum kecebong. Pulangnya aku dibelikan tebu yang ditusuk tangkai-tangkai lidi.
***
MOZAIK 4: Pengembara Samia
Kejadian meriam bambu itu adalah bukti bahwa nama Aqil Barraq Badruddin terlalu berat untukku. Ayah memutuskan untuk menggantinya. Demi menemukan nama baru, Ayah rajin berunding dengan juru tulis kantor desa, perawat puskesmas, polisi pamong praja, pelayan restoran, penjaga pintu air, atau siapa saja yang berseragam. Bagi Ayah, orang-orang berseragam lebih pintar dari orang kebanyakan. Siang ini ia berbincang dengan pria yang gerak-geriknya seperti beruk karena ia seorang pemanjat kelapa. Di kampung kami ada persatuan pemanjat kelapa dan mereka berseragam. Pulang ke rumah, Ayah bersukacita.
"Telah kutemukan nama baru untuk si Ikal itu,
Bu!"
"Kabar gembira!" jawab Ibu.
"Dengan nama ini, kau pasti jadi santri teladan, Ikal."
Waktu itu aku dan adikku tengah dihukum mencuci piring karena tanpa alasan jelas mengibarkan bendera merah putih setengah tiang.
"Tak tanggung-tanggung, Bu, kata Mahader pemanjat kelapa, nama ini dapat membuat orang menjadi bijak."
Aku ngomel dalam hati, bagaimana kalau aku tak sudi dengan nama baru itu ?
Ayah: Arti nama ini adalah pria lemah lembut nan berjiwa besar!
Aku: Hmm ... bagus sekali ya, tak seorang pun minta pendapatku, padahal akulah yang akan memikul nama itu seumur hidup!
Adikku, yang gembrot dan lugunya minta ampun itu, tak peduli. Ia meniup-niup gelembung sabun. Bruuuphhh ... brupphh.
"Apakah gerangan nama yang hebat itu, Yah?"
Ayahku bangkit, berkumandang.
"Waaa ... dudhl! Wadudh! Itulah namanya! Kata Mahader, nama itu gelar untuk menghormati orang yang paling tinggi akhlaknya di kalangan pengembara Samia!"
Ibu: Subhanallah\ Mahasuci Allah! Hebat nian nama itu!
Aku: Wadudh? Pastilah pengembara berkafiyeh yang suka minum susu kambing itu! Adikku: Bruuuphhh ... brupphh.
***
Sayang seribu sayang, pengembara Samia yang bijak bestari itu menjelma menjadi garong. Tak lama setelah nama agung itu dilekatkan kepadaku, aku memimpin komplotan santri untuk menjarah tambul, penganan yang disumbangkan umat ke masjid jika Ramadan. "Ketua Wadudh," begitu santri-santri itu memanggilku. Nakalku makin menjadi. Aku blingsatan mencari diriku sendiri, tersesat dalam ide-ide yang sinting. Dengan sogokan sebungkus kuaci, kuhasut adikku si nomor enam itu untuk menyanyikan lagu "Indonesia Raya" dengan pengeras suara masjid. Suaranya yang cadel melolong-lolong seantero kampung. Aku dan Ayah kena sidang.
"Wadudh sudah tak bisa diatur!! Tak boleh lagi dia ke masjid ini!" Haji Satar emosi.
Para penggawa yang mengelilingi kami mengangguk-angguk.
"Oh, gawat
Wajah Ayah biru menahan malu. Ia menatapku. Tatapan yang tak pernah kukenal sebelumnya. Naluriku berbisik, Ayah akan mengambil tindakan ekstrem untuk mengganjarku. Aku mengerut ketakutan.
"Onar! Hanya onar saja dibuatnya!!" Wak Tarjik histeris. Kopiahnya pernah kulumuri minyak rem.
Ayah makin tajam menatapku. Aku tak pernah dikasari ayahku, bahkan ia tak pernah menaikkan suaranya kepadaku, tak pernah, walau hanya sekali. Namun, kejadian "Indonesia Raya" itu memang sudah kelewat batas. Majelis menuntut Ayah bertindak tegas. Dalam mata Ayah, jelas kubaca ia tak tega kepadaku. Posisinya serbasalah. Ia bak Ibrahim yang diperintah Tuhan menyembelih anaknya. Aku miris membayangkan dibuang Ayah ke pesantren Pulau Penyengat, menyeberangi Selat Melaka, tak pulang bertahun-tahun. Aku terlalu kecil untuk sanksi sekeras itu.
"Beri hukuman berat sekalian agar Wadudh jera!" hardik Taikong Hamim.
Berat sekali cobaan Ayah.
"Bagaimana keputusanmu, Pak Cik?! Apa tindakanmu agar tabiat buruk Wadudh tak terulang lagi?!" Taikong tak sabar, nadanya mengancam. Suasana hening. "Bagaimana, Pak Cik?" Ayah berulang kali menarik napas panjang. "Baiklah, Taikong
Suara Ayah terbata-bata karena ia akan menyesali keputusan kejamnya padaku. Tapi ia tak punya pilihan lain. Aku terkulai di lengannya. Majelis waswas menunggu keputusan keras Ayah ....
"Akan kuganti lagi namanya
***
MOZAIK 5: Partner In Crime
Ratusan ribu kalong menyerbu pesisir. Perutnya buncit karena puas menjarah putik kemang di -pulau-pulau kecil tak bertuan. Kepaknya sombong tak peduli. Hewan berparas mengerikan serupa tikus terkutuk itu mendekor langit dengan bercak-bercak hitam, hanyut di angkasa dilatari deburan troposfer. Belitong menjelang malam, adalah semburan warna dari seniman impresi yang melukis spontan, tak dibuat-buat, dan memikat. Azan magrib mengalir ke dalam rumah-rumah panggung orang Melayu, umat berduyun-duyun menuju masjid, menuju kemenangan.
Masjid, seperti oase bagi semua anak Melayu udik. Di sana, bukan sekadar tempat salat dan mengaji, tapi tempat bermain dan membuat janji-janji. Masjid nan indah, tasbihnya berupa-rupa, kaligrafinya memesona, dan pilar-pilar tingginya memantul-mantulkan suara. Di atas lantai pualam terbentang sajadah panjang dari Turki, semerbak harum setanggi, kitab-kitab tua sejarah nabi, dan lebih dari semuanya, para jemaah putri! Belum lagi satu kegembiraan yang aneh, kegembiraan yang secara ajaib menjelma kalau Ramadan tiba. Mungkin jika Ramadan, orang Islam mendadak menjadi dermawan, berebutan mengantar tambul ke masjid.
Semuanya semakin indah karena keluarga kami memungut Arai, sepupu jauhku, yang mendadak menjadi sebatang kara dalam usia delapan tahun. Maka, aku memanggilnya Lone Ranger. Ia memanggilku Tonto dan kami segera menjadi partner in crime.
Ayah kembali pusing memikirkan namaku. Wajahnya redup. Diusap-usapnya kopiah resaman-nya. Ia kehabisan cara mengatasiku dan kehabisan nama untukku.
"Baiklah Bujang, sekarang pilihlah sendiri nama untukmu
Saat itu aku tengah membolak-balik halaman majalah Aktuil. Di salah satu pojoknya aku membaca berita usang tentang polisi Italia yang dibuat repot seorang wanita sinting karena memanjat tiang telepon dan mengancam menerjunkan diri jika Elvis Presley tak membalas suratnya. Nama wanita itu Andrea Galliano.
"Ayahanda, bagaimana kalau Andrea?"
Telinga Ibu berdiri.
"Ain! Nama macam apa itu? Itu bukan nama orang Islam!"
Ayah berpendirian lain. Mungkin karena ia sudah mati akal.
"Kalau begitu maumu Bujang, apa tadi? Andrea ah, bagus juga kedengarannya, tak ada salahnya dicoba ...." Ibu tak terima. "Yah Ni, tak ada nama orang Melayu seperti itu. Itu nama orang Barat. Mereka tak peduli soal nama dan itu nama anak perempuan." Ayah menangkis.
"Bukankah selalu kauidamkan anak perempuan,
Bu?"
Ibu berbalik meninggalkan kami, marah, tapi aneh, ia tersenyum. Mulai malam itu aku punya nama baru. Di peraduan kukenang kembali nama-namaku. Aku menarik kesimpulan, ternyata tabiat orang tak berhubungan dengan gelar yang disematkan kepadanya, bukan pula bagaimana ia menginginkan orang hormat kepadanya, tapi lebih pada berapa besar ia menaruh hormat kepada dirinya sendiri. Kebenaran sederhana ini membuat hatiku ngilu.
***
MOZAIK 6: Rahasia Gravitasi
Ketika pertama kali melihatnya, melihat paras kukunya, lebih tepatnya, aku merasa seperti dipeluk arus Sungai Lenggang, berenang bersama lumba-lumba, dijemput jutaan kunang-kunang, lalu diterbangkan menuju bintang. Ia tersenyum, aku tak dapat bernapas.
"Namaku A Ling katanya menyalamiku, menggenggam hatiku. Ingin kusampaikan satu nama terbaik dari deretan nama agung pemberian ayahku, tapi tak satu pun kuingat. Di depan gadis kecil Hokian itu, aku lupa semua namaku. Perasaan indah memancar sampai ke ujung-ujung simpul pembuluh darahku.
Minggu depan kami akan bertemu. Berkali-kali aku berkaca. Rupanya aku telah berkumis! Maka tak ada alasan takut untuk minta izin kepada bapaknya. Kami akan naik komidi putar! Sabtu sore, dengan enam helai kumis terhunus, kudatangi toko kelontong Sinar Harapan milik bapaknya, A Miauw.
Laki-laki gendut itu sedang menjentikkan biji-biji sempoa. Melihatku, jentikannya makin keras.
"Ba ... Ba ... Baba
"Apa Ba, Ba? Mau apa!?"
Sebenarnya dia tahu aku ingin mengajak putrinya.
"Ba, hmm ... hmm ... mmm "Apa! Mau apa!?" "Begini Ba ... hmm "Apa begini, begini?!"
Tiba-tiba A Ling muncul dari balik tirai. Ia menarik tanganku, kami kabur. "A Ling!
"Oi hii na boui?\\
"Chon lisak\h
"A Ling!
"A Liiiiing ...!!
"Njoo Xian Liiiiiiing ...!!!"
Teriakan bapaknya layap dan kami melayang-layang dalam komidi. Indah sekali, melebihi ledakan aurora di atas belantara Amazonia. Kuberi tahu Kawan, rahasia romansa komidi putar adalah fisika sederhana: hukum gravitasi! Waktu komidi mencapai posisi empat puluh lima derajat dari porosnya, daya tarik bumi membuat mempelai dalam kurungan ayam tadi seperti akan terjungkal. A Ling histeris, takut campur manja, memeluk erat lenganku. Perasaanku melambung, melesat-lesat seperti mercon banting. Gadis Hokian itu menatapku ronhon.. perlindungan dan aku jatuh cinta, sungguh
Mau kemana?
Kesini!
jatuh cinta, untuk pertama kalinya
***
Rupanya, tak ada yang lebih aneh selain orang dimabuk cinta. Segalanya tiba-tiba berubah menjadi serbabaik. Kini, dalam penglihatanku, setiap benda menjadi indah, semuanya memiliki dimensi geometris yang berseni. Sekolah Muhammadiyahku yang doyong seperti gudang kopra itu ternyata bangunan kubus simetris yang efisien, bergaya etnik tropikal dengan spesifikasi multifungsi: sebagai kelas dan kadang-kadang sebagai kandang ternak. Bukankah optimal? Kalong-kalong yang rakus bukan lagi tikus yang terkena kutukan tapi hewan langka familia Palaeochiropteryx tupaiodon yang harus dilindungi, kalau perlu dengan undang-undang. Pengganggu hewan rupawan itu tak lebih dari manusia tak tahu diri. Taikong Hamim! Haji Marhaban Hamim bin Muktamar Aminnudin nama lengkapnya, sama sekali bukan guru ngaji yang kejam, bukan, sama sekali bukan, tapi ia tak lain manusia terpilih penegak syiar Islam, ulama penting penyelamat anak-anak Melayu dari rayuan iblis.
Aku mengaji dengan khusyuk. Kacamata Taikong sampai merosot, bibirnya tumpah. Ia bergegas menemui ayah ibuku.
"Tak pernah kulihat Ikal seperti ini, Pak Cik, teduh nian tabiatnya sekarang. Kalian apakan dia?"
Ayah kaget, sumringah. Ibu ternganga. "Mahasuci Allah! Bu, percayakah kau sekarang?"
Ibu masih menganga.
"Apa kataku soal nama Italia itu!"
***
MOZAIK 7: Segitiga Tak Mungkin
Arai, Weh, dan Mak Birah, bagiku seperti bangunan segitiga tak mungkin, impossible tria-ngle Oscar Reiitersvard dengan dimensi yang susah diterjemahkan, dengan sudut-sudut yang mengandung anomali.
Mak Birah, seorang protagonis, amat menghargai kehidupan dan menganggapnya sebagai pe-rayaan kebesaran Allah.
Sebaliknya Weh, sang antagonis, mengutuki hidupnya sendiri. Baginya, kelahiran adalah keputusan aklamasi tanpa negosiasi dan selamatlah manusia yang tak pernah lahir. Sedangkan Arai, ketika orang yang senasib dengannya tersuruk-suruk, ia malah memperlihatkan jiwa besar, lebih dari siapa pun.
Hari ini, di kelas, Lone Ranger itu menggenggam tanganku kuat-kuat. Ia terpesona pada benda yang dibawa guru sastra S M A kami, Pak Balia.
"La originalidad consiste en volver al origen, Antoni Gaudi, maestro mozaik, Barcelona 1877."
Dengan gaya teatrikal, Pak Balia memikat murid-muridnya sambil mengelus benda itu seekor iguana dari tanah liat replika karya Gaudi.
"Orisinalitas berarti kembali pada bentuk orisinal."
Kulit iguana itu ditempeli ratusan mozaik berwarna-warni dari pecahan kecil porselen: piring, kendi, tempayan, dan ubin. Unik, ganjil, artistik.
"Murid-muridku, berkelanalah, jelajahi Eropa, jamah Afrika, temukan mozaik nasibmu di pelosok-pelosok dunia. Tuntut ilmu sampai ke Sorbonne di Prancis, saksikan karya-karya besar Antoni Gaudi di Spanyol."
Kalimat itu adalah letupan pertama angan-angan yang menggelisahkan kami sepanjang waktu. Pungguk merindukan bulan! Tapi kepribadian Arai membuatku selalu berada di puncak Everest semangatku.
"Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu," katanya. Esoknya Arai menumpang truk ke Tanjong Pandan. Ia terbanting-banting di dalam bak, berdiri di celah tong-tong timah, hanya untuk membeli poster Jim Morrison.
"Penyanyi kesayanganku, Kal!" Arai bangga memamerkan poster itu. Tak tampak lelah di matanya.
"Mengapa Jim Morrison, Rai?"
"Karena aku akan berjumpa dengannya, walau hanya pusaranya, di Prancis!"
Arai yakin pada Jim Morrison, yakin pada Prancis, dan yakin pada pujaan hatinya Zakiah Nurmala, perempuan yang selama tiga tahun di 5MA ditaksirnya, dan selama tiga tahun itu pula ia ditolak. Tak pernah kujumpai orang segigih Arai.
Suatu ketika, pada bulan puasa, kami harus pulang karena ayahku sakit. Tak ada kendaraan yang dapat ditumpangi. Kami berjalan kaki, tiga puluh kilometer dari kota tempat SMA kami berada.
Matahari membara, tepat di atas kepala. Panas menjerang tanpa ampun, aspal meleleh. Perutku kosong, kerongkongan kering. Aku melangkah seperti rangka kayu yang reyot. Pandangan berkunang-kunang. Kami kehausan dan menderita dehidrasi, bahkan sudah tak lagi berkeringat. Aku tak sanggup, waktu melewati danau aku ingin membatalkan puasaku.
"Jangan," sergah Arai tersengal-sengal. Ia membopongku. Kami melangkah terseret-seret. Aku tak mampu bertahan. Kembali melewati danau, aku mendesak ingin minum.
"Jangan," sergah Arai.
"Jangan, Tonto, jangan menyerah."
Arai menaikkan tubuhku ke atas punggungnya. Ia memikulku. Langkahnya limbung, terseok-seok
berkilo-kilometer. Ia istirahat sebentar, lalu memikulku lagi. Napasnya meregang satu per satu, hidungnya mendengus-dengus seperti hewan disembelih. Tumitnya mengucurkan darah karena terjepit jalinan kasar sepatu karet ban mobil. Ia melangkah terus, terhuyung-huyung. Tak sedikit pun ia mau menyerah.
Sampai di rumah, aku terkapar tak berdaya. Arai tersenyum. Aku menatap matanya dalam-dalam. Tiba-tiba Prancis rasanya dekat saja.
***
MOZAIK 8: Wawancara
'Tamat SMA, aku dan Arai merantau ke Jawa. Di Bogor kami melamar kerja. Sebuah usaha distributor memanggil untuk wawancara. Wawancara: indah dan kota sekali kedengarannya. Kami mempersiapkan diri dengan membaca buku Tiga Serampai Rahasia Sukses Wawancara. Pada bab tujuh "Membuat Pewawancara Terkesan", pengarang buku itu berulang kali mengingatkan "jangan sekali-kali mengulang pertanyaan pewawancara, karena pertama, Anda dianggap tidak memerhatikan, kedua, Anda tidak sopan, dan ketiga, ada yang tak beres dengan telinga Anda."
Dengan pakaian terbaik, kami berangkat. Aku gugup. Seumur-umur baru kali ini aku diwawancara, ah, diwawancara, sungguh modern!
Ternyata calon majikan kami, seorang wanita mungil berkulit putih, sangat informai. Ia menemui kami di kantornya, sebuah garasi. Ia baru bangun tidur, berkaus oblong dan celana pendek. Kardus besar bertumpuk-tumpuk berantakan. Di luar garasi, seorang pria menggeber gas Harley Davidson. Gadis itu membaca surat panggilan. Ia berusaha keras mengingat sesuatu. Agaknya ia lupa pernah membuat panggilan. Ia mengamati kami dan berteriak, "Da ... da ... na ...." Broomm ... bum! Bum ... brooomm ....
"Ja ... na Broooom ....
"Na ... da??"
Suaranya timbul tenggelam di antara raungan Harley. Kuingat pesan buku Tiga Serampai: pantang mengulang pertanyaan pewawancara! Aku pun menebak-nebak.
"Dari Belitong, Bu
Broomm ... bum! Brooomm ....
"Ya, dari Belitong!!" Gadis itu menggeleng. Tendangan gas Harley memekakkan, ia menjerit.
"Phaaa ... kha ...."
Bromm!! Bum! Brom!!
"Phaa ...."
Brom! Brooomm ....
"Kha!!!!???"
"Naik kapal, Bu, ya, naik kapal!! Brom! Kapal ternak!!"
"Phaa ...??" Brom! Brom!
"Kapal ternak, Bu, K A P A I !"
Bbroooomm .... "Phaa!?"
"KAPAAAAAAAllll!"
Gadis itu jengkel. Ia membanting surat panggilan, menarik tanganku, lalu merogoh sakunya, mengeluarkan uang lima ribu.
"Ini ongkos angkot?. Pulang sana!"
Meski gagal dengan gadis kecil itu tapi tak mengapa. Paling tidak kami telah diundang, walau ia lupa pernah mengundang, dan diundang untuk wawancara, ah, kata itu, selalu menimbulkan perasaan senang dalam hatiku.
Berbekal ijazah SMA, kami melamar lagi. Sebuah perusahaan penyedia keper/uan dapur memanggil. Sesuai wejangan buku Tiga Serampai, kami melatih pernapasan agar tak gampang gugup.
Kantor perusahaan itu adalah sebuah ruko. Kami memencet bel, roiiing door bergulung naik. Di dalamnya, seorang perempuan gemuk berbalik. Agaknya tadi ia mau ke kamar kecil karena di depannya ada pintu bertulisan TOILET. Ia mengamati kami yang berdiri di ambang pintu ruko.
"Kalian diterima," katanya.
Ya, begitu saja. Tanpa basa-basi apa pun, bahkan tanpa mempersilakan masuk dan tanpa wawancara,'
Perempuan itu masuk ke dalam toilet, srak! Srok! Srak! Srok! lalu keluar dan sambil mengeringkan tangannya yang basah dengan tisu, ia bersabda, "Potong rambut gondrongmu itu, mandi yang bersih, besok pagi pukul enam datang lagi ke sini."
Cepat dan praktis. Tak ada kejadian seperti yang sering kulihat di TV, misalnya: Congra-tutations! Selamat bergabung,' Sitakan menandatangani kontrak, Anda akan menjadi aset penting perusahaan kami,' Atau, Orang dengan kualifikasi seperti Andafah yang kami cari selama ini,'
Esoknya perempuan itu menyuruh kami naik ke bak mobil pick up, berkeliling, lalu menurunkan kami di sebuah perumahan. Ia menyerahkan dua tas besar dan memberi sedikit instruksi. Jadilah kami salesman alat-alat dapur, dari pintu ke pintu.
Hanya beberapa minggu bekerja, kami dipecat. Penjualan kami memalukan, demikian istilah perempuan itu.
Nasibku membaik karena diterima bekerja di kantor pos. Sedang Arai merantau ke Kalimantan, bekerja dan kuliah di sana. Sambil bekerja di kantor pos Bogor, aku melanjutkan kuliah. Lewat surat kukabarkan kepada ayahku bahwa aku telah menjadi seorang amtenaar dalam kolom pangkat tata usaha, dan punya seragam. Benar pendapat Ayah dulu, mereka yang berseragam tampak lebih pintar. Pangkatku: Pengatur Muda Pos. Bukan sembarang, Kawan. Dengan pangkat itu aku berwenang mencairkan wesel sampai seratus lima puluh ribu rupiah. Di atas angka itu, atasanku, Amtenaar Odji Dahrodji, yang turun tangan.
Aku berjasa bagi mahasiswa miskin yang tak
punya bukti sah bahwa ia warga Republik, sehingga sulit menguangkan wesel. Biasanya mahasiswa IPB dari daerah minus itu cengar-cengir menghadapku, dan wajahnya berbunga waktu punggung weselnya kuhantam dengan cap sakti mandraguna ini:
Saat menghujamkan cap itu aku dilanda perasaan menjadi orang penting, dirasuki sindrom kekuasaan. Oh, Power is sweet. Sekarang aku paham mengapa orang gila kuasa. Aku mengerti mengapa banyak pejabat hilir mudik ke paranormal agar tetap berjaya, dan maklum melihat pejabat pensiun segera kena borok usus atau mati separuh badan. Aku dan Arai berhasil menyelesaikan kuliah tepat waktu. Kami mengikuti tes beasiswa untuk sekolah strata dua ke Eropa.
Sejak kecil aku harus bekerja keras demi pendidikan, mengorbankan segalanya. Harapan yang diembuskan beasiswa itu membuatku terpukau. Aku sadar bahwa apa yang kualami selama ini bukanlah aku sebagai diriku. Beasiswa itu menawarkan semacam turning point: titik belok bagi hidupku, sebuah kesempatan yang mungkin didapat orang yang selalu mencari dirinya sendiri. Aku telah tertempa untuk mengejar pendidikan, apa pun taruhannya.
Aku memutuskan keluar dari pekerjaan di kantor pos yang telah menggiringku ke kutub moderat. Semakin lama semakin berkurang tantangannya. Pekerjaan itu tidak memberiku kelimpahan, tapi memberi keamanan finansial dan kehidupan yang itu-itu saja, demikian gampang diramalkan kesudahannya. Aku terjamin secara sederhana, terlindung oleh sistem, stabil secara psikologis, mapan secara sosial, dan semua itu membuatku bosan. Aku merasa seperti tupai yang sibuk menggendong pinangnya, kura-kura yang mengerut ke dalam tamengnya, atau siput yang sembunyi di balik cangkangnya.
Aku ingin hidup mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium; meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah yang mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup!
***
MOZAIK 9: Saputangan
ku dan Arai menerima surat pengumuman tes beasiswa itu di Belitong. Dr. Michaella Woodward yang memberi komentar pada pengumuman itu membuat kami berbesar hati. Intinya, ia menganggap hasil riset kami berpotensi melahirkan teori baru dalam disiplin ilmu kami masing-masing. Karena itu Dr. Woodward meluluskan tes beasiswa kami. Aku gembira, berbulan-bulan kutekuni buku tebal yang runyam berjudul Financial Econometrics, sebelum menyusun proposal risetku, ternyata ada gunanya. Namun, aku tahu persis, kesuksesan proposalku bukan hanya karena aku dapat mengaplikasikan teori ketidakpastian termasuk gerak Brown atau segala sebaran Gauss untuk memetakan interkoneksi telekomunikasi, namun karena Motivation Letter-ku yang hebat luar biasa. Beginilah kutulis motivasiku:
Akan saya sumbangkan seluruh ilmu dan pengalaman riset yang saya dapatkan di Sorbonne demi kemajuan nusa dan bangsa, demi tanah tumpah darah saya! Tak berlebihan saya sampaikan bahwa secara diam-diam, sebenarnya saya telah lama bercita-cita ingin mencurahkan seluruh kemampuan yang saya miliki, tak digaji pun tak apa-apa, demi mengangkat harkat dan martabat umat manusia yang masih terbelakang di negeri saya, negeri yang benar-benar saya cintai dengan sepenuh jiwa ....
Aku yakin, kata-kata yang kusadur dari sebuah buku berjudul Garis-Garis Besar Haluan Negara itu telah membuat Dr. Woodward terharu hatinya dan tak menemukan alasan untuk tidak memberiku beasiswa. Maka, bagi kawan yang sedang menulis buku Tiga Serampai Tata Cara Memperoleh Beasiswa Luar Negeri, kusarankan jangan lupa memasukkan siasatku itu.
\***
Arai berusaha menghubungi Zakiah Nurmala cinta bertepuk sebelah tangannya itu untuk pamitan. Zakiah pasti menerima surat Arai, tapi tak sudi membalas. Seperti dulu sejak SMA, perempuan itu tetap indifferent, tak acuh.
Baru kutahu ada orang yang ditampik hampir sepuluh tahun tapi tetap kukuh berjuang. Arai tak pernah tertarik pada perempuan lain. Zakiah adalah resolusi dan seluruh definisinya tentang cinta. Ia telah menulis puluhan puisi untuk belahan hatinya itu, telah menyanyikan lagu di bawah jendela kamarnya, berhujan-hujan mengejarnya, dan bersepeda puluhan kilometer hanya untuk menemuinya lima menit. Zakiah tetap tak acuh. Mungkin Arai telah diserang sakit gila nomor dua puluh enam: tak bisa membedakan diterima dan ditolak.
Sementara aku merindukan A Ling. Malam hari, aku keluyuran, menjumpai para sahabat lama: dermaga dan toko kelontong Sinar Harapan. Aku melamun di depan toko yang telah diabaikan itu. Pintu pagar berdecit-decit ditiup angin. Kuingat A Ling berdiri di balik pagar itu, tersenyum padaku. A Miauw telah meninggal. Keluarganya terpecah belah. Sejak meninggalkanku ke Jakarta waktu aku SMP dulu, tak ada yang tahu kabar A Ling. Ia pergi, aku merasa seakan semua makhluk di Belitong dinaikkan Nabi Nuh ke bahteranya, aku tak diajak, hanya aku sendiri tak diajak.
***
Mengetahui aku dan Arai akan pergi jauh, doa Ayah lebih panjang dari biasanya. Ia bersimpuh terpekur. Jika kami cium tangannya, ia menggenggam tangan kami kuat-kuat. Kami tahu, sebagian hatinya ingin kami tak pergi. Kukatakan pada Ayah, kami akan terbang enam belas jam dan transit di Frankfurt. Ayah bersedekap, tercenung. Tak sedikit pun kenyataan itu dipahaminya. Aerodinamika gelap baginya, ia bahkan tak paham arti kata transit. Aku semakin dekat dengan ayahku. Setiap hari aku mengakurkan jam weker kenangan pensiun PN Timah untuk Ayah setelah beliau bekerja di perusahaan itu hampir empat puluh tahun. Jam serupa juga dihadiahkan PN Timah untuk kakekku dan ayah kakekku.
Ayah baru pensiun. Mengherankan ia dapat bertahan di tambang selama puluhan tahun. Ayah adalah seorang family mari. Sejak muda ia mengencangkan ikat pinggang, bekerja membanting tulang. Seluruh hidupnya tercurah hanya untuk istri dan anak-anaknya. Setiap tindak lakunya hanya untuk memberikan yang terbaik pada keluarga.
Minggu pagi, kami bertolak ke Bandara Soekarno Hatta naik Fokker 28 dari bandara perintis Buluh Tumbang di Tanjong Pandan. Pagi yang amat pilu. Kami berpamitan, Ayah menyerahkan bungkusan untuk kami.
"Buka jika telah sampai di sana," katanya. Ayah mengatakan ia bangga aku mampu mencapai apa yang tak pernah dicapainya. Aku bangga ayahku mengatakan itu, karena itu berarti ia melihat dirinya dalam diriku.
Ayah melepas kami seperti tak 'kan melihat kami lagi. Bagi beliau, Eropa tak terbayangkan jauhnya. Ayahku yang pendiam, tak pernah sekolah, puluhan tahun menjadi kuli tambang. Paru-parunya disesaki gas-gas beracun, napasnya berat, tubuhnya keras seperti kayu. Ia menatap kami seakan kami hartanya yang paling berharga, seakan Eropa akan merampas kami darinya. Air matanya mengalir pelan. Aku memeluk ayahku, ayah yang kucintai melebihi apa pun, tangannya yang kaku merengkuhku. Betapa aku menyayangi ayahku.
Pesawat kecil itu terangkat, dari jendela kulihat Ayah melambai-lambai dengan saputangan, sapu tangan yang dulu sering dipakainya untuk mengikat kakiku pada tuas sepeda Forever-nya, supaya kakiku tak terjerat jari-jari ban. Setiap sore aku dibonceng Ayah naik sepeda ke bendungan. Dadaku sesak. Aku tahu aku akan merindukan laki-laki pendiam itu. Kulihat lambaiannya sampai jauh, sampai tak tampak lagi. Aku tersedu sedan.
***
MOZAIK 10: Curly
Di Bandara Soekarno Hatta aku mempelajari lampiran surat pengumuman beasiswa Uni Eropa itu. Berlapis-lapis. Semuanya ada di sana: jalur detail perjalanan, penjemput, bahkan telah disiapkan alamat e-mait intranet, lengkap dengan user name dan password untuk akses data warehouse universitas.
Kami akan ke Belanda dulu dan akan dijemput seorang pegawai dari kantor perwakilan Uni Eropa di Amsterdam lalu ke kantor pusat Uni Eropa di Belgia. Kulihat nama penjemput kami: Ms. F. Somers. Dari cara menulis namanya, aku mendapat kesan pastilah Somers ini seorang ibu-ibu gemuk, atau lajang lapuk, pegawai yang tak pen-ting, pengurus hal remeh temeh di bagian administrasi. Ms. itu ditegaskan betul dalam deretan namanya. Suatu isyarat yang nyata, seperti bubungan tebal asap unggun Indian Cherokee, bahwa dirinya available, masih sendiri.
Hijau, hijau seluas mata memandang. Biru, biru tak putus-putus, semakin tinggi semakin biru, samar, dan me-lesat, kutinggalkan Indonesia. Tiga puluh tiga ribu kaki di atas permukaan laut, enam belas jam paling tidak, diam, sepi, terapung-apung. Dini hari, lewat jendela kulihat tiga aliran sungai berkejaran. Kubuka buku saku Collins World Atlas. Sungai-sungai itu Rhein, Maas, dan Schelde bermuara di Belanda. Permukaannya ganjil. Tak pernah kulihat tanah berwarna putih. Desember, musim salju. Tiba di bandara Schippol Arai membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, persis seperti dilakukannya dulu di atas bak truk kopra ketika ia masih kecil saat aku dan ayahku menjemputnya: Dunia, sambutlah aku! Ini aku, Arai, datang untukmu,' Demikian maknanya.
***
Masih dalam lingkar pemanas Bandara Schippol, kami tak menyadari kalau suhu dingin di luar seganas gigitan hewan buas. Kami celingukan mencari wanita gemuk petugas administrasi itu. Pasti ia berdiri di sana, di antara para penjemput, sambil memegang benda semacam bat pingpong dengan tulisan dari tinta emas: Mr. Andrea Hirata and Mr. Arai Ichsanul Mahidin, welcome to HoIIand. Namun, tak ada tanda semacam itu. Yang ada hanya gadis muda berandal yang berteriak-teriak tak keruan ini.
"Oiiikl Oiiikl Oiiiiikkkkl"
Ia berlari-lari menuju kami, kami terkejut, menoleh kiri-kanan, siapakah dia? Ia pasti salah mengenali orang.
"Oiiikl Oiiikl Oiiiikkll"
Tapi memang kami yang dipanggilnya. Aneh. Kami berhenti, ia megap-megap.
"Waithhhh ..." dengusnya. Ia membungkuk, keringatnya bersimbah, dadanya kembang kempis. Lalu ia tegak lagi, bertelakan pinggang sambil mengatur napas. Kami masih mematung. Bingung. Siapakah gadis berandai ini? Ia sangat jangkung, 180 senti mungkin. Atletis, padat berisi. Tubuhnya dibangun kerangka Kaukasia yang sempurna. Ia mengenakan shapeiy tank top. Perutnya kelihatan dan pasti dia sering sit up. Rambutnya berantakan, pirang menyala-nyala. Belakangan kami tahu, oik adalah cara orang Belanda menyebut hai.
Aku harus menengadah untuk melihat wajahnya dan aku terkesiap. Ia gadis muda yang luar biasa cantik, gorgeous. Aku seakan menatap cover majalah Vogue.
Apa yang diinginkan wanita buie yang jeiita ini? Ia mengatur napas dan kami terbius pesonanya. Ia sangat mirip Daria Werbowy, Anda tahu kan? Supermodel haute couture yang sering melenggok di Fashion TV berbusana Dolce and Gabbana itu. Kenal, kan? Kenal? Sudahlah, tak usah dipusingkan. Aku sendiri tak kenal.
"EU schoiarship awardees, yeeah ...?" tanyanya akrab. Tak menunggu jawaban ia nyerocos lagi.
"Saya Famke ...." Ia menyalami Arai. Bola matanya biru langit, bukan, lebih indah, biru buah ganitri muda.
"Famke Somers."
Ya, Tuhan, inilah Ms, F, Somers yang kusangka ibu-ibu gendut petugas administrasi itu. Sekarang, terus terang aku gugup karena ia cantik tak kepalang tanggung.
"Saya mengenali kalian dari foto saja ...." Ia tersenyum senang.
"Saya Arai," orang udik itu memperkenalkan diri.
"Whatl Ray?"
"Oh, no ... A ... rai."
"Great ...."
Kalau sempat Arai mengiyakan Ray itu, aku sudah siap mengenalkan diri sebagai curly-i.
"And yon ... bagaimana sebaiknya aku memanggilmu, Kawan?"
Native Eropa pertama yang kami temui di tanah airnya sendiri, keramahannya mencengangkan. Ia meraih koper kami. Koper berat kulit buaya itu ringan saja di tangannya.
"Ikut aku, dan pakai jaketmu."
Kami membuntutinya menuruni tangga dan memasuki platform kereta underground'. Terlepas dari sistem pemanas Bandara Schippol, kami langsung menggigil digigit suhu dingin delapan derajat celcius. Famke tergelak melihat kami gemelutuk. Ia sendiri hanya bercelana jeans ketat bolong-bolong dan tank top itu.
"Jangan cemas, Kawan, kita segera naik kere-
4 Ikat -feny ta, nanti di dalam panas lagi," katanya.
Aku takjub melihat gadis Belanda ini. Tak sedikit pun ia kedinginan. Tak heran Kumpeni bisa menjajah kita sampai karatan. Dari central station Amsterdam kami naik ke-reta menuju Brussel. Dalam sekejap, kami akrab dengan Famke. Ia tak berhenti bicara dan kami tak berkedip menatap kecantikannya. Seperti kami, ia juga penerima beasiswa Uni Eropa, ia mahasiswi Amsterdam School of the Arts. Ia mendalami street performances atau pertunjukan seni jalanan. Perspektifnya tentang seni jalanan amat memikat.
"Jalanan adalah karya seni instalasi yang sempurna. Ia lurus, berhiaskan lampu dan bunga, menikung, menanjak, dan kadang-kadang buntu. Ia mengarahkan, meloloskan, menjebak, dan menyesatkan."
Aku terpana.
"Jalan tempat berparade, pamer kejayaan, juga tempat menggelandang. Jalan tempat lari dari kenyataan, tempat mencari nafkah. Orang hilir mudik di jalan, mereka bergerak indah, melamun, riang, dan berduyun-duyun, siapa mereka? Ke manakah mereka?"
Belum pernah kudengar pandangan seperti itu, pandangan yang mengandung kecerdasan seni tingkat tinggi.
"Jalanan seperti panggung dengan kemungkinan konfigurasi dekorasi yang amat luas. Semua kemungkinan seni dapat ditampilkan di jalanan. Seniman jalanan menghadapi tantangan seni terbesar
***
.
MOZAIK 11: John Wavne
Kereta meluncur melintasi Utrecht dan Dordrecht, terus melaju keluar Belanda lewat Breda, langsung ke kota kecil di pinggir Belgia, yaitu Brugge. Di sanalah akomodasi kami. Dari penduduk Belgia yang separuh berbahasa Belanda separuh Prancis, Brugge lebih Belanda. Kami tiba di muka pagar besi sebuah rumah bertingkat yang berdesain kaku dan berwarna hitam.
"Oke, sampai di sini, Kawan. Temui Famke membuka sepucuk kertas. "Simon Van Der Wall. Ia landlord (Induk semang/pemilik kost) tempat ini. All set. Aku yakin kita akan berjumpa lagi."
Kami bersalaman.
"Senang sekali telah kenalan dengan kalian, take care."
Berat sekali berpisah dengan Famke. Ia telah menjadi sahabat yang sangat baik. Sayang sekali ia harus mengejar kereta terakhir kembali ke Amsterdam karena ada keperluan mendesak.
Aku dan Arai memasuki halaman dan tertegun di depan pintu yang membingungkan. Diketuk berkali-kali, tak direspons; diputar-putar gagangnya, terkunci; didorong-dorong, macet. Dari kaca jendela, tampak beberapa orang ngobrol di dalam. Mereka melongok lalu kembali ngobrol karena tak kenal mereka merasa tak perlu membuka pintu. Kami mafhum, ini negeri mind your own business\ Uruslah urusanmu sendiri.
Tak ada bel. Yang ada, di samping pintu, hanya deretan kotak kecil, nomor-nomor lantai gedung, tombol-tombol, speaker, dan label nama. Aku memencet tombol berlabel Van Der Wall.
Ding dong, bel melengking.
Drreeeeeetttt ... disambut kumandang seseorang di speaker.
"Oik\ Hhrrgghh hoegnog nog geehhnn nog nog gog ggghrhrhrh ..."
"Brghrrh ... grrrrh ... oik! Oik!"
Secuil pun tak kupahami, disambung lagi.
"Grrhhh nog ikhh grrhhstgen grrrrrh ... oik\"
Pasti bahasa Belanda, karena seluruhnya dibunyikan dari kerongkongan, berat seperti beruang menderam-deram. Dreett itu meraung lagi, lalu sepi. Kupencet lagi, ding dong ... lembut bergema-gema.
Dreeeettttl!
"Grrhhh nog W Ikhh grrhhstgen grrrrrr\\\" Pasti dia jengkel. Diam. Sepi lagi, kupencet lagi.
"Ghhrrr ...!!"
Senyap. Kupencet lagi.
"Oiikkk!! Ghhhhrrrrrrrrl!"
"Mis ... Mister ... Mister Van Der Wall ...?" Aku mendekatkan mulut ke speaker.
"Ghhhhrrrrrrrhll"
"Mister ... Mister
"Ghhhrrrrrl! Ghhhhrrrrrrl!"
"Mister, English please ...."
Diam sebentar, dreeeeeeetttttttt ... plus jeritan histeris.
"PUSH THE DOOR R1GHT AFTER THE BELL!"
Dreeeettttttttttttt ....
Kami cepat-cepat mendorong pintu, terbuka. Rupanya suara dreet yang tadi berulang kali melolong adalah alarm kunci pembuka pintu. Kami tertawa. Sederhana saja tampaknya perkara pintu ini, tapi inilah persentuhan pertama kami dengan individualisme. Sikap Van Der Wall, orang-orang yang ngobrol dan tak peduli meskipun tahu kami terjebak di muka pintu, teknologi pintu itu, gedung apartemen ini, sesungguhnya desain sosiologi orang Barat.
Di lantai tiga kami melihat pintu ditempeli pelat: Simon Van Der Wall, MVgT, Building Manager. Kami mengetuk dengan sopan dan masuk ke dalam ruangan. Simon tinggi besar dan berewokan, santai tapi angker, duduk menekuri meja seperti burung pemakan bangkai menunggui mangsa. Seluruh wajahnya disita oleh hidung bongkoknya. Gayanya mengembuskan cerutu secara mencolok, sekaligus menggelikan, jelas mencitrakan dirinya John Wayne. Bukan baru sekali aku berjumpa dengan tipe seperti ini, yaitu mereka yang masa remajanya tercekoki film macho konyol John Wayne, lalu sepanjang hidupnya mati-matian ingin seperti John Wayne. John Wayne wannabe istilahnya. Semenit bicara dengan Van Der Wall, aku langsung menyesal mengapa Famke buru-buru pergi.
"Saya sudah berulang kali mengonfirmasi kedatangan kalian pada Jakarta, tak ada jawaban.
"Memang ada kamar kosong, tapi sistem di sini tidak bekerja seperti ini.
"Impossible," tukasnya tanpa perasaan. Kami tak diberi kesempatan berdalih.
"Ini hari Minggu, kebetulan saja saya ada di kantor. Jika tidak, bahkan kalian tak bisa melewati pagar itu!"
Sikap Van Der Wall delapan derajat celcius, lebih dingin satu strip dari suhu di luar. Kulihat Arai ingin marah dan aku ingin mengatakan bahwa kami tak tahu harus ke mana jika tak boleh tinggal di apartemen itu. Tapi kami tahu sikap itu hanya akan membuat Van Der Wall memuntahkan kata-kata yang lebih menyakitkan, misalnya: Itu bukan urusanku! Silakan menggelandang di luar, itu urusan kalian! Nasib kalian sial karena ketololan kalian sendiri! Atau, begitulah cara kalian orang Indonesia bekerja! Tak ada sistem! Tak bisa antisipasi! Tak efisien sama sekali!
"Tunggu sampai besok, hubungi Dr. Woodward. Kalau administrasi beres, baru kalian bisa tinggal di sini."
Dari jendela, kulihat lajur-lajur putih sepanjang jalan, berkilat tepi-tepinya karena bentangan es. Butir-butir kecil seperti terigu melayang-layang dari langit. Perutku naik menyundul-nyundul ulu hatiku. Betapa kerasnya dunia setelah ini.
Kami keluar ruangan, sempat kulirik Van Der Wall. Ia mengawasi kami. Tubuhnya ia tumpukan pada tangan kanan yang menekan ambang pintu, sedikit nungging, seakan sepucuk pistol dan selempang peluru melilit pinggangnya. Tangan kirinya mengayun-ayunkan cerutu. Seringainya seperti ia baru saja menghalau cecunguk pelintas batas dari Meksiko, John Wayne palsu! Tengik bukan main.
i\ v?
Kami meninggalkan gedung yang tak bersahabat itu, terseok memanggul ransel dan menyeret koper butut yang berat, tak keruan tujuan, yang ada dalam pikiran hanya bagaimana menyelamatkan diri dari sengatan dingin. Dalam rumah-rumah persegi berjendela kaca, orang berkerumun di ruang tamu, mengelilingi pohon natal, temaram, bersenda gurau, tak mau jauh dari jangkauan pemanas. Di sini tak bisa sembarang mengetuk pintu rumah orang. Pengalaman dengan Van Der Wall sedikit banyak mengajari kami, dan kami belum melapor pada pihak berwenang. Mengetuk pintu dalam keadaan seperti itu sangat mungkin berurusan dengan hukum. Motel tak tampak. Brugge sama sekali bukan tujuan wisata.
Semua bangunan tertutup, tak seorang pun keluar rumah dan tak ada kendaraan melintas. Kami tak tahu bahwa semua orang bersiap untuk situasi gawat yang akan terjadi malam nanti. Suhu akan drop secara ekstrem. Kami malah mengobral diri, berkeliaran di alam terbuka, mengumpankan diri pada taring iblis musim salju. Arai membeli lilin di sebuah kios kecil yang kemudian langsung tutup.
Kami bergerak terus agar tak membeku. Pohon-pohon menjadi putih. Jalan raya menyempit dilamun bongkahan es. Atap-atap digelayuti timbunan salju.
Dari buku Collins World Atlas aku melihat Brugge tepat berada di sisi North Sea (Laut Utara), laut terdingin yang disarankan untuk dihindari selama winter (musim salju), karena dinginnya berbahaya. Laut Utara adalah mainstream laut es Artik di Kutub Utara. Jika winter tiba, bahkan burung-burung red knox di Brugge melarikan diri ke pantai-pantai Italia.
Di ujung Jalan Oudlaan kami menemukan bangku taman. Kami duduk di bawah naungan kanopi. Hujan salju makin lebat. Sunyi, mencekam. Desis angin berubah menjadi seribu mata lembing, menghujam tubuh kami yang lapar dan kedinginan. Seumur hidup dijerang suhu dalam kisaran tiga puluh empat derajat celcius, bahkan baru sehari yang lalu di Belitong kami bermandi panas tiga puluh sembilan derajat, kini kami menghadapi suhu yang bisa jatuh sampai minus.
Malam merambat. Iblis es dari Kutub Utara gentayangan. Mula-mula menggigit daun telinga, berdenging, lalu mencakar-cakar pipi, dan menyerap ke dalam tubuh, menusuk-nusuk tulang, membekukan sumsum. Kami terperangkap suhu dingin yang terus merosot sampai sulit bernapas.
Pukul dua pagi, Arai mengeluarkan termometer, kami terbelalak, suhu telah terjun ke titik minus sembilan derajat celcius. Kami cemas karena sama sekali tak berpengalaman dengan suhu seekstrem ini. Tak seekor hewan pun tampak, semuanya berlindung di dalam liang, menyelamatkan diri dari gempuran salju yang buas.
Semakin malam makin tak tertahankan. Embusan uap es dari Laut Utara menyapu Semenanjung Zeebruggae di perbatasan Belanda, melesat bebas bersiut-siut, yang menghalanginya hanya dua tubuh kurus anak Melayu yang seumur hidupnya tak pernah berjumpa dengan salju. Gelap mengerucut dililit dingin, suara alam lenyap terisap angin, bahkan angin sendiri membeku.
Kami duduk berpelukan, lengket, mengerut, dan menggigil hebat. Gigi gemelutuk seperti perkusi tulang, jemari kisut dan perih. Tubuh gemetar tak terkendali seakan diguncang-guncang. Dingin menyengatku sekejam sengatan lebah yang paling berbisa, lalu kurasakan keganjilan dalam diriku. Pandanganku berputar dan aku tak merasakan kepalaku. Aku tak berkepala! Kemudian leherku tercekik. Aku meronta-ronta. Inikah serangan maut pulmonary ademal Arai menundukkan kepalaku, darah tumpah dari rongga hidungku, merah menyala di atas salju yang putih. Aku menghirup sedikit oksigen lalu kembali tercekik. Arai membuka syalnya, melilitkannya di leherku.
"Bertahanlah, Tonto!" jeritnya panik. Ia membuka koper, mengeluarkan semua pakaian, dibalutkannya berlapis-lapis di tubuhku. Jemariku biru lebam, aku tersengal-sengal. Tiba-tiba Arai mengangkat tubuhku lalu pontang-panting, terhuyung-huyung melintasi timbunan salju setinggi lutut, menuju pokok pohon rowan. Aku ditidurkannya di tanah, di bawah rimbun dedaunan rowan. Mengapa Arai menidurkanku di tanah? Aku makin menderita karena tanah telah menjadi balok es. Aneh sekali kelakuan Arai. Apakah ia kalut dan menjadi gila karena tahu aku akan tewas? Tindakan Arai makin ganjil. Ia menimbuniku dengan daun-daun rowan.
"Apa yang kaulakukan, Ranger?"
Ia tak menjawab. Wajahnya cemas, mulutnya komat kamit, matanya sembap. Ia terus menimbuniku dengan daun. Aku tak dapat mencegahnya karena seluruh sendi tubuhku lumpuh.
Arai menghiba-hiba, "Bertahanlah, Tonto! Jangan pergi! Jangan takluk!"
Namun tubuhku makin lemah, lorong putih berkelebat-kelebat dalam pandanganku. Beginikah rasanya ajal? Kesadaranku timbul tenggelam. Aku berusaha menguatkan diri, aku tak mau mati1. Tak mau mati konyol seperti ini di hari pertama
petualanganku] Aku masih ingin mengelana Eropa sampai ke Afrika, aku mau kuliah di Sorbonne, aku belum menemukan A Ling\
Arai memelukku kuat-kuat, air matanya meleleh. "Bangun! Bangun!" ratapnya putus asa.
Aku tahu, sesuatu yang fatal akan menimpaku. Suhu mungkin telah jatuh sampai minus belasan derajat. Aku tak 'kan tertolong. Detik demi detik merayap, lorong putih yang berkelebat itu padam, gelap, senyap. Kemudian pelan, pelan sekali, terjadi keajaiban. Hawa hangat yang halus berdesir di punggungku. Daun-daun busuk yang ditimbunkan Arai ke sekujur tubuhku seakan menguapiku. Arai melihat perubahan itu, ia kembali menimbuniku dengan daun rowan. Kesadaranku berangsur pulih, detak jantungku kembali normal, sedikit demi sedikit kukumpul-kumpulkan lagi nyawaku. Aku takjub menatap Arai, ia memekik girang.
"Humus! Humus, Kawan. Humus Pyrus aucupa-ria menyimpan panas! Begitulah cara tentara Prusia bertahan di musim salju! Apa kau tak pernah membaca buku sejarah?"
Aria kembali bersemangat menimbuniku dengan daun-daun rowan sambil tertawa terkekeh-kekeh. Untuk kesekian kalinya, sejak kecil dulu, aku kagum akan beragam ilmu-ilmu antik sang simpai keramat ini,
Arai menyalakan lilin dan membuka bungkus plastik ikan teri sangon ibuku. Kami memanggang ikan mungil itu dengan cahaya lilin. Inilah gala dinner kami di Eropa. Bau ikan teri membangunkan
keluarga tupai, kelinci, dan rakun mapache. Suasana semarak karena makhluk-makhluk itu jinak. Mereka mencicit-cicit gembira, pipinya gembil, sibuk memamah biak ikan teri, rakus tapi lucu. Anak-anaknya bermunculan dari liang hibernasi, malas, manja, dan gendut-gendut. Beberapa ekor berdiri, seolah berkata, "Selamat datang di Eropa, Pangeran Salju."
***
MOZAIK 12: Paranoia
Pagi sekali kami berjumpa orang-orang yang mengenakan kaus bertuliskan kampanye beraroma diskriminasi Belgy for the Belgium. Mereka tergopoh-gopoh, barang-ali ingin berangkat unjuk rasa. The Belgium, begitulah penduduk asli Belgia menyebut diri mereka. Mereka sibuk berdemo untuk mengusir imigran yang mereka anggap telah merampok lapangan kerja. Salah satu dari mereka menunjuki kami arah menuju Stasiun Brugge.
Hebat sekali kantor Uni Eropa, meraja di jantung kota Brussel, kukuh berwibawa melambangkan supremasi bangsa-bangsa Eropa. Arsitektur dasarnya seperti kuburan juragan kaya Tionghoa, seperti tubuh yang ingin memeluk. Maksud desain itu bukan hanya soal estetika, namun lengan-lengan yang merengkuh taman berlantai granit itu adalah rancangan untuk berlindung dari guncangan bom. Selain sebagai lambang digdaya, gedung Uni Eropa juga metafor paranoia, penyakit kronis orang Barat.
Di gedung itu berseliweran tentara dengan seragam berupa-rupa, tampak tentara bayaran yang gagah: legiun asing Prancis. Delegasi berbagai bangsa disambut para interpreter yang terpelajar. Bahasa-bahasa asing hiruk-pikuk. Delegasi Afrika hadir dengan atribut-atribut tradisinya: para wanita mengenakan amuria, amdu, dan bubu berwarna-warni dengan ikat kepala tinggi-tinggi. Pria-prianya berselempang panjang, berjubah yoruba, babariga, dan bertopi asa oke. Mereka sangat bergairah, barangkali ingin membicarakan program peternakan burung unta dengan para petinggi Uni Eropa. Setelah itu bergelombang kelompok orang dengan tanda pengenal Dominican Republic. Mereka juga gembira, menyapa setiap orang, tentu bersemangat akan mendiskusikan soal komputerisasi di kawasan Karibia. Wajah mereka optimis menatap masa depan. Terakhir, di pintu masuk untuk orang-orang yang kurang penting, di pojok sana, aku melihat segelintir manusia yang rasanya kukenal. Aku sering melihat mereka bertengkar soal minyak tanah di televisi tanah air. Mereka kelihatan semakin tidak penting dengan sosoknya yang kecil di antara raksasa hitam dan putih. Agak berbeda dengan delegasi lain, mereka kurang percaya diri, sedikit malu-malu, tertunduk-tunduk memasuki kantor Uni Eropa. Ini pasti soal utang piutang.
Pengamanan di kantor Uni Eropa amat ketat. Jika tak menyebut nama Dr. Woodward jangan harap bisa melintasi sekuriti yang tak terhitung lapisnya. Kamera CCTV terpasang di mana-mana.
Terakhir, lekuk-lekuk tubuh kami digeledah, ini untuk ketiga kalinya, oleh seseorang yang telah lupa bagaimana cara tersenyum. Lalu, seorang perempuan bertubuh penuh, bukan gendut, cantik dan pirang, menyambut kami. Ia tak mengucapkan apa pun selain good morning. Aku menduga ia seorang Skandinavia.
Erika Ingeborg, nama perempuan itu, sekretaris Dr. Woodward. Benar sangkaku, ia seorang Skandinavia, Finlandia tepatnya. Ia tak begitu ramah, tapi jelas ia peduli, dan seperti Skandinavian umumnya: ia tampak cerdas dan efisien. Erika membawa kami ke kantor Dr. Michaella Woodward, pengambil keputusan terakhir beasiswa Uni Eropa.
Aku selalu menduga Michaella orang yang temperamental. Dulu dibantingnya telepon waktu mewawancaraiku tentang akibat ekonomi penyakit sapi gila. Jawabanku memang tak keruan. Sekarang, sepintas melihatnya, aku langsung tahu kalau wanita Irlandia itu lebih keras dari dugaanku. Umurnya mungkin empat puluh lima tahun. Kerutan di pangkal hidungnya mengesankan ia sering mengambil keputusan dilematis yang berakibat pada hajat hidup orang banyak. Namun secara umum, ia sama sekali tak dapat dikatakan tidak menarik. Waktu remaja ia pasti seperti Claire Forlani., lalu dewasa mirip Carrie-Anne Moss, sekarang setengah baya ia tampak tak kurang dari Juliette Binoche, nanti jika tua ia akan mirip almarhumah Jessica Tandy.
Michaella adalah seorang doktor ekonomi yang sangat cemerlang, dan seorang keynesian karena ia penganut ajaran ekonom kondang John Maynard Keynes. Otomatis, ia juga seorang monetarist, yakni orang yang percaya bahwa sektor moneter (keuangan) adalah katalisator pembangunan ekonomi.
Di sebuah jurnal ternama, Dr. Woodward pernah menulis artikel berjudul Why Monetary Reform Works? Bagi para ekonom, judul itu provokatif, karena makna generiknya adalah mengapa reformasi moneter berhasil membangun ekonomi, sedangkan reformasi sektor riii tidak? Artinya, Dr. Woodward terang-terangan mengibarkan bendera perang pada penganut ajaran klasik ekonom Adam Smith yang justru percaya bahwa sektor riil sebagai katalisator pembangunan ekonomi. Dr. Woodward adalah generasi kesekian yang melestarikan pertikaian kronis mazhab klasik dan mazhab moneter yang telah berlangsung ratusan tahun. Dalam berbagai forum, aku telah melihat sepak terjang keynesian. Kesimpulanku: jika tak siap dengan argumentasi cerdas dan data yang komplet, jangan berurusan dengan mereka. Keynesian adalah pendebat yang kompulsif, tak mau kalah. Aku gugup menemui Dr. Woodward.
Lagi pula, ternyata kami datang pada waktu yang keliru karena Dr.Woodward sedang diprotes Famke Somers lewat telepon. Rupanya semalam Famke menelepon Simon Van Der Wall untuk menanyakan keadaan kami. Mengetahui perlakuan Simon, Famke menyemprot John Wayne kodian habis-habisan. Dr. Woodward juga marah dan celakanya, baru saja ia menutup telepon, masuklah empat orang pria. Tanpa basa-basi, mereka langsung mendebat Dr. Woodward. Seorang pria selalu melontar kata bernada tinggi: aberrant! S'effondrer! Infere! Aku paham kata-kata Prancis itu, artinya: tak masuk akal! Bangkrut! Implikasi! Pria kedua membantah dalam bahasa Spanyol: cuanto cuesta? Importa, esta inciuido!? Pria ketiga sering menyebut rabota. Setahuku, itu kata Rusia untuk kerja. Pria keempat berbahasa Inggris. Mereka beradu pendapat, dan luar biasa, Dr. Woodward meladeni setiap orang dengan bahasa ibu mereka. Kurang dari sepuluh menit di ruangan itu aku te-lah mendengar Dr. Woodward bicara paling tidak dalam empat bahasa! Termasuk bahasa Rusia. Wajar saja Irlandia tak pernah dapat dijajah siapa pun. Si Prancis paling agresif. Jelas ia juga seorang keynesian. Ia dan si Inggris memihak Dr. Woodward. Mereka menyerang orang Spanyol dan Rusia itu mungkin kedua orang ini penganut paham klasik Adam Smith. Debat memanas, akhirnya melalui sebuah teriakan marah, Dr. Woodward menyuruh mereka keluar.
"Nanti kita sambung lagi!" cetusnya tak puas. "Aku mau mengurusi orang-orang Indonesia ini dulu!"
Tubuh Dr. Woodward tampak kaku. Aku ngeri membayangkan ia berbalik dan melolong.
"Apakah kalian juga pengikut Pak Tua Adam Smith itul\
"Kalau iya keluar dari ruangan ini1.
"Saya tidak menerima tamu selain monetaristl "Keluarl"
Tapi itu tak terjadi. Ia berbalik dan mendesah. "Sungguh keterlaluan Simon Van Der Wall itu.
Unbelievable. Terrible. Horrible
Dr. Woodward berusaha ramah. Ia ingin menetralisir suasana.
"Ok then, let's start overl!
"Maafkan aku atas kejadian semalam, Anak Muda. Saya dengar suhu drop sampai minus enam belas, bagaimana kalian bisa bertahan? OutrageousU Tapi jangan khawatir, Erika akan membawa kalian kembali ke Brugge dan membereskan semua persoalan dengan Simon, ok?" Erika menanggapi tanpa ekspresi.
"Istirahatlah, besok kembali lagi. Seminggu ini kita akan membuat term of reference riset kalian. Sabtu depan kalian bisa ke Sorbonne."
Mendengar kata Sorbonne, kerak-kerak es yang lengket di dinding hatiku berderak pecah dan meleleh.
***
Bersama Erika kami kembali ke Brugge. Di jalan, Erika tak banyak bicara. Ia konsentrasi menyetir dengan sikap tubuh penuh tanggung jawab pada keselamatan penumpang. Kami sampai di apartemen Brugge. Di pintu apartemen, kami tak perlu memencet-mencet bel konyol itu.
Di kantor Van Der Wall, Erika menolak dipersilakan duduk. Aku dan Arai berdiri di belakangnya.
"Aku tak punya banyak waktu!" tegas Erika.
"simon, dengar ini baik-baik. Sediakan akomodasi lengkap untuk orang-orang ini."
Kami bersorak dalam hati.
"Bantu semua keperluan mereka dan registrasi-kan mereka segera ke Alien PoliceV
Pria Belanda itu mengerut di balik meja. Rasakan olehmu, John Wayne jadi-jadian!
"Hari ini juga! Dan semua yang kaukerjakan harus kaulaporkan padaku paling lambat pukul tiga."
Mana lagak tengikmu sekarang? Mana segala teorimu tentang sistem-sistem?
"Kalau terjadi lagi peristiwa seperti semalam, kau akan berurusan denganku!"
Van Der Wall beringsut-ingsut di kursinya.
"Paham?!"
Kawan, itulah contoh efisiensi Skandinavia. Tak heran bangsa Viking berulang kali menindas bangsa-bangsa lain di Eropa. Sementara kami menciut di belakang Erika. Tak heran bangsa kita tertindas selama tiga ratus lima puluh tahun.
***
MOZAIK 13: Nyonya Besar
Seminggu penuh kami bekerja keras merumuskan terms riset. Jika ada sedikit waktu, kami menghambur ke La rue de L'etuve, melihat patung bocah lucu yang sedang pipis: manekken pis, aikon pariwisata Belgia pahatan Jerome Duquesnoy tahun 1619. Belum ke Belgia kalau belum melihat patung anak kecil gembrot yang tingginya hanya sekitar setengah meter ini.
Brussel adalah kota tua yang indah, senyawa cita rasa Belanda yang fungsional dan Prancis yang berseni. Palais Des Beaux Arts dan pusat jajan yang ditata artistik di seputarnya, membuktikan bahwa kaki lima tidak harus kumuh dan mengganggu. Tetapi kami tak peduli dengan semua itu karena pikiran kami tertuju pada Prancis.
Sabtu malam, naik bus Euroline, kami melesat ke Prancis. Sepanjang jalan aku melamun. Seminggu sudah kami di Eropa. Sebenarnya belum apa-apa perjalanan kami. Bentuknya baru seperti huruf S yang tak sempurna, melintasi tiga negara yang saling bersambung Belanda, Belgia, dan Prancis tapi kami telah berjumpa dengan gadis secantik super-model: Famke Somers, seorang John Wayne wannabe, seorang gadis Skandinavia yang efisien, dan seorang doktor ekonomi pejabat tinggi Uni Eropa. Pun telah kami rasakan tikaman maut suhu dingin Laut Utara. Pelajaran moral nomor sepuluh dapat dipetik dari semua itu, yaitu jangan sekali-sekali datang ke Eropa pada bulan Desember.
Bus melaju, sopirnya saksama menyiasati jalan bersalju. Meretas ke selatan, kami melewati tempat-tempat yang semakin lama semakin Prancis: Liege, Marche, Bastogne. Rumah-rumah penduduk sepi menyendiri dan pertanyaan mengerumuniku: bagaimana kota-kota itu jatuh dan bangun dalam masa perang Eropa? Bagaimana rasanya berada dalam tarik-menarik budaya Belanda dan Prancis? Bahasa apa yang mereka pakai? Mengapa bahasa bisa berbeda padahal hanya terpisah sejauh tetangga? Inikah akibat kutukan seribu bahasa dari Tuhan pada kaum hedonis Babylonia, karena telah kurang ajar membangun tangga menuju surga? Apakah Njoo Xian Ling tersembunyi di salah satu rumah yang temaram itu?
Aku berusaha tidur, namun sejak bertolak dari Brussel aku dan Arai tak dapat memejamkan mata. Sebabnya jelas, karena mimpi perjalanan ke Prancis telah bersemayam dalam kalbu kami selama bertahun-tahun. Sulit kupercaya bahwa aku duduk dalam bus ini, menjalani kenyataan mimpi itu dan tak lebih dari empat jam lagi kami akan sampai di Prancis!
***
Prancis belum bangun ketika kami tiba di terminal bus Gallieni. Sepi. Di sudut-sudut terminal, di bantaran lorong-lorong menuju platform kereta underground, para imigran gelap membenahi sleeping bag-nya. Sebagian duduk terkantuk-kantuk, tampak lelah berjuang di metropolitan Paris.
Kami bergegas menuruni tangga yang curam menuju metro, kereta underground. Seorang pria berkulit gelap meneguk kopi dari cangkir besar dalam sebuah booth persegi berjeruji. Ia pasti telah lama menjadi penjual tiket sehingga menyatu dengan perabot dalam booth. Setiap benda yang ia perlukan berada dalam jangkauannya. Ia menerima kami sebagai pembeli tiket pertama. Ia ramah dan aku langsung terkena imbas pertikaian ratusan tahun Inggris dan Prancis. Apa pun yang kutanyakan dalam bahasa Inggris, dijawabnya dengan bahasa Prancis.
"Dua tiket, my friend. Tiket apa pun yang
menuju Menara Eiffel." Dia tergelak.
"Selamat datang di Paris, Monsieur."
Kami melompat ke dalam metro. Penumpangnya hanya beberapa gelintir orang berbaju tebal dan semuanya berwajah Asia dan Afrika. Kuduga mereka pembantu rumah tangga yang berangkat subuh-subuh menuju rumah majikannya di downtown Paris.
Aku mempelajari jalur metro yang terpajang di atas pintunya, membingungkan, karena hanya berupa sambungan titik-titik berwarna merah dan biru yang berawal dari Gallieni dan berakhir di satu tempat yang sulit diucapkan: Pont de Levallois-Becon. Metro meluncur deras di bawah tanah. Kami excited membayangkan kesan pertama melihat Eiffel tapi masih belum tahu cara menuju ke sana. Metro berhenti di sebuah stasiun, seorang wanita India berbaju sari masuk. Ia duduk di sampingku, aku bertanya.
"Eiffel? The Tower? Trocadero!" katanya.
"Di situlah kalian harus berhenti.
"Sampai Stasiun Havre Caumartin kalian ganti metro ke Pont de Sevres, lalu turun di Trocadero, ok?"
Kami mengikuti saran perempuan berbaju sari itu. Akhirnya kami sampai di Stasiun Trocadero. Tak ada siapa-siapa karena masih sangat pagi. Kami berjalan menyusuri lorong dan pelan-pelan menaiki anak-anak tangga untuk keluar dari bawah tanah. Kami menyeret koper besar dan menenteng ransel.
Arai berjalan di depanku, tiba-tiba ia memekik. "Subhanaliahl"
Aku berlari meloncati anak tangga menyusul Arai, ingin tahu apa yang terjadi. Aku terpaku melihat sosok hitam samar-samar dibalut kabut, tinggi perkasa menjulang langit seperti hantu. Menara Eiffel laksana nyonya besar. Tegak kekar, tak peduli. Puncaknya mencakar ketinggian yang tak terkatakan, serupa mahkota yang melayang-layang dalam buaian halimun. Ia pongah dengan kepala mendongak dan hanya mau bercakap-cakap dengan awan. Namun, kerlingnya tajam mengawasi setiap gerakan kecil di Eropa Barat. Kami terkesima di bawah roknya yang lebar. Semilir angin yang terhembus dari riak-riak emas Sungai Seine menyambut kami. Sungai itu terbelah dua ditudungi selang-seling jembatan-jembatan artistik berusia ratusan tahun. Damai dan tenang seperti air yang pelan-pelan dicurahkan. Katedral, avenue, taman-taman, ornamen, dan galeri-galeri menghiasi pemandangan kiri kanan kami, harmonis memeluk kaki sang nyonya besar berkaki empat itu. Kudekati Eiffel, kusentuhkan tanganku padanya. Ia masih tak peduli. Apalagi sekarang, ia makin cantik karena matahari merekah menghangatkan lengan- lengan perkasanya yang hitam berkilat-kilat. Kawan, mimpi-mimpi telah melontarkan kami sampai ke Prancis.
***
OZAIK 14: Paradoks Pertama
Maurent LeBlanch nama perempuan itu. Tiga puluh tahunan. Tipikal ibu muda saja. Kalau dinilai dari wilayah perut dan lingkar pinggangnya yang mulai berebut menonjolkan diri, barangkali ia sudah beranak satu atau dua, atau boleh jadi ia salah satu pasangan yang menikah dan hidup bersama, tapi tak berminat punya anak. Suatu pilihan gaya hidup yang sedang booming di Prancis. Konon pemerintah republikan pening dibuat gaya hidup ini karena persentase kelahiran native Prancis merosot tajam.
"Lama-lama bangsa ini bisa punah," ujar seorang nasionalis di sebuah tabloid.
Titouan Bernarzou dan Isabelle Copernic, yang telah seminggu ini menjadi sahabat baik kami di Apartemen Mallot, berpendirian lain.
"Anak?
"Ughhhh ... no way, man ...."
"Ngompol, basah, lengket, bau, ribut, dan sangat egois!" Isabelle bersabda.
Titouan menyambung: Repot bukan main dan mahalnya minta ampun!
Isabelle retorikal; Kausangka murah punya anak?
Titouan pesimis: Di zaman edan ini kriminalitas di mana-mana, anak sangat mungkin jadi korban kejahatan. Lebih sedih lagi, sangat mungkin ia sendiri jadi penjahat!
Kompak betul pasangan itu. Tak heran mereka harmonis hidup bersama tanpa anak selama lima belas tahun. Mereka memenuhi kualifikasi kebahagiaan perkawinan versi Oprah: kesamaan pandangan.
Aneh, mengapa mereka gamang soal sumber daya? Titouan adalah fotografer profesional, kontributor Maison de la France, dan Isabelle seorang /iterary agent yang ternama, tugasnya menilai naskah-naskah sastra, mendesain intellectuat framework sebuah diskusi buku, sampai mengurusi beberapa penulis kondang Prancis. Di sisi lain, jaminan sosial sangat bagus bagi warga Prancis.
Lalu di tanah air? Kriminalitas mengganas, jaminan sosial amblas, pendapatan per kapita terjun bebas, tapi bayi terus-menerus lahir. Rajin sekali kita beranak. Di Apartemen Mallot kutemukan paradoks pertama.
***
Maurent Leblanch membuyarkan lamunanku tentang paradoks. Ia hilir mudik mengamati apartemen kami.
"Kuharap kalian betah di sini. Jangan lupa ke kantor saya besok, pukul dua, untuk membereskan administrasi."
Maurent akan selalu berhubungan dengan kami karena ia adalah Liaison Officer, petugas penghubung kami dengan Sorbonne. Artinya, sejak awal, kesan yang baik harus ditunjukkan padanya.
Maurent memandang ke luar jendela. Jika diamati dengan teliti, ia adalah perempuan yang atraktif.
Pertama, aku tertarik pada tasnya. Diam-diam, aku mengembangkan semacam keahlian menilai perempuan dari tas mereka. Tas itu Fendi, maka jelas ia punya cita rasa, juga punya uang. Tasnya bergaya clutch, talinya pendek dan dipakai dengan cara disandangkan di bahu. Body tas diapit di bawah ketiak, sehingga pemakainya seperti mengokang senapan. Pengamatanku menunjukkan bukti bahwa perempuan yang senang memakai tas clutch seperti itu memiliki gabungan kepribadian maskulin dan feminin. Mereka selalu siap, terbuka namun menjaga jarak, berpikir untuk menilai situasi, dan penuh antisipasi. Mengesankan.
Kedua, adalah kenakalan yang kusembunyikan jauh di dalam hati, sehingga Maurent sendiri tak tahu bahwa aku selalu berusaha agar dia menyebut namanya berulang-ulang.
"Jadi, besok kami harus menjumpai Anda aku berlagak mengingat sebuah nama, sambil
menunjuknya.
"Maurent jawabnya riang.
Mengingat tugasnya yang runyam di Sorbonne, ia tergolong masih muda. Mengurus ratusan mahasiswa baru dari berbagai bangsa dengan beragam ekspektasi, tentu memusingkan. Dapat dikatakan ia cocok untuk jabatan itu karena ia berpembawaan gembira.
"Baiklah, kami akan ke kantor Anda. Pada petugas resepsi kami akan mengatakan ingin menjumpai
Anda ... siapa? Aduh, maaf, cepat sekali saya lupa ii
"Maurent jawabnya lagi, tak berkurang riangnya.
Ah, ia sebutkan lagi namanya! Aku senang karena orang Prancis membunyikan ng secara sengau pada setiap akhiran n. Morong, begitulah pendengaranku. Ng sengau itu meyakinkanku bahwa aku benar-benar sedang berada di Prancis.
"Tapi Madame, pasti banyak pintu di sana. Apakah tertempel nama Anda di pintu? Sehingga kami mudah menemukannya? Bagaimana nama Anda tertera di sana?"
"Maurent, Maurent LeBlanch." Indah bukan main. Morong LeBlang, sengau, beradab, terpelajar, dan sangat berkelas.
***
MOZAIK 15: Aku Dan Anggun C. Sasmi
Apartemen Mallot yang kami tempati terletak dekat Stasiun Gare de Lyon, salah satu stasiun antarnegara. Apartemen itu memberi kami satu keistimewaan yang manis karena jika jendelanya dibuka, menjelmalah nyonya besar Eiffel yang congkak dan tak punya urusan pada siapa pun itu.
Kalau Eiffel dianggap sebagai jantung hati Paris, Gare de Lyon, yang tentu saja musti dibunyikan dengan sedikit gaya sengau Gard' Liong, boleh dianggap sepelemparan batu saja dari jantung Paris. Aku selalu menyukai ide tinggai dekat dengan pusat kota. Ide itu kuanggap sebagai tantangan bagi orang yang selalu ingin berada di tengah pusaran kejadian. Semua itu memberiku kesan bahwa aku memiliki informasi yang selalu ter-up date.
Dengan mudah, kami dapat menemukan kantor Maurent LeBlanch. Kemudian ia mengajak kami melakukan tur orientasi. Kami berjalan melewati sebuah selasar yang dibangun pada Abad Pertengahan. Ia menjelaskan bahwa ruang kuliah di kiri kanan selasar itu pernah dihinggapi Montesquieu, Voltaire, Pascal, Louis Pasteur, Rene Descartes, Derrida, dan Beaudelaire. Hatiku bergetar. Nama-nama itu mengintimidasiku, menuntut dedikasiku sebagai kompensasi privilese belajar di universitas yang melegenda ini. Nama-nama itu memaksaku mengakselerasi metamorfosisku dari seseorang yang selalu setengah-setengah melakukan sesuatu, dan hanya tertarik dengan aspek petualangan dari apa pun, menjadi pribadi yang harus siap memikul konsekuensi sebagai seorang ilmuwan. Sungguh menyesakkan. Aku sendiri belum yakin apakah akan mampu mengemban komitmen itu, bahkan belum yakin apakah aku memiliki kualifikasi yang memadai untuk menyelesaikan risetku. Tapi aku yakin akan satu hal, bahwa ketika melewati selasar itu, mimpi kami menginjakkan kaki di atas altar suci almamater Sorbonne telah menjadi kenyataan. Ingin segera kukabarkan berita ini kepada Pak Balia, guru sastra SMA kami dulu, yang pertama kali meletupkan cita-cita agung ini padaku dan Arai.
y-,
Minggu berikutnya kami mulai matrikulasi dan terjebak dalam rutinitas yang hanya berisi tiga macam kejadian: kuliah, menonton pertunjukan seni, dan belajar di apartemen. Baru kali ini kutemukan rutinitas yang tak membosankan, karena Paris adalah gelimang pesona. Sering pulang kuliah kami mengambil jalur memutar untuk singgah di berbagai studio, galeri, dan teater. Ekspresi seni diumbar sampai tandas, bahkan pengamen jalanan tampil atraktif. Penduduk Prancis memiliki cufture /itterair, melek budaya, dan bercita rasa tinggi.
Paris, selalu memberi kejutan yang menyenangkan. Pulang kuliah sore ini kami iseng mengunjungi toko musik di kawasan elite L'Avenue des Champs-Elysees. Kami meloncat-loncat girang karena di antara jejeren compact disk musisi dunia tampak album Anggun C. Sasmi dengan lagu yang dibawakan dalam bahasa Prancis. Aneh, untuk pertama kalinya rasa patriotik membuncah dalam diriku, semuanya karena seorang vokalis dan saat aku berada di negeri orang. Perasaan ini amat sulit kutumbuhkan selama aku hidup di bawah naungan Burung Garuda Pancasila.
Anggun membuatku bangga menjadi orang Indonesia. Apalagi pulangnya, di dalam metro kami berkenalan dengan sekelompok gadis Prancis. Begitu tahu kami orang Indonesia, mereka serentak berteriak.
"O Ja ta\\ Anggung! Anggungl!"
"Voulez-vous me presenter Anggung?" Maksudnya: Mau nggak mengenalkan kami sama Anggun?
Kami sering iseng menanyakan pada orang Prancis apakah mereka mengenal Anggun. "La Neige au Sahara1" pekik mereka. Semua orang mengenal perempuan Jakarta nan hebat itu. Jika aku belajar sampai dini hari dan radio-radio FM Paris mengudarakan lagu "La Niege au Sahara", aku berhenti membaca, kututup bukuku, kupejamkan mataku.
Si la poussiere emporte tes reves de iumiere
Je servii ta lune, ton repere
Et si le soleil nous brule
Je prierai qui tu voudras
Pour que tombe la neigi au Sahara
Jika harapanmu hancur berkeping-keping
Aku akan menjadi bulan yang menerangi jalanmu
Matahari bisa membutakan matamu
Aku akan berdoa pada langit
Agar sal}u berderai di Sahara
Suara Anggun membawaku melayang. Aku teringat akan bangsaku, bangsa yang gemar membanggakan diri, padahal babak belur karena carut marut. Tapi aku ingin pulang. La Niege au Sahara: Snow on The Sahara adalah metafora hidupku. Anak Melayu pedalaman di Paris, tak ubahnya salju di Sahara. Lagu itu selalu diputar radio-radio lokal, menggema seantero Prancis. Anggun telah mengharumkan nama bangsa. Ia satu-satunya artis Indonesia yang punya internationaf fan club. Anggun adalah artis kesayanganku, selain Rhoma Irama tentu saja.
***
MOZAIK 16: Mengapa Kau Masih Tak Mau Mencintaiku?
Beberapa hari ini aku merasa tak enak hati, tanpa alasan jelas. Gejala ini semacam sixth -sense yang tumpul. Bisa tak berarti apa-apa, namun dalam banyak kejadian, sesuatu yang buruk akan menimpaku. Arai pamit ingin pergi ke suatu tempat yang tak mau ia katakan. Janggal. Sebentar saja, katanya. Petaka.
Malam menjelang, aku menunggu di apartemen. Arai tak kunjung pulang. Tak pernah sebelumnya ia begini. Semalaman aku menunggu, tak ada kabar. Kuhubungi teman-temannya, nihil. Aku waswas tapi tak tahu harus mencari ke mana. Pagi-pagi kepalaku pening karena tak tidur.
Aku tergopoh-gopoh ke kampus. Kuharap ia ada di Departemen Biologi, sedang sibuk mengaduk-aduk zat ajaib berwarna hijau dalam tabung labunya, atau ia ketiduran di laboratorium. Tapi ia tak ada. Kutanyai semua orang, bahkan kutanyai supervisor risetnya, tak seorang pun tahu. Gelap.
Arai raib.
Aku naik ke tingkat tertinggi gedung Sorbonne. Dari atas kulihat belantara gedung dan Sungai Seine yang berkelak-kelok, sayup sampai di luar batas pandang. Aku cemas, ke manakah Arai?
Aku pulang ke apartemen, berharap Arai sudah menunggu di sana, mengejutkanku di pintu, tertawa, menggodaku dengan Jenaka, seperti biasanya. Namun, Arai tak tampak batang hidungnya. Sudah sore, nyaris dua puluh empat jam Arai hilang. Haruskah kulaporkan pada polisi?
Ini perkara serius. Bukan baru sekali kubaca di Internet berita penculikan orang Asia oleh sebuah sindikat, organisasi-organisasi rahasia, atau penganut sekte pemuja setan. Korbannya dipenggal atau dibedah untuk dipreteli ginjalnya, bola matanya, jantungnya, atau disedot sumsum tulang belakangnya, untuk dijual atau untuk ritual sesat. Atau, jangan-jangan, tanpa sepengetahuanku, Arai terlibat kegiatan tertentu di tanah air, sehingga ia diciduk di Paris, diracun dan dilenyapkan? Hatiku ngilu.
Bayangan-bayangan seram membuncah. Aku menghambur keluar apartemen, tak tentu arah seperti ayam diuber. Aku menyelusuri Jalan Hector Mallot. Tiba-tiba, aneh sekali, dari radio-radio kecil para penjual bunga aku mendengar lagu yang sama. Semua radio membunyikan lagu yang sama! Mana mungkin? Kusimak lagu itu sampai usai, makin aneh! Lagu yang sama itu diulang lagi, semuanya sama! Mustahil!
This is the end my beautifiiljtiend It hurts to setyoujree The end ofnights we tried to die This is the end....
Mengapa semua stasiun radio mengudarakan lagu yang sama? Aku beranjak, syair itu membuntutiku. Aku berlari ketakutan menuju Diderot, menyembunyikan diri dalam keramaian, namun radio di kios-kios koran di Diderot juga menyiarkan lagu yang sama. Aku dikepung lagu mistik, syairnya berdengung di telingaku seperti tiupan mantra dari mulut iblis. Apakah ini hanya pendengaranku? Mungkinkah karena kalut kehilangan Arai aku menjadi sinting?
Aku panik, berlari pontang-panting ke stasiun metro, menerobos kerumunan orang yang heran melihatku. Aku melompat ke dalam metro. Apa yang terjadi padaku? Pada Arai? Perempuan yang duduk di sampingku tak memedulikanku. Ia tepekur menghayati lagu dari headphone. Kusimak lagu yang samar mendesis dari headphone itu, dan aku hampir pingsan karena yang kudengar juga lagu yang sama tadi! Aku gemetar, berkeringat dingin. Bertahun-tahun jarum jam kewarasan telah berdetak dalam kepalaku dan sore ini jarum itu mati. Aku telah menjadi orang gila.
Wanita itu hanyut bersama syair-syair setan yang menyiksaku. Wajahnya terpejam lalu air matanya meleleh. Ia sedih. Mengapa ia menangis? Kusimak lagi sayup syair yang berbisik dari headphone, kucoba mengenali suara penyanyinya. Sekonyong-konyong lonceng berdentang keras dalam kepalaku. Aku langsung siuman dari tamparan maut sakit gila. Jarum kewarasanku berdetak lagi.
Aku paham mengapa hari ini semua radio di Paris menyiarkan lagu yang sama. Di stasiun berikutnya aku turun dan berlari melintasi beberapa blok bangunan sampai di sebuah taman yang luas dengan gapura logam antik bertulisan Cimetiere du Pere-Lachaise. Taman ini adalah kuburan angker berusia ratusan tahun. Aku menyelinap di antara celah nisan yang berdesakan, tinggi menjulang, berukir-ukir kata latin, hitam berlumut-lumut. Bulu tengkukku meruap melihat nisan kukuh bergaya Roman Catholic, di atas salib balok beton tertulis nama komponis Frederick Chopin. Hampir dua ratus tahun ia telah bersemayam di situ.
Banyak nisan yang patah, tertungging menghujam tanah, atau tersandar pada nisan sebelahnya. Burung-burung gagak bertengger, berkaok-kaok. Aku teringat film dedemit The Omen. Kabut hanyut membelai burung-burung neraka itu. Aku mencium bau harum, bercampur busuk. Seorang Shaman pernah mengatakan padaku, bau hangus, harum, dan busuk adalah pertanda kehadiran lelembut.
Kudengar sayup senandung, seperti nyanyian dan ratapan. Aku melangkah ke sana. Semerbak aroma dupa dan harum bunga menyambutku. Aku bergabung dengan orang-orang yang berpakaian seperti Hippies. Mereka memegang lilin dan menaburkan bunga pada sebongkah pusara. Sebaris nama terpahat di pusara itu: Jim Morrison. Hari ini, tiga Juli, peringatan kematian Jim Morrison, seorang rocker flamboyan, pentolan The Doors, dewa bagi penganut mazhab antikemapanan.
Ratusan penggemar Morrison dari berbagai belahan dunia bersimbah air mata. Mereka melakukan penghormatan pada sang legenda dengan caranya masing-masing. Seorang lelaki tua, dengan kecapinya, membawakan lagu abadi Jim: "End of Night", lagu yang sepanjang hari ini diputar radio-radio Paris. Seorang wanita kulit hitam meniup saxophone melantunkan "Amazing Grace". Para hadirin sesenggukan. Aku terhanyut dalam kesedihan sekaligus takjub dengan kharisma almarhum. Seorang pria Jepang memainkan lagu Jim yang lain "Light My Fire" dengan harmonika. Silih berganti pengagum Morrison mengungkapkan perasaannya. Hening sejenak, lalu seorang pria kerempeng berpakaian rombeng seperti gipsi, gembel lebih tepatnya, tampil ke depan. Wajahnya sendu. Ia tampak sangat terpukul atas kepergian artis pujaan hatinya. Lama ia tepekur kemudian pelan-pelan ia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya. Napasnya naik turun menahan rasa. Ia membentang kertas itu dan membaca puisi dengan suara garau penuh tekanan. Dipekikkannya untaian kata yang pedih sambil menepuk-nepuk dadanya.
Puisi untuk satu-satunya cinta dalam hidupku' Zakiah Nurmala....
Di sini! Disaksikan pusara Jim Morrison, kukatakan padamu! Rampas jiwaku! Cuti masa depanku! Jarah harga diriku! Rampok semua milikku! Sita!
Sita semuanya!
Mengapa kau masih tak mau mencintaiku?!
Para peziarah, yang tak mengerti bahasa Indonesia, bertepuk tangan mengapresiasi puisi yang dibawakan Arai sepenuh jiwa. Tak ada yang paham kalau puisi itu bukan untuk Jim. Namun, Jim Morrison dan Zakiah Nurmala adalah belahan hati Arai. Keduanya telah menempati kamar yang menyesakkan dadanya. Hari ini, Arai mengguncang-guncang kamar itu dan cinta, rindu, harap dan putus asa yang lama bertumpuk di sana, terburai-burai, tumpah ruah di atas pusara Jim Morrison.
***
MOZAIK 17: The Pathetic Four
sejak dulu, aku senang mengamati kehidupan. Aku selalu tertarik menjadi semacam life obser-ver, sejak aku menemukan fakta bahwa sebagian besar orang tak seperti bagaimana mereka tampaknya, dan begitu banyak orang yang salah dipahami. Di sisi lain, manusia gampang sekali menjatuhkan penilaian, judge minded. Aku suka mempelajari motivasi orang, mengapa ia berperilaku begitu, mengapa ia seperti ia adanya, bagaimana perspektifnya atas suatu situasi, apa saja ekspektasinya. Ternyata apa yang ada di dalam kepala manusia seukuran batok kelapa bisa lebih kompleks dari konstelasi galaksi-galaksi dan Kawan, di situlah daya tarik terbesar menjadi seorang life observer. Aku bergairah menemukan kelasku di Sorbonne. Mahasiswa-mahasiswa dari beragam bangsa di dalamnya membuat kelasku seperti laboratorium perilaku. Kelasku bukan sekadar ruang untuk belajar science tapi juga university of life.
Selalu berkoar-koar seperti angsa trumpeter, tak lain orang-orang Inggris, The Brits. Mereka paling meriah dan bermulut besar. Belum selesai dosen bicara mereka tunjuk tangan; bertanya, berteori, membantah, mengeluh, protes, atau terang-terangan mengajak bertengkar. Namun, meski mereka provokatif, konfrontasi mereka beradab. Ini tak lain produk sekolah yang membiasakan mereka berbeda pendapat secara positif sejak usia dini.
Selain itu, kutemukan catatan yang objektif bahwa dari dua ratus orang paling berpengaruh dalam sejarah manusia, sebagian besar orang Inggris, tentu Isaac Newton dan Adam Smith termasuk. Sebaliknya, dari buku Crank and Crankpots hasil riset Margareth Nicholas, dikabarkan pula bahwa sebagian besar manusia paling eksentrik di muka bumi ini, juga The Brits. Bagaimana makhluk-makhluk dari pulau kecil yang bentuknya seperti tatakan kue sempret itu dapat berbuat hebat begitu rupa? Orang Inggris, karena bakat dan nyentriknya, selalu mendapat tempat tersendiri di hatiku.
Naomi Stansfield, lebih senang dipanggil nama belakangnya Stansfield, dialah dedengkot The Brits. Seperti kebanyakan orang Inggris, sikapnya primordial. Perangai itu ia kibarkan lewat makian British kebanggaannya: bollock! Jika mood-nya sedang encok, ia semburkan: bloody moron! Stansfield seorang perempuan yang trendy. Orang Inggris sendiri menjuluki orang seperti dia sebagai a dedicated foliower o f fashion, orang yang berkejar-kejaran dengan mode, kira-kira begitu.
Setiap melenggang ke dalam kelas, aku tahu, Stansfield menikmati tatapan kagumku pada pakaiannya. Ia tersenyum berbunga-bunga.
"It's a Mooks, Man," bisiknya sembari memamerkan jaket barunya.
Seperti kebanyakan kawula muda Londonesse, Stansfield senang berdandan sporty: sepatu kets, kaus dengan nomor besar bintang sepak bola favoritnya, dan jaket training yang tak dikancingkan. Nyatanya ia memang hooligan klub Queens Park Ranger. Banyak yang heran bagaimana aku bisa akrab dengan Stansfield yang sengak itu. Padahal rahasianya gampang, yaitu pujian. Pujian bagi wanita tertentu, tak ubahnya bulu ketiak Benyamin Tarzan Kota, di situlah titik lemahnya.
Mahasiswa yang doyan meladeni The Brits hanya pemuda-pemudi dari negeri Paman Sam. Kepala gengnya Virginia Sue Townsend. Pernahkah Kawan mendengar istilah Vermont Stubborn? Alkisah, ladang pertanian di Vermont, negara bagian keempat belas di Amerika, berkarang-karang. Hanya kemauan baja yang dapat menaklukkannya. Karena itu, orang-orang Vermont terkenal keras kepala hingga lahir julukan Vermont Stubborn. Nah, Virginia lahir dari keluarga Vermont tulen.
Townsend sadar betul kalau dirinya mirip Jen-nifer Aniston, maka ia habis-habisan meng-copy janda kembang itu. F word merupakan ciri khas makiannya, trade mark-nya. Sungguh tidak santun.
Jika Stansfield mengumpatnya Bloody Aniston Moron, Townsend membalasnya yeah, yeah, yeah, Stansfield, ha ... f@$#king Brit! Go to f@$#king hell, yeah, dengan logat British yang dilebih-lebihkan untuk mengejek.
Ada empat orang Amerika di kelas kami dan kaum Yankee ini bertabiat sepadan dengan leluhurnya, orang-orang Britania itu, tapi terdapat sedikit perbedaan. Dalam diskusi, kelompok Amerika cenderung mendominasi, intimidatif, penuh intrik untuk mengambil alih kendali, lalu mem-bangun aliansi. Perangai yang tak asing, bukan?
***
Prestasi akademik The Brits and Yankee fluktuatif. Sesekali paper mereka mengandung terobosan yang imajinatif. Misalnya, ketika mengobservasi perilaku konsumen lewat konstruksi kubus, mereka membuat survei yang kreatif untuk mendeteksi perubahan paradigma utilitas konsumen dari waktu ke waktu. Ide-ide cemerlang mereka sampai dapat mengubah silabus mata kuliah perilaku konsumen. Dosen sering menghargai mereka dengan nilai tres bien alias bagus sekali.
Selalu duduk di tempat duduk yang sama di tengah kelas, pasti hadir sepuluh menit sebelum acava, taktis, metodikal, dan sistematis, adalah beberapa gelintir mahasiswa Jerman: Marcus Holdvessel, Christian Diedrich, dan yang paling istimewa, seorang wanita Bavaria nan semlohai,
Katya Kristanaema. Mereka tak pernah ribut, sering kikuk, layaknya orang yang sedang mengumpul-ngumpulkan kepercayaan diri. Ini pasti akibat hujatan seantero jagat pada tingkah polah Paman Fuhrer, pria berkumis Charlie Chaplin itu, dalam Perang Dunia Kedua. Jika bicara, mereka seperti berbisik-bisik saja. Mereka sangat tenang, quite, sepi, tenteram, persis kota kecil Purbalingga, pukul sepuluh malam.
Selayaknya mesin-mesin otomotif buatan negerinya, mereka adalah pribadi-pribadi yang penuh antisipasi. Motto mereka Tiga P: Preparations Perfect Performances, maksudnya, penampilan yang sempurna tak lain karena persiapan yang matang. Mereka tak mau melakukan sesuatu tanpa ancang-ancang. Tergopoh-gopoh tak keruan, bukanlah nature mereka.
Katya, Marcus, dan Christian sangat unggul dalam materi-materi hitungan. Matematika, statistika, dan analisis kuantitaif seperti mengalir dalam darah mereka. Paper mereka jarang menerobos namun intensitasnya mencengangkan. Kajiannya atas konstruksi kubus tadi tak sekadar soal utilitas, tapi sampai pada pembuktian geometri dimensional. Itulah buah manis pendidikan dasar berstandar tinggi di Jerman sana. Ide mereka lebih besar daripada ide The Brits dan Vankees, yaitu bukan hanya mengubah silabus mata kuliah perilaku konsumen, melainkan orang-orang Jerman ini menyarankan untuk sekalian mengubah silabus ilmu ekonomi. Nilai mereka tak pernah kurang dari distingue, artinya excelient, lebih tinggi dari tres bien. Ketiga orang itu adalah orang-orang terhormat, para atasan di kelas kami.
Namun, majikan kami yang sesungguhnya adalah dua orang gadis pendiam yang agak ketinggalan zaman di belakang sana. Nilai mereka jauh di atas tres bien atau distingue. Nilai mereka Parfait1. Sempurna!
Jika menulis paper tentang observasi perilaku konsumen melalui kubus, mereka membongkar kubus itu, sama sekali tak memakainya, lalu mencipta model mereka sendiri. Kecerdasan mereka tak terkejar siapa pun. Keduanya sudah digadang akan mengantongi summa cum taude jika mudik nanti. Ide mereka lebih gila lagi, tidak sekadar mengubah silabus ilmu ekonomi seperti usulan Katya, Marcus, dan Christian, tapi mereka ingin mengubah Universite de Paris, Sorbonne!
Saat dosen menjelaskan, kedua gadis itu mendongakkan kepalanya yang besar berumbai-rumbai kuning, matanya terang, telinganya terpasang, jidatnya serupa radar mentudungs microwave, siap menangkap ilmu dalam frekuensi berapa pun. Siapakah gerangan kedua supergenius yang dapat melibas panser-panser Jerman itu? Oh, Kawan, ternyata mereka berasal dari negeri terompah kayu yang dulu pernah "mengasuh" kita: Holland!
Saskia de Rooijs dan Marike Ritsema, begitu namanya. Saskia dan Marike tak pernah mengangguk-angguk sok tahu. Hanya sesekali keningnya berkerut, pasti sedang tak setuju dengan ucapan dosen, tapi tak lantas menunjuk untuk protes seperti aksi The Brits dan Vankees. Dandanannya pun konvensional untuk ukuran Eropa pada masa milenium ini. Mereka tak peduli soal itu. Niet belangrijk tidak penting-ujar mereka kalem. Jarang ada suara bersumber dari kedua perempuan Netherlands itu. Mereka sangat sepi, jauh lebih sepi dari orang-orang Jerman tadi. Mereka seperti Purbalingga pada pukul dua belas, malam Jumat Kliwon.
Hanya Abraham Levin, V'hudit Oxxenberg, Yo-ram Ben Mazuz, dan Becky Avshalom yang sesekali dapat menyaingi Saskia dan Marike. Orang-orang Yahudi itu sangat genius. Sering aku menduga kalau Y'hudit dan Yoram sebenarnya lebih pintar dari Saskia dan Marike, tapi kedua orang itu tak terlalu ambil pusing soal nilai. Mereka tak suka perkara sepele. Mereka hanya tertarik pada sesuatu yang besar dan revolusioner. Abraham Levin adalah ahli matematika ekuilibrium paling jempolan yang pernah kukenal. Ia memiliki embrio kecerdasan Nobelis John Nash. Y'hudit, Yoram, dan Becky memperlakukannya seperti seorang imam. Meskipun baik hati, mereka menjaga jarak dengan siapa pun. Pada jam istirahat mereka berkumpul di bangku taman. Levin bicara dengan tenang sambil membelai cambangnya yang telah dipelintir. Mereka selalu seperti sedang merencanakan sesuatu. Ide mereka lebih besar dari ide Saskia dan Marike yang ingin mengubah Universitas Sorbonne. Ide orang-orang Yahudi itu adalah mengubah Prancis.
Pribadi-pribadi yang paling mengesankan diperlihatkan para tuan rumah, orang-orang Prancis; Charlotte Gastonia, Sylvie Laborde, Jean Pierre Minot, dan Sebastien Delbonnel. Mereka seperti selalu terinspirasi semangat revolusi Prancis liberte, egalite, fraternite kebebasan, persamaan, dan persaudaraan maka mereka memandang tinggi persahabatan. Aku memahami karakter mereka waktu kami menonton teater Jean de Florette yang diangkat dari karya sastra klasik Marcel Pagnol. Kisahnya tentang seorang pria bongkok Jean Cadoret yang jujur dan berjuang mati-matian menghidupi keluarga sebagai petani. Pria malang ini selalu dicurangi tetangganya. Aku tak hanya terpesona pada akting Gerard Depardieu tapi terpana melihat Charlotte dan Syvie yang berderai-derai air matanya sejak dirigen orkestra baru saja mengibaskan tangan untuk mengambil nada empat per empat. Esoknya Charlotte dan Sylvie bolos kuliah. Mereka ke Provence, mengunjungi tempat tinggal keluarga Cadoret di desa tandus selatan Prancis, tanpa peduli apakah kisah Jean de Florette nyata atau fiksi. Kawan, itulah yang dapat kukatakan tentang orang Prancis dan nirwana seni yang bersemayam dalam hati mereka.
Kemudian, tak kalah menarik adalah beberapa mahasiswa Tionghoa dari Guangzhou dan Hongkong. Semuanya tampak seperti akuntan.
"Liu Hyuu Wong," kata salah dari mereka mengenalkan diri. "But, please my friend, call me
Eugene. Eugene Wong, that's my international name, ok?"
Nah, Kawan, baru kutahu kalau mereka selalu punya dua nama; lokal dan internasional. Eugene Wong, Heidy Ling, Deborah Oh, dan Hawking Kong, juga selalu berkumpul sesama mereka, komunal. Namun mereka broad minded, berpikiran luas, dan akrab pada siapa pun.
Sisanya selalu terlambat, berantakan, dan tergopoh-gopoh adalah The Pathetic Four empat makhluk menyedihkan penghuni jejeran bangku paling depan. Jika dosen menjelaskan, mereka berulang kali bertanya soal remeh-temeh, sampai menjengkelkan. Anak-anak ini melengkapi diri dengan perekam agar petuah dosen dapat diputar lagi di rumah. Norak dan repot sekali. Beginilah akibat penguasaan bahasa asing ilmiah yang memalukan dan efek gizi buruk masa balita. Jika ide mahasiswa negara lain demikian besar sampai ingin mengubah Prancis, ide The Pathetic Four sangat sederhana, yaitu bagaimana agar dapat nilai passabie yaitu cukup, lulus seadanya dengan nilai C-, tak perlu mengulang, sehingga dapat menghabiskan waktu sejadi-jadinya menonton sepakbola.
Ide lainnya adalah membujuk pemberi beasiswa agar menaikkan uang saku. Kenaikan itu disimpan untuk belanja sandang murah pada obral end season, maka pakaian musim semi dipakai saat musim salju, pakaian musim salju dipakai saat musim panas. Biasanya keempat orang itu menganggukangguk takzim saat menerima kuliah. Lagaknya seperti paham saja, padahal tak tahu apa yang sedang dibicarakan. Mereka itu Monahar Vikram Raj chauduri Manooj, Pablo Arian Gonzales, Ninochka Stronovsky, dan aku. Kami blingsatan, terbirit-birit mengejar ketinggalan.
***
MOZAIK 18: Katya
Monahar Vikram Raj Chauduri Manooj, sangat tak suka kalau nama panjangnya yang megah itu dipotong-potong. Namun, tentu saja menyusahkan untuk memanggil lima orang sekaligus hanya untuk menyapanya. Kami mufakat menyingkat namanya menjadi MVRC Manooj. Dia cukup puas. Persetujuannya ia nyatakan dengan menggoyang-goyangkan kepalanya, gemulai berirama, persis goyang kepala boneka anjing di atas dashboard.
Ia berkulit legam, kurus tinggi, dan berwajah Jenaka tipikal India. Bulu matanya lentik, lehernya panjang. Gaya berjalannya seperti orang ingin menari. Rupanya, ia memang seorang penari, penari goyang kepala yang piawai. Jika menari kepala, lehernya seperti engsel peluru: naik, turun, maju, mundur, patah-patah, menjulur-julur, dan berputar meliuk-liuk. Ditimpali dendang tabla, ia selalu menjadi hiburan di kelas. Kawan, goyang kepala itu bukan perkara sederhana, tapi semacam cutturat gesture. Jika MVRC Manooj menggoyang kepalanya terus-menerus, artinya ia sedang menghormati kawan bicaranya. Jika ia bergoyang tiga kali maksudnya; Apa maksudmu! Aku tak mengerti, Empat kali: Baiklah, akan kupertimbangkan. Lima kali mematuk-matuk cepat: Aku mau buang air\
Tadinya MVRC Manooj adalah juru tulis di kantor sensus Punjab. Ia beruntung mendapat beasiswa Unicef dan lulus admisi di Sorbonne.
Tapi Gonzales lebih Jenaka dari MVRC Manooj. Terutama karena pembawaannya yang gembira dan paras baby face-nya. Matanya adalah mata bayi. Mata bulat yang senantiasa tersenyum. Ia gemuk pendek, kakinya pengkor, berambut keriting tebal.
Gonzales berasal dari keluarga pandai besi di Guadalajara, kantong kemelaratan Amerika Utara. Ia mendapat beasiswa World Bank sebagai bagian dari program pengentasan kemiskinan Meksiko. Sebelum masuk ke Sorbonne, Gonzales memiliki dua profesi, yakni guru matematika SMA dan pelatih sepakbola untuk siswa Sekolah Luar Biasa. Jika dosen menjelaskan sesuatu yang runyam, ia melukis salib di dadanya sambil komat-kamit, "Mamma mia, mamma mia."
Sejak awal semester, Gonzales dan MVRC Manooj telah bersekutu dan Ninochka selalu mengekor ke mana pun mereka pergi. Ninoch, gadis kecil kurus ini, berasal dari Georgia, negara miskin yang baru memerdekakan diri dari cengkeram cakar beruang merah Rusia. Ninoch dapat beasiswa ke Sorbonne dengan cara yang aneh, yakni karena keahliannya main catur. Tapi tak tanggung-tanggung, ia adalah seorang calon grand master. Politisi Georgia sangat bangga akan memiliki grand master perempuan. Mereka menyemangati Ninoch dengan memberinya beasiswa ke Sorbonne.
Tampaknya Ninoch merasa minder bergaul dengan The Brits atau Vankees. Bukan hanya karena penampilan udiknya, sifat pemalunya, atau olahraga anehnya, tapi juga karena penyakit bengeknya yang parah. Ia selalu bersama The Pathetic Four, tempat segala hal yang marginal. Kami berempat adalah satu kelompok diskusi. Ketuanya Gonzales.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya, dan bangsa yang besar menurunkan sifatnya kepada warganya. Awal bulan, ketika baru menerima aiiowance beasiswa, MVRC Manooj dan Gonzales bertingkah laku seperti tak mengenal aku, Arai, dan Ninoch. Mereka melenggang dengan pakaian perlente, baunya wangi. Mereka tak sudi makan siang di kantin mahasiswa. Tapi hal itu hanya berlangsung sampai tanggal lima belas. Setelah itu mereka merengek-rengek minta diutangi untuk bisa hidup lima belas hari berikutnya. Tak jarang MVRC Manooj menggadaikan apa pun yang melekat di badannya. Awal bulan nanti ia akan kaya lagi dan kami akan berutang padanya. Gali lubang tutup lubang, mirip tabiat ibu pertiwi masing-masing.
***
Siang ini kelompok Jerman mempresentasikan tugas mereka: analisis industri otomotif Eropa. Penampilan Marcus Holdvessel dan Christian Diedrich sangat mengesankan. Marcus berdasi dan berjas lengkap seperti alumni Harvard menghadiri interview untuk satu posisi penting di Microsoft. Christian mirip Spiderman saat sedang menjadi orang biasa. Kedua pria ganteng ini dengan tertib membuka kancing jas jika duduk dan kembali mengancingkannya jika berdiri. Tentu saja dengan suatu gerakan yang terdidik. Namun, daya tarik sesungguhnya adalah ketua mereka: Katya Kristanaema. Katya mengangguk halus, memberi kode, ketiganya serentak memencet tombol jam tangan mereka, persis komandan pasukan elite menyamakan waktu dengan pasukan untuk operasi merebut gudang senjata. Presentasi dimulai.
Slide-slide presentasi mereka sangat hebat, berformat flash macromedia yang canggih sehingga begitu banyak substansi cerdas disajikan dalam waktu singkat, dengan sedikit kata saja. Kami terkagum, lalu sampailah mereka pada analisis master ptan industri otomotif Jerman. Christian mencabut konektor internet dari PC dan tanpa dikomando, Marcus menginstal transmitter kecil, menyambungkan konektor tadi pada transmitter, taptop, dan proyektor. Secara bersamaan Katya mengeluarkan handphone-nya, berbicara sebentar dalam bahasa Jerman, dan tiba-tiba muncul seseorang di layar.
"Hallo everyone”sapanya akrab. "Saya, Direktur Research and Development Mercedes Benz, siap memberikan second opinion atas analisis Katya, Marcus, dan Christian."
Hebat betul persiapan tim Jerman. Melalui teknologi video conference, mereka menghadirkan seorang pakar sekaligus eksekutif penting Mercedes Benz secara iive, reai time, langsung dari Munich.
"Bravo! Tres bien!" Profesor Antonia LaPlagia, dosen Manajemen Strategi yang terkenal galak, memuji tim Jerman.
"Apa pendapat kalian?" Tiba-tiba Antonia ber-balik dan menunjuk kelompok kami. Kami mengerut, tak tahu akan berkomentar apa. Berkomentar asal saja di kelas yang terhormat ini hanya akan menghina diri sendiri. Lebih baik diam daripada sok tahu. Antonia kecewa.
"Gonzales?"
Putra pandai besi itu tengah melamun dan mulutnya menganga memandangi betis Katya yang jenjang. Katya meningkatkan daya tariknya dengan memainkan taser pointer di tangannya. Gonzales melotot. Antonia muntab.
"Gonzales!! Kamu ketua grup, kan? Bagaimana tanggapanmu?"
Ia sama sekali tak sadar Antonia memanggilnya. Telinganya tuli karena terkesima pada Katya. "Gonzalleeeessss!!!"
Gonzales terkejut. Ia terlompat dari tempat duduknya.
"Que? SenoritaV "Apa tanggapanmu?!"
Gonzales gelagapan. Ia menoleh padaku, mohon bantuan. Aku menoleh pada MVRC Manooj dan orang India itu menoleh pada Ninoch. Ninoch, seperti biasa, menunduk malu.
"Apa pendapatmu, Arian Gonzales?!"
Gonzales putus asa.
"Mamma mia, Madame ..."
***
MOZAIK 19: Paradoks Kedua
Meskipun kami saling bersaing tajam, semuanya hanya secara akademik. Setelah pertempuran ilmiah habis-habisan, kami menghambur ke kafe mahasiswa Brigandi et Bougreesses, artinya kurang lebih Pak Brigandi dan gundik-gundiknya, di pojok Sorbonne. Di sana kami bercanda laksana satu keluarga. Setiap Jumat, kami melupakan tugas kuliah yang menggunung dengan melakukan ritual pub crawiing: merayap dari pub ke pub seputar Paris, sampai pukul tiga pagi.
Sering aku merasa heran. Kawanku-kawanku The Brits, Yankee, kelompok Jerman, dan Belanda adalah para pub crawier kawakan. Mereka senang bermabuk-mabukan. Tak jarang mereka mabuk mulai Jumat sore dan baru sadar Senin pagi. Sebagian hidup seperti bohemian, mengaitkan anting di hidung, mencandu drugs, musik trash metai, berorientasi seks ganjil, dan tak pernah terlihat tekun belajar, namun mereka sangat unggul di kelas. Aku yang hidup sesuai dengan tuntunan Dasa Dharma Pramuka, taat pada perintah orangtua, selalu belajar dengan giat dan tak lupa minum susu, jarang dapat melebihi nilai mereka. Dengan ini, kutemukan paradoks kedua, dalam diriku sendiri.
Hari ini, di kafe Brigandi et Bougreesses kami merayakan kesuksesan presentasi kelompok Jerman. Stansfield, Townsend, dan Katya berebutan memasukkan koin ke dalam juke box untuk memutar "Murder on the Dance Floor", Sophie Ellis-Bextor, lalu mereka berjingkrak-jingkrak. MVRC menari goyang kepala, Gonzales bercerita soal sepakbola, berteriak-teriak saling mendukung tim bersama Yankees, The Brits, dan dua genius Belanda itu.
Katya adalah primadona. Semua pria di kelas kami, berarti termasuk aku, jika ditawarinya kawin, rela menukar kewarganegaraan, murtad pada bangsa sendiri, untuk menjadi warga Jerman, meski itu berarti harus bekerja membersihkan cerobong asap di Bayern sana. Ia jelita. Pesonanya adalah akumulasi dari sipu malunya jika digoda, cahaya matanya jika terkejut, kata-kata yang dipilihnya jika berargumentasi, dan buku-buku sastra cerdas yang dibacanya. Kenyataan bahwa ia menggilai musik jazz, membuat Katya semakin cantik bagiku. Katya simpiy irresistabie. Apalagi gesture-nya secara eksplisit mengetukkan kode-kode Morse: / am very much avaiiabie\ Masih lowong. Katya, ibarat kolak menjelang buka puasa, ia godaan terbesar di Universite de Paris, Sorbonne.
Setiap ada kesempatan, pria-pria berbagai bangsa merubung Katya, berlomba-lomba membuatnya terkesan. Tapi, meski aku juga pengagum Katya, aku tak termasuk dalam kelompok penebar pesona itu. Aku sadar diri, dari seluruh kemungkinan logis ketertarikan pria wanita secara fisik, materialistik, filosofik, idealisme, kultur, ekspektasi, kemistri, gengsi, atau apa pun, tak secuil pun aku memenuhi kualifikasi Katya.
***
Alessandro D'Archy, si ganteng itu adalah arjuna kelas kami sekaligus seorang Italia yang agak pfay boy. Jika D'Archy mendekati Katya, pesaing lain ciut nyalinya, menyingkir. Sebenarnya D'Archy kekasih Stansfield, namun panggilan jiwanya sebagai kelinci tak membiarkan Katya berlalu begitu saja. Sebaliknya, Katya yang cerdas bukan buatan, tak begitu saja bisa dibuat bertekuk lutut. D'Archy berupaya menaklukkan Katya dengan meniru siasat leluhurnya Cassanova, sang begawan cinta.
Siasat tengik itu, yang dulu membuat Cassanova sukses menguras isi hati, sekaligus dompet ratusan wanita. Pertama-tama memancing pertengkaran, memprovokasi, lalu mengaku bersalah secara gentleman dan minta maaf dengan takzim. Sikap lembut setelah permohonan maaf palsu itu biasanya membuat perempuan seperti ayam kampung mabuk karena menelan gambir, tak cakap lagi menghitung sampai sepuluh. Pelajaran moral nomor sebelas: untuk mendapatkan wanita cantik, tapi bodoh, rupanya Anda hanya perlu menjadi seorang provokator.
Sayangnya, hal ini tak berlaku untuk Katya. D'Archy memang berhasil memprovokasinya, lalu pura-pura berjiwa besar, mengaku bersalah sesuai tuntunan taktik busuk Cassanova. Namun, ketika ia meningkat pada strategi minta maaf dengan lagak gentieman ....
"Itaiiano! Kaupikir kau itu siapa?!"
Katya sama sekali tak terkesan pada D'Archy dan taktik busuknya. Pria Italia itu tamat kalimat. D'Archy tak sanggup menerima kenyataan ditolak. Dalam karier penipuan cintanya, baru kali ini ia bangkrut. Untuk membujuk dirinya sendiri, sekaligus melupakan kenyataan pahit bahwa daya magnetnya mulai aus, di Kafe Brigandi et Bougreesses ia menenggak Johnny Walker langsung dari botolnya. Aku, MVRC Manooj, dan Gonzales terpaksa harus menggotongnya pulang. Sepanjang jalan D'Archy meracau, meratap-ratapkan lagu frustrasi cinta Aerosmith:
That kind ofhving, tums a man to slave
That kind ofhving, sends a man right to his grave
Crazy, crazy, crazy....
Kami membopong D'Archy ke apartemen pacarnya, Stansfield, yang terdekat dengan Brigandi et Bougreesses. Sial, Stansfield rupanya sudah tahu kejadian malam itu. Di ambang pintu, anak London itu melotot.
"Kenapa kau datang ke sini?!
"Enyahlah! "Tidur di luar sana!" Perempuan Inggris itu naik pitam. "Aiiesandro Bioody D'Archy \ "Pathological liari "Bollockl"
Boiiock, demikian menu makan malam yang romantis untuk sahabatku, Alessandro D'Archy, seorang filatelis cinta yang menganggap perempuan seperti prangko.
Stansfield membanting pintu sampai kusen-kusen jendela bergetar.
***
MOZAIK 20: Gracias, Senor
Mendengar Katya menampik D'Archy, padahal ia dijagokan, MVRC Manooj berdiri kupingnya. "Kompetisi semakin masuk akal!" teriaknya. Seperti sering kusaksikan dalam film India, serupa pula strategi MVRC Manooj. Ia, layaknya pria India, amat flamboyan. Mereka senang memuji dan tergila-gila pada sikap sok jantan. Ketika pensil Katya jatuh, MVRC Manooj serta-merta bangkit, melangkah anggun memungut pensil itu dan menyerahkannya pada Katya dengan tatapan sendu yang berarti: akan kubangun Taj Mahal untukmu, belahan hatiku .... Kepalanya bergoyang-goyang gemulai. Seisi kelas tergelak.
MVRC Manooj tak sungkan membual untuk membuat Katya terkesan. Ia, yang hanya seorang juru tulis di kantor sensus Punjab, mengaku bahwa sebenarnya ia adalah seorang executive clerk yang punya enam puluh tujuh anak buah. Bahwa sapinya ratusan ekor, dan ia juga punya usaha pengolahan tinja menjadi bahan bakar, sumur-sumur yang disewakan, ular-ular kobra yang terlatih, mesin-mesin pemotong batang jagung, dan jika selesai dari Sorbonne nanti ia akan membangun pabrik tekstil dengan dua belas ribu karyawan.
Seperti pria India umumnya, MVRC Manooj tentu sangat romantis. Di depan seisi kelas, ia mengatakan pada Katya bahwa ia sering bermimpi bersampan dengan Katya menyelusuri Sungai Gangga di bawah sinar purnama. Katya menatapnya serius, penuh pertimbangan. MVRC Manooj menggoyangkan kepalanya sedikit. Senyumnya mengembang karena menangkap sinyal positif dari Katya. Ia mengharapkan satu jawaban manis.
"Indah sekali, Sahabatku”
MVRC Manooj mekar.
"Tapi kudengar perempuan sering dianggap remeh di negerimu, ya?"
Wajah MVRC Manooj kaku.
"Jadi, begini saja, akan kupertimbangkan tawaranmu kalau perempuan dihargai sama seperti pria di sana, oke?"
Laki-laki Punjab itu menggeleng empat kali. "Untuk sementara, teruslah bermimpi “
Gonzales, yang tak diunggulkan, sangat tipikal Hispanik. Adatnya tak banyak basa-basi. Gramatikal rayuannya sederhana, langsung, dan pragmatis. Dengan gaya untuk mencitrakan dirinya macho, ia menghampiri Katya yang sedang berjemur di halaman kampus.
"Katya, aku menyukaimu. Menikahlah denganku. Aku segera mendapat warisan sebuah bengkel di Guadalajara. Aku akan menjadi manajer para pandai besi dan kau akan membantuku memasarkan ladam kuda. Bagaimana pendapatmu?"
Katya melepaskan sun glasses-nya. Matanya terpicing.
"Pablo Arian Gonzales, sungguh menggiurkan tawaranmu ....
"Engkau pria yang manis. "Aku merasa dihargai .... "Gracias, Senor
Gonzales sumringah.
Katya merenung. Serius.
"Berat buatku menolak tawaran yang menjanjikan ini
Gonzales merekah.
Katya menarik napas. Gonzales berlutut, seperti akan menerima berkah dari santa. "Tapi ...."
Putra tukang kikir itu pucat.
"Begini ya, akan kupertimbangkan tawaran baikmu itu jika nanti utang Meksiko pada Jerman sudah lunas ...."
Gonzales terduduk lunglai. Katya menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut.
"Ok? Amigo?"
The Brits dan pria-pria dari negeri Paman Sam lain pula lagaknya. Mereka jauh lebih percaya diri dibanding pria Asia atau Amerika Utara seperti Gonzales. Mereka langsung mengatakan pada Katya ingin mengajaknya kencan. Tawaran mereka tegas: take it or leave it, filosofi mereka menarik, yakni nothing to loose. Kadang mereka sedikit tendensius dan ofensif, namun jika ditolak, mereka bersikap gent/eman, mengakui keunggulan pesaing lain.
Tapi, ternyata tak semua teman sekelasku menyukai Katya. Bagi Jean Pierre Minot dan Sebastien Delbonnel, pria-pria Prancis itu, wanita tinggi, putih, bermata biru, pirang, dan berwajah solid tipikal Kaukasia seperti Katya tidaklah menarik. Mereka menyukai perempuan yang cenderung petit: mungil, feminin, berambut gelap, dan bermata cokelat. Aroma cantik bagi mereka adalah gambaran wa-nita dalam ce-rita Seribu Satu Malam. Patrick N'Dumu, mahasiswa Senegal di kelas kami juga tak menyukai Katya.
"Terlalu kurus," cibirnya.
Maka kuduga N'Dumu berasal dari suku Ibadan. Zaman purba dulu suku Ibadan biasa menukar anak lelaki atau gadis gemuk dengan empat ekor sapi. Anak lelaki dan gadis kurus cukup beruntung jika dihargai empat ekor burung unta. Adapun orang Meksiko, India, dan Indonesia rupanya sepakat soal definisi cantik, yakni cantik seperti Katya. Aku curiga, citra kecantikan itu tercetak gara-gara gambar wanita di kaleng pengharum Gardena yang menyerbu negara Dunia Ketiga sejak tahun lima puluhan.
Bobby Cash termasuk pria yang ditampik Katya. Ia orang Amerika. Ketika menggoda Katya, sesungguhnya ia masih berstatus sebagai kekasih Townsend. Townsend yang kecewa lalu menggaet D'Archy dan Stansfield potong haluan menuju Bobby Cash sang pria platonik. Tukar guling. Modern, bukan?
Aku tahu sebenarnya Stansfield tak menyukai Bobby, dan tampak jelas pula Townsend berjarak dengan D'Archy. Tapi Townsend dan Stansfield tak ubahnya jungkit-jungkitan. Mereka reaksioner satu sama lain. Apa pun yang dilakukan Townsend akan ditandingi Stansfield, demikian sebaliknya. Ini bukan lagi soal cinta, tapi soal memelihara suatu level persaingan, soal survivat dalam pertaruhan gengsi. Sering kali perseteruan Stansfield dan Townsend tidak rasional.
***
MOZAIK 21: Helium
K atya masih seperti pulau karang tak bertuan di
perairan Pasifik: indah, diperebutkan, tapi tak dapat dimiliki siapa pun. Dirayu-rayu ia tak mau, diprovokasi ia benci, digombali ia tak peduli, ditipu ia tahu, diumpan ia tak mempan. Sekian banyak hati kasmaran tapi ia tak kunjung terkesan. Dan perlombaan menggaetnya bukannya surut, malah makin menjadi, bahkan sampai terjadi pertaruhan. Kini ia ibarat lotere, bahkan mahasiswa dari jurusan lain ikut berlomba.
Tiba-tiba terdengar kabar yang menggemparkan. Pertempuran berakhir! Gencatan senjata! Katya telah menemukan pilihannya! O la la, siapakah gerangan kesatria kuda putih yang beruntung itu? Pasti dia sangat ganteng dan sangat kaya, atau, yang paling mungkin, dia turunan darah biru monarki Prancis. Bisa juga ia seorang duke, anggota keluarga kerajaan Inggris, sepupu jauh pangeran William, yang banyak berkeliaran menuntut ilmu di
Sorbonne. Tapi sungguh tak masuk akal! Sulit dipercaya! Ah, tak mungkin dia! Nauzubiifah1. Tak masuk akal sama sekali!
Ketika sedang browsing untuk mencari materi paper di perpustakaan, aku terbelalak membaca e-maii dari Katya.
Hi, There ....
If you want Co date me, all you have to do....
Just....
Ask....
Much love, Katya
Aku merasa ada pipa dibelesakkan dalam mulutku dan helium dipompa ke dalam rongga dadaku, lalu aku melayang seperti balon gas, menyundul-nyundul plafon. Selama ini aku hanya menonton orang berebut Katya. Sekonyong-konyong, tak ada ombak tak ada angin, ia mengata- kan aku hanya tinggal meminta saja (just ask) jika ingin dekat dengannya. Durian runtuh! Gonzales yang kuminta membacanya sampai melukis salib di dadanya.
"Mamma mia katanya.
MVRC Manooj yang kami beri tahu kemudian di kantin, kehilangan selera makannya. Lelaki Punjab itu menatapku dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki. Ia pasti mengukur tinggi badanku. "Dunia sungguh tidak adil!" teriaknya.
Jangankan mereka, aku sendiri masih tak percaya. Aku tak ikut bertempur tapi memenangkan perang. Aku seperti anak kecil menemukan cincin permata dalam bungkus kuaci. Katya menyukaiku? Ah, tidak real, tidak mungkin. Langsung kuduga seorang pesaing yang frustrasi, yang juga seorang computer freak telah menggelapkan e-mail account Katya untuk memperolokku. Kubalas e-mail Katya, untuk konfirmasi. Konyol sekali.
Dear Katya, apakah kamu tidak salah kirim e-mail?
Ehmm, maaf ya . . . ehmmmm . . . , duh, gimana ya .... Untukkukah e-mail-mu ini?
Ia langsung menjawab.
Definitely, it1 s for you.
Sekarang helium yang memenuhi rongga dadaku meledak dan aku pecah menjadi ribuan kuntum mawar, berjatuhan dari plafon, bertaburan memenuhi perpustakaan. Apa yang dilihat Katya pada diriku? Aku curiga, jangan-jangan ia menderita rabun dekat.
***
Siang ini aku tak makan. Sore nanti aku akan mengantar Katya pulang. Rasa senang membuat perutku kenyang, kembung lebih tepatnya. Satu jam dua puluh menit enam detik, aku berdiri seperti orang senewen menunggunya di mulut Stasiun
Notre-Dame des-Champs. Ia datang dari arah Edgar Quinet, semakin dekat dan aku dilanda tiga macam bentuk demam. Pertama, karena ia terlalu cantik untukku. Perempuan seperti ini biasanya hanya kukenal lewat gambar-gambar almanak. Kedua, aku tak tahu bagaimana cara memperlakukan sahabat sebagai pacar. Ketiga, karena aku harus memastikan bahwa ia tidak menderita rabun dekat, dan ia tak salah orang. Dalam hatiku bergema-gema pertanyaan, "Katya, are you for real?", tapi ia meyakinkanku.
"Ini bukan kesalahan katanya merdu sekali. "It's for real."
Kami naik kereta bawah tanah yang datang dari Mairie d'Issy, menembus jantung Paris menuju ke Porte de la Chapelle. Kami akan berhenti di tengah, di Solferino, dekat apartemen Katya. Duduk di sebelahnya, jantungku berdegub-degub seperti hentakan kereta. Aku ingin ngobrol tentang banyak hal, tapi kalimat tersangkut di tenggorokanku. Aku diam, duduk tegak, membeku. Katya tersenyum-senyum simpul. Senyumnya itu mem- buatku berdoa agar kereta itu mogok, asnya patah tiga, sistem listriknya terbakar, pintunya tak bisa dibuka walaupun oleh lima belas orang, penumpangnya terjebak sehari semalam, Katya pingsan, dan aku jadi pahlawan. Senyumnya itu, membuatku berdoa agar Stasiun Solferino pindah ke Pulau Islandia, sehingga kami akan berada dalam kereta itu selama sepuluh jam, disambung menyeberang naik kapal laut.
Berminggu-minggu aku belajar menguasai diri jika dekat Katya. Setelah agak terlatih, diiringi tatapan iri MVRC Manooj dan Gonzales, secara rutin, aku mem-bezook dia di apartemennya, menemaninya menonton Jerry Springer Show, acara kesenangannya. Kami menikmati daya tarik turning a friend into a lover, mengubah teman menjadi kekasih, ternyata proses itu menyenangkan. Apalagi ia selalu memanggilku my man, membuatku merasa ganteng, merasa menjadi Kesatria Celtic dalam legenda hightander, penyelamat petani dari serbuan kaum begundal. Aku memanggilnya, ya ampun, baby. Ketika mengucapkannya, perutku seperti digelitik.
Senin sore, sangat istimewa, karena siangnya, di mejaku di kelas, pasti kudapat secarik kertas kecil undangan: Tea time, my place, 04.00 pm, yours, Katya. Itu artinya aku akan melewatkan sore dengan wanita menawan itu, sambil duduk minum teh Prancis melange quartier, teh harum dengan campuran pala dan kayu manis, di balkon apartemennya. Nun di sana mengalir Sungai Seine. Riak-riaknya bertingkah riang, memantulkan warna Jingga keperakan.
***
Waktu berlalu. Aku makin mengagumi Katya. Tapi apakah aku mencintainya? Minggu lalu, Katya pulang ke Bayern untuk menemui keluarganya. Ia mendekapku di Stasiun Garede Lyon. Aku berdesir.
Untuk pertama kalinya aku dipeluk seorang wanita dalam nuansa asmara. Matanya memancarkan isyarat janji yang liar jika ia kembali nanti. Aroma keringat perempuan dewasa menusuk hidungku, merasuk. Ia berlari kecil meninggalkanku. Belum lepas ia dari pandangku aku telah merindukannya. Namun, seiring menjauhnya kereta itu, sebagian kecil hatiku ingin agar ia tak kembali lagi ke Paris.
***
MOZAIK 22: Adam Smith VS Rhoma Irama
Di Sorbonne, setiap hari aku diracuni ilmu meski aku tak ubahnya anak burung puyuh yang tersuruk-suruk mengejar induk belibis. Universitas ini menawarkan padaku sebuah petualangan intelektualitas dengan kemungkinan-kemungkinan yang amat luas. Setiap hari aku selalu tertantang untuk memacu kreativitas dalam bidang yang kutekuni. Aku menyimak kuliah selama dua jam tapi pengetahuan yang kudapat senilai kuliah satu semester waktu di tanah air. Jika kembali kuana-logikan pengalaman bak cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbong seperti eksperimen Einstein itu kini aku menyongsong cahaya ekonometrik, statistik, aljabar, dan falsafah ekonomi, dan Einstein pasti mengatakan aku menyerap begitu banyak pelajaran dalam satuan waktu yang relatif singkat.
Setiap hari, selalu ada saja hal baru yang menggairahkan kuperoleh dalam bidangku. Kini bangunan ilmu ekonomi yang telah lama teronggok dalam kepalaku, kurasakan berubah bentuknya, hidup, menggeliat, bertambah kapasitasnya, dan semakin dalam intensitasnya. Kini, aku mengerti secara teoretis maksud-maksud John Maynard Keynes, sang suhu bagi kaum monetarist, dan mengapa buah pikirannya memerangi pandangan klasik yang fenomenal dari si tua begawan ekonomi Adam Smith. Sekarang, aku memahami arti ekonomi sebagai science, sebagai mazhab, bahkan sebagai seni dan filosofi. Semuanya karena dosen-dosen yang hebat di universitas ini menggambarkan dengan jelas gemunung ilmu ekonomi. Mereka mengajarkan dari sudut mana harus menyelusup untuk mendakinya, dan menunjukkan patok-patok untuk sampai ke puncaknya, sehingga aku dapat memetakan peluangku untuk menyumbangkan ilmuku: sebagai seorang pendidik, peneliti, konsultan, atau pembuat kebijakan. Lebih dari semuanya, aku ingin sekali menjadi seperti Adam Smith, menjadi seorang economics scientist, ilmuwan ekonomi. Karena itu, konsentrasi studi yang kuambil di Sorbonne adalah Economics Science.
Aku sangat gandrung pada ide-ide Adam Smith. Berulang kali kubaca bukunya yang fenomenal itu: An Inquiry into the Nature and Causes o f the Weaith of Nations, sampai hafal beberapa bagian. Membaca judulnya saja rasanya aku bergetar-getar. Sungguh istimewa buku yang ditulisnya tahun 1776 itu. Buku itu mengandung kristalisasi pemikiran dengan visi yang timeiess. Menurut pendapatku, buku ini wajib dibaca oleh siapa pun yang mengaku dirinya mahasiswa ekonomi, atau siapa saja yang bertanggung jawab mengurusi hajat hidup orang banyak di suatu negeri. Tak heran Michael Hart mendudukkan Adam Smith, laki-laki Skotlandia itu, pada bangku nomor tiga puluh tujuh sebagai manusia paling berpengaruh dalam sejarah. Ia hanya satu nomor kalah penting dari William Shakespeare, tapi dia lebih berpengaruh dari Thomas Alpha Edison.
Perlahan tapi pasti aku bermetamorfosis menjadi penganut fanatik ekonomi klasik ajaran Adam Smith. Aku tertegun membaca salinan pokok-pokok pikiran beliau yang berusia hampir tiga ratus tahun.
Adam Smith bermata sendu tapi meradang, maka ia mirip Rhoma Irama. Kucetak fotonya besar-besar, 20 R, kupigura dan kusandingkan dengan foto idolaku Rhoma Irama, yang jauh-jauh kubawa dari tanah air.
Dulu cita-citaku ingin menjadi pemain bulu tangkis, lalu gagal, dan kini Adam Smith mendidihkan gairahku untuk menjadi ilmuwan ekonomi. Rhoma Irama adalah sahabat lamaku, kukenal dia sejak poster Hujan Duit-nya me-nutupi lubang dinding SD-ku dulu.
Sering, jika kehabisan ide untuk paper-ku, atau kelelahan ditimbuni tugas kuliah hingga batok kepalaku menciut, aku melongo di depan foto Adam Smith dan Rhoma Irama. Kucoba berdialog secara imajiner dengan mereka.
Adam Smith, selalu seperti orang yang tersinggung, kejengkelan berdesakan dalam kepalanya karena orang-orang tak memahami kegeniusannya.
Aku bertanya, "Bagaimana Anda bisa menjadi begitu pintar, Tuan Smith?"
Ia diam saja, tak acuh. Air mukanya berkata: Enyahlah, Anak Muda f Merepotkan saja. Apa pun yang kukatakan tak 'kan kau mengerti,' Befajartah sana dengan dosen-dosen Prancis gobtokmu itu!
Aku mundur.
"Oke, oke, Tuan Smith, tak perlu marah-marah begitu
Aku berbalik, minggat meninggalkan Tuan Smith yang sedang tidak mood. Tapi baru beberapa langkah aku kaget.
"Hei, Orang Udik! Memangnya siapa kamu? Dari mana asalmu?"
Aku terkejut. Tuan Smith bertanya padaku! Aku berbalik, kembali menghampiri Tuan Smith.
"Dari Pulau Belitong, Tuan Smith." "Di mana itu?" "Di Indonesia, Tuan Smith "Indonesia? Di mana itu?"
Aduh, aku tak tahu bagaimana harus menjelaskan. Kata-kataku macet.
"Ah, sudahlah, Anak Muda. Lupakan saja. Tapi maukah kau bercerita tentang negerimu?"
"Negeriku?"
"Ya, negerimu? Adakah orang-orang pintar di sana?"
Pertanyaan yang sulit. "Ceritakanlah."
Dilematis!
"Ayo, kisahkan kepadaku tentang orang-orang pintar di negerimu. Apa saja terobosan ilmiah mereka?"
Runyam sekali karena aku hanya tahu satu hal tentang orang-orang pintar di negeriku.
"Ayo, Anak Muda, jawablah."
Aku melongo dan aku ingin jujur.
"Banyak, Tuan Smith. Di negeriku banyak sekali orang pintar, pintar mencuri uang negara."
Wajah Tuan Smith merah padam. Matanya melotot menahan teriakan. Gagasan yang hebat dan kemarahan ilmiah yang terkunci dalam wajahnya seolah akan meledak. Ia memberi isyarat agar aku mendekat. Bola matanya lirak-lirik kiri kanan, seperti takut ada yang memata-matai. Ia berbisik, emosional, histeris, tertahan.
"Apa kataku dulu! Apa kata teoriku dulu! Benar,
kan? Pengaruh uang tak ubahnya siulan iblis!" Tuan Smith kembang kempis. "Semua itu gara-gara kaum monetarist keparat itu!!"
Aku bingung. Aku ingin bertanya: mengapa? Tapi Tuan Smith tak memberiku kesempatan. Ia muntab.
"Kau tahu?! Kaum monetarist bersekongkol mengumpulkan uang agar negeri seperti kalian dapat berutang, lalu pelan-pelan negeri kalian tergadai! Mereka itu tak ubahnya rentenir! Kolonial model baru! Tukang ijon! Teori mereka ... teori mereka
Tuan Smith sontak berhenti. Rupanya ada orang lewat, Arai. Tuan Smith kembali ke sikap semula, sebuah foto yang tak acuh, seakan tak terjadi apa-apa. Aku pun begitu. Aku tak mau dianggap sinting oleh Arai karena bicara dengan foto. Kami menyaksikan Arai meninggalkan ruangan. Tuan Smith menarik kerah bajuku.
"Teori mereka? Pembangunan ekonomi berlandaskan moneter? Omong kosong sama sekali! Keynesians itu adalah turis dalam ilmu ekonomi, lebih cocok kalau mereka dimasukkan ke dalam sel! Uang! Semuanya Uang! Lihatlah akibatnya pada pencuri-pencuri uang di negerimu itu!" Aku mengangguk takzim. Tuan Smith makin semangat.
"Proyek fisik! Lapangan kerja! Itulah solusi semua masalah!! Selain itu hanya bualan. Sekarang, lihatlah negerimu itu! Ditelikung dari luar, digerogoti dari dalam, tendangan penalti! Sebelas langkah lagi negerimu menuju bangkrut!!"
Mengerikan! Sungguh mengerikan. Aku sampai merinding mendengarnya. Pelajaran moral nomor tiga belas segera kutarik: jangan bicarakan keadaan negeri kita de-ngan seorang ekonom klasik. Pesimis!
"Satu lagi, Anak Muda, tapi ini rahasia!!" Tuan Smith celingak-celinguk.
"Tak banyak orang yang tahu! Rahasia ini agak berbahaya! Bisakah kau menjaga rahasia?!" nada Tuan Smith mengancam. "Bisa?!"
"Bisa, Tuan Smith
Tuan Smith berbisik keras, "John Maynard Key-nes yang wajahnya seperti lutung habis bercukur itu sebenarnya adalah mantri hewan yang menyaru menjadi dosen ekonomi!"
Aku tersentak, luar biasa! Setelah kurenungkan dalam-dalam, boleh jadi informasi itu benar adanya.
"Setujukah engkau dengan pendapatku itu, Anak Muda?"
Tuan Smith menyentak kerah bajuku, aku tercekik.
"Setuju?"
Setelah kujawab setuju, baru ia melepas-kanku.
Tuan Smith tersenyum puas, demikian pula Rhoma Irama di sebelahnya. Pada detik itu aku langsung tahu rahasia lain bahwa ternyata Rhoma Irama juga penganut mazhab klasik! Aku ingin sekali mendengar komentarnya.
"Kak Rhoma ... apa gerangan pendapatmu tentang negeri kita?"
Disertai senyum simpatik khasnya, beliau menjawab optimis sambil mengutip salah satu judul lagu terkenalnya.
"Ok dech ... bagi yang mudha, yang punya ghaya ... Rambathe Ratha Hayo! Singsingkanh lenganhh bajuhh kalau kitah mau majuhh!!"
***
MOZAIK 23: Surat Dari Ayahku
Rupanya euforia menuntut ilmu di Sorbonne yang tengah kualami, juga dialami Arai. Bermalam-malam ia tak tidur sebab tergila-gila pada riset protein Sitokrom-C, unsur penting yang mendasari kelangsungan hidup organisme, demikian tesis kerja yang disemburkannya padaku berulang kali.
"Tahukah kau, Ikal?! Hasil riset Sitokrom-C ini dapat menjadi kanon yang merontokkan bangunan absurditas teori-teori kaum evolusionis," lagaknya menceramahiku.
Demi semangat persaudaraan, aku berpura-pura paham. Arai begitu bersemangat. Sampai pucat wajahnya karena tak henti menelaah hipotesis Harun Yahya. Sekarang ia adalah seorang ilmuwan kreasionis yang berdiri di garda depan membela kebesaran Tuhan dalam penciptaan di muka bumi ini. Ia ingin menjadi bagian dari pasukan intelektual religius yang menentang kesesatan Darwin.
Lebih spesifik, Arai bercita-cita jadi seorang microbiologist1. Sebuah kualifikasi yang masih sangat jarang di Bumi Pertiwi. Sungguh konstruktif, sekarang aku ingin menjadi economics scierttist dan Arai ingin menjadi microbiologist1. Canggih bukan buatan. Kami menari berjingkrak-jingkrak merayakan visi baru hidup kami seperti Modigliani bersuka-cita menari mengelilingi patung Balzac. Sepucuk surat dari ayahku, menisbatkan semuanya.
***
Sejak hari pertama di Eropa, waktu masih di Belgia dulu, aku telah mengirimi orangtuaku surat. Setelah itu, ke mana pun kami sampai, kami selalu mengabarkan keadaan kami. Aku tak mengharap balasan surat-surat itu, terutama karena maklum bahwa yang memahami huruf-huruf Latin hanya ibuku.
Namun, hari ini sangat mengejutkan. Monsieur Leroux, tandlord apartemen kami, menyerahkan sepucuk surat padaku. Aku gugup melihat cap pos di amplopnya, nama kampungku! Pasti ada sesuatu yang amat penting. Usai kuliah aku menyingkir dari teman-temanku, menyepi di bawah patung Robert de Sorbonne.
Surat itu ditulis ibuku di atas kertas bergaris tiga. Preambulnya mengabarkan bahwa Ayah mendiktekan kata-katanya untuk disalin Ibu. Dengan rapi, Ibu merundukkan huruf-huruf kecil di bawah garis rendah dan huruf kapital diukir seperti kecambah pada awal kalimat. Semua huruf condong dengan sikap sopan santun seakan hendak mencium huruf di sebelahnya.
Selanjutnya, Ayah berpesan agar kami selalu menjalankan perentah agama. Beliau juga mengabarkan satu berita yang sangat menggembirakan, yaitu PN Timah telah menaikkan pangsiun mantan buruh timah dengan tambahan sebesar Rp7.000 sehingga pensiun Ayah sekarang menjadi Rp87.300 per bulan. Tak kurang dari empat kali Ayah mengucapkan syukur atas jumlah pensiunnya yang baru. Kata Ayah, kenaikan pangsiun pertamanya ia belikan per untuk memperbaiki jam wekernya. Tak lupa beliau membeli lima lembar prangko seri Pencak Silat. Dilampirkannya prangko-prangko itu dalam amplop, agar aku dapat membalas suratnya dari Prancis.
Membaca penutup Ayah, hatiku mengembang karena dengan tangannya sendiri Ayah menulis namanya.
***
Berulang kali kubaca surat Ayah, tak kunjung reda gemuruh dalam diriku. Begitu tinggi aku telah membangun ekspektasi hidupku sehingga surat Ayah tak ubahnya dua halaman utopia bagiku. Aku baru saja merayakan cita-cita menjadi seorang economics scientist tapi rupanya ayahku ingin aku menjadi ahli madya pupuk, dan Arai yang terobsesi menjadi seorang microbiologist diharapkan ayahku menjadi seorang asisten apoteker.
Aku menyandarkan diri pada patung Robert de Sorbonne. Robert yang muram, tua, dan berlumut. Delapan ratus tahun yang lalu tokoh visioner ini, dengan kebijakan teologisnya, mendirikan Universitas Sorbonne demi kemaslahatan pengetahuan, demi memecahkan enigma ilmu. Ingin kutanyakan padanya: Monsieur Sorbonne yang bijak bestari, apa yang harus kukatakan pada ayahku?
Kupandangi bangunan Sorbonne yang angker. Bendera triwarna Prancis berkibar-kibar megah di atas gerbangnya. Di dalam gedung itu aku pernah beradu argumentasi dengan dewan profesor untuk mempertahankan teori-teori risetku. Beberapa profesor itu bahkan pernah menjadi kandidat penerima Nobel Ekonomi. Namun di sini, di bawah patung Robert de Sorbonne yang durja, tak mampu kutemukan sepatah pun kata untuk membalas surat ayahku.
Kuulangi membaca surat itu, sepucuk surat yang amat biasa sebenarnya, namun setiap kalimatnya mengandung seribu cerita tentang seorang pria penganut kebenaran hidup yang sederhana seperti ayahku. Dadaku sesak karena keluguan surat itu telah membuatku merasa sangat malu pada diriku sendiri, pada harapan duniawiku yang egois dan materialistik. Ayahku dengan ketulusannya yang tak terukur, dengan pensiun Rp87.30D masih bersemangat memikirkan nasib orang-orang di kampungnya, masih sempat memikirkan apa yang terbaik untuk bangsanya.
Aku membuka tasku, mengeluarkan bungkusan kecil yang dititipkan ayah di Bandara Buluh Tumbang di Tanjong Pandan dulu, yang dipesan-kannya agar dibuka setelah aku sampai di Prancis. Bungkusan itu berisi kain sarung yang biasa beliau pakai jika ke masjid. Aku mencium kain itu lama-lama, aku mencium bau laki-laki pendiam yang selalu menghangatkan hatiku, selalu membelaku apa pun yang terjadi. Sarung itu mengembuskan aroma kebaikan hati dan kasih sayang yang melimpah ruah untukku, menyesaki rongga-rongga dadaku. Lalu aku terkenang, dulu Ayah mengajariku melilit sarung di pinggangku dengan sarung itu. Dan, tak 'kan pernah kulupa, aku dibonceng ayahku bersepeda ke bendungan. Sepanjang jalan beliau menasihatiku tentang kedamaian hidup seperti dicontohkan burung-burung prenjak berdasi, capung-capung, dan kecebong. Pulangnya, aku dibelikan tebu yang ditusuk tangkai-tangkai lidi. Air mataku meleleh. Ayahku adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku. Aku rindu pada ayahku, sangat rindu.
***
MOZAIK 24: Paradoks Ketiga
Paris di hari-hari akhir musim salju tak ubahnya gemerincing snare drum musik country jazz Norah Jones: simpel, terduga, dan menimbulkan perasaan senang. Nada-nada yang riang bereskalasi mengiringi kerak es yang luruh dari tiang-tiang telepon, meteran parkir, kanopi, lengan-lengan jembatan, papan tulis tarif kafe-kafe, batang-batang pohon shagbark hickory dan billboard.
Matahari adalah tukang tenung. Jika bangun subuh, selempang merah membujur di langit timur menjelmakan atap-atap bangunan sepanjang L'Avenue de la Baurdonnais menjadi sayap-sayap burung starling yang mengibas sisa es di bibir talang, di rongga-rongga pancuran dan topi-topi cerobong asap. Rombongan tikus kelabu, kelinci, dan rakun tersembul-sembul dari timbunan dedaun¬an Ulmus montana. Anak-anak tupai mengintip lalu melompat dari celah-celah akar atau dari siku-siku bangku taman. Semuanya berdendang girang, ribut berjingkat-jingkat ditingkahi perkusi pohon poplar yang dipatuki burung-burung pelatuk. Meriah!
Paris memuai menyambut musim panas. Hati yang menciut kedinginan dan mudah putus asa, karena bisikan jahat musim es, kembali merona. Apa pun yang pucat menjadi kuning, kuning menjadi merah, dan kelabu menjadi hijau. Dan merekahlah senyum kondektur metro yang cemberut saja tiga bulan terakhir ini. Tukang bunga menyapa setiap orang yang lewat. Tukang kebab, orang-orang Turki yang terkenal pelit itu, membanting harga sesukanya, penuh pengertian pada mahasiswa negeri Dunia Ketiga. Polisi pun menjadi lebih ramah. Tekanan hidupku sebagai minoritas mencair karena semua orang bicara dalam bahasa yang sama: summer time\ Liburan!
Di teater-teater, para penata artistik mem¬bongkar dekorasi gotik nan kelam. Lakon-lakon musim salju: Bram Stoker's Dracula yang berdarah-darah, Caliguta yang saling bunuh, Raja Arthur yang penuh intrik, diganti dengan pentas Sound of Music. Backdrop-nya pegunungan hijau Switzerland, awan-awan cerah, dan kawanan biri-biri gendut. Penonton bersukacita menonton drama musikal di mana pemerannya para petani, gadis-gadis kecil, penggembala, semuanya tersenyum, bahkan biri-biri gendut itu, tersenyum.
Kisah kaum marjinal yang tertindas, orang-orang yang terbuang karena sikap politik mereka, hikayat orang-orang Kiri, kejahatan kemanusiaan, pelanggaran hak asasi, dan kelakuan represif penguasa, berganti menjadi tema-tema urban yang kreatif. Jika sebelumnya penuh dengan kisah pilu, bahkan kebahagiaan ditangisi, kini pentas diisi oleh aktor yang menertawakan kesusahan. Itulah kisah romansa seorang tukang ledeng, kisah ringan persahabatan tukang koran dan pramuniaga, cerita konyol sebuah keluarga yang mendapati gadis kecilnya bertato di bagian tubuh yang agak pribadi, atau kisah transeksual yang pahit tapi disajikan secara jenaka.
Yang paling kusuka dari teater musim panas adalah cerita orang-orang kaya baru Asia yang berbelanja ke Paris. Pulang ke tanah air, mereka petantang-petenteng mengaku telah menjelelajahi butik Prada sepanjang L'Avenue des Champs-ElyseeSj padahal hanya memborong baju obral di Mal Lafayette. Namun, yang kutonton berulang-ulang adalah parodi, inspired by a true story, tentang dilema seorang mahasiswa Indonesia di Paris yang menjadi guide bagi para petinggi yang ingin berutang. Parodi ini mencapai klimaks saat para petinggi Jepang, yang memberi utang, datang ke tempat pertemuan dengan mobil mini bus carteran, sedangkan para petinggi Indonesia, yang berutang, datang satu per satu dengan limousine. Di panggung teater musim panas di Paris, kutemukan paradoks ketiga.
Aku melekatkan telapak tangan di patung batu Fountaine Wallace dan menempelkan kehangat¬annya di pipiku. Aku merasa senang, tapi gelisah. Gelombang demi gelombang turis membanjiri Paris. Galeri-galeri dipadati pengunjung. Antrean tiket meluber ke jalan raya. Paris seperti festival! Karavan-karavan gipsi memenuhi lapangan-lapangan kosong, mengusik sesuatu yang lama bersemayam dalam diriku, yaitu mimpi-mimpi lama kami: menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Namun, ini bukan persoalan gampang. Masalahnya klasik: biaya. Sedang Benua Eropa amat luas. Satu per satu sajalah, mengelana Eropa dulu baru memikirkan Benua Hitam itu. Afrika, pada tahap ini, tak lebih dari keputusan generik setelah kami merambah Eropa. Afrika menjadi semacam harapan yang tidak realistis.
Aku dan Arai sibuk seperti tupai mengumpulkan biji-biji pinang. Kami banting tulang mencari uang. Melalui persekongkolan dengan beberapa imigran gelap, aku men-dapat pekerjaan part time sebagai door man, tukang buka pintu di Restoran La Jaconde di Goncourt. Meskipun seragamku sangat anggun, lengkap dengan topi tingginya, dan ayahku pasti bangga melihatnya, namun pekerjaan doorman adalah pekerjaan yang mengerikan.
Pekerjaan Arai, jauh lebih mengerikan. Ia men¬jadi tukang lift di sebuah hotel di kawasan Grands Boulevards. Dengan seragam berpangkatnya, laki-laki kurus tinggi itu terkurung berjam-jam dalam ruangan sempit lift. Jika sedang tidur sering kulihat jempolnya mengacung-acung, seperti orang me¬mencet-mencet tombol lift. Sayangnya, usai kontrak kerja musiman itu kami hanya mampu mengumpulkan sedikit uang.
Kami tak surut. Cita-cita yang telah terpatri lama itu tak boleh gagal begitu saja. Sekaranglah saat mewujudkannya, right here, right now. Aku kembali bekerja. Tiga pekerjaan sekaligus: enam jam sebagai editor naskah ilmiah ekonomi untuk tabloid universitas, dua jam mengajar statistik di sebuah akademi, dan empat jam menjaga toko kelontong milik seorang Pakistan di Oberkampf, melayani ibu-ibu Prancis yang membeli bawang Bombay.
Arai, sejak dulu memang selalu mendapat pekerjaan yang menggiriskan. Ia hanya mendapat satu pekerjaan, yaitu di pabrik boneka. Ia bekerja delapan jam penuh menyematkan peniti berpita di dada boneka anjing. Setiap kali anjing pudel itu tertekan, ia akan menyalak nyaring. Jika Arai sedang tidur, aku sering mendengarnya mengigau: Kaing1. Kaing1. Kaiiiiiing ...I
Malangnya, setelah seluruh uang hasil jerih pa¬yah itu dikumpulkan, kami bahkan tak mencapai angka sepersepuluh dari anggaran minimum untuk menjelajah Eropa. Jika dipaksakan, kami bahkan tak 'kan mampu beranjak dari Eropa Barat.
Sebenarnya ada cara yang lebih murah, yaitu mengikuti paket hemat agen travel. Tapi kami tak sudi. Agen travel hanya cocok untuk para pensiunan. Perjalanannya tak dapat disebut sebagai penjelajahan. Kami ingin backpacking, tidur dalam sleeping bag di stasiun, terminal, emper toko, dan taman-taman. Kami ingin mengunjungi tempat-tempat yang tak dikunjungi turis, menelusuri jalur yang bukan jalur wisata. Kami ingin melihat inti sari kehidupan bangsa-bangsa Eropa sampai ke pelosoknya. Kami tak mengharapkan perjalanan yang mudah. Kami ingin tantangan yang meng¬getarkan. Inilah esensi petualangan. Kami tak berselera bepergian dengan agen travel yang umumnya dilakukan mahasiswa Indonesia, baik yang baru maupun yang sudah karatan di Eropa. Mereka berkerumun, pelesiran duduk rapat-rapat sesama spesiesnya sendiri. Kelihatan betul mentalitas kolektivis dan komunalnya.
Namun, semuanya tetap muskil tanpa sejumlah uang. Bagaimanapun kami nekat berangkat tanpa bekal, pengurusan visa harus tetap pakai uang. Kami telah bekerja habis-habisan dan sekarang hilang akal. Liburan musim panas makin dekat. Dalam siksaan frustrasi yang memuncak, keajaiban itu datang. Kami menerima e-mait.
Oiik, guys!! How is life?
Hinggu depan aku ke Paris, fashion show untuk summer, di Various, kecemu ya ....
Cheers Bamke Soiners
Aku melonjak. Kuingat kata Arai dulu waktu ka¬mi menerima pengumuman beasiswa ke Sorbonne: bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu. Membaca e-mail Famke, aku mendapat firasat, gadis cantik Belanda itu akan memberi solusi untuk kami.
***
MOZAIK 25: Artikulatif
Waktu pertama bertemu dengannya di Bandara Schippol dulu, aku telah melihat supermodel Daria Werbowy dalam diri Famke Somers. Kawan, apa yang bisa kukatakan padamu tentang Daria Werbowy? Kurasa, meski bagian dari keindahannya, sedikit kurang respek kalau ia kurepresentasikan lewat nomor-nomor lingkar dada, pinggang, dan pinggulnya. Kuharap cukup artikulatif kalau kubeberkan angka-angka ini: 180 dan 52. Itulah tinggi dan beratnya dalam sentimeter dan kilogram. Maka ia adalah tiang listrik. Tiang listrik yang jelita, namun dialah satu-satunya alasanku menonton Fashion TV.
Jika ia melenggok di atas catwalk, membawakan rok belah tinggi Christian LaCroix, ekspresinya tak ambil pusing, langkahnya tergesa-gesa, kakinya yang panjang silang-menyilang tangkas, seperti pemain center back sepakbola ingin merobohkan striker. Sering aku cemas, kalau-kalau cara berjalan seperti itu membuatnya turun berok.
Sejak Werbowy dibaiat sebagai supermodel, aku terus mengikuti kabarnya. Ia membuatku memahami bahwa sikap obsesif perempuan terhadap make up dan busana, memang beralasan. Tapi sebenarnya aku tak pernah peduli soal rancangan haute couture yang ia pakai. Aku kagum padanya sebagai pribadi. Karena ada kecerdasan di balik seluruh kesan kecantikannya dan karena penolakannya memakai busana dari kulit binatang. Werbowy, manifestasi keindahan perempuan sebagai seni, pengejawantahan sesuatu yang jauh, telah menjadi semacam ilham bagiku. Ia hadir dalam imajinasiku seperti gambar yang mengawang-awang, biarlah begitu.
E-mait Famke hari ini membuktikan instingku itu. Aku yakin, suatu hari nanti perempuan Belanda yang semlohai itu akan menjadi seperti Werbowy. Yang aku tak yakin justru benda yang kupegang saat ini: undangan. Sebuah event organizer mengundangku dan Arai untuk acara fashion show, tentu saja karena permintaan Famke secara pribadi. Kami bingung karena tak tahu apa yang akan dikenakan untuk acara bergengsi itu. Beruntung mantan majikan kami bersedia membantu. Akhirnya, kami hadir dalam acara hebat itu mengenakan setelan jas door mari dan lift man yang sedikit dimodifikasi.
Kami duduk di nomor kursi paling belakang, tak dipedulikan siapa pun. Tak mengapa, karena lihatlah di situ. Tak jauh dari kami, di bangku-bangku depan itu paling tidak aku melihat Jennifer Jason Leigh, Keira Knightley, Sharon Osbourne, dan Victoria Beckham. Di belakang mereka, tak kurang dari hair stylist ternama yang sering kulihat di Fashion TV; Laurent Philippon, sedang cekikikan dengan desainer yang amat berbakat Elie Saab. Para fashion editor, paparazzi, dan fotografer dari Vogue dan majalah-majalah mode terkenal seperti Carine Roitfield, Mario Testino, Robert Rosen, Jennifer Houston, sibuk tak keruan.
Hentakan halus tone-tone techno memasuki ruangan, fade in. Hentakan makin keras. Diiringi tepuk tangan meriah, turunlah bidadari dari khayangan. Satu per satu kemudian berduyun-duyun, melangkah di atas catwaik, cepat bersaling silang, tak peduli. Aku terpana melihat pemandangan anggun di depanku. Fashion show haute couture di Paris bukan sekadar soal sandang tapi keseluruhan konsepnya adalah karya seni adiluhung. Kami bertepuk tangan keras-keras melihat Famke Somers muncul dari balik pang-gung. Ia melenggang penuh gaya membawakan busana bernuansa gipsi: boho, trend musim panas tahun ini. Sekonyong-konyong, baru saja menikung dengan elegan dari arah belakang, muncullah si bohemian Ukraina yang jelita itu. Napasku macet. Ia memandang lurus, sedikit sombong, tubuhnya meluncur, wajahnya dramatis. Aku melonjak dan bertepuk tangan sejadi-jadinya seperti menyemangati Liem Swie King melawan Misbun Sidek dalam skor 14-14. Kawan, tahukah dirimu? Si bohemian yang baru saja menikung itu adalah Daria Werbowy!
***
Usai acara Famke mengajak kami ke Museum Le Louvre. Di sudut halamannya penonton berdesakan mengelilingi seniman-seniman muda yang menampilkan koreografi pirouettes: penarinya berputar sambil saling menumpukan kaki pada penari lain. Koreografi baroque itu menjadi menawan karena mereka gabungkan dengan gaya tari kontemporer. Semarak. Perkusi berdentam-dentam nakal menggoda penonton untuk ikut bergoyang. Para penari itu adalah sahabat sekelas Famke dari Amsterdam School of the Arts. Famke bergabung dengan mereka, menari berputar-putar. Pengunjung tak henti-henti melemparkan koin Euro ke dalam topi yang disediakan untuk menampung sumbangan.
Kami ceritakan pada Famke rencana kami keliling Eropa dan kesulitan yang kami hadapi.
"Mengamen saja di jalanan," sarannya ringan.
Kami tertegun, bimbang. Tapi Famke serius.
"Mengapa tidak? Kalian lihat kan uang dalam topi tadi?"
Aku berpikir keras. Tawaran itu konyol tapi sangat masuk akal. Selama musim panas memang banyak orang membiayai perjalanan keliling Eropa dengan mengamen dari kota ke kota. Tapi mereka adalah seniman jalanan profesional., mahasiswa-mahasiswa seni, atau komunitas yang punya kultur tampil di jalanan seperti kaum gipsi. Sedang kami tak bisa menyanyi, tak rancak menari, tak pandai berakting, menyulap, atau memainkan alat musik. Famke membaca pikiran kami. "Jangan cemas, Kawan,"
Ia mengamati kami. Gagasan kreatif pasti sedang berpijar-pijar dalam kepalanya.
"Berapa tinggimu?" ia menanyai kami satu per satu.
"Temui aku di Amsterdam minggu depan. Aku punya solusi untuk kalian, ok?"
Kami penasaran tapi tak bertanya. Sebagai mahasiswa seni yang cemerlang, kami yakin ia tahu apa yang sedang ia rencanakan. Menurut istilah Arai, Famke punya wewenang ilmiah dalam bidang seni jalanan. Diam-diam aku merasa gembira. Di sekitar kita ada kawan yang selalu hadir sebagai pahlawan. Famke adalah kawan semacam itu.
***
MOZAIK 26: Cinta Adalah Channel TV
Hari ini aku menjemput Katya di stasiun. Hampir sebulan ia di Bayern. Aku rindu padanya. Tapi aneh, aku berusaha mengalihkan rindu itu dengan mengamati backpacker Kanada yang sedang mengemasi sleeping bag setelah semalam mereka tidur di taman dekat stasiun. Tak tahu mengapa, aku tak ingin memikirkan Katya, malah yang kubayangkan adalah penjelajahan backpacker Kanada yang mengagumkan. Aku telah mempelajari bahwa backpacker Kanada adalah explorer dengan jarak tempuh amat jauh, yang terdampar di Paris musim panas tahun ini telah melintasi India dan melalui jalan darat menembus Bangladesh, Burma, Malaysia, bahkan menyeberang ke Belawan, Sumatra Utara. Mereka kompak, egaliter, dan penolong. Kuat dugaanku, tradisi backpacking dan kode etik tak tertulisnya dimulai oleh backpacker Kanada. Ke mana pun pergi, mereka selalu membawa gambar identitas bangsanya: daun maple.
Katya, turun dari kereta, dengan pesona yang lebih dari saat ia berangkat. Hari-hari berikutnya kulalui dengan rutinitas yang biasa dengan Katya. Tapi seperti musim, rupanya aku telah berubah. Kini aku dilanda perasaan ganjil: setiap melihat Katya, yang kulihat A Ling.
Belasan tahun cinta pertamaku dengan A Ling terkunci dalam diriku, lekat dan indah. Cinta A Ling menimbulkan perasaan seperti aku baru pandai naik sepeda. Ia se-perti kembang api, seperti pasar malam, seperti lebaran. Cintanya mengajakku menulis puisi, cintanya adalah sastra. Sebaliknya, cinta Katya amat berbeda. Cinta Katya adalah kemistri. Cintanya memancing caudate nuc/eus dari sudut-sudut gelap otak, menyalakan dopamin pengundang risiko-risiko moral, dan memantik simpul-simpul saraf yang mengobarkan ide-ide platonik.
Pada suatu kesempatan, saat aku mengantar Katya pulang, aku bertanya, "What love means to you, Katya?"
"Aaa, my man ... cinta adalah channei TV! Tak suka acaranya, raih remote-mu, ganti saluran, beres!"
Aku terkesiap. Sedalam mana pun perasaanku, sehebat apa pun teoriku, semudah itu saja! Bagaimana kalau nanti aku menjadi acara TV yang membosankan? Seperti sinetron atau acara Dari Desa ke Desa? Hari ini aku mengenal satu sisi Katya yang harusnya sudah kupahami sejak dulu. Cinta bagi wanita cantik ini adalah katarsis. Tak ada yang salah dengan hal itu, apalagi itu haknya, namun ia dan nilai-nilai yang dianutnya menimbulkan situasi oportunistik bagiku. Sebenarnya, dengan sedikit sikap culas, aku bisa meraup keuntungan besar dari wanita yang setiap aspek dalam dirinya diidamkan setiap laki-laki ini. Katya bak buah khuldi yang ranum, cintanya simalakama. Dilematis, dilematis!
Kukatakan pada Katya apa arti cinta bagiku, sangat India. Biar lebih dramatis, kutambahkan bahwa kami mengalami apa yang disebut pengacara perkara rumah tangga di Hollywood sebagai irreconciable differences, perbedaan yang tak dapat didamaikan. Ia mendekatiku dengan suatu gerakan slow motion. Tapi aku telah berketetapan hati untuk mengakhiri romansa, dan telah kusiapkan kalimat memuakkan: cinta tak harus saling memiliki1. Sangat Indonesia. Ternyata ia menghormati perbedaan itu. Sampai di sini cintaku dengan perempuan Jerman itu khatam. Selanjutnya, kami menikmati saat-saat turning back a iover into a friend, membalikkan lagi dari pacar menjadi teman, rupanya, bisa juga menjadi indah.
***
Katya adalah perempuan menawan yang akan selalu menjadi sahabat baikku. Tak 'kan kulupa ia pernah membuatku merasa ganteng. Kuceritakan pada MVRC Manooj bahwa aku walk out dari Katya, ia menggoyangkan kepalanya tujuh kali. Kamu bodoh sekali1. Itulah maknanya. Namun, bukankah sejarah pribadi bergantung pada bagaimana kita membuatnya? Orang-orang bisa saja mengenangku sebagai si naif yang hipokrit, tapi aku tak ingin mengenang diriku sendiri sebagai seorang oportunis. Aku senang telah mengenal Katya, terutama karena perempuan canggih dari Eropa itu telah memberiku pelajaran moral nomor dua belas yaitu: ke mana pun tempat telah kutempuh, apa pun yang telah kucapai, dan dengan siapa pun aku berhubungan, aku tetaplah seorang lelaki udik, tak dapat kubasuh-basuh.
Kini tak lagi kulewatkan sore sambil minum teh Prancis mefange quartier di balkon apartemen Katya. Sore ini aku melamun sendiri di pinggir Sungai Seine. Aku merindukan A Ling, rindu pada senyumnya ketika melihatku, rindu pada caranya melipat lengan bajunya, dan rindu pada paras-paras kukunya. Aku ingin bertemu, tapi ia masih raib. Kata A Kiong sepupunya, mungkin A Ling di Singapura atau Eropa untuk belajar merancang busana, sesuai cita-citanya dulu. Mungkinkah A Ling berada di suatu tempat di Eropa atau Afrika? Bagaimana cara menemukannya? Yang dapat kulakukan hanya mengetik namanya di mesin-mesin pencari Internet: Njoo Xian Ling + Fashion + Hokian + Europe + Africa, dan muncullah ratusan nama dengan beragam kejadian dan profesi. Kulebarkan spektrum pencarian. Jangan-jangan ia juga sudah punya internationaf name. Kuketik Emily Ling, Patricia Ling, atau Margareth Ling, tumpah ruah.
Di Prancis sendiri kutemui tiga Njoo Xian Ling.
Salah satunya ternyata tinggal di Apartemen Chevalier, hanya satu blok terpisah dari apartemenku di La Rue Hector Mallot. A Ling, yang rasanya telah kucari seumur hidupku, mungkin saja selama ini hanya terpisah satu blok dariku. Kuharap ia tak punya anak lima dan bersuamikan seorang pialang saham serupa Hugh Grant.
***
Aku bergegas ke Chevalier dengan seribu doa di hatiku. Salah satunya, "Ya, Tuhan, kalaupun A Ling harus bersuami, tolong, tolong Tuhan, suaminya jangan setampan Hugh Grant!"
Landhrd Chevalier memberi tahuku nomor pintu ruangan Njoo Xian Ling. Aku nervous mendekati pintu itu. Aku memencet bel, seorang pria Tionghoa yang sangat tua membuka pintu. Matanya bengkak. Rupanya sejak tadi, atau mungkin sejak pagi tadi, ia menangis. Pelupuknya lebam seperti petinju kena hantam. Ia sesenggukan.
Aku masuk ke ruang tamun dan bertanya, "Njoo Xian Ling ...?"
Lali-laki tua itu mengangkat wajahnya. Ia menangis sejadi-jadinya seperti anak kecil kena knalpot. Ia memelukku seolah dirinyalah manusia paling malang di dunia ini.
"Kamerad katanya, sambil memandang sebuah foto.
"Kameraaad begitu berulang-ulang.
Kutangkupkan foto itu, baru ia sanggup bicara.
Rupanya istrinya, Njoo Xian Ling, baru saja meninggal dalam usia 70 tahun. Kami berbincang sebentar. Aku berusaha menghiburnya.
Aku meninggalkan Apartemen Chevalier dengan perasaan campur aduk. Aku prihatin pada nasib Vung Hong, lelaki tua itu, yang kini harus hidup sendiri, aku sedih karena tak menemukan A Ling, namun kamerad Hong tak setampan Hugh Grant, aku senang.
***
Njoo Xian Ling kedua jauh di luar kota. Di Bordeaux. Ternyata ia bayi perempuan berusia tiga bulan. Gendut dan lucu. Bapaknya, yang senang dapat anak perempuan, setelah enam orang anak laki-laki, mengabarkan berita itu ke mana-mana, sehingga Njoo Xian Ling cilik muncul di search engine Internet. Mereka gembira menerimaku. Aku diberi panggilan kehormatan: Paman Ikal.
Njoo Xian Ling yang ketiga, lebih jauh lagi. Di kota pantai yang terkenal, Cannes. Berjam-jam aku naik kereta ke sana. Pagi-pagi aku mempersiapkan diri dengan mengenakan pakaian terbaik. Aku ingin terlihat ganteng kalau nanti A Ling menemuiku. Di kios bunga aku membeli anemon, kuntum-kuntumnya putih memesona. Aku bergegas menuju alamat rumah seperti disebut di Internet. Tiba di depan rumah itu semangatku tiarap karena Njoo Xian Ling adalah sekeping papan. Papan nama kios binatu. Sungguh mengenaskan.
Aku kembali ke Paris dalam keadaan frustrasi. Barangkali aku telah melakukan hal-hal yang tak masuk akal. Tapi hanya itu yang dapat kulakukan untuk melipur rinduku, selain membaca novel Seandainya Mereka Bisa Bicara karya Herriot, kenangan A Ling untukku. A Ling menandai cerita tentang keindahan Desa Edensor dalam novel itu. Kubaca bagian itu berulang-ulang. Desa khayalan Edensor itu seakan membuka jalan rahasia dalam kepalaku, jalan menuju penaklukan-penaklukan terbesar dalam hidupku, untuk menemukan A Ling, untuk menemukan diriku sendiri.
"Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seakan berguling ditelan langit sebelah barat. Bentiknya laksana pita kuning dan merah tua. Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu lalu terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembah-lembah nan hias. Di dasar lembah sungai berliku-liku di antara pepohonan. Rumah-rumah petani Edensor yang terbuat dari batu-batu yang kukuh dan berwarna kelabu bak pulau di tengah ladang yang diusahakan. Ladang itu terbentang seperti tanjung yang hijau cerah di atas lereng bukit. Di pekarangan, taman bunga mawar dan asparagus tumbuh menjadi pohon yang tinggi. Buah persik, buah pir, buah ceri, buah prem, bergelantungan di atas tembok selatan, berebut tempat dengan bunga-bunga mawar yang tumbuh lia.
***
MOZAIK 27: Pertaruhan Nama Bangsa
Gila!
“F0##ing nutsl"
Townsend histeris mendengar rencanaku dan Arai. Kafe Brigandi et Bougreesses hiruk-pikuk. Semua orang membuat ancang-ancang untuk liburan musim panas. Sahabat sekelasku merubung kami.
"Mengamen untuk biaya keliling Eropa? Sampai ke Afrika? Gila sekali! Belum pernah kudengar ide sekonyol itu."
"Tahukah kalian? Paling tidak, tiga puluh satu negara harus kalian lintasi, dan Rusia? My God! Daratannya hampir separuh dunia."
Yang lain komat-kamit, bergumam-gumam, sambil menggeleng-gelengkan kepala, sepakat dengan Townsend. Impossible, celetuk mereka.
"Apa kalian mampu? Hidup seperti seniman sirkus gipsi?"
Aku berkecil hati.
"Tak terbayangkan kesulitan yang akan menimpa kalian."
Pendapat gadis Vermont itu sangat benar. Ia nyerocos lagi.
"Tampil di jalanan? Dari kota ke kota? Kalian bisa mati kelaparan! Atau diciduk polisi! Kalau aku? Ha! No way, tak sanggup."
Melihat Townsend mengerut, Stansfield mendongak. Ia pasti ingin memperlihatkan dirinya lebih unggul dari perempuan Amerika itu. Sejak tukar guling D'Archy dan Bobby Cash, persaingan Townsend dan Stansfield makin membara. Stansfield bersungut-sungut meremehkan Townsend.
"Ah, aku pernah ngamen main trombon di Piccadilly, London. Dapat duit lumayan. Berani, itu saja modalnya."
Townsend memutar lehernya, menatap Stansfield tajam. Ia tersinggung.
"Maksudmu? Kau ingin mengatakan aku penakut?"
"Maksudku, aku pandai main trombon Stansfield pamer dan mengejek. Kalimatnya kalem tapi menikam.
Townsend panas. Ia melengking, "Tadi kau bilang aku penakut? Sekarang kauhilang aku tak bisa main musik?!" Perang!
"Geee ... aku jago main akordion, tahu! Aku pemain akordion yang hebat, lebih hebat dari siulan trombon bodohmu itu!"
Siulan? Main trombon dianggap bersiul? Kurang ajar betul. Semua orang tahu trombon adalah alat musik yang tingkat kesulitannya bisa bikin senewen. Jangankan mencari nadanya, agar benda itu bisa berbunyi saja diperlukan latihan yang bisa membuat orang kena hernia. Stansfield muntab. Kedua bilah gigi taringnya memanjang, rambut pirangnya menjadi api. Kawan, perempuan yang marah sama sekali jangan dianggap enteng!
"Mau bertaruh denganku? BoIIockV
Townsend tak kalah gertak, "Semburkan taruh-anmu, bitch\ Kalau aku main akordion di Piccadilly, aku akan dapat duit lebih banyak darimu!"
"Ayeee ... tahu apa orang Vermont soal akordion? Bangsa petani gandum. Inggrislah kantor pusat musik dunia Stansfield menohok sarkastik.
Townsend tertusuk. Ia naik pitam. Kecantikan janda kembang Jennifer Aniston-nya menguap. Dihantamkannya sloki di atas meja kayu. Sisa rum yang tergenang di dasarnya tempias ke wajah MVRC Manooj.
"Tarik kembali kata-katamu itu!!"
"F@##ing Bhtl Ayo bertaruh!!"
Situasi jadi sangat serius. Bartender Piere De-lano sampai mematikan Snoopy Doggy Dog yang berdentum-dentum menimpali pertengkaran yang buruk itu. Stansfield menenggak tandas martini di gelasnya. Ninoch, aku, Arai, Gonzales, MVRC Manooj, kelompok Jerman, dan Belanda yang mengelilingi kedua perempuan itu, terpaku pada perseteruan yang memuncak antara perempuan Inggris bangsa penakluk dan wanita Amerika berkepala batu. Stansfield mendekatkan wajahnya ke wajah Townsend, hidung bengkok paruh bayan mereka hampir bersentuhan. "Anytime, anywhere
Townsend berpaling padaku, meradang. Aku gemetar. Lalu ia mengatakan sesuatu yang mungkin akan disesalinya nanti.
"Oke, Andrea, tadi perempuan Inggris ini bilang aku penakut, lalu dia bilang aku tak bisa main musik. Catat ini: aku juga berani keliling Eropa, ngamen main akordion!"
Kami tersentak. Ia ingin ikut ngamen? Mana mungkin? Ide ngamen keliling Eropa saja sudah cukup sinting, berbahaya, dan masih jadi polemik. Pertaruhan Townsend sangat besar. Begitulah, Kawan, baru saja kukatakan padamu, perempuan marah, jangan sekali-kali dianggap enteng. Katya menengahi.
"Sudahlah, Townsend, tak usah emosi. Jangan mau bertaruh bodoh seperti itu. Jangan kauikuti Andrea dan Arai. Mereka memang sudah tidak waras."
Tapi Katya salah duga. Bagi Townsend masalahnya bukan lagi keliling Eropa ngamen main akordion, masalahnya adalah ia gelap mata karena bernafsu menjatuhkan mental Stansfield. Bagi mereka, ini sama sekali bukan soal pertaruhan mengelana Eropa, tapi ini soal hierarki Maslow: self esteem. Sebaliknya, Townsend salah duga, orang Inggris telah menaklukkan segala hal sejak abad permulaan. Jangan coba-coba menantang orang
Inggris, mereka tak 'kan surut.
"Kaukira aku tak berani keliling Eropa ngamen main trombon?!"
Nah, persaingan perempuan! Adalah hal yang sangat ajaib. Profesor Michael Porter ahli strategi persaingan sekalipun, belum tentu dapat mengurainya.
"Mamma mia desah Gonzales.
MVRC Manooj tegang. Tapi aku dan Arai bersorak, sebab rencana kami mendapat partisipan, meskipun secara tak sengaja akibat pertaruhan gengsi dua wanita.
Melihat kami girang, atau karena undangan magis musim panas, MVRC Manooj tergoda. Ia sendiri sudah lama ingin keliling Eropa.
"Kalau begitu, aku juga bisa keliling Eropa, ngamen menari goyang kepala. Aku ikut bertaruh."
Kami terperanjat. Kafe Brigandi et Bougrees-ses makin gaduh, aku sampai berteriak agar terdengar.
"MVRC Manooj, Sahabatku, sudahkah kaupikirkan benar-benar?"
Lelaki Punjab itu menggoyangkan kepalanya ke depan, lalu ke kiri kanan, dan ke belakang tiga kali, persis bangau kena jerat cekik. Artinya: aku yakin!
Meledaklah suasana. Sebagian pengunjung mendukung MVRC Manooj. Ia menggoyang-goyangkan lagi kepalanya, lemah gemulai tak henti-henti, tanda hormat pada pendukungnya. Ruangan disesaki euforia musim panas. Winter sickness telah dilungsurkan oleh summer fever.
Gonzales pun terhasut, "Amigo, aku ikut denganmu, Andrea! Catat ya, aku juga bertaruh! Aku akan beratraksi memainkan bola kaki di pinggir jalan!"
Hadirin bersorak-sorai mendengar rencana ajaib itu. Banyak yang mendukung, banyak pula yang meragukan. Namun, di tengah suara gaduh kami sontak terdiam, karena ada suara kecil timbul tenggelam, terjepit mencari perhatian.
"Aku mau ikut, Kawan, aku mau ikut .,,!"
Kami melongok menuju suara yang halus itu, dan semua orang tak percaya, suara itu datang dari Ninochka.
"Aku ingin ikut katanya mengacungkan jarinya malu-malu.
Ninoch menatap polos puluhan pasang mata yang memelototinya.
"Maksudmu kau juga ingin ikut bertaruh, Noch-ka?" tanya D'Archy.
"Iya, aku ingin bertaruh. Boleh, kan?"
Hadirin saling pandang. Secara fisik Ninoch tak mungkin menjelajah Eropa, apalagi dengan cara backpacking. Ia lemah, pucat, dan penyakitan. Bukan baru sekali aku melihatnya berpegangan pada para-para parkir sepeda karena sempoyongan diterpa angin. Amat berbeda dengan Stansfield dan Townsend. Mereka adalah Xena dengan tinggi di atas 175 senti. Stansfield berlari paling tidak lima kilometer setiap hari dan mampu push up sebelah tangan sampai lima belas kali. Townsend seorang lifter. Aku pernah melihatnya mengangkat barbel 110 kilogram secara clean and }erk\ Tendangan
Taekwondonya pernah membuat tukang sobek tiket klub Fat Lover tak masuk kerja tiga hari. Tapi, bukankah kami sedang berada di Prancis, salah satu negara paling demokratis di muka bumi ini? Hak Ninoch dijamin undang-undang.
"Apa yang akan kaulakukan, Gadis Kecil?" tanya Gonzales bimbang, disertai senyum sok macho yang mengandung kesan: Ini urusan orang dewasa. Dik. Berkelana keliling Eropa perlu mental dan tenaga baja. Kamu anak kecil, tahu apa? Cuci kaki1. Tidur sana1.
Ninoch menjawab kalem, "Aku kan pandai main catur? Aku akan main jebakan catur di pinggir jalan. Tiga langkah skak mati dan aku dapat duit. Lumayan, kan?"
Tak pakai pikiran! Nekat, lucu, dan lugu minta ampun. Namun serempak, seisi kafe bertepuk tangan mendukung, lebih heboh dari dukungan pada Gonzales.
Aku takjub melihat perkembangan rencana kami karena kami sendiri belum tahu akan diapakan oleh Famke Somers. Bahkan Ninochka ikut bertaruh, walau aku menduga, ia nekat karena tak tahan ditinggalkan Gonzales dan MVRC Manooj selama musim panas. Hanya dua orang itu sahabat karibnya. Ide-ide sinting memang selalu memiliki dua dimensi: dicemooh atau diikuti orang-orang frustrasi.
Kami langsung menyusun aturan pertaruhan. Sederhana saja: yang dapat menempuh paling banyak kota dan negara, dialah pemenang. Kehadiran di setiap kota dibuktikan dengan meng-up had foto digital ke yahoophoto sehingga dapat dipantau lewat Internet. Hukuman bagi yang kalah, yang menempuh paling sedikit kota dan negara, amat mengerikan, yaitu mengurus taundry peserta lain selama tiga bulan, membayar cover charge untuk c/ubbing, dan yang paling meng-giriskan, harus menuntun sepeda secara mundur dari museum legendaris Le Louvre ke gerbang L'Arc de Triomphe melintasi kawasan paling prestisius di Paris: L'Avenue des Champs-Elysees. Sepeda yang dituntun akan digantungi pakaian-pakaian rombeng. Pasti tak tertanggungkan malunya ditonton, dipotret turis, dan jika apes, ditanyai polisi, lalu diborgol, atau diciduk petugas dinas sosial, disangka edan, dan dicekoki obat pelembut perangai xanax. Membayangkannya saja aku tak berani.
***
MOZAIK 28: Street Performance
Paris terang benderang. Peserta pertaruhan menjelajah Eropa kembali berkumpul di Kafe Brigandi et Bougreesses dengan backpack dan properti ngamennya masing-masing. Bersukacita. Apalagi semua sahabat sekelas kami berkumpul, berteriak-teriak menyemangati jagoannya.
Gonzales mencoba-coba penampilannya. Ia memain-mainkan bola dengan kaki, dada, tandukan, bahkan dengan perut gendutnya. Ia terampil bukan main. Bola itu tak pernah sekali pun jatuh. Kostumnya? Luar biasa! Ia berpakaian sepakbola meniru tim nasional Meksiko, semarak. Senyum berbunga-bunga dari wajahnya yang Jenaka. Penampilannya semakin memukau karena setiap gerakannya diiringi tabuhan riang tabla dan goyang kepala MVRC Manooj.
MVRC Manooj sendiri tampil dengan busana yang membuat napas tertahan. Secara umum ia tampak seperti Genie yang baru menguap dari botol. Sepatunya lentik serupa perahu junk orang Tongsan. Celananya komprang berwarna hijau mencolok dari satin dan terikat ketat di bawahnya, seperti sarung nangka. Rompinya beledu berwarna marun. Mahkotanya seperti sorban Tuanku Imam Bonjol.
Gonzales dan MVRC Manooj memadukan sepak-bola dan tahan, mengawinkan gairah Meksiko yang binal dengan artistri India yang sensual. Ini konsep street performance yang genius, yang akan membuat para turis menghujani mereka dengan koin-koin Euro. Mereka bukan saja yakin akan menang taruhan tapi, dengan penampilan seperti itu, mereka bisa kaya!
Stansfield mendemokan kebolehannya. The Giri from Ipanema, dibawakannya tak kalah dari sentuhan Dizzy Gillespie. Ia meniup trombon dengan teknik tinggi, yakni mengumpulkan udara dalam mulutnya sehingga pipinya kembung, lalu dengan penataan napas yang terlatih, diselusupkannya udara itu lewat lubang sempit trombon untuk menemukan nada-nada kres dengan presisi yang menga-gum-kan. Kesulitan trombon ibarat rocket science dalam ilmu pasti. Dari sepuluh trombonis yang kudengar, tak lebih dari dua orang yang tak pernah meleset tone-nya. Stansfield yang tetap cantik meski pipinya seperti ikan mas koki dan matanya melotot, termasuk dalam dua orang itu.
Tentu saja Townsend tak mau kalah. Ia melentingkan nada-nada akordionnya bahkan saat Stansfield belum selesai dengan lagunya. Penonton
bertepuk tangan mendengarnya membawakan nada-nada riang Jerry Garcia, suatu nuansa country jazz berlandaskan musik tradisional Amerika yang juga disebut jazz blue grass, stansfield dan Townsend memang mahasiswa ekonomi, tapi mereka juga musisi berbakat.
Akhirnya, kami siap berangkat, diiringi lambaian selamat jalan para sahabat. Katya menghampiriku dan mengatakan jangan ragu menghubunginya jika kami kesulitan di jalan. Ia hadir bersama kekasih barunya. Pria itu kalem, gentleman, dan sangat baik. Ia seorang kurator di museum terkenal Musee d'Orsay, dan orang itu tampan seperti Harrison Ford. Hatiku remuk.
***
MOZAIK 29: Kutukan Capo Lam Nyet Pho
'T1 ownsend ingin membuktikan pada Stansfield bahwa jika ngamen di Piccadilly, London, ia bisa dapat duit lebih banyak dari Stansfield. Maka jalur pertamanya adalah Inggris. Stansfield sendiri memulai perjalanan melalui Swiss. Ninochka menyusuri Prancis Selatan menuju Turin, Italia. MVRC Manooj dan Gonzales merambah Belgia. Aku dan Arai, karena harus menemui Famke Somers, menuju Belanda.
Kami naik bus Euroline dari Terminal Gallieni di pinggir Paris. Semalaman, sepanjang jalan, aku dihantui bayangan rencana Famke yang masih misterius. Konsep seni jalanan seperti apa yang ia siapkan? Bagaimana kalau kami tak mampu melakoninya?
Kami tiba di poot bus Amstel lalu naik kereta sebentar ke stasiun sentral Amsterdam. Baru saja melompat dari pintu kereta, pria wanita hilir mudik di celah-celah pilar platform, berjalan atau bersepeda, meliuk-liuk menawarkan berupa-rupa narkoba. Santai saja, seperti berdagang asong.
Mengikuti sketsa dari Famke, kami melintasi centang-perenang rel trem di luar central station menuju Damrak, yang terkenal seantero jagat sebagai red zone Amsterdam. Damrak membuatku merinding. Tempat ini seperti markas besar PBB bagi kaum PSK. Dalam kamar kaca yang berderet panjang, wanita-wanita berbagai bangsa memamerkan dirinya, mengobral habis semuanya, semuanya! Di Damrak aku melihat Belanda sebagai sanctum kebebasan ekspresi, sekaligus anakronis Babylonia. Kamar-kamar kaca itu rapat memagari kiri kanan Jalan Zeedijk. Aku melaluinya dengan perasaan gugup. Hatiku berkeras tak ingin melihat, aku menunduk, tapi mata dan leherku rupanya telah bersekongkol melawan tuannya. Kurang ajar betul.
Di ujung kawasan Zeedijk, dari sebuah balkon, seseorang memanggil kami, "Oiiiikkk ...!!"
Dialah Famke Somers. Kami bersalaman. Ia memberi tempelan pipi tiga kali khas Belanda: kanan, kiri, kanan lagi, cukup menyenangkan. Famke semakin memesona saja. Kami ceritakan kepadanya bahwa rencana kami menjelajahi Eropa telah menjadi pertaruhan sesama teman kuliah di Sorbonne.
"Allright, sekarang jadi menarik, bukan?!"
Ia tentu membaca nada bicara kami bahwa kami mengharapkan solusi yang jitu darinya. Aku tak tahan, akhirnya kutanyakan konsepnya. Ia tersenyum, tak menjawab. Cukup siapkan mental saja, katanya. Aku makin penasaran. Esoknya, Minggu pagi, Famke mengajak kami ke pusat keramaian Amsterdam: Koninklijk Paleis, sebuah istana tua. Koninklijk adalah pusat keramaian Amsterdam. Halamannya luas berlandaskan paving block hitam dikelilingi toko-toko dan Museum Madame Tussauds. Ribuan orang berjalan dan bersepeda berseliweran di antara trem dan mobil. Jika musim panas, Paleis menjadi surga bagi para penampil jalanan. Di sana tampil ratusan seniman mulai dari pemain harmonika yang ditemani anjingnya, sirkus mini, musisi hippies, pemain gitar dan biola, aksi gipsi, teater jalanan, sulap dan akrobat, pembaca puisi, berbagai bentuk parodi, sampai big band lengkap dengan section alat tiup puluhan orang. Hiruk pikuk, semarak seperti festival.
Kami berlari kecil menuju sebuah apartemen di belakang Paleis. Famke mengetuk pintu. Aku tahu, solusi yang dijanjikan Famke, yang selalu menghantui kami seminggu terakhir ini, berada di balik pintu itu. Aku gugup. Pintu dibuka oleh seorang perempuan pirang yang langsung terlonjak melihatku dan Arai.
"Oik\ Aha, about t/me!!11 jeritnya bersemangat. Rupanya apartemen itu telah disulap menjadi studio. Belasan sahabat Famke dari Amsterdam School of the Arts sejak tadi menunggu kami. Kami berkenalan, lalu tanpa dikomando, setiap orang serta-merta bergerak. Artis-artis muda itu sibuk lalu lalang menyiapkan kotak make up, menyemprotkan cat pada gumpalan terpal sehingga menjadi batu karang, merangkai tali temali, membuat peti harta karun seperti dalam film Pirates of the Caribbean, menggambar sketsa-sketsa, merekatkan manik-manik, dan menata dua buah mahkota besar. Mereka cepat dan profesional. Apa yang terjadi?
Perempuan yang tadi membuka pintu, Kath namanya, mendekati kami, mereka-reka ukuran tubuh kami, mengangguk-angguk kecil seperti sedang bicara dengan dirinya sendiri, lalu ngeloyor pergi. Semuanya bekerja, tak seorang pun bicara. Famke tersenyum melihat kami. Ia menyelinap sebentar. Kemudian terdengar suara seperti ia membuka sebuah lemari besar. Lalu ia muncul lagi sambil menyeret dua potong pakaian yang membuat kami terperanjat.
Pakaian itu semacam baju terusan dari karet dengan panjang hampir tiga meter, berkilauan, karena seluruhnya ditempeli manik-manik. Warnanya metalik berkilat, sangat tebal. Pada kulitnya bertimbulan duri, sisik-sisik, dan sirip-sirip. Bentuknya demikian orisinal, seperti baru kemarin dikuliti dari makhluk dasar samudra. Keong-keong kecil, resim, dan teritip menempel di sela-sela sisik itu. Secara umum pakaian itu ganjil tapi megah, misterius, dan agak menakutkan.
"Inilah solusi yang kujanjikan untuk kalian!"
Famke bergairah. Kami terkesima. "Kalian akan tampil di pinggir jalan sebagai manusia patung!"
Arai terbelalak dan aku mau pingsan mendengar
Famke berteriak, "Kalian akan menjadi ikan duyung!!"
Seisi ruangan bertepuk tangan. Arai menyambar tanganku, menggenggamnya kuat-kuat dan mengguncang-guncangnya. Tak dapat kugambarkan perasaanku. Beberapa saat aku masih terpana. Kami saling pandang lalu menyadari betapa hebatnya ide itu. Sebuah ide yang sedikit pun tak pernah terlintas di benak kami. Kami melompat-lompat senang.
"Oke, Gent/emen. Penampilan pertama kalian, Koninklijk Paleis! Sekarang! Ayo, bekerja cepat! Sudah siang!"
Tim make up menggiring kami ke meja rias. Setengah jam kami disulap dari makhluk berwajah manusia menjadi makhluk berwajah ikan. Selesai make up sampailah pada kostum ikan duyung yang naudzubil/ah itu.
Tubuhku, dengan cara diangkat lebih dulu, dibelesakkan ke dalam kostum karet tadi. Aku merosot karena berat kostum itu hampir sepuluh kilogram. Ekornya, masya Allah, sangat panjang, terbelah dua, masing-masing belahannya berbentuk sirip selebar dua meter. Namun istimewa, setiap kali kugerakkan, sirip itu melambai-lambai. Jika aku berjalan, ekorku menggelepar persis ekor buaya. Sungguh kostum yang mendebarkan.
Sebaliknya, jangan disangka mudah, kostum itu mengapitku sampai mata kaki, sehingga aku tak dapat berjalan dengan menekuk lutut, bahkan tak dapat mengangkat kaki. Aku melenggak-lenggok seperti pinguin karena hanya bisa merayapkan telapak kaki. Kakiku terlilit serupa kaki ibu-ibu berjarit.
Berikutnya, dadaku dibalut karet lain seperti stagen dan agar kukuh, kostum tiga meter tadi dilubangi berbentuk empat cincin besi di batas atas depan dan belakang. Dua potong suspender kulit dikaitkan pada klem cincin tadi untuk menambatkan kostum di bahu kiri kananku. Hanya dengan cara begitu agar busana sepuluh kilogram itu tidak melorot.
Kuat dugaanku, pakaian ini dibuat seorang seniman idealis yang tak mau tanggung-tanggung, atau seseorang yang terobsesi pada ikan duyung. Kehadiran suspender disamarkan dengan ditutupi jalinan rumput laut seperti pola sumbu kompor, dililit-lilitkan bergaya tali sepatu. Aku kesulitan bernapas. Meski sangat autentik mewakili ikan duyung, tak dapat dimungkiri, kostum itu mengandung unsur siksaan.
Tiba-tiba, dari ruangan lain, Arai muncul sudah sebagai ikan duyung. Aku hampir semaput melihatnya. Ia seperti hantu laut yang menjelma dari balik terumbu. Sisa tubuhnya yang tak ditutupi kostum ikan duyung, dilabur cat body painting. Wajahnya cantik namun sangat aneh, sebuah kecantikan yang magis. Matanya menjadi sangat dalam, tersembunyi di balik maskara tebal berwarna Jingga, bibirnya ungu. Kepalanya dipasangi mahkota yang megah, tiruan rumput laut kiambang yang direkatkan secara berantakan seperti gimbal rastafaria. Arai bak Medusa, dewi berambut ular itu.
Ia juga terkejut melihatku.
"Adinda Ikal ...? Engkaukah itu?" tanyanya ketakutan.
"Iya, kakanda Arai. Ini aku, Ikal
Luar biasa, mahasiswa Amsterdam School of the Arts adalah seniman-seniman muda yang berbakat. Dalam tiga jam, mereka telah mengubah aku dan Arai menjadi dua ekor ikan duyung yang jelita. Famke senang tak kepalang.
"Oh, my God\ PerfectW" Ia berputar-putar mengelilingi kami.
"Look a t you, guys, fantastic!. Allhght, sekarang acting-nya."
Famke mengarahkan gaya kami.
"Begini, kita akan mengangkat tema lingkungan, yaitu ikan duyung yang sedih karena eksploitasi laut .... Arai, kau akan jadi ibu ikan duyung!"
Arai ingin mengangguk tapi lehernya terlilit rumput laut.
"Kau, Ikal ... hmmmm ... karena kau kecil, kau adalah anak ikan duyung.
"Nah, Arai, sebagai ibu ikan duyung yang berduka, kau harus seperti ini."
Famke mengambil pose, berdiri melengkung menopangkan dagu di atas punggung tangan kirinya. Tangan kanannya bertelekan di atas dekorasi batu karang gabus. Wajahnya merana.
"And you, Ikal, sebagai anak ikan duyung, kau berbaring miring seperti wanita mengiklankan sun block di tepi pantai, memeluk ekor ibumu. Tapi ingat, wajahmu juga ha-rus sedih, paham?"
Kami menyatakan pengertian dengan berkedip-kedip karena susah mengangguk. Famke memberi wejangan terakhir bahwa seperti bentuk seni lainnya, seni manusia pa-tung juga memiliki estetikanya sendiri. "Kalian tak boleh berinteraksi dalam bentuk apa pun dengan penonton, meski digoda bahkan jika diprovokasi. Kalian harus mem-beku dalam satu ekspresi minimal satu jam."
"Ok then. Let's go guys, let's rock Amsterdam!"
Kami tak bisa menuruni tangga maka kami dipikul, dimasukkan ke dalam VW Comby. Ban mobil gemeretak di atas paving block dan jantungku berderak. Aku nervous. Kecemasanku memuncak saat kami memasuki kawasan Koninklijk Paleis. Dari kaca mobil aku mengintip, demikian banyak pengunjung. Aku demam panggung.
Mobil kami berhenti. Arai mendongakkan kepala. Tiba-tiba terdengar teriakan seorang perempuan.
"Fantastic, lookl"
Serombongan turis kaus singlet dan topi jerami, orang-orang Jepang yang murah hati itu berdecak kagum melihat kami. Seketika itu juga, kepercayaan diriku melompat.
Kami dibopong. Dekorasi batu karang gabus, terumbu-terumbu dari terpal, peti harta karun, jangkar dan tali temali dipasang. Para penonton berduyun-duyun merubung kami. Famke memilih lokasi yang pas dekat museum Madame Tussauds, menghadap ke timur Koninklijk Paleis, karena ia ingin matahari sore musim panas memantulkan sinarnya di atas ribuan keping manik-manik di sekujur kostum ikan duyung, dan kami menjadi elegan bak dua peri laut yang sedang durja. Penonton berbondong-bondong mendekat, makin rapat mengelilingi kami. Kulirik Arai, betapa kemayu, sedikit melengkung, dengan rambut Medusa yang terburai-burai sampai ke bahu. Alisnya panjang tebal, bulu matanya lentik, hidung jambu airnya telah disulap, dan pandangan matanya lendut: malu tapi menggoda, syah-du tapi bergairah, tak acuh tapi minta dilihat. Tak diragukan, Arai adalah putri duyung yang jelita tak terperi. Aku, selaku anak ikan duyung, memeluk ekor Arai, memajang ekspresi memelas, mohon diselamatkan dari keserakahan manusia yang menjarah laut tanpa perasaan. Aku menggelosor di tanah tapi tetap menjaga keanggunan. Kulitku tampak fantastic karena lengket ditaburi teritip dan bulir-bulir mutiara imitasi.
Mataku sampai silau karena sambaran blitz dari ratusan kamera. Pengunjung antre berfoto dekat-dekat kami. Decak kagum bersahut-sahutan. Kami makin menghayati ekspresi. Dari jauh Famke mengacungkan dua jempolnya. Ia terharu. Perasaanku melambung. Aku langsung mencintai profesi baruku sebagai seniman jalanan. Segera kusadari bahwa manusia patung adalah bakat terpendamku! Mengapa selama ini aku selalu merasa bakatku adalah pemain bulu tangkis? Keliru besar!
Penonton semakin banyak. Mereka bahkan meninggalkan manusia patung Rolling Stones di sebelah sana. Sungguh istimewa rancangan kostum, make up, dan penataan artistik dari mahasiswa seni Amsterdam School of the Arts. Karya mereka adalah master piece.
Setelah satu jam, Famke menghentikan show
kami.
"You were great\" pujinya. Kawan-kawannya bergantian menyalami kami. Dalam waktu singkat berhasil terkumpul dua ratus lima puluh Euro! Jumlah yang membuat kami optimis dapat menaklukkan Eropa sebagai manusia patung.
***
Famke menyerahkan kostum ikan duyung kepada kami. Ia mengajari cara bev-make up, menggunakan pembersih wajah, alas bedak, two way cake, bedak tabur, maskara, lipstick, glitter, dan cat body painting.
"Jangan sekali-kali pakai cat sablon karena kulitmu bisa melepuh. Kalau tak punya uang, pakai akrilik."
Kupandangi Famke dan bertanya, "Mengapa kau begitu baik pada kami, Somers? Orang sepertimu, seorang model haute couture, calon supermodel yang akan dikontrak Versace, dengan mudah dapat mengabaikan kami."
Jawabannya melambungkan semangatku. "Karena kalian berani bermimpi. Mimpi-mimpi kalian menginspirasiku."
Kami berpisah dengan Famke di Stasiun Sentral Amsterdam. Tujuan kami adalah Jerman, melalui kota paling utara Belanda yakni Groningen.
Perpisahan yang menyedihkan. Take care, gtiys, pesan terakhir Famke. Kereta bergerak pelan.
Kostum ikan duyung itu sangat besar, tak seluruhnya dapat masuk ke dalam backpack, Ekornya menjulur-julur. Melihat ekor ikan duyung itu, aku teringat akan seorang perempuan luar biasa, jawara pasar ikan, nun jauh di kampungku: capo Lam Nyet Pho. Dulu kami pernah bersembunyi dalam peti ikannya untuk meloloskan diri dari kejaran wakil kepala SMA kami yang garang. Capo yang terkejut ketika membuka peti mengutuki kami: Ikan duyung1. Bertahun lewat, langit yang menyimpan kutukan itu, hari ini mengguyurkannya ke sekujur tubuh kami. Perbuatan-perbuatan kecil yang buruk tak ubahnya bayi-bayi jantan Hyena, ia akan tumbuh, dan cepat atau lambat, akan mengepung induknya sendiri.
***
MOZAIK 30: Mevraouw Schoenmaker
Aku memasuki Groningen dengan perasaan seperti menghirup bau tengik buku-buku sejarah lama tentang kaum imperialis. Rasanya ingin muntah karena aku menjumpai tempat-tempat yang samar pernah kukenal lewat buku-buku itu: Zwolle, Emmen, Assen. Setelah satu jam meninggalkan Amsterdam, sampai ke Groningen, rumah-rumah penduduk saling berjauhan. Jarang kelihatan orang, bahkan sapi-sapi di sana tampak kesepian. Rasa mual itu meluntah sebab dari rumah-rumah terpencil tak bertetangga semacam itulah Westerling, Deandels, Jan Pieterszoon Coen, berasal. Mereka itu tak lebih dari orang kampung, namun mampu meramaikan hatiku dengan hikayat kejam yang berkobar-kobar. Hikayat tentang petualangan laki-laki putih yang memaksakan kehendaknya, membunuh, menindas, dan merampok rempah-rempah di mana pun mereka jumpai, untuk meracik arak agar mereka tak kedinginan pada bulan Desember.
Sejak awal aku tak ingin melewati Groningen. Lebih baik ke Jerman lewat Enchede atau Arnhem, pikirku. Namun, aku harus ke Groningen. Seorang perempuan, atau apa pun itu, yang bernama Njoo Xian Ling, tinggal di Nieuwstad di Groningen. Begitu berita Internet dalam bahasa Belanda yang tak terlalu kupahami.
Centrum, demikian sebutan pusat kota Groningen. Di sana ada prasasti untuk menghormati tentara Kanada yang menyelamatkan kota kecil itu dari kangkangan Nazi. Tower gereja, legendaris dengan sebutan Martini Toren, menjulang lesu. Agaknya ia lelah setiap hari menyaksikan bromocorah hilir mudik mencuri sepeda.
"Bike! Bike.'"
Maling-maling tengik itu mendesis keras setiap melihat wajah yang dengan cepat dapat mereka kenali sebagai pendatang baru di Groningen. Jenis sepeda dapat dipesan. Kurang dari satu jam mereka akan hadir membawa sepeda yang diinginkan. Maka jangan heran jika di Groningen melihat sepeda keranjang anak-anak diikat tambang kapal.
***
Kami berangkat ke Nieuwstad. Sampai di sana semangatku lumpuh karena tempat itu ternyata lokalisasi. Groningen's Red Zone. Apakah A Ling telah terdampar di sini? Di Nieuwstad memang banyak perempuan berwajah Asia dan mereka paling digemari. Aku bergegas menghampiri rumah sesuai nomor yang kudapat di Internet.
"Apa yang bisa kubantu, Anak Muda?" tanya seorang nyonya. Dari penampakannya aku yakin kalau Mevraouw Schoenmaker, begitu nama nyonya setengah baya itu, adalah seorang mucikari. Aku bertanya apakah ia mengenal Njoo Xian Ling.
"Banyak perempuan datang dan pergi, Anak Muda. Tempat itu seperti toilet umum saja." Hatiku ngilu.
"Aku tak mungkin ingat nama setiap orang, tapi Mevraouw Schoenmaker terkejut melihat reaksiku mendengar tapi.
"Bukan aku ingin memberimu harapan kosong, Anak Muda, tapi nama itu, siapa tadi ...."
"Njoo Xian Ling, Ma'am."
"Ya, nama itu, Xian Ling, sepertinya cukup familiar bagiku.Siapa ya, dia? Siapa, ya? Rasanya nama itu berhubungan dengan Rotterdam. Ah, aku lupa. Begitu banyak perempuan, silih berganti. Belum cukup tua yang ada, sudah bermunculan yang muda-muda."
Mevraouw Schoenmaker berusaha mengingat.
"Aku mungkin saja lupa Xian Ling. Namun, aku akan selalu ingat, suatu ketika seorang perempuan Tionghoa pernah datang, bekerja padaku sebentar, lalu pergi. Kata-nya ia ingin ke Rusia."
Hatiku runtuh. Dari data yang ku-print ada Xian Ling di kota pantai Belush'ye nun jauh di tepi utara Rusia sana. Tenggorokanku rasanya tersayat setiap kuingat Belushye. Kudengar kabar burung dari para backpacker, lokalisasi di Belush'ye sangat liar, tak manusiawi.
"Siapamukah Njoo Kian Ling itu, Anak Muda? Sepertinya ia sangat penting bagimu, ya?"
Aku diam saja karena hatiku telah lebam. "Oh, ya, aku selalu ingat pada perempuan itu karena dia sangat cantik, tinggi, dan baik."
Ingin aku menanyakan, apakah paras-paras kukunya indah? Namun, aku takut menerima kenyataan bahwa wanita itu A Ling. Aku cepat-cepat minta diri. Hatiku porak poranda.
***
MOZAIK 31: Ke Utara, Terus Ke Utara
O ebagai pemegang Schengen visa, kami bebas ^ keluar masuk banyak negara Eropa. Sebagian -negara Eropa tercakup dalam perjanjian bebas visa yang dirundingkan di kota kecil Schengen di Jerman. Kami tampil sukses di Bremen dan Frankfurt. Penjelajahan Eropa yang kami duga akan berat, ternyata tak lebih seperti plesiran pejabat BUMN untuk menghabis-habiskan sisa anggaran tahun takwim.
Malam terakhir di Jerman, kami membungkus diri dalam sleeping bag, tidur di sudut Stasiun Koin. Semula kuduga akan diusir petugas keamanan. Tengah malam dua orang tentara patroli yang masih muda, pria dan wanita, mendekati kami. Mereka menenteng senjata serbu otomatis Uzzy yang dapat memuntahkan lima ratus peluru per menit. Berpura-pura tidur, aku tahu salah satu tentara itu mengancingkan sleeping bag Arai. Jerman telah terbiasa dan menghormati tradisi backpacking.
Sikap tentara itu adalah kesan yang akan selalu melekat dalam hatiku dari bangsa yang memiliki sejarah politik yang kelam ini.
tv -w- -/>
Jalur kereta terentang panjang menuju permukaan air yang beriak-riak tenang. Gelombang pecah, mengurung bongkah-bongkah daratan yang seolah ditebarkan sekenanya dari langit, berkilauan disinari matahari musim panas. Timbul tenggelam, terang dan samar, lalu menghilang ke selatan, menuju Laut Baltik. Skandinavia, kami datang!
Gigiku gemeretak dicengkeram angin utara yang terperangkap di delta-delta, semenanjung, dan teluk yang berlika-liku di celah pulau-pulau kecil, meliuk-liuk. Denmark dikerubuti air. Di sana sini air, dan dingin, sedingin orang-orangnya. Mereka berkelompok di kafe-kafe, tak terlalu senang berkeliaran dan kurang tertarik pada seni bohemia jalanan. Seni mereka adalah lukisan-lukisan di galeri, seni teknologi, musik klasik, atau performing arts yang terpelajar. Di Denmark, Swedia, dan Norwegia kami tak laku.
Kami ke Islandia, jauh dan harus naik feri. Meski bersusah payah, aku bertekad ke sana karena Njoo Xian Ling. Aku berhasil menjumpainya. Ia terukir pada sebuah pusara: Xian Ling Montgomery, July 16, 1945-August, 18, 2DD2. Xian Ling adalah istri Brigadir Maurice L. Montgomery, komandan pangkalan militer Amerika di Islandia.
Helsinky, Finlandia, adalah kota Skandinavia terakhir yang kami kunjungi. Aku optimis. Sebab Helsinky kota yang toleran, tempat berbagai pertikaian besar umat manusia diselesaikan. Kota itu selalu berarti tiga kata bagiku: konferensi, negosiasi, dan resolusi. Ternyata, kota cantik nan penuh pengertian itu, terang-terangan mengkhianati kami. Kami membeli tuna sandwich, sepotong dibagi dua, itulah uang kami yang terakhir. Aku gamang karena kami akan mengarungi daratan raksasa. Daratan yang saking besarnya konon sampai terlihat dari bulan, negeri yang merindingkan bulu kuduk, negeri beruang merah yang garang: Rusia.
Melalui Internet kulihat kemajuan pesaing kami. MVRC Manooj dan Gonzales tengah jaya-jayanya di Belanda. Dalam foto, MVRC Manooj mendongak, tentu ia sedang menggoyang kepalanya sembilan kali, tanda hatinya riang gembira. Gonzales berpose bersama lima wanita sekaligus. Pria Meksiko itu makin tambun!
Townsend telah sampai ke Belfast, Irlandia. Kantongnya tebal dan semakin getol menyerang Stansfield, "Tak pernah ada orang Inggris melihat orang main akordion sepertiku."
Stansfield ngamuk, "Tentu saja! Karena di Inggris akordion mainan anak-anak!" Tak lupa ia melampirkan salam manisnya: bollock1.
Stansfield sendiri tengah beraksi di kota tua Zalsburg, berarti dia sudah menaklukkan Austria dan segera menyerbu Slovenia. Ninoch sudah mencapai Spanyol. Aku dan Arai menempuh jalur yang keliru, karena semakin ke Eropa Timur, seni jalanan semakin tak laku. Seharusnya kami lebih lama di Eropa Barat yang kaya seperti para pesaing kami, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya di sana untuk bekal melintasi Rusia.
Saat ini kami berdiri di bibir Finlandia, Kajaani. Beberapa puluh meter di depan kami teronggok Belomorsk, tanah federasi Rusia paling timur yang akan mulai kami jelajahi, dan kami tak 'kan berhenti sebelum menghirup udara Olovyannaya di titik paling barat Rusia, dekat Mongolia sana. Aku selalu terobsesi pada tantangan tertinggi dan cobaan sampai batas terendah aku dapat menoleransi daya tahanku. Berdiri di Kajaani, aku sadar, tantangan yang sesungguhnya menungguku dalam jarak belasan ribu kilometer antara Belomorsk dan Olovyannaya. Akankah aku dan Arai mampu menaklukkannya?
***
MOZAIK 32: Pohon-Pohon Plum
Kami memasuki Belomorsk dalam keadaan •^-bangkrut. Tiga jam tampil di sana, sampai bengkak kakiku, tak seorang pun melemparkan uang. Persoalannya: tak ada turis yang sudi bertandang ke pedalaman Rusia ini dan para penduduknya sendiri miskin. Keluar dari Belomorsk kami menapaki jalur gerobak lembu yang dipagari pohon-pohon plum. Berpantang meminta-minta, kami melahap buah plum mentah. Rasanya pahit di belakang lidah, seperti mengunyah getah.
Dengan menumpang bus sayur atau diam-diam melompat ke gerbong kereta minyak, kami sampai ke Moskwa. Kami tampil di Jalan Arbat bersama penari Kalinka dan hopaks. Kami juga berkenalan dengan seorang tua, Lara Mirniavsky. Ia orang Cossack dan badut jalanan kontra agusta yang berkarakter anarkis tapi lucu. Lara sedang mengumpulkan uang untuk biaya pulang ke Kansk namun ia sudah terlalu tua untuk tampil. Kami meloakkan kamera digital, jaket, dan sleeping bag untuk membantu Lara membeli tiket kereta. Menjual sleeping bag adalah perbuatan tolol, sebab sebagian besar Rusia Timur sebenarnya tak pernah mengalami musim panas. Tak mengapa, kami masih punya second s/c/n-baju terusan semacam baju monyet yang penting untuk melawan dingin.
Di Syzran nasib yang paling sial menghadang. Kami ditangkap polisi karena dianggap mengganggu. Seorang inspektur dan dua orang kopral yang tak bisa berbahasa Inggris, malah tersinggung waktu kuterangkan bahwa kami punya dokumen sah dan dilindungi konvensi Schengen. Baginya semua orang harus berbahasa sepertinya, jika ingin bicara dengannya. Sungguh sombong. Ketiga kalinya kuulangi penjelasanku. Inspektur yang mulutnya berbau vodka itu marah. Ia menghantam perutku dengan popor Kalashnikov. Arai melompat ingin melindungiku, kopral menghantam tengkuknya dengan gagang pistol Glock. Ia tersungkur, wajahnya menabrak kaki meja. Aku menghalangi inspektur yang ingin menendang Arai. Aku syok. Tak pernah, sama sekali tak pernah, ada orang memperlakukan kami seburuk itu.
Esoknya polisi-polisi itu mengantar kami ke luar batas desa. Kami dicampakkan dalam keadaan lapar, mulut bengkak, dan hati yang terluka. Peralatan penting, kompas dan Coflins World Atlas, tertinggal di kantor polisi. Beberapa batang pohon plum tumbuh liar dekat kami. Musim berbuahnya telah lewat, bahkan putik-putiknya tak tampak. Kami gasak daun-daunnya. Rasanya, tak dapat kugambarkan karena aku mengunyahnya sambil memejamkan mata, menahan napas.
***
MOZAIK 33: Ujung Dunia
Tika memang ada ujung dunia, Belush'ye-lah tempatnya. Belush'ye berada di Taiga Siberia, -bagian dari Siberia yang paling pelosok. Kota pelabuhan ini menempel di Cheshskaya, delta Laut Barents. Setelah itu tak ada apa-apa lagi selain Samudra Artik dan Kutub Utara. Jika musim dingin, suhunya merosot sampai minus 46 derajat celcius. Belush'ye dijuluki penjara dunia, surga bagi pelaut hidung belang dan orang-orang ganas yang tak menyukai daratan. Mengapa A Ling sampai terempas ke sumur neraka itu? Mengumpankan dirinya pada lelaki tak beradab? Jika terlintas akan hal itu, aku membeku di tempatku berdiri, waktu seakan diam, apa pun yang sedang kumakan, tawar rasanya.
Kami minta izin kondektur agar dapat menumpang dalam gerbong yang mengangkut bahan bangunan. Tengah malam ia menurunkan kami begitu saja, bukan di stasiun karena ada inspeksi.
Kami berjalan menuju desa terdekat dan bingung menghadapi perempatan: Kungur, Ufa, Kazan, Magnitogorsk. Tanpa kompas dan peta kami seperti tikus buta di tengah labirin. Keputusan tak boleh sembrono. Jika tersesat bisa dimangsa beruang. Tiba-tiba aku teringat akan seorang navigator alam tanpa tanding: Weh!
Aku mengeja bintang satu per satu dan aku tersenyum. Nun di langit yang jauh, tampak samar trapesium yang pernah kukenal.
"Arai! Lihat rasi belantik itu. Itulah timur!" Demikian Weh dulu mengajariku membaca langit. Belantik berada di atas Kazan, berarti utara di sebelah kanan.
"Kungur, Arai! Kungur adalah tujuan kita!"
Celah-celah dinding papan rumah penduduk Belush'ye masih disumpal potongan koran ketika kami tiba. Ada lubang sedikit saja, angin dingin Laut Barents dapat berakibat fatal bagi penghuninya. Aku bertanya pada seorang rastafari, guide lokal, apakah ia pernah mendengar seorang wanita penghibur bernama Njoo Xian Ling. Ia tertawa lebar, sinar matanya senang, penuh kenangan indah akan Njoo Xian Ling.
"Aye, aye, Xian Ling?"
Ia menunjuk sebuah perahu besar yang sengaja dikandaskan di tepi pantai. Perahu itu adalah rumah bordil. Pria-pria sangar keluar masuk pintu-pintu kecil di anjungan. Aku ragu. Aku bisa saja berbalik, melupakan rumah bordil sialan ini, melupakan A Ling, lalu hidup dengan tenang, penuh penipuan pada diri sendiri. Tapi aku tak ingin hidup seperti itu. Aku harus menemuinya, bagaimanapun hatiku akan berantakan. Aku menaiki tangga perahu, seorang pria menghadangku.
"Njoo Xian Ling?" kataku pelan.
Ya., Tuhan. Kuharap centeng itu mengatakan: siapa? Njoo Xian Ling, maaf tidak kenal, tidak ada yang namanya Njoo Xian Ling di sini.
"Aye, Xian Ling, ehmmm, dia ada di dalam," katanya tersenyum.
Meskipun aku telah mempersiapkan diri untuk kabar buruk ini, jawaban itu seperti tangan yang merobek dadaku, merogoh jantungku.
"Masuklah, Tuan."
"Bersenang-senanglah
Aku melangkah menuju pintu. Kakiku seperti digantungi barbel. Aku berdebar-debar mengantisipasi pertemuan dengan A Ling. Aku memutar gagang pintu. Rupanya Xian Ling telah berdiri di situ menungguku. Ia tak mengenaliku. Ia montok seperti bass cekik, batang lehernya jenjang, pinggulnya aduhai, berderet-deret di atas rak. Aku melonjak girang seperti orang menang judi buntut karena Xian Ling adalah merek obat kuat yang tertempel di botol-botol.
***
MOZAIK 34: Enigma
Seperti konstelasi bintang penunjuk arah yang mulai kupahami, kini semua enigma tentang Njoo Xian Ling terang bagiku. Para pelaut dari Nangjin dan Tiangjin yang berlayar menyusuri Selat Bering, berbelok ke utara memasuki pantai Rusia dan buang sauh di Eropa Barat termasuk Belanda, membangun jaringan distribusi Xian Ling di rumah-rumah bordil murahan sepanjang pelabuhan. Karena itu, Mevraouw Schoenmaker sempat mengatakan Xian Ling mengingatkannya akan kota pelabuhan Rotterdam dan obat kuat lelaki dalam botol seksi itu pasti pernah singgah di lokalisasi Nieuwstad di Groningen. Konon Xian Ling diramu sendiri oleh para pelaut dari bahan empedu ikan singa dan teripang.
Kami berbalik lagi ke barat, menuju Olovyannaya nun di tapal batas Mongolia. Setiap melewati perkebunan zaitun kami melamar kerja membantu petani memetik buahnya demi upah beberapa butir kentang. Ribuan kilometer telah kami tempuh.
Tanpa peta, kami tak tahu berada di mana dan tak tahu Olovyannaya sudah dekat atau masih jauh. Kebanyakan orang yang kami tanyai tak tahu di mana Olovyannaya. Kalaupun tahu, mereka menyebutnya dengan cara berbeda. Mengapa kami tak kunjung sampai? Rusia sangat luas, tak ada habis-habisnya. Di atas daratan ini bumi seakan rata, tak ada kesudahannya. Sejauh mata memandang adalah Rusia. Sering pandangan terhalang gunung dan hutan. Di balik gunung-gemunung itu, masih Rusia, dan di balik hutan-hutan itu, masih Rusia lagi.
Kami melewati kampung demi kampung. Sebagian adalah kampung tambang yang telah diabaikan: dingin, terpencil, dan seram. Kami terperosok ke pedalaman, menjumpai hal-hal yang aneh misalnya orang Muslim beribadah seperti Nasrani dan orang Nasrani fasih membaca Al-Qur'an. Ada masyarakat yang memuja kambing, memandikan bayi baru lahir dengan darah lembu, dan melemparkan ari-ari ke atas atap. Ada pula komunitas yang demikian patriarkis, para istri harus tidur di lantai dua gudang jerami dan hanya dikunjungi para suami jika diperlukan. Seperti kami inginkan dulu, terselip di antara bebatuan Gunung Urai, di desa-desa terisolasi yang tak pernah dikunjungi turis, kami melihat esensi Eropa. Kami menumpang kendaraan apa saja. Sering kali kami melakukan lifting, yakni mengacungkan jempol di pinggir jalan untuk minta tumpangan pada truk-truk ternak atau mobil tangki, dan kami makan apa saja yang ditemui di jalan, kebanyakan hanya daun.
Ajaib, secara fisik seharusnya aku telah runtuh. Namun, dalam diriku memantik bara yang membesar hari demi hari. Semakin kejam Rusia menindasku, semakin keras inginku menaklukkannya. Rusia telah membuatku menemukan intisari diriku. Rusia adalah potongan terbesar mozaik hidupku, yang membuka ruang dalam hatiku untuk memahami arti zenit dan nadir hidupku, seperti pesan Weh dulu.
Kami menumpang truk yang hanya kami tahu meluncur ke utara, berdesakan dalam baknya bersama perempuan pemetik buah pear. Mereka adalah orang-orang Chita, suku yang umumnya bekerja di kebun-kebun sebagai pemetik buah. Mereka bersahabat, mengajak kami bicara dengan bahasa yang sama sekali tak kupahami.
"Kai ... tuat ... kaituana ... tun ... na ... na
Bak truk riuh rendah karena mereka heran melihat orang asing. Dielus-elusnya rambut kami, dicubitinya kulit kami, diamatinya tubuh kami yang kumal dan compang-camping. Mereka memberi kami jeruk dan air minum. Perempuan-perempuan Chita berwajah lain dari kebanyakan penduduk asli Rusia yang telah kulihat. Mereka seperti orang Tongsan tempo dulu: lengannya besar-besar, tengkoraknya kukuh, rambutnya kaku, matanya kecil. Truk terbanting-banting di atas jalan berdebu. Pohon-pohon pear berjejer rapi. Tiba-tiba aku terperanjat, salah satu perempuan mengatakan sesuatu pada temannya.
"Tuat nai na Olovyannaya kai nai na."
"Tuat nai Oiovyannaya."
Aku melompat ke depannya, memekik.
"OLOVYANNAYA!"
Perempuan kecil itu terheran-heran. "Nai ... Oiovyannaya, Oiovyannaya, nai ...." Kami menghampirinya, mengguncang-guncang tubuhnya. Ia bingung. Seisi bak truk menatap kami. "Oiovyannaya! Oiovyannaya!" Kami menunjuk delapan penjuru angin. Ia paham. Ia menunjuk selatan, ke perempatan jalan yang baru saja dilewati truk.
"Oiovyannaya," katanya pelan.
"Stop! Stop!"
Penumpang bak truk menggedor-gedor kap depan truk, menyuruh sopirnya berhenti. Kami meloncat turun. Mereka berteriak-teriak, senang dan haru. Mungkin mereka merasakan, Oiovyannaya seperti tanah pengharapan yang telah kami cari seumur hidup.
"Oiovyannaya! Oiovyannaya!" puluhan tangan menunjuk ke arah yang ditunjuk gadis kecil tadi.
Pertemuan singkat kami dengan perempuanperempuan Chita itu amat mengesankan. Kami seperti dicampakkan oleh tangan nasib ke dalam bak truk untuk bertemu dengan mereka, satu kesempatan dari ribuan kali mereka berangkat ke kebun pear. Tanpa mereka, kami tak 'kan pernah tahu di mana Olovyannaya. Mereka seperti lebah yang membantu bunga-bunga bersemi. Merekalah potongan mozaik terakhir kami di Rusia. Perempuan-perempuan buruh kebun itu melambai-lambai, tanda perpisahan. Ada yang menghapus air matanya. Truk berlalu, hilang ditelan luapan debu.
Kami berlari kencang ke selatan. Di kejauhan tampak papan lusuh berbentuk anak panah dengan tulisan yang kabur. Kami mendekatinya dengan gugup. Berjuta perasaan menggelegak dalam hatiku. Semakin dekat semakin jelas, di situ tertulis Olovyannaya.
Arai menatap plang nama itu, matanya berkaca-kaca. Kami duduk di bawahnya, diam, tak berkata-kata. Kami tak punya apa-apa lagi, tubuh kami ngilu, tak bertenaga, tak sanggup melangkah lebih jauh. Puluhan ribu kilometer telah kami tempuh., berbulan-bulan menjelajahi Rusia, dengan cara yang tak 'kan pernah dipercaya siapa pun, dengan kisah yang kata-kata tak 'kan cukup untuk melukiskannya. Di bawah tiang arah itu aku takjub akan kekuatan mimpi-mimpi masa kecil kami. Sesungguhnya bukan kami, tapi mimpi-mimpi masa kecil itulah yang telah menaklukkan Rusia.
***
MOZAIK 35: Arloji
Aku terpukau mendapati diriku tengah berdiri di haribaan Laut Kaspia. Di utara situ adalah tanah nah Parsi: Iran. Orang-orang Parsi yang elegan, kenyang akan cobaan. Wanitanya jelita, tangguh, misterius. Orang Parsi selalu diidentikkan sebagai orang Arab, padahal sama sekali berbeda. Mereka mewarisi budaya tinggi gemerlap Islam dan kental akan pengaruh Eropa. Parsi adalah tanah peradaban, pertaruhan gengsi masa lalu, dan tarik-menarik estetika yang membingungkan, namun memesona.
Tak jauh di sebelah timur, persis di belakang kami, adalah Mongolia yang tak tersentuh, mengandung mara bahaya yang menerbitkan rayuan petualangan. Ingin rasanya mencoba-coba tantangan yang diembuskan angin-angin lembahnya yang jahat, tidur di padang sabananya sambil menghalau serigala dengan kayu bakar, atau terhalusinasi hantu-hantu gurunnya yang berumur ribuan tahun. Mongolia, sungguh menggoda! Tapi nanti saja, karena kami harus menemui janji-janji kami, kami harus ke selatan, terus beringsut ke selatan, menyelesaikan apa yang telah kami ikrarkan di Paris.
***
Dewi Fortuna tertawa lebar, sampai terbahak-bahak, ketika kami sampai di Akropolis, Yunani. Selesai tampil kami duduk di kafe pinggir Pantai Nabpaktos memesan makanan terenak, sampai kembung kebanyakan minum soda. Kami telah berpuasa panjang di Skandinavia, ditiup angin dingin Laut Baltiknya yang tajam, lalu dirajam ganasnya Rusia, kelaparan, dan terlunta-lunta, akhirnya terdampar di selatan Eropa, di Nabpaktos, berbuka puasa sembari dibelai angin laut Mediterania yang hangat sepoi-sepoi. Kami gemuk lagi dan bergelimang uang. Aku membeli kacamata ray ban yang selalu kuidamkan. Lebar kacanya, besar tangkainya, dan cokelat warnanya. Berkilat-kilat dari jauh. Celanaku cutbrai kordurai, cokelat juga warnanya. Kawan, aku sengaja masuk salon untuk memelintir rambutku, bergaya Bob Marley. Kemejaku? Bukan main kemejaku itu, mereknya Manly Executive, biasa dipakai salesman asuransi tingkat atas untuk menaklukkan janda kaya yang keras hatinya.
Lengan kemejaku itu panjang, lengket mengikuti lekak-lekuk tubuh, dan tentu saja, cokelat warnanya. Kemeja itu memiliki motto yang tertulis di bungkusnya: Baju untuk pria modern yang siap menghadapi tantangan miienium baru. Bukan main. Sepatuku, tak kurang dari Nike yang paling mahal, kusesuaikan warnanya dengan warna favorit rumah-rumah nelayan Yunani di Levkas: biru laut. Sentuhan terakhir, ikat pinggang dengan kepala yang sangat besar bergambar wajah Presiden Amerika Serikat Benjamin Franklin, pembebas kaum budak. Aku melangkah anggun penuh gaya pada satu sore yang syahdu di sepanjang Pantai Preveza, disinari cahaya kesuksesan. Aku mirip pimpinan orkes dangdut.
Tapi biarlah, biarlah norak begitu. "Toh, kita sudah pernah menggasak daun plum untuk bertahan hidup," cetus Arai. Ia membeli jaket kulit yang hebat. Bulu cerpelai melingkari lehernya. Agak sedikit kurang cocok di penghujung musim panas ini sesungguhnya. Tapi biarlah, biarlah norak begitu. Sepatunya sepatu koboi yang dapat dipakai untuk menyalakan korek api. Yang paling istimewa, Arai membeli jam tangan besar dengan tiga lingkaran di dalamnya.
Arai sangat bangga, nyaris terobsesi dengan jam tangan itu. Tak pernah luput satu hari pun ia tak mengelapnya, dengan saputangan khusus tentu saja. Jika ia berangkat tidur, jam tangan yang sangat mahal itu ia selimuti secarik beledu, lalu, dengan satu gerakan hati-hati, dibaringkannya di dalam sebuah kotak yang lux. Kotak itu dimasukkan lagi ke dalam kotak lain berkunci nomor kombinasi.
Tak pernah jauh dari jangkauannya. Sebelumnya ia mengamati dulu suhu kamar, apakah keadaan suhu tidak akan memengaruhi kinerja jamnya, sesuai petuah manualnya.
Kuamati jam yang hebat itu. Memang luar biasa. Satu lingkaran kecil di dalamnya menunjukkan waktu. Lingkaran lainnya seperti kompas, dan lingkaran ketiga, tak jelas. Dalam lingkaran ketiga ada cairan memantul-mantul liar. Ketika kukatakan pada Arai mungkin lingkaran ketiga itu semacam water pass atau neraca air yang biasa dipakai kuli bangunan untuk mengukur kemiringan permukaan papan, ia tersinggung tak kepalang.
"Lidah tak bertulang! Gampang nian kau bicara! Periksa kata-katamu, orang udik!"
Belum sempat aku membela diri
"Tahukah kau! Meskipun barang second, penjualnya bilang jam ini edisi langka Swiss Military!"
Aku menyusun kata untuk berkilah, tapi, belum sempat aku berteori ....
"Swiss Military! Dapatkah kaubayangkan itu?!"
Arai menggosok jamnya dengan lembut, seolah membujuk karena jam itu juga telah tersinggung.
"Jangan sembarang, ya! Ini arloji mahal! Tahan ban-ting, teknologi kinetik, kacanya kristal, bingkainya baja, tujuh turunan tak 'kan rusak! Tengok baik-baik, pernahkah kau melihat arloji segagah ini?!"
Benar juga, seingatku, aku hanya pernah melihat jam tangan seperti itu dipakai Syah Bandar Tanjong Pandan.
Ia merepet, "Jam ini kedap air, tahu! Bullet proof) Tahan peluru! Kaupikir Swiss Military jam kodian?! Jam ini dipakai para laksamana untuk berperang!"
Aku menyesal. Tak kuduga perkara arloji bisa sangat berarti bagi Arai. Aku ingin minta maaf pada sepupuku tersayang ini. Tapi ia masih sangat marah. Aku menyebut diriku sendiri sebagai ... insensitive.
"Tahu apa kau soal jam!"
Arai naik darah. Ia menggebrak meja, namun pada waktu yang sama, mendadak sontak kaca penutup arloji yang melekat di lengannya copot, jatuh ke bawah meja. Aku terpana, Arai pucat pasi.
Mulut kami ternganga melihat kaca bulat penutup arloji Swiss Military itu berguling-guling, berputar mengitari kaki meja, makin lama putarannya makin lemah lalu terbaring menyedihkan seiring luruhnya semangat Arai. Mental Arai merosot tajam. Aku diam terpaku, wajah Arai tegang. Aku menikmati detik-detik kemenangan semanis madu sambil menahan tawa sehingga rasanya kepalaku akan pecah.
Suasana membeku, tak ada yang bicara. Aku berinisiatif menyatakan kebenaran hakiki pendapat-ku melalui satu sikap gentleman yang menyebalkan, yaitu dengan memungut kaca itu dan menyerahkannya dengan takzim kepada Arai. Dalam hatinya pasti ia ingin mencekikku, tapi piramida kebanggaannya telah rontok. Wajahnya kuyu. Ia tak percaya arloji itu telah tega mengkhianatinya.
Aku mengusap-usap punggung Arai untuk membesarkan hatinya. Kukatakan kepadanya bahwa industri jam tangan tak se-innocent yang ia duga. Ia mengangguk campur jengkel. Pelan-pelan kutinggalkan Arai dan aku merasa beruntung sebab kejadian itu memberiku pelajaran moral nomor tiga belas yang sangat berguna yaitu tukang jam, tukang reparasi televisi, tukang dadu cangkir, dan penerbit buku adalah profesi-profesi yang patut dicurigai, di mana pun mereka berada.
***
MOZAIK 36: Janda-Janda Kecoa
Sekonyong-konyong, nasib kami berbalik di negeri Balkan. Orang-orang Balkan (Bosnia, Serbia, dan sekitarnya), korban perang itu, jangankan mengapresiasi seni, bahkan masih trauma akan peluru yang baru saja reda berdesing di atas kepala mereka. Secepat kehancuran Yugoslavia, sesegera itulah kami kembali jatuh miskin. Kacamata rayban-ku, celana kordurai, jaket bulu Arai, sepatu koboinya, semuanya harus tergadai atau dibeli setengah paksa oleh manusia-manusia setengah tentara setengah preman kaum rebef, renegade, para oportunis perang demi setangkup roti. Pohon plum jarang tumbuh di Balkan sehingga kami tak dapat menjadi herbivora dengan menggasak daun-daunnya. Di perempatan-perempatan jalan di Macedonia, kami menunggu mobil salvation army utusan gereja. Para pengikut Kristus yang taat itu setiap malam berkeliling kota membawa dandang besar berisi sup kacang merah. Mereka memberi makan para gelandangan, tanpa peduli gelandangan itu katholik, protestan, mormon, baptis, agnostik, atheis, budha, muslim, komunis, demokrat, repu-blikan, homo, lesbian, transeks, hetero, atau penjahat. Mobil bala keselamatan berkeliling kota setiap pukul sebelas malam. Jika kami berpuasa sunnah, maka kacang merah pukul sebelas malam itu adalah buka puasa sekaligus sahur kami untuk puasa esoknya.
Kami memasuki kantong-kantong kemiskinan Eropa: Bulgaria dan Rumania. Sejak hari pertama di Crainova, Rumania aku waswas. Seorang bapak tua berperawakan kurus tinggi selalu mengawasi kami. Gerak-geriknya mencurigakan. Ia berbaju over al/ seperti tukang, bersepatu boot, berkacamata gelap, kumisnya baplang, dan topi Greek Fisherman-nya jelas ia pakai untuk menyamarkan wajahnya. Ia celingak-celinguk. Jika kami dekati, ia menjauh. Ia mengisap tembakau dengan cangklong dan menyandang ransel. Isi ransel itu sebuah tabung. Seutas slang penyemprot menjulur dari kepala tabung. Ganjil. Selama menjelajahi Eropa, kami telah banyak melihat keanehan. Barangkali bapak tua itu dilanda waham kebesaran, megalomania, merasa dirinya detektif Sherlock Holmes, sakit gila nomor dua puluh empat.
Jika kami memandangnya, ia membuang muka. Kami beranjak, ia lekat mengikuti. Kalau kami tidur di bangku taman, ia tak jauh dari kami, mengintai sepanjang malam, seperti serigala menunggu mangsanya lengah. Malam ini kami kedinginan dan memilih tidur di halaman sebuah taman kanak-kanak, di bawah perosotan, karena halaman aspal taman kanak-kanak menyimpan panas siang tadi.
Tengah malam, aku sontak terbangun karena backpack yang kujadikan bantal ditarik seseorang. Aku melonjak.
"Arai!"
Belasan tahun, sejak kecil, Arai selalu melindungiku. Secara refleks, dalam keadaan genting, aku pasti memanggilnya. "Ikal!"
Rupanya refleks Arai sama denganku.
Kami bangkit dan mundur. Tiga orang lelaki dan seorang perempuan dengan seringai mengancam mengepung kami. Pria-pria itu besar seperti pintu dan selintas saja aku langsung tahu kalau mereka langganan jeruji besi. Tato yang dibuat untuk menyatakan mereka jagoan merambati tubuh mereka. Namun, yang paling seram adalah sang perempuan. Dia pasti menenggak narkoba sejak sarapan dan jelas ia gembong para begundal itu.
Mereka menggertak bersahut-sahutan, bahasanya, mungkin Slavia, sama sekali tak kami pahami. Tapi gerak lakunya adalah kalimah yang nyata bahwa mereka menginginkan apa pun yang kami miliki. Berulang kali kami dengar tiga pria itu menyebut Gothia jika bicara dengan sang perempuan. Kupastikan Gothia adalah nama betina liar itu. Pantas saja ia seram, namanya saja diambil dari kata Gothica.
"Jonas! Kostov! Ronin!" perintah Gothia pada
anak buahnya.
Jonas mendekat sambil menghunus trisula. Kostov, laki-laki beruang itu, memutar-mutar pentungan basebalf, Ronin membuka tutup lipatan pisau tajam Victory Knox, mengintimidasi. Situasi gawat, tapi aneh, Arai malah maju, kalem penuh nyali, sangat mengesankan.
"Guys, i f yon want to rob us, at least, do it in English
Gothia marah.
"Englishatannn!
"Hoitl Hoitl"
Sekonyong-konyong ia merogoh jaketnya dan, astaga, kejam sekali, perempuan itu mengeluarkan double stick, dua pentungan yang dihubungkan rantai. Benda itu gampang sekali membuat kepala benjol. Arai bergeming, dan ajaib, ia malah mengambil kuda-kuda seperti Muhammad Ali akan menumbukkan ketupat Bengkulunya ke pelipis George Foreman. Arai menantang mereka. Gila!
Merasa diremehkan, para penjahat itu kalap. Mereka merangsek. Arai berlari-lari di tempat, mengayun-ayunkan tinjunya, persis Muhammad Ali. Sinting! Seumur-umur aku antikekerasan, tak pernah sok jago, tapi melihat gaya Arai, keberanianku melambung. Aku menarik napas lalu mengeluarkan jurus-jurus yang aku sendiri tak tahu. Perampok makin rapat mengepung. Aku membuka ikat pinggang berkepala besar Presiden Amerika Serikat Benjamin Franklin pembebas kaum budak itu, kuputar-putarkan di udara, lalu aku melolong-lolong seperti Bruce Lee. Kami tak 'kan menyerah begitu saja. Bagaimanapun Rusia telah mendidik kami dengan keras, menempa sekaligus mengobati seperti racun obat. Bukankah sesuatu yang tak mampu membunuhmu akan membuatmu makin kuat? Aku dan Arai saling memunggungi, siap menerima terkaman empat begal.
"Hoit\ Hoitl" Gothia murka.
Mereka mengintai celah untuk menyerang. Aku tahu, sekali sergap saja kami pasti tumbang. Kami persis sepasang ayam hutan dalam kepungan kawanan jakal. Tapi kami tak 'kan menyerah tanpa berkelahi dulu. Tiba-tiba siasat ahli strategi perang Cina zaman purba Tsun Zhu menyelinap dalam kepalaku: buatlah musuhmu gelap mata. Mereka yang gelap mata tak 'kan menang. Sambil terengah gentar, aku mengejek para penjahat itu, agar mereka gelap mata.
"So, you don't understand English?1. Ye, Gothial?
"I bet, you don't.!
"Even a bit\\"
Arai paham maksudku, ia memprovokasi.
"Terribly stupid1.
"Can you read? Gothiall"
Aku menyambung, memanas-manasi Gothia. "Don't you have something important to do, Gothial?
"Pathetic criminals1. Scumbags1. "Hopelessl"
Benar saja, seperti menggoda anjing beranak, wajah mereka merah padam. Terutama Gothia. Lingkaran hitam matanya menjadi kelam, bibir kisut pecandunya bergetar-getar. Ia menyelipkan kembali doubie stick di pinggang kanannya, namun, ya ampun, dari pinggang kirinya ia mengeluarkan sebilah wakizashi, pisau yang dipakai orang Jepang untuk merobek perut dalam harakiri. Tajam berkilauan. Gothia naik pitam.
"You peopie, you die, tonight1. Hoitl
"Die, die, diel"
Tsun Zhu yang sok tahu! Pasti orang Cina tak pernah berhadapan dengan begundal Rumania! Mengapa kuikuti muslihat tololnya? Inilah akibatnya. Tadi mungkin Gothia hanya ingin merampas dan meninggalkan kami dalam keadaan benjol, tapi sekarang, mereka tak 'kan berhenti sebelum memotong telinga kami.
"Die, die, diel"
Kostov melayangkan pemukul basebaii. Gothia menusuk-nusukkan wakizashi. Arai menendang-nendang dan aku memutar ikat pinggang kencang-kencang. Kawanan rampok makin beringas. Kami pasti habis kali ini. Turis tewas dijarah adalah berita biasa. Ronin berhasil menyentak Arai, ia terjengkang. Aku ingin melindungi Arai tapi wuth! Pentungan Kostov nyaris membabat lututku. Jonas menarik backpack-ku, isinya terburai. Gothia menunjuk kostum ikan duyung, ia menginginkan kostum itu. No way! Kostum Famke Somers itu adalah nyawa kami. Aku berusaha meraihnya tapi Gothia memotong jangkauanku dengan menampaskan pisau wakizashi. Perempuan kejam itu bahkan tak peduli kalau tindakannya dapat memutuskan tanganku. Sadis tak kepalang. Barang-barang kami berhamburan. Mereka tak peduli karena bernafsu mencelakai kami. Mereka mendesak, kami terjajar ke dinding taman kanak-kanak, terpojok, tak berdaya. Gothia siap membantai kami. Ia maju dengan buas, nyawa kami di ujung tanduk, namun dalam krisis yang memuncak seseorang berteriak "Tarnuil Tainuil"
Sesosok bayangan berkelebat dan tiba-tiba, dari balik kegelapan, menyeruak bapak tua Sherlock Holmes itu. Ia menghambur dan jelas ingin menyelamatkan kami. Ia meraih kepala slang tabungnya, menutup hidungnya dan menyemprot para penjahat itu dengan gas putih. Aku mencium racun: pestisida! Kami menutup hidung. Para perampok kocar-kacir, berteriak memaki-maki, tunggang-langgang tak keruan arah. Bapak tua itu megap-megap. Begitu cepat semuanya berlangsung. Beberapa detik yang lalu kami terancam bahaya maut, tiba-tiba dalam sekejap semuanya aman. Kami diselamatkan oleh pria yang dua hari ini kami anggap penderita sakit gila nomor dua puluh empat: waham kebesaran.
Terus terang aku takut. Jangan-jangan kami baru saja lolos dari mulut buaya dan masuk lagi ke kerongkongan ular boa, dan ular boa ini jauh lebih berbahaya. Senjatanya pestisida. Aku pernah tahu, di Lampung orang meracuni gajah dengan pestisida, mamalia jantan seberat lima ton dengan mudah dapat putus nyawanya. Kehidupan malam di jalanan Eropa sering mengerikan. Psikopat, anarkis, paedophile, serial killer, exhibionist, megalomaniac, berkeliaran men-cari mangsa. Bapak tua ini pasti salah satunya, namun semua prasangka itu luntur waktu ia membuka penutup wajah balactava-nya. Dari kilau kuning lampu jalan tampak wajah yang Jenaka. Ia tersenyum bersahabat, meskipun agak mengerikan karena ia hampir tak punya gigi. Ia mengulurkan tangannya, menyalami kami, dan apa yang dikatakannya membuatku nyaris semaput.
"Nhamha sayhha Toha, ashlhii Purbhalinggha."
Arai memekik.
"Toha! Asli Purbalingga?!"
Bapak itu tertawa lebar, mengangguk-angguk penuh semangat. Ia membuka topinya dan aku mengenali wajah pribumi yang biasa kulihat menjaga pintu kereta api, menarik ongkos bus ekonomi antarkota, atau menjual brem di sepanjang jalur Alas Roban. Menakjubkan, nun di kota terpencil nan kumuh Crainova, di pelosok Rumania, bahkan tak tampak di peta, kami menemukan orang Jawa.
Kami melompat-lompat berpelukan. Sejak pertama melihat kami di Stasiun Crainova, Pak Toha yakin kami orang Indonesia, tapi ia minder untuk kenalan. Mengapa minder? Sekarang ia senang berjumpa dengan kami, seperti telah ditunggunya sepanjang hidup. Senyumnya tak kun-jung padam. Ia berkisah berapi-api. Dialek Banyumasnya masih kental. Hanya saja, giginya yang ompong menyebabkan kata-katanya banyak dicampuri huruf dan y. Namun, suaranya berubah menjadi berat saat bercerita bahwa ia telah tinggal di Rumania sejak tahun 196S. Menyebut tahun 196S, matanya berkaca-kaca. Kami tak bertanya. Tahun politik Indonesia yang gelap gulita itu telah membuat Pak Toha terpelecat jauh dari Purbalingga sampai ke negeri Balkan, dan merasa dirinya orang terbuang membuatnya minder. Pak Toha tahu sejak dua hari lalu kami diincar begal. Di-am-diam, ia mengawasi kami untuk melindungi.
"Athi-athi, bhhanyahhk rhamphhok."
Menyenangkan sekali ngobrol dengan Pak Toha. Seperti kebanyakan orang Banyumas, ia bersahabat dan periang. Obrolan yang paling seru adalah soal profesinya.
"Akhu therkenhal mulhai dhari Orhadhea sampai ke Bhiradh."
Oradea sampai ke Birad, itu artinya Rumania dari ujung ke ujung. Kami bertanya, apa gerangan profesinya hingga ia masyhur.
"Akhu adhalah seorhang pembasymi kechoa."
Pak Toha ke mana-mana membawa tabung pestisida karena ia adalah seorang insect exterminator. Pekerjaannya mengusir tikus, nyamuk, rayap, kecoa, dan berbagai serangga pengganggu rumah. Dengan rendah hati dan humor khas Banyumas, ia memarginalkan dirinya sebagai pembasmi kecoa saja. Pak Toha ternyata juga seorang ahli elektronik. Dulu, sebelum hengkang dari Indonesia, ia tukang rep-rasi elektronik. Kami penasaran melihat benda kecil berbatere lima volt rakitannya sendiri, ia memencet tombol on.
"Bhukanh syulhap, bukhan syihir, he ... he ... he ...I"
Mulanya tak terjadi apa-apa. Tapi lambat laun dari sela-sela rangka perosoton, dari balik papan ayunan anak-anak, dari dalam ban-ban mobil pengaman benturan, kulihat beberapa ekor kecoa berputar-putar kebingungan. Lalu aneh binti ajaib! Kecoa-kecoa itu mendekati perangkat kecil ciptaan Pak Toha. Belasan ekor jumlahnya. Mereka mengerumuni benda itu, lalu dengan satu gerakan tangkas yang terlatih, Pak Toha memencet kepala slang tabungnya, dua detik kemudian kecoa-kecoa bergelimpangan, tertungging-tungging seperti ekstremis dibedil Kumpeni. Aku terpana.
"Nashib syial kechoa jantan, he ... he ... he ...."
Perangkat kecil itu seperti tak berbuat apa-apa, diam saja di situ, tapi sebenarnya ia memancarkan suara frekuensi tinggi yang tak dapat didengar manusia, hanya didengar kaum kecoa. Lebih aneh lagi, Pak Toha mampu membuat suara godaan bagi kecoa jantan. Jika benda itu dihidupkan, kecoa jantan terbakar berahinya, berbondong-bondong menuju asal suara, namun ternyata mereka hanya menemui ajal di tangan malaikat sakaratul maut Toha. Pusing kepalaku memikirkan bagaimana Pak Toha melakukan semua itu. Arai, sebagai seorang mahasiswa biologi yang cemerlang dan telah belajar ilmu paal hewan-hewan, sampai mengaduk-aduk rambutnya.
Pak Toha rupanya ingin ke ibu kota Rumania:
Bukares. Kami ceritakan kepadanya bahwa kami pun hanya mampir di Rumania dalam rangka menjelajahi Eropa dan akan terus ke Eropa Barat sampai ke Afrika. Cangklong Toha menggantung, matanya yang lucu melotot. "Ghuendheng!"
Ketika akan berpisah, kuat sekali Pak Toha memeluk kami. Detak jantungnya lambat tapi berdegup-degup dan kutangkap satu kilatan yang pahit di matanya. Pasti karena kerinduan yang akut akan kampung halaman, atau karena penganiayaan batin tanpa belas kasihan. Kami saling menguatkan dengan menceritakan kejadian-kejadian lucu. Aku tak ingin sedih meninggalkan Pak Toha. Lagi pula, sulit kutahan tawa, sebab aku tahu, jika nanti Pak Toha sampai di Bukares, akan banyak kecoa Bukares yang menjadi janda.
Di antara senda guraunya, Pak Toha berkali-kali mengusap matanya yang basah. Aku mengagumi ketabahan dan prinsip-prinsipnya yang selalu optimis, meski mungkin ia telah difitnah, ditakut-takuti, dan ditinggalkan semua orang. Kami saling melambai sampai jauh. Pak Toha tetap terse-nyum, malah aku yang tersedu. Toha, orang Banyumas berhati mulia yang kutemui di pedalaman Eropa adalah Weh kedua dalam hidupku. Weh dan Pak Toha, laki-laki terbuang dengan pilihan hidup yang getir, mencerahkanku dengan cara yang tak dapat kujelaskan. Tapi paling tidak, Pak Toha telah memberiku pelajaran moral nomor empat belas tentang filosofi kebahagiaan, yaitu: tertawalah, seisi dunia akan tertawa bersamamu; jangan bersedih karena kau hanya akan bersedih sendirian.
***
MOZAIK 37: Trasendental
T bunda guru Muslimah Hafsari, adalah guruku yang pertama. Dulu, waktu aku masih SD, beliau pernah berpesan pada kami, murid-muridnya, para Laskar Pelangi, "Jika ingin menjadi manusia yang berubah, jalanilah tiga hal ini: sekolah, banyak-banyak membaca Al-Qur'an, dan berkelana." Aku paham sekolah dan membaca Qur'an dapat mengubah orang karena di sanalah tersimpan kristal-kristal ilmu. Baru di sini, di Rumania, aku dapat menggenapi arti pesan itu.
Berkelana tidak hanya telah membawaku ke tempat-tempat yang spektakuler sehingga aku terpaku, tak pula hanya memberiku tantangan ganas yang menghadapkanku pada keputusan hitam putih, sehingga aku memahami manusia seperti apa aku ini. Pengembaraan ternyata memiliki paru-parunya sendiri, yang dipompa oleh kemampuan menghitung setiap risiko, berpikir tiga langkah ke depan sebelum langkah pertama diambil, integritas yang tak dapat ditawar-tawar dalam keadaan apa pun, toleransi, dan daya tahan. Semua itu lebih dari cukup untuk mengubah mentalitas manusia yang paling bebal sekalipun. Para sufi dan mahasiswa filsafat barangkali melihatnya sebagai hikmah komunikasi transendental dengan Sang Maha Pencipta melalui pencarian diri sendiri dengan menerobos sekat-sekat agama dan budaya. Aku dan Arai menyebutnya sebagai: itulah akibatnya kalau berani-berani bepergian sebagai pengamen1.
Awal September kami sampai ke Estonia. Tak seperti biasanya, Arai bermuram durja. Senyum manisnya yang selalu mengembang tiba-tiba padam. Seharian ia melamun di bawah pohon hawthorn yang juga selalu tampak sendu. Ia menghadap ke pelabuhan Estonia. Hatinya mendung, pandangannya jauh. Aku tahu, pikirannya hanyut menyeberangi Teluk Finlandia., meluncur ke Laut Utara, mengalun-alun di atas riak perairan Inggris, bergabung dengan Samudra Atlantik, berbelok ke Samudra Hindia, lalu hinggap di rumah kos Zakiah Nurmala di Srengseng Sawah, Depok.
Tanggal 14 September adalah ulang tahun Zakiah. Inilah sumber gundah gulana itu. Sungguh setia cinta dalam hati Arai. Cinta yang besar, suci, dan rabun. Aku ingin melipur laranya. Diam-diam kuloakkan second skin-ku, tindakan yang tolol tak terkira—padahal jika dingin menyerang, second skin itu nilainya sama dengan nyawa demi membeli Asiacard untuk Arai.
"Hadiah ulang tahun untuk Zakiah, Rai."
Arai tercengang, telinganya berdiri, hidung jambunya mengembang.
"Kau punya nomor telepon Zakiah kan, Rai? Telepon dia sekarang. Ucapkan selamat ulang tahun. Ini Asiacard, kartu internasional IP Teiephone, teknologi Internet, canggih."
Arai melompat girang. Kesedihannya menguap.
"Sungguh perhatian, mengharukan! Orang se-pertimu akan masuk surga, Kal."
Sore itu kami bergegas ke booth telepon umum. Arai menggosok belakang kartu untuk memunculkan pin-nya dengan sikap seperti orang primitif memantik batu untuk menyalakan api. Setelah memencet nomor yang panjang dan mengikuti instruksi dalam bahasa Inggris yang merdu, telepon berdering di Srengseng Sawah sana. Hebat betul IP Teiephone. Deringnya deiay tapi suaranya nyaring. Arai pucat mengantisipasi suara Zakiah. Tubuhnya kaku waktu telepon diangkat. Dari speaker di gagang telepon yang dipegang Arai, jelas kudengar suara Zakiah. Ia menderam seperti mengigau. Pasti ia kaget disentak dering telepon.
"Hooaaacchhh ... eehmmm ... alo, alooo, hhooacchhh ...!" nadanya jengkel.
Saking bersemangat, aku dan Arai tak sadar kalau di Indonesia saat itu pukul dua pagi.
"Halo, halo, Zakiah, ini Arai, Arai!"
"Hhhooacchhh!"
"Ini Arai, Arai, selamat ulang tahun, ya." Arai sumringah, tapi jawaban Zakiah sengak. "Ha, Arai!"
Arai, seperti biasa, menjawab dengan polos.
"Ya, Arai, Arai, selamat ulang tahun, ya
"Arai!" bentak Zakiah kejam. "Tahukah kau jam berapa sekarang?!"
Arai cengar-cengir, tapi senang. Baginya, mendengar suara Zakiah Nurmala cukup untuk membuat hatinya bersuka cita, meski suara itu adalah omelan.
"Tahukah?!"
Arai kena semprot.
"Menelepon anak perempuan pukul dua pagi, bahkan ayam-ayam belum bangun! Kausebut dirimu laki-laki Melayu yang santun?!"
Arai meringis.
"Itu rupanya ajaran yang kaudapat di luar negeri, ya? Tak tahu adat!" Crakk!
Zakiah membanting telepon sekuat tenaga. Arai terpaku. Aku membuang wajah keluar booth telepon, tak tega memandang muka sepupu jauhku itu. Tapi kemudian Arai terkekeh sambil menepuk-nepuk bahuku.
"Jangan cemas Ikal, kaudengar tadi, kan? Dia masih mencintaiku."
Kami telah menusuk ulu hati Eropa setelah membabat habis seluruh Eropa Timur, Tengah, dan negeri-negeri Balkan. Estonia adalah puncaknya. Kami hanya terhenti ka-rena dihadang Laut Baltik. Kapal feri membawa kami dari pelabuhan Estonia ke Hamburg, merambah lagi Eropa Barat melalui Swiss.
Swiss, gemah ripah hh jinawi. Pada setiap sudut tercermin kekayaannya. Kami menyelusuri avenue di Interlaken, sebuah mobil Bentley menepi dan menekan klakson hati-hati. Aku menyingkir. Mobil mewah itu memperlambat lajunya lalu berhenti. Sopirnya, sudah tua, bertopi seperti pilot, menurunkan kaca dan melambai. Barangkali ingin me-nanyakan alamat. Aku mendekat. Dengan bahasa Inggris yang sangat halus, ia bertanya, "Bersediakah Anda masuk ke dalam mobil ini?"
Ia melirik seseorang di jok belakang. Di situ duduk seorang pria Kaukasia setengah baya dengan pakaian top eksekutif yang elegan. Sepertinya ia sedang break sebentar dari sebuah seminar. Ia ramping dan tampan, rambutnya putih. Ia tersenyum dan mengangguk sopan.
Tawaran yang sangat baik dan tak biasa.
"Bersediakah?"
"Terima kasih, maaf, saya biasa berjalan kaki, terima kasih."
Aku beranjak, dia bertanya lagi, "Bersediakah?" Laki-laki tampan tadi tersenyum, mengangguk lagi, agak aneh.
"Terima kasih, Pak. Tak apa-apa, saya jalan kaki saja."
Aku melengos pergi. Bentley d\-start, meluncur pelan mengiringiku. Sang sopir tak sabar. Ia berteriak kecil, memecah misteri.
"Tiga ratus tujuh puluh lima Euro? Bersedia?" Aku tertegun. Ah! Betapa naif aku tadi. Kini aku paham maksudnya, terang benderang. Laki-laki di jok belakang itu seorang gay.
"Short time, Boy," sopir makin eksplisit.
"Not more than one hour," ia berani kurang ajar.
Aku tak acuh, Bentley mengekor. "My boss wants yon, Boy," kalimat sopir menjadi mekanik. "Please ...."
Mobil ngerem mendadak, diam di tempat dengan mesin menyala. Kuhampiri Bentley itu. Tiga ratus tujuh puluh lima Euro, bukan sedikit uang. Menggiurkan. Dirupiahkan hampir empat juta. Berdiri sebagai manusia patung ikan duyung selama lima jam, berhari-hari, belum tentu dapat segitu. Jika kuiyakan, aku termasuk high ctass male prostitute. Apa yang dilihat laki-laki itu pada diriku? Ia pasti berspekulasi aku akan meladeni tawarannya. Spekulasi, membuat transaksi ini mahal.
Kuketuk kaca belakang. Ia membuka jendela mobil. Sebenarnya aku ingin langsung mendampratnya tapi itu tak adil. Disorientasi bukan pilihan, homoseksualitas bukan kejahatan, dan ekspektasi adalah hak. Aku tak pantas melukai hatinya, aku bahkan tak perlu menjadi kasar untuk menegaskan bahwa aku hetero.
"Piease accept my apoiogy, Sir. Kind o f bus y today, how about some other time? May bel"
Ia tahu aku telah menampiknya dengan halus.
"Fine, Young Man, Some other time then, have a wonderfui day ..."
Bentley meluncur. Aku dan Arai melanjutkan perjalanan. Kulihat Bentley itu sampai jauh dan satu firasat terbit dalam benakku bahwa makin ke selatan aku beranjak, akan semakin ajaib pengalamanku. Aku waswas mengantisipasi Austria di depanku.
***
MOZAIK 38: Enam Belas Tahun Tuhan Menunggu
Ia menjual kebab di depan Stasiun Sentral Austria. Namanya Mashood. Tubuhnya tambun, wajahnya licin, bulat, dan Jenaka. Matanya riang.
"Brother Muslim1. Oh, Subhanal/ah, marhaban, marhaban."
Kami tanyakan di mana masjid. Merasa ditanggap, ia senang tak kepalang. Mungkin selama hidupnya ia selalu tak dipedulikan, bahasa Inggrisnya tak keruan.
"Ada beberapa masjid, yeee, understand? Antum, understand, yeee ...." Kami manggut. "Very good." Darinya kami mendapat sedikit pelajaran tentang adat orang Islam di Eropa.
"Ada masjid orang Arab, dan hanya orang Arab di sana. Lain lagi masjid Turki, hanya melulu orang Turki, yeee. Selebihnya, brother muslim berkumpul di Masjid Afghanistan, di Gmunden."
Mashood mangatur napas.
"Jema'ah Somalia, Sudan, Etiopia, Maroko, Syria, Palestina, Yordan, Irak, Iran, Malaysia, dan sering ada Indonesia tumplek di Masjid Afghanistan, yee ... very good, understand, yeee ... tapi ... brothers
Mashood mendekat, berbisik, bangga meletup-letup dalam dirinya. "Simak ini”
Ia menenangkan diri.
"Siap ...? Siapkah kalian mendengarnya ...?!" Kami merapat.
"Sudah siapkah kau itu, brothers?" Menjengkelkan. Yang akan dikatakan tukang kebab ini tentu sangat penting.
"Imam masjid itu sangat hebat! Hebat sekali! Masih muda, bukan sembarang! Imam itu pahlawan Afghanistan! Bukan sembarang!"
Mashood benar-benar mengagumi sang Imam. Sampai-sampai berkeringat ia menceritakannya. Ia membekap dadanya, meredakan detak jantungnya, bersusah payah me-matut-matut kalimatnya.
"Selain pahlawan perang, ia juga seorang hafiz, ia hafal Al-Qur'an! Dapatkah kaubayangkan itu? Tahukah engkau berapa ratus lembar Cjur'an itu? Ludes di luar kepalanya! Yeee ... hebat bukan buatan Imam itu. Ia disegani Imam mas-jid mana pun, disegani siapa pun, bahkan Pemerintah Austria takut padanya."
Hebat nian, siapakah Imam itu?
"Gedung putih juga takut! Understand? Yeee
Kami manggut lagi "Very very good\"
***
Kami penasaran. Ingin sekali berkenalan dengan Imam yang sakti itu. Jumat pagi kami berangkat ke Gmunden. Bangunan yang kami temukan sama sekali tak tampak seperti masjid, ia hanya sebuah bangunan tua art deco yang dulu mungkin gudang senjata. Umumnya negara-negara Eropa melarang eksposur atribut-atribut agama, bahkan azan tak boleh terdengar ke luar gedung.
Rupanya Mashood sudah menyebarkan berita akan datang dua jemaah baru dari Indonesia. Di depan masjid, kami disambut kelompok Palestina, hangat sekali. Lalu orang-orang Sudan dan Somalia: hitam, solid gang-nya, pekerja kasar, tapi taat salatnya. Mereka memeluk kami satu per satu. Berikutnya kelompok Syria, Iran, dan Mesir. Hari itu sangat ramai, ratusan orang berduyun-duyun. Mereka bergerombol mengelilingi kami, menanyakan kabar beberapa tokoh Islam penting di tanah air. Cukup mengagetkan karena mereka tahu sepak terjang tokoh-tokoh itu le-bih dari kami. Namun, belum kelihatan orang-orang Afghanistan. Tiba-tiba Mashood mendekat.
"Imam ingin bertemu kalian! Ah, alangkah beruntungnya!" pekiknya. "Very very gooooddd ...."
Jemaah lain mengangguk-angguk. Satu kesan jelas kutangkap, orang Afghanistan disegani sesama orang Islam dari bangsa mana pun. Mungkin karena mereka patriot, para prajurit tempur, dan tetap tak terkalahkan meski negerinya porak poranda. Kemudian datanglah rombongan patriot Afghanistan itu. Mereka tak lain pejuang Mujahiddin yang mendapat suaka politik di Austria setelah bertikai dengan Aliansi Utara milisi Taliban.
Rombongan itu berjalan tenang, beriringan, jubahnya melambai-lambai. Tampak betul mereka tak pusing lagi dengan urusan dunia. Jelas terbaca dari pancaran wajahnya bahwa mereka dengan senang hati rela menyerahkan nyawa demi membela agama, bahwa yang paling mereka rindukan adalah pertemuan dengan Ilahi untuk diangkat ke Arash-Nya. Mereka tampak gagah berani. Keberanian yang tak diumbar melalui kata-kata kasar dan paras yang sangar. Keberanian mereka adalah keberanian yang dalam, tersembunyi di balik wajah tampan bercambang dan mata nan teduh. Aku takjub, aku seakan melihat serombongan kha-lifah penguasa jazirah.
Satu di antaranya sangat bersahaja. Ia dikelilingi pria-pria tinggi besar semacam body guard. Ia paling muda, tapi setiap orang menjaga jarak dengannya. Pastilah ia sang Imam. Rombongan yang tadi mengerubuti kami membuka jalan, menunduk takzim, dan bersahut-sahutan mengucap salam pada sang Imam. Aku paham, tak begitu saja seseorang dapat diangkat menjadi Imam untuk masjid pusat pertemuan muslim berbagai bangsa ini, sang Imam, meskipun masih muda, tentulah bukan manusia sembarang. Setiap suku kata Mashood, benar adanya.
Di ambang pintu masjid seseorang menghampiri Imam, berbisik. Imam menoleh kepada kami, ia tersenyum. Aku terkesiap. Imam, bersama empat orang body guard-nya tadi, berbalik menuju kami. Aku gugup.
Sebenarnya posturnya kecil saja, sedikit lebih tinggi dariku, namun ada sesuatu yang membuatnya kelihatan sangat besar, sesuatu yang tak kasatmata. Ketika ia melangkah, seakan udara bergelombang dilibas jubahnya yang melayang-layang. Orang ini memiliki aura seorang raja. Imam semakin dekat, wajahnya yang tirus dihiasi cambang, bersih bercahaya karena air wudhu yang hidup terus-menerus. Arai pucat, aku gemetar, aku merasa seperti dihampiri malaikat.
"Assalamualaikum, my brothers," sapanya lembut namun penuh tenaga. Ia langsung memelukku dan Arai.
Kami hanya mampu menjawab dengan lirih. Aku tak sanggup menatap wajahnya. Di depan orang ini, aku, dan ibadahku yang naik turun, rasanya tak pantas. Aku malu pada diri sendiri. Ia mengucapkan kata-kata selamat datang, kami masih tertunduk, lalu jantungku rasanya copot waktu ia mengenalkan namanya.
"Saya Oruzgan, Oruzgan Mourad Karzani "
Masya Allah. Kami mengenalnya! Bertahun-tahun yang lalu kami telah mengenalnya! Dialah yang kulihat di TVRI balai desa dulu dari reportase Ibu Toeti Adhitama. Inilah pahlawan besar Balloch yang menumbangkan resimen Tentara Merah di Lembah Towraghondi tahun 1988, Salah satu penentu hengkangnya Rusia setelah dua belas tahun menginvasi Afghanistan.
Dia memang sama sekali bukan orang sembarang. Wajar saja kharismanya mampu menelan kami bulat-bulat. Laki-laki ini telah melemparkan granat ke iring-iringan tank Rusia, berjingkat-jingkat menghindari ladang ranjau, hidup bertahun-tahun dalam lubang perlindungan, menyerbu musuh dalam desing peluru, berlari menyandang senapan AK-47 di atas mayat-mayat yang bergelimpangan, ketika usianya baru empat belas tahun!
Betapa aku mengagumi Oruzgan. Ia menatap kami, sinar matanya lembut namun mengandung kekuatan yang dahsyat. Di depannya rasanya aku bersedia mengakui semua kesalahan yang pernah kulakukan, melaporkan semua kejahatan kecilku, Arai sampai ingin mencium tangannya.
Lama kami berbincang dengan Imam. Pengetahuan agamanya seluas samudra.
"Al-Qur'an mengandung science dan sastra terhebat," ujarnya.
Azan pun berkumandang. Masjid penuh sesak. Aku dan Arai mengambil tempat di tengah. Nyaman rasanya berada di dalam masjid yang hangat, di antara ratusan brother muslim yang bersahabat. Usai khotbah, yang disampaikan dalam bahasa Arab, jemaah berdiri untuk salat Jumat, berdesakan.
Aku di sisi kiri Arai, Mashood di kanannya. Imam Oruzgan memimpin salat dan mulai membaca Al-Fatihah. Jemaah terpaku dalam khidmat.
Sejak imam mengucapkan Basmallah, aku dan Arai terpejam, khusyuk. Suara imam mendayu dalam masjid yang senyap. Aku dan Arai terhanyut. Senandungnya perlahan membawaku melayang ke Masjid Al-Hikmah di kampungku di Belitong, sebab lekukan tajwid, gaya, dan lagu imam sangat mirip dengan senandung imam kampung kami, Taikong Hamim. Ayat demi ayat mengalir, membelai-belai dan aku tercabut dari masjid itu. Aku serasa berdiri bersama puluhan anak Melayu di saf belakang Masjid Al-Hikmah. Suasana tenteram dan damai, namun ketika Imam Oruzgan sampai pada ayat terakhir Al-Fatihah, Waiad Dhoiiiiiin kekhusyukanku sontak berantakan. Aku terperanjat mendengar jeritan panjang, nyaring meliuk-liuk, seperti serigala mengundang kawin.
"Aaammmiiinnn ... mmmmmiiinn
mmiiiiiiiinnnnn ... mmmiiiiiiiiiinnnn
Rupanya Arai melolong seperti dulu sering dilakukannya di Masjid Al-Hikmah untuk mengejek Taikong. Aku lebih kaget lagi karena suara amin itu hanya sendiri, sebab mazhab yang dianut jemaah masjid ini hanya mengucapkan amin dalam hati. Suara Arai nyaring bergema-gema, meliuk-liuk, terpantul-pantul sendirian dari pilar ke pilar dalam ruangan besar itu. Di sebelahku tubuh Arai bergetar-getar hebat, kulitnya yang menempel padaku menjadi dingin, keringatnya mengalir deras, dan giginya gemelutuk. Mashood mendengus-dengus seperti kambing bengek. Ia pasti setengah mati menahan tawa.
Tuhan Tahu tapi Menunggu, kata Tolstoy, Enam belas tahun Tuhan menunggu untuk membalas kejahatan Arai dengan rasa malu yang tak tertanggungkan pada jemaah Afghanistan yang terhormat. Ribuan kilometer dari Masjid Al-Hikmah di Belitong, nun jauh di negeri yang sedikit pun tak pernah terbayangkan, karma menemui Arai. Usai salat Arai menghampiri Imam, ia bersikap gentieman, memohon maaf dan mengatakan semua terjadi di luar kesadarannya.
"Sesuatu yang berasal dari keisengan masa kecil, Imamku," kilahnya menyesal.
Imam tersenyum simpul.
"My brother," sapanya halus. "Tak selembar pun daun jatuh tanpa sepengetahuan Allah."
Kami bergegas kabur. Dari kejauhan kulihat segerombolan besar orang tertawa terbahak-bahak sambil meme-gangi perut, sampai terduduk-duduk. Mashood tergopoh-gopoh meraih sepeda ontelnya, pontang-panting menyusul kami.
"Brothers, brothers ....
"Very very goooood ...."
***
MOZAIK 39: Cinta, di Mana-Mana Cinta
Tepat tengah malam, kereta murahan yang kami tumpangi dari Gmunden berhenti di Venesia. Stasiun Venesia berada di semacam semenanjung sehingga ia seperti pulau. Air, di mana-mana air. Dari jendela kereta kulihat ratusan backpacker bergelimpangan tidur di platform stasiun. Di antaranya backpacker yang selalu kukagumi, backpacker Kanada!
Kami telah melintasi Rusia dari ujung ke ujung, tapi cerita backpacker Kanada mencengangkan. Mereka melintasi Siberia, berangkat ke Beijing dari Moskwa dengan kereta ekonomi yang terus melaju selama tiga minggu. Seorang perempuan muda, Denyah Wilson namanya, tampak lebih cocok menjadi penjaga pameran mobil mewah, menjadi pentolan kelompok itu. Denyah seorang French Canadian dan mahasiswi antropologi di Cjuebec, bagian dari Kanada yang berbahasa Prancis. Ia hanya tinggal punya enam jari kaki, jemari lainnya terpaksa ia kerat sendiri dengan pisau komando karena frostbite. Ia mengisahkannya seperti kehilangan kaus kaki saja, namun mereka menunjukkan sedikit respek pada kami demi mendengar kami membiayai perjalanan sebagai pengamen ikan duyung.
"Fantastic1." kata mereka, tak tahu karena kagum atau geli.
"Bagaimana kalian bisa melakukan semua itu?" kalimat pujian itu Denyah alamatkan sambil mengunyah senyum, maka kupastikan: karena geli.
Kami diam saja, sebab tiga hari tiga malam tak 'kan cukup untuk menceritakannya.
"Hati-hati backpack-mu, Kawan," saran Denyah. "Peluk backpack-mu kalau tidur."
Rupanya di Stasiun Venesia banyak pencoleng. Polisi berjaga-jaga. Seperti di Jerman, polisi Italia menghormati tradisi backpacking. Di luar lingkar lampu-lampu tinggi stasiun, kulihat gerak-gerik mencurigakan. Para pencoleng itu serupa rubah mengincar telur camar. Lengah sedikit saja, backpack melayang. Ini satu sisi gelap Italia yang hanya diketahui backpacker.
Namun, semua kecemasan sirna begitu matahari merekah dan kami mendapati diri dikelilingi air yang terhampar seperti permadani cahaya, beriak-riak menggenangi sudut-sudut Venesia. Kanal-kanal kecil berkilauan, meliuk-liuk menyelingi rumah tua penduduk. Gondola meluncur syahdu. Venesia, secara keseluruhan tampak seperti repli-ka, seperti negeri buatan. Lalu riuh rendah teriakan.
"Grazie "Amore "Ciao
Pria wanita berkerumun di kafe-kafe dengan gerak laku seperti sedang bermain sandiwara. Dialek mereka mengalun seumpama nyanyian dan kadang meledak-ledak. Pria-pria berseliweran, membawa bunga atau bicara romantis dengan seorang wanita, di samping scooter berwarna kuning, meyakinkan wanitanya betapa ia mencintainya, dan bahwa semalam ia tak pergi dengan perempuan lain. Sang wanita bersikap dramatis persis di film-film. Tangannya bersilat-silat. Orang Italia, melihat hidup sebagai seni. Mereka merayakan kehidupan dan jatuh hati pada setiap sendinya.
Italiano mendamba kekasihnya lebih dari mendamba dirinya sendiri. Mereka tak sungkan menangis, membaca puisi, dan berdoa mengekspresikan cintanya, meskipun se-dang berada di pasar ikan. Tak pernah, di mana pun, kusaksikan pemandangan semacam ini. Italia menyajikan tandscape yang memesona dihiasi adegan-adegan cinta yang memukau.
Benar, seperti kubaca di buku. Pria Italia sungguh flamboyan dan mereka passionate: penuh gairah. Kaum lelaki selalu berlagak agar perempuan di dekatnya terkesan. Agak sedikit norak barangkali. Jika ada wanita cantik lewat, mereka bersuit-suit. Kelakuan ini mengingatkanku pada Yogyakarta. Tapi tak pernah kulihat suatu komunitas di mana kaum pria rata-rata berwajah rupawan. Hanya Italia yang seperti itu. Tukang parkir, penjaga toko, masinis kereta, calo, tukang pos, nelayan, pengemis, kondektur, sopir bus, bahkan pencopet, semuanya ganteng.
***
Penampilan kami yang paling mengesankan adalah di Fontana de Trevi, Roma. Dua ekor ikan duyung menghiasi air mancur terindah di planet ini. Ini yang disebut maestro seni jalanan Famke Somers sebagai pemilihan lokasi untuk meraih efek teatrikal. Di sudut sana, manusia patung lain menyaru sebagai tiga pendekar The Three Musketeers dan santa-santa, semakin mengentalkan nuansa seni sore itu.
Kami telah menampilkan seni patung ratusan kali hampir di seluruh Eropa. Barangkali sudah cukup pantas kami menyebut diri profesional. Sekarang kami pandai berimprovisasi, tak lagi sekadar paduan ibu ikan duyung dan anaknya yang merana, tapi lebih kreatif, yaitu sebagai putri duyung yang nakal menggoda, putri duyung malu-malu kucing, putri duyung cemberut, putri duyung penurut. Bisa juga putri duyung musim panas, putri duyung musim hujan, putri duyung banyak uang, putri duyung banyak utang, putri duyung perawan, putri duyung janda kembang, atau putri duyung mata duitan, semuanya piawai kami lakoni.
Kadang kami tak peduli apakah akan ditonton, difoto, dipuji, dimaki, atau diberi uang. Kami telah pandai menikmati daya tarik seni patung, yaitu sensasi teatrikal dari keseluruhan konteks artistiknya. Jika sampai pada sensasi itu, aku merasa menjadi elemen keindahan dalam arsitektur kosmos. Menggetarkan, bukan? Jika memasuki sebuah kota, kami tak serta-merta berdandan dan tampil, namun, demi menciptakan efek teatrikal tadi, kami berkeliling dulu, menilai keadaan, mempelajari selera setempat, mencari-cari inspirasi, dan mereka-reka lakon. Di Verona, inspirasi itu adalah Romeo dan Juliette.
***
Jika ada sesuatu yang paling absurd di muka bumi ini, itu adalah cinta. Aku melihatnya sendiri di Verona. Tak jauh dari Colosseum Verona, ada sebuah rumah tua. Rumah tua yang biasa saja, namun dulu, William Shakespeare, jauh-jauh datang dari London untuk kost di rumah itu, tentu saja demi suatu ilusi suci yang disebut kaum seniman sebagai inspirasi. Shakespeare ingin menyerap gairah cinta Italia. Di rumah tua itulah ia menulis kisah cinta terbesar dalam sejarah umat: Romeo and Juliette.
Kota Praja Verona serta-merta memanipulasi kesintingan manusia akan cinta menjadi peluang bisnis. Rumah tua itu dijadikan objek wisata. Pamor rumah itu hampir mengalahkan Colosseum Verona. Aku memasuki kamar di tingkat dua yang disebut sebagai kamar Shakespeare. Di luar kamar itu ada balkon. Waktu menulis adegan Romeo memanjat kamar dengan gordijn yang dijulurkan Juliette, Shakespeare pasti terinspirasi oleh balkon itu. Berbondong-bondonglah para turis, terutama yang sedang kasmaran mengunjungi balkon yang kondang dengan sebutan Juliette Balcony. Lebih indah lagi, mereka boleh menuliskan ikrar cintanya di sana. Awalnya hanya di balkon. Namun karena semakin banyak turis yang datang, mereka dibolehkan menulis ikrar asmara di seluruh dinding luar rumah.
Agar lebih dramatis, di bawah balkon didirikan patung perunggu Juliette dalam pose berdiri. Ia kemayu, matanya penuh cinta, namun bermuram durja, dan tubuhnya sedikit terbuka. Dengan sangat jeli karena tahu cinta itu absurd. Petugas kota praja, atau tak tahu siapa, mendengungkan kabar yang sedikit melankoli bahwa jika romansa ingin langgeng, pasangan yang sedang dimabuk cinta harus mengusap dada patung Juliette.
Kawan, sering kudengar kabar tentang sintingnya cinta namun baru di Juliette Balcony kubuktikan semuanya. Jutaan, ya, jutaan kekasih telah mengusap dada kanan Juliette sehingga mengilap seperti diamplas, sedang bagian tubuhnya yang lain tetap segelap perunggu. Kasihan aku melihat Juliette. Lalu para sejoli yang mabuk kepayang menulis ikrar cinta mereka. Puluhan, mungkin ratusan juta ikrar cinta dalam ratusan bahasa asing menghiasi tembok. Tembok tak cukup, mereka menulis di lantai, di bangku-bangku taman, di pilar, di tiang-tiang, bahkan di plafon. Pun Arai tak lupa, karena sudah tak ada tempat, ia menulis di kusen jendela: Arai Zakiah Nurmala. Aku menulis cinta sahabatku Jimbron dan istrinya: Jimbron loves Laksmi kutulis di tungku. Aku sendiri tak mau kalah, dekat talang air kutulis namaku, nama A Ling, dan gambar hati yang besar. Satu lagi, namaku dan Katya, tapi gambar hati-nya lebih kecil nakal sekali.
Karena kejelian kota praja memanipulasi kekonyolan cinta, Verona menjadi salah satu wilayah terkaya di Italia. Blessing in disguise, berkah terselubung dari turis-turis mabuk kepayang yang sudah tak lurus lagi akalnya. Padahal banyak ahli sejarah yang meragukan apakah William Shakespeare menulis Romeo and Juliette di Verona dan pernah tinggal di rumah itu. Lebih dari itu, Romeo dan Juliette hanyalah sebuah fiksi. Pencitraan dan representasi, itulah inti persoalan di sini. Kami ingin tampil merepresentasikan Juliette.
***
Di pelataran Colosseum Verona aku dan Arai mengambil pose persis patung perunggu Juliette. Seperti nasib buruk cinta Juliette, kami menjadi ikan duyung yang merana karena cinta terlarang. Ekspresi kami penuh romansa sekaligus putus asa. Sungguh suatu pertimbangan estetika yang sempurna. Dalam waktu singkat kami dikelilingi pasangan-pasangan yang sedang jatuh hati, rapat berlapis-lapis. Koin-koin Euro tumpah ruah. Bencana pun datang.
Mulanya sepasang kekasih berbahasa Mandarin mendekat. Mereka sudah tak muda, barangkali empat puluh lima tahun. Keduanya tampak tergila-gila satu sama lain. Dari penampilannya, aku menduga sang pria baru saja mengakhiri jabatannya sebagai bujang lapuk dan mendapatkan kekasih melalui biro jodoh atau lewat kencan buta. Sang perempuan, mungkin sudah lima kali kawin dengan empat belas anak dan akhirnya menemukan a hve for a lifetime. Tiba-tiba, dengan satu gerakan yang sama sekali tak kuduga, perempuan itu menjangkau dan mengusap dada kananku. Aku kaget tapi tak mungkin bereaksi. Aku adalah manusia patung profesional dan Famke Somers dengan tegas berpesan bahwa manusia patung tak boleh bereaksi, meski diprovokasi sekalipun.
Celaka, tindakan perempuan Tionghoa itu diikuti pasangan lainnya. Penonton menghampiri dan tanpa sungkan mengusap dadaku dan Arai seolah kami patung Juliette. Silih berganti, puluhan orang meraba dada kananku, sebagian mengusap, ada yang mencubit, bahkan meremas sambil cekikikan. Aku kesakitan, dadaku panas, merah, dan perih. Setiap kali seseorang membekapkan tangannya ke dadaku rasanya aku ingin terkencing-kencing.
Pasangan kekasih tua, muda, setengah baya, homo, lesbi, hetero, satu per satu menggasak dada kami. Aku sudah tak tahan. Kulihat ekspresi Arai berubah dari putri ikan duyung Juliette yang jelita menjadi ikan duyung meringis. Sungguh besar cobaan menjadi seniman manusia patung. Akhirnya, satu jam berakhir dan kami cepat-cepat ambil langkah seribu dari Verona. Malamnya kami baru bisa tidur setelah mengompres dada dengan es. Cinta memang edan.
***
MOZAIK 40: Galliano
Ia lebih cantik dari segala hal yang ada di Milan.
Bahkan kolibri yang meracau-racau di pucuk-pucuk sibbaldia, bungkam waktu melihatnya berlari terpantul-pantul. Ia manis seperti madu dan baru saja melompat dari Ferrari merah marun. Pintu mobilnya dibukakan seorang pria A fro-Amerika berjas lengkap dengan dasi serasi. Wajah pria itu menunjukkan kesediaan sepenuh hati mengumpankan tubuhnya sendiri pada peluru, jika ada seorang penggemar obsesif menembak majikannya. Ia berbusana serba putih. Kemeja tipisnya melayang-layang melapisi t-shirt kasual. Ia memasuki gedung dengan tulisan Why Not di atas pintunya. Apakah ia A Ling?
Di Internet ia adalah Roxane Ling. Kurang jelas apakah ia pemegang saham, desainer, atau model di Why Not sebuah agensi bagi para supermodel. Aku masuk untuk menemuinya.
Resepsionis menanyaiku, "Apakah sudah punya janji?"
"Belum."
Gadis itu mengangkat gagang interkom.
"ROK, seseorang ingin berjumpa denganmu."
Tak ada jawaban. Interkom ditutup. Kulirik sudut langit-langit yang dipasangi kamera-kamera CCTV. Aku tahu Roxane sedang mengamatiku. Tiba-tiba pria Afro body guard tadi datang. Bergaya sedikit over acting ia mengecek situasi. Ah, hanya seorang pria toioi yang ingin berfoto, pasti begitu pikirnya. Ia bicara pada CCTV.
"Ok, Babe, clear."
Roxane Ling keluar dari ruangan, berjalan menghampiriku. Aku gugup karena ia sangat mirip A Ling, tapi ia bukan A Ling. Tak dapat kusembunyikan kecewaku. Lama aku berbincang dengan Roxane, ia membesarkan hatiku.
"Kalau yang kaucari cinta, kau akan menemukannya," bujuknya bijak. "Percayalah ucapanku ini, kau akan menemukannya di Afrika."
Aku merinding. Tak pernah kuberi tahu siapa pun bahwa di Internet aku menemukan seseorang yang gambaran dan namanya serupa A Ling di Zaire, Afrika. Aku menatap Roxane. Ia serius. Ia sangat yakin akan kata-katanya. Sedetik aku dikuasai keyakinannya itu. Aku percaya, tapi detik berikutnya, aku ragu. Aku mohon diri. Di ambang pintu aku menoleh pada Roxane, air mukanya tak sedikit pun berubah.
"Afrika," katanya pasti.
***
Malam-malam di Milan kami lewatkan dengan berlindung di gereja, karena Milan ternyata kota yang berbahaya. Berbulan-bulan hidup sebagai backpacker hidup di jalanan dan tidur di sembarang tempat kami telah pandai menimbang keadaan rawan. Taman adalah tempat tidur yang paling tidak aman. Lewat tengah malam, taman-taman di Eropa menjadi sanctum bagi para psikopat. Emper toko tempat berisiko tinggi. Terminal dan stasiun jauh lebih aman. Benda yang paling berharga bukanlah uang, tapi paspor. Paspor yang dipalsukan berharga fantastik di pasar gelap, dan ke-nalan yang terlalu ramah adalah kenalan yang paling jahat.
Banyak kota yang berkarakter seperti orang tua: melindungi warga seperti anak, menghormati tetangga, dan menyambut pendatang. Namun, ada pula kota yang berperangai seperti bandar judi: mencandu kemewahan, memberi kesempatan pada siapa saja untuk mempertaruhkan apa saja, lalu mencampakkan yang kalah tanpa ampun. Milan adalah kota semacam itu.
Di Milan pertempuran antarimigran gelap Maroko dan India yang bersengkongkol dengan orang-orang buangan dari Balkan telah akut bertahun-tahun. Siapa pun yang berada di jalanan saat larut malam sangat mungkin celaka jika terperangkap dalam pertempuran itu. Beberapa kali aku dan Arai mengalaminya. Mereka bertarung memperebutkan pekerjaan kasar mengais sampah atau soal parkir. Dalam keadaan ini, tak ada tempat yang lebih aman selain gereja
Masih di Milan, di depan sebuah butik bernama Eternita, aku tertarik menyaksikan sekelompok orang berpakaian seperti Elvis Presley. Rupanya mereka anggota klub penggemar Elvis yang berkumpul untuk meresmikan galeri memorabilia artis pujaannya itu. Aku mendatangi gedung itu. Di lobi, seorang perempuan sepuh menghampiriku. Ia menyapa dan menyalamiku. Rupanya ia pemilik klub itu. Peresmian dimulai. Seorang pria berpidato menggebu dalam bahasa Italia. Kupahami sedikit bahwa ia memuji perempuan kaya yang tadi menyapaku karena ia telah menyumbangkan rumahnya untuk dijadikan galeri. Tepuk tangan bergemuruh ketika nama perempuan murah hati itu disebut.
"Hadirin, tepuk tangan yang meriah untuk Andrea Gallianooooo ...!"
Aku terempas di atas tempat duduk. Dulu, waktu ayahku kehabisan nama untukku, aku menemukan potongan berita di majalah Aktuit tentang wanita Italia yang mengancam terjun dari tiang telepon jika Elvis Presley tak membalas suratnya. Nama perempuan itu Andrea Galliano. Nama depannya itu kuambil sendiri menjadi namaku. Dengan logika apa pun tak dapat kujelaskan bahwa beberapa menit yang lalu aku baru saja bersalaman dengan Andrea Galliano. Di tempat yang sangat jauh dari rumahku, di sudut Milan, kutemukan lagi sepotong kecil mozaik hidupku.
Peristiwa dengan Andrea Galliano membuatku seperti melihat cahaya yang meyakinkanku bahwa sekecil apa pun hal terjadi memang karena suatu alasan. Karena itu, aku tak ragu menuju ke Florence. Aku tahu, hal yang menakjubkan bisa saja terjadi lagi padaku di sana, tanpa pernah kuduga dari mana arah datangnya.
***
MOZAIK 41: Tanah Yang Telah Dijanjikan Mimpi-Mimpi
O epintas saja melihatnya aku tahu kalau laki-laki ^ itu pastilah seorang brother muslim. Secara naluriah, aku kenal. Sejak kecil, aku dikelilingi laki-laki semacam itu: guru sekolahku, guru ngajiku, ayahku, khatib, atau juru sunatku. Ia menonton kami tampil di Ponte Vechio, Florence. Disampirkannya selembar uang sepuluh Euro, dengan kesan seakan uang itu bukan miliknya, tapi hak musafir seperti kami. Ia hanya dititipi Allah Yang Mahatinggi.
Sejak lama kami ingin tampil di Jembatan Ponte Vechio karena kecantikannya tak dapat dilukiskan kata-kata. Lengan-lengan jembatan itu dilekati rumah-rumah penduduk berusia ratusan tahun, bertingkat-tingkat seperti kandang merpati.
Usai tampil, aku termenung memandangi riak sungai di bawah jembatan purba itu. Aku tahu air sungai itu asin karena ia tak lain empasan ombak Tyrenian. Dari sinilah pa-da masa lampau pedagang gagah berani dari Zanzibar, Arab, Cina, dan India memasuki Italia. Jantungku berdetak. Telah kutempuh perjalanan yang amat jauh sampai ke Florence dan nun di situ, tak jauh dariku, bahkan tepat di depan hidungku, ombak Tyrenian terempas di pesisir yang telah lama kami impikan. Kawanku, tahukah dirimu? Lima belas derajat lintang selatan dari tempatku berdiri, tanpa ada lagi daratan menghalang, di situlah Afrika!
Kami tak tahu bagaimana dan dengan cara apa dapat mencapai Afrika. Afrika adalah sesuatu yang amat berbeda. Tak ada Schengen visa di sana, tak ada budaya backpacking, dan tak dapat diramalkan respons penduduknya pada seni jalanan. Di sana orang kehausan, penyakitan, kelaparan, bunuh-bunuhan, dan dilahap singa. Tapi di lengan Jembatan Ponte Vechio kami mengukir: Jimbron, kami akan ke Afrika! Kaudengarkan itu, Bron? Afrika! Dari Florence, kami naik kereta ke ujung selatan Italia, Regio. Brother muslim itu melompat ke dalam gerbong. Kami masih belum saling menyapa. Setiap melihat kami, ia tersenyum.
Makin ke selatan ternyata Italia semakin miskin. Kami naik kereta malam yang bobrok. Di dalamnya seperti barak dengan tempat tidur tingkat. Kami tertidur pulas berdesakan bersama nelayan-nelayan miskin. Tak pernah ada yang datang memeriksa tiket.
Dini hari seseorang berteriak, "Messina! Messina!"
Celaka! Kami ketiduran dan bablas. Kereta menyeberangi Selat Messina. Tiket kami hanya sampai Reggio tapi kami terangkut ke Messina, berarti kami terdampar di sarang gembong mafia: Pulau Sisilia.
Kami senang bercampur panik. Di kafe kecil kami memesan kopi dan disuguhi dua gelas liliput. Pria-pria tua memakai rompi dan bertopi baret duduk mengelilingi meja-meja kecil. Dinding dengan tembok yang pecah-pecah, kapstok gantungan mantel dan topi, salib besar, patung Bunda Maria, kursi-kursi kayu berwarna hitam, lampu yang rendah dengan kap berenda-renda, persis film Godfather.
Seorang wanita, yang berwajah sangat Italia, menuangkan kopi ke dalam gelas liliput tadi. Kopi itu sedikit sekali, hitam, pekat dan kental. Kami melihat orang-orang minum kopi itu sekali teguk. Aku meneguknya dan seumur hidupku tak pernah kurasa kopi seperti itu. Ketika meluncur melalui tenggorokan, mataku langsung terang benderang seperti lampu yang hampir putus, lalu di dalam kepalaku petir menyambar-nyambar. Itulah kopi kaum mafia.
Kami bergegas menuju kota terbesar di Pulau Sisilia, Palermo. Tak pernah kulihat sebuah kota di Eropa Barat yang sepi dikunjungi turis. Sisilia dan reputasi mafia membuat turis enggan berkunjung ke kota tua yang sesungguhnya indah itu. Kami tampil di Palermo dan anehnya, salah satu penonton kami adalah brother muslim itu!
"Assalamualaikum," sapanya ketika kami berkemas-kemas. Namanya Bilal. Ia seorang pedagang keliling. Ia berdagang keperluan ibadah seperti sajadah, kopiah, dan baju-baju muslim. Kami saling bercerita tujuan masing-masing.
"Sebenarnya kami ingin ke Afrika."
"Berkunjung saja ke Tunisia," saran Bilal santai.
"Bicara apa kau, Brother? Tak terbayangkan susahnya urusan visa," cetus Arai.
"Visa? Kaubilang kau orang sekolahan?"
Info dari Bilal membuat telinga kami berdiri. Sebagai sesama anggota OKI, organisasi negara Islam itu, ternyata muslim Indonesia bebas visa ke Tunisia. Tunisia adalah gerbang utara Afrika, batu loncatan untuk mengarungi Benua Hitam itu.
***
Tak buang tempo, kami tergopoh-gopoh menuju kantor duane dan segera naik kapal dari Mazara ke Tunisia. Kapal meluncur menembus Kanal Sisilia, terapung-apung dalam rengkuhan daratan luas
Italia, Pulau Sardinia, dan Pantai Malta. Kapal merapat di Dermaga Kelibia, Tunisia. Kami dilanda haru karena berhasil menginjak tanah yang belasan tahun telah dijanjikan mimpi-mimpi; Afrika.
Laut Mediterania tak ubahnya tabir ajaib yang memisahkan dua tempat yang sama sekali berbeda. Baru beberapa saat yang lalu kami berada di Eropa yang dingin dan tak peduli, kini kami berdiri di tanah Afrika yang panas dan terang benderang. Hatiku senang melihat laki-laki dan kambing-kambing berkeliaran. Perempuan memakai kerudung kaftan dan berdebu. Hatiku gembira meluapluap mendengar azan sahut-menyahut.
Aku berdiri di tengah padang rumput esparto. Sampai ke manakah padang rumput esparto itu? Aku tak tahu. Padang itu terhampar sampai jauh ke sana. Lalu, di sebelah sananya, rumput esparto lagi. Afrika kosong, gersang, kuning, dan luas tak terbayangkan. Di angkasa burung-burung yang tak dikenal berkaok-kaok dengan suara lebih keras dari burung-burung di wilayah lain. Barisan pohon citrus seakan pagar yang tak putus-putus, semakin kecil sampai tak kelihatan, tapi tetap tak habis-habis.
Sebenarnya kami ingin melintasi Afrika dari titik paling utara, yakni Kalibia di Tunisia sampai ke titik paling selatan Pantai Gading. Setelah apa yang kami alami di Rusia, kami yakin mampu menaklukkan Afrika. Namun, kami tak punya waktu. Kami harus kembali ke Paris untuk menyelesaikan kuliah. Akhirnya, diputuskan ke titik tengah Afrika saja, yaitu Zaire. Itu pun karena ingin menemui Njoo Ling, seseorang yang seusia dengan A Ling, dan ia seorang perawat. Mungkinkah ia A Ling seperti dugaan Roxane Ling? Apa yang A Ling lakukan di tengah-tengah Afrika? Apakah ia telah menjadi relawan yang bekerja untuk Unicef? Sejujurnya aku ragu itu A Ling, namun semakin aku ragu, semakin kuat kemauanku untuk memastikan. Aku tak 'kan menawar sumpah pada diriku sendiri bahwa aku ingin menemukan A Ling, di mana pun ia berada, bagaimanapun keadaannya.
***
Kami naik kereta api mengikuti jalur negara-negara OKI. Di perbatasan Nigeria dan Mali kami menjumpai serombongan kafilah pedagang yang akan melintasi Gurun Sahara menuju Burkuni. Rombongan itu beriringan dengan tenang. Wanita dan anak-anak dinaikkan ke punuk-punuk unta dan kambing-kambing ditarik dengan tali.
Seseorang yang mengambil air di oasis Niamey mengatakan sesuatu yang membuatku melonjak.
"Mereka adalah pengembara Samia," katanya. Pengembara Samia! Aku dan Arai berlari mengejar kafilah itu. Dengan bahasa Arab seadanya, aku minta izin ikut rombongan mereka. Seorang anak yang kumal menunjuk pria di depan, pemimpin mereka. Aku berdebar melihat gerak-gerik pemimpin khalifah Samia itu. Gelar turun-temurun pria itu, Wadudh, dulu pernah dipakai Ayah untuk menamaiku.
Aku menjabat tangan Wadudh dan memeluknya. Aku merasa senang karena seakan aku memeluk diriku sendiri. Berhari-hari aku dan Arai hidup bersama rombongan pengembara Samia. Kami telah mengelana Rusia yang dingin tak bersahabat, kini kami mengarungi bantaran Gurun Sahara yang panas membara, dekat dengan orang-orang yang hangat. Tak tampak apa pun seluas mata memandang selain pasir bergelombang-gelombang, hanya pasir. Kami menutup wajah dengan kafiyeh, berjalan berhari-hari dengan tongkat, dan tidur beralaskan pelepah korma. Setiap sore, kami mendapat suguhan yang sangat istimewa: susu kambing.
***
Kami pun sampai ke Zaire dan menemui seorang wanita Skotlandia bernama Nadine Scott. Ia sudah tua dan sudah tidak cantik lagi. Tapi matanya bening seperti safir biru. Meski hanya ia sendiri perempuan berkulit putih di antara ratusan perempuan Kamina yang berkulit gelap, namun tampak jelas ia paling berkuasa. Aku tak lepas mengamatinya sejak tadi. Semua hal tentang perempuan yang sudah tidak cantik itu, membuatku terkesan. Terutama karena kuasanya atas perempuan Kamina yang bergaris wajah keras wajah mereka seperti topeng perunggu sama sekali bukan didapatnya dari otoritas atau mandat. Cinta kasih, hanya itu legitimasi Nadine.
Setiap hari, wanita dari Mwanza, Bukama, bahkan dari Moba di bantaran Danau Tanganyika (pemisah antara Zaire dan Tanzania) datang ke Kamina sambil menggendong anak dengan berupa-rupa penyakit. Suster Nadine mengobati anak-anak itu secara cuma-cuma. Nadine adalah muara segala keluh kesah yang telah mengabdikan hidupnya selama puluhan tahun untuk Afrika.
Kadang kala Suster Nadine dibantu relawan dari misi gereja. Dari sinilah terbetik informasi tentang perempuan serupa A Ling. Setahuku A Ling sendiri amat religius, bisa saja ia bekerja bersama Suster Nadine demi mengemban misi agama. Kuceritakan pada Suster Nadine bahwa aku ke Kamina bukan hanya untuk mengejar mimpi lamaku mengelana Afrika tapi juga untuk menemukan A Ling. Kenyataan yang kuhadapi pahit. A Ling tak ada di sini. Jejak menujunya buntu, ke mana pun buntu. Mengapa Roxane Ling di Milan begitu yakin aku akan menemukan A Ling di Afrika?
Suster Nadine menyampaikan satu kalimat bijak untukku, "Kamu telah mencari A Ling demikian jauh sampai ke Zaire, di tengah-tengah Afrika, dan tak kautemukan. Tidakkah kau berpikir kau telah menemukannya?"
Aku terhenyak. Tiba-tiba ucapan Roxane Ling dan Suster Nadine terangkai dalam kepalaku menjadi sebuah filosofi pencarian, pencarian akan hal-hal yang paling kita inginkan dalam hidup ini dan pencarian akan diri kita sendiri. Maksud Roxane Ling dan Suster Nadine sama sekali tak seharfiah kalimat mereka. Karena jika kita berupaya sekuat tenaga menemukan sesuatu, dan pada titik akhir upaya itu hasilnya masih nihil, maka sebenarnya kita telah menemukan apa yang kita cari dalam diri kita sendiri, yakni kenyataan, kenyataan yang harus dihadapi, sepahit apa pun keadaannya.
Aku dan Arai kembali pulang ke Eropa tanpa dapat menemukan A Ling. Namun aneh, aku merasa tak pulang dengan tangan hampa. Suster Nadine telah memberikan jawaban untuk salah satu pertanyaanku atas diriku sendiri. Dan, ia telah mempertemu-kanku dengan salah satu pencarian terbesar dalam hidupku: cinta.
Kami kembali ke Eropa melalui Maroko dan Casablanca. Sepanjang jalan aku membujuk diriku sendiri dengan perasaan gembira karena kami telah berjanji dengan MVRC Manooj, Gonzales, Ninoch, Stansfield, dan Townsend untuk berjumpa di Spanyol. Aku rindu sekaligus penasaran ingin tahu perjalanan mereka. Namun, aku juga waswas, jangan-jangan kami kalah dalam pertaruhan dan harus menerima hukuman yang memalukan di Paris. Dari Casablanca kami berlayar menuju Portugal dan langsung ke Barcelona, Spanyol.
Di Spanyol aku ternganga-nganga di bawah kubah Sagrada Familia, aku merasa seperti berada di dalam kerajaan kaum lelembut. Katedral itu disanggah pilar-pilar aneh dengan cita rasa seni yang ganjil, menjulang, mengerucut, cokelat, tua, berukir-ukir, seakan tak mungkin dicapai imajinasi manusia. Tak dinyana arsiteknya adalah pria Catatan yang sempat dianggap sinting: Antoni Gaudi. Di Pare Guell, aku melihat karya agung Gaudi lainnya: replika reptil-reptil dengan kulit potongan-potongan mozaik. Dengan potongan-potongan mozaik itulah dulu Pak Balia mengibaratkan nasib manusia dan menginspirasi kami untuk berkelana. Di Barcelona aku mencapai puncak filosofi pengembaraanku. Pada titik ini, hatiku merunduk takzim pada pesan-pesan suci Al-Qur'an dan hipotesa Harun Yahya bahwa tak ada hal sekecil apa pun terjadi karena kebetulan.
Aku dan Arai telah menunggu lebih dari setengah jam di Kafe Nou Camp, bersebelahan dengan officiat store Barcelona Football Club. Di tempat ini kami berjanji untuk rendezvous berkumpul. Nun jauh di seberang jalan, dua orang pria melenggang gontai. Wajah mereka tak jelas tapi kami mengenali gesture-nya. Mereka tak lain MVRC Manooj dan putra sang pandai besi Gonzales. Demi melihatku, langkah Gonzales semakin cepat. Wajahnya sembap, seperti orang yang ingin mencurahkan berjuta rasa.
***
MOZAIK 42: Indonesia Raya
Mamma mia, mamma mia.
"Dunia, Amigo jerit Gonzales lirih. "Kejam sekali”
MVRC Manooj, duduk mematung setelah mengisap tandas air mineral yang baru kusuguhkan. Kusuguhkan segelas lagi, diisapnya, tandas lagi. Ia haus dan kelaparan. Lehernya, modal tahan goyang kepalanya itu, dipenuhi tempelan koyo. Ia bahkan sudah tak bisa menoleh. Jika bicara pandangannya lurus, kuyu, dan putus asa.
"Baru sampai Swedia, kami sudah terlunta-lunta," keluhnya.
Aku kasihan melihat pasangan unik itu. Amat berbeda dari ketika dulu mereka berangkat, sekarang mereka seperti gembel. Sekonyong-konyong ....
"Hi, Guysl"
Stansfield! Ceria sekali, bersih, rapi, dan cantik. Tak tampak trombonnya dan tak ada kesan sebagai pengamen. Ia bahkan lebih segar dari biasanya. Stansfield datang bersama seorang pria macho, tinggi besar, menggunung seperti Conan dari Simeria.
"Kenalkan, ini Antonio, Antonio Blender, pacarku yang baru."
Kami tergelak, tapi pria itu, yang dari pandangan matanya bisa ditebak bahwa ia tidak terlalu pintar cuek saja. Ia sangat percaya diri. Ia menyalami kami dengan akrab. Ia tak paham benar bahasa Inggris namun selalu berusaha memancing obrolan. Ia pria yang ramah dan minta dipanggil dengan nama pendek Mr. Blender. Di tengah obrolan, Mr. Blender mohon diri ke kamar kecil. Belum jauh ia pergi, kami merubung Stansfield.
Aku berbisik keras, "Stans, mengapa namanya sampai blender begitu?!"
Stansfield tersenyum puas. Ia tak bisa menyembunyikan perasaannya. Ia juga berbisik keras, "Karena dia aktor film dewasa!"
Semua orang langsung mafhum.
Tak lama kemudian Townsend datang. Ia digandeng mesra oleh seorang pria yang bertubuh seperti si Under Taker, pendekar smackdown itu. Nah, sampai di sini semuanya jelas. Stansfield dan Townsend, dan persaingan mereka yang telah berurat akar. Mulanya mereka keliling Eropa main trombon dan akordion sampai terdampar di Spanyol. Stansfield mendapatkan Blender, Townsend tak mau kalah. Setelah itu mereka tak pernah meninggalkan Barcelona karena fokus persaingan mereka telah bergeser.
Akhirnya, Ninochka tiba. Seperti biasa, ia ceria. Tak jelas apakah ia sukses atau menderita. Ninoch tetaplah Ninoch. Kami ngobrol menceritakan pengalaman masing-masing. Tak satu pun dari mereka percaya bahwa aku dan Arai telah melintasi Rusia sampai ke Afrika, bahwa kami telah menjamah Gurun Sahara dan Zaire, bahwa kami pernah dirampok dan bertahan hidup dengan makan daun.
Penjelajahan usai, Gonzales dan MVRC Manooj adalah tim yang kalah. Ketika kami ingatkan bahwa mereka harus menuntun sepeda mundur dari Le Louvre ke gerbang L'Arc de Triomphe melintasi L'Avenue des Champs-Elysees dengan sepeda yang digantungi pakaian rombeng, Gonzales dan MVRC Manooj termangu-mangu. Mereka tampak benci pada diri sendiri. Pemenang perlombaan adalah aku dan Arai. Aku terharu, rasanya ingin kunyanyikan lagu "Indonesia Raya".
***
Kami pulang ke Paris naik kereta malam. Rasa takjub tak kunjung kasip dalam hatiku. Ekspedisiku telah membuka jalan rahasia yang tersembunyi di antara lipatan sekat-sekat dimensi ruang dan waktu, jalan rahasia yang menghubungkan apa yang kualami saat ini dengan peristiwa-peristiwa masa laluku. Ini adalah ekstase terbesar yang hanya mungkin dicapai mereka yang berani bermimpi, berani keluar dari cangkang siputnya, untuk menemukan jawaban pertanyaan atas dirinya. Inikah postulat hukum nasib? Inikah yang dimaksud Albert Einstein sebagai lingkaran alamiah filsafat manusia?
Tapi aku tetap merasa kesepian karena A Ling masih tak jelas rimbanya. Tak tahu lagi ke mana mencarinya. Hanya dari novel kenangannya aku dapat menemukannya. Kubuka lagi novel lusuh itu, kubaca lagi keindahan desa khayalan Edensor, untuk melipur rinduku.
Jalan-jalan desa menanjak berliku-liku dihiasi deretan pohon oak, berselang-seling di antara jerejak anggur yang ditelantarkan. Lebah madu berdengung mengerubuti petunia. Daffbdil dan astuaria tumbuh sepanjang pagar peternakan, berdesakan di celah-celah bangku batu. Di belakang rumah penduduk tumpah ruah dedaunan berwarna oranye, mendayu-dayu karena belaian angin. Lalu terbentang luas padang rumput, permukaannya ditebari awan-awan kapas....
Demikian nyata gambaran Edensor di kepalaku, seakan dapat kucium semerbak daffodil dan astuaria yang menjalar sepanjang pagar peternakan itu, seakan dapat kusentuh hangatnya bangku-bangku batu yang disiram sinar matahari musim panas. Edensor telah menjadi sebuah bingkai dalam kepalaku. Dalam bingkai itu, aku menggambar gerbang desa Edensor berukir ayam jantan yang berputar seirama belaian angin. Di sisi kiri gerbang kulukis rumah-rumah penduduk. Di sisi kanannya kugambar pohon-pohon willow yang tumbuh di pekarangan.
***
MOZAIK 43: Turnbull
Waktu kami tiba, Paris telah digenggam lagi oleh dingin yang jahat. Suhu sekonyong-konyong drop. Setiap orang bergegas, tak tahan berlama-lama di luar, gemelutuk, dan membungkus dirinya sampai telinga. Jalanan sepi. Gloomy.
Hopkins Turnbull, profesor yang amat terhormat, dan supervisor tesisku, susah payah menahan murka waktu aku masuk ruangannya. Mungkin hanya karena ia meng-anggap dirinya Saksi Jehova yang taat sehingga serapah terkunci di tenggorokannya.
"Tidakkah kau merasa dirimu berlibur terlalu lama, young man?\"
Mengingat reputasi Turnbull, kalimat itu seyogyanya lebih dari cukup untuk membuatku malu. Tak tahu diuntung. Siapa sih aku ini sehingga pantas disindirnya macam begitu? Karena itu, aku bungkam seribu basa saat ia menumpukiku dengan puluhan bacaan wajib dan setimbun tugas uji statistik.
Profesor Turnbull sudah sepuh. Ia sering mengaku, "Aku sudah tak punya energi untuk soal remeh temeh akademik yang dasar-dasar."
Pernyataan sambil lalu itu menimbulkan kesulitan tak terperi bagiku karena artinya ia hanya mau berurusan dengan teorema-teorema. Uji dengan simulasi saja, dan hal-hal sepele semacam itu, akan langsung dicampakkannya. Apa pun yang kuhaturkan ke haribaan meja besarnya yang berwibawa, sudah harus scientifically acceptable-dapat diterima secara ilmiah bukan sekadar hasil kerja tergopoh-gopoh karena deadline dengan argumentasi spekulatif. Bagi Turnbull, seorang mahasiswa pascasarjana di kelas science adalah umat manusia yang seharusnya mampu menciptakan teori. Setiap menghadapnya untuk melaporkan progres risetku, aku sering secara misterius diserang diare.
Butuh waktu dua hari me-reset mentalku dari euforia pengembara untuk kembali menekuni kewajiban sebagai mahasiswa. Beberapa waktu kemudian aku mulai tengge-lam dalam risetku, lupa diri, lupa waktu, nyaris tak memedulikan Arai yang juga sibuk dengan risetnya.
Namun hari ini rutinitas ilmiah itu terpecah. Katya meneleponku, suaranya tersedak-sedak. "Cepatlah ke kampus. Arai ...." Aku langsung tahu ada musibah. Pontang-panting aku berlari ke kampus. Tiba di sana kulihat Arai digotong, hidungnya berdarah-darah. Ia dimasukkan ke ICU. Setengah jam kemudian seorang dokter mengabarkan berita buruk.
"Penyakit ini bisa fatal kalau musim dingin. Sebaiknya, ia istirahat dulu di tempat yang lebih hangat."
Arai diserang Asthma Bronchiale. Penyakit ini berhubungan dengan kerja paru-paru, biasa melanda penduduk negeri miskin, dan mungkin bersifat genetik. Penyakit ini pula yang dulu merenggut nyawa ayahnya di usia muda. Arai mengalami bleeding berat di pangkal hidungnya karena vaso konthksi: pembuluh darahnya mengerut lalu pecah akibat alergi dingin.
Maurent LeBlanch, Liaison Officer kami, prihatin melihat kondisi Arai. Ia tahu Arai adalah mahasiswa yang cemerlang. Namun, Maurent mengemban tanggung jawab besar atas keselamatan mahasiswa dalam perwaliannya. Ia menghadapi pilihan sulit. Akhirnya Maurent memutuskan memulangkan Arai ke Indonesia dan Arai bisa kembali pada musim panas tahun depan untuk menyelesaikan tesisnya.
ft y?*
Hatiku dingin waktu berpisah dengan Arai di Bandara Charles de Gaul/e. Ia duduk tak berdaya, wajahnya pucat. Tapi seperti biasa, dalam keadaan yang paling menyedihkan, ia justru berusaha membesarkan hatiku. Kutatap mata lelaki simpai keramat yang selalu membelaku itu, dialah Lone Ranger-ku. Matanya itu, masih mata yang polos.
Masih mata anak kecil sebatang kara yang menjulangku di pundaknya ketika kami bermain di lapangan memperebutkan bercak-bercak kapuk yang bertaburan. Masih mata anak kecil yang tanpa kutahu menisik bajuku yang terkoyak, menjahit kancing-kancing bajuku, dan menyelimutiku ketika aku sedang tidur.
Kini aku harus terpisah lagi dengannya. "Be strong, Tonto," katanya tersenyum.
Aku memeluk pahlawanku itu kuat-kuat. Ia masih berdiri di depanku, tapi aku telah merindukannya. Dadaku sesak menatap punggung Arai menjauhiku. Air mata menepi di pelupukku.
***
Aku kembali ke apartemen dan semuanya terasa hampa. Ruangan tiba-tiba menjadi terlalu besar. Kemudian hari demi hari kulalui dengan menceburkan diri dalam risetku. Terutama untuk mengatasi kehilanganku akan Arai.
Cobaan hidupku makin berat waktu Maurent memanggilku, mengabarkan berita buruk lagi.
"Profesor Turnbull akan pensiun. Ia mau pulang kampung dan bekerja di sana, di Sheffield, Inggris."
Aku tercenung lesu.
"Kalau tak ingin hilang waktu, ikut saja ex-change program, pindah ke Sheffield Hallam University, lanjutkan risetmu dengannya."
Sejujurnya, aku tak berminat ke Inggris. Setelah Arai pergi, aku hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan kuliahku di Sorbonne lalu mudik, tapi aku tak mungkin putus hubungan dengan Turnbull. Hanya ada enam profesor ekonomi dengan spesialisasi ekonomi telekomunikasi di dunia ini, Turnbull salah satunya, dan salah satu yang terbaik. Nasib tesisku ada di tangannya.
***
Kapal feri membawaku melintasi kanal Inggris dari Calais menuju Folkestone. Dari jauh, tampak White Cliff of Dover yang terkenal. Aku hampir menyentuh Britania tapi hatiku masih membiru. Semuanya sangat berbeda tanpa Arai. Aku merasa pincang, seperti layangan dengan teraju timpang, aku tak seimbang. Arai adalah inspirasi hidupku. Pikiranku dibayangi Arai kecil, delapan tahun usianya, meng-apit karung kecampang, menunggu aku dan ayahku menjemputnya di tengah ladang tebu. Aku menangisi nasib anak sebatang kara itu, namun ia malah menghiburku dengan gasing dan kumbang sagu.
Arai selalu meyakinkanku untuk menjunjung tinggi mimpi-mimpi kami, lalu ia membakar semangatku untuk mencapainya. Arai adalah antitesis sikap pesimis, panglima yang mengobrak-abrik mentalitas penakut, dan hulu balang bagi jiwa besar. Ia telah membawaku mengalami hidup seperti yang kuinginkan. Hidup dengan tantangan dan gelegak mara bahaya. Bersamanya aku melepuh terbakar panas matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin. Sejak kecil kami bekerja keras tanpa belas kasihan. Kami pernah dirampok, diusir, terlunta-lunta, dan kelaparan. Kami pernah dijerang suhu panas sampai empat puluh lima derajat di Sahara dan terperangkap suhu dingin sampai minus sembilan belas derajat di Laut Utara. Dan, kami telah mengelana empat puluh dua negara hanya berbekal keberanian. Semuanya telah kami rasakan, dalam kemenangan manis yang gilang-gemilang dan kekalahan getir yang paling memalukan, tapi selangkah pun kami tak mundur, tak pernah. Kami jatuh, bangkit, jatuh lagi, dan bangkit lagi.
***
MOZAIK 44: Lorong Waktu
Aku termangu-mangu di Terminal Victoria, London, sepi dalam hiruk pikuk anak-anak muda yang ingin berangkat ke Bristol, kiblat bagi pencinta budaya pop, untuk belajar musik, performing arts, dan seni rupa.
Bus antarkota nationat express membawaku ke Sheffield, di Midland, wilayah tengah Inggris, dekat Manchester, Birmingham, dan Leeds.
Sampai di Sheffield, benar seperti yang pernah kubaca, nyata seperti yang kulihat di film Full Monty, tak dusta omongan semua orang, Sheffield memang tak menyenangkan. Kota ini tak lebih dari kota pabrik. Lebih parah lagi, pabrik-pabrik itu sudah bangkrut. Cerobong-cerobong asapnya hitam menjulang disarangi bangau sandhill. Gudang-gudang raksasa dipagari kawat: tinggi dan digren-del, telantar di mana-mana. Sebagian kecil orang berkerumun di kios-kios ftsh and chip. Itu pun hanya kalau terjadi derby, Sheffield United menggempur saudaranya sendiri, Sheffield Wednesday, di Stadion Brammal Lane.
Di Sheffield, aku tinggal di London Road, dalam permukiman komunitas Pakistan, "Sheffield is duli," kata Zahid, Landlord-ku. Duli, satu kata yang dipakai jika boring: membosankan, kurang cukup.
Bulan demi bulan kulalui tanpa gairah. Kota yang pernah digadang-gadang sebagai sentra industri Inggris ini belum juga mampu bangkit dari resesi yang menekuknya sejak 1990-an. Orang-orang hilir mudik dari bar ke bar, persis seperti di film Full Monty, film tentang pria-pria mantan bu-ruh pabrik Sheffield yang terpaksa menjadi penari tanpa busana karena tak tahan menganggur setelah pabrik mereka gulung tikar.
Namun ada satu hal menarik: bahasa. Sungguh menawan bahasa Inggris orang Sheffield atau orang Midland umumnya. Lagunya, cengkoknya, dan basa-basinya sangat istimewa. Inikah akar bahasa Inggris? Aksen Inggris yang pa-ling asli? Jika menyebut O, tegas O. Jika mereka mengatakan enough tidak berbunyi inaf seperti biasa kita dengar, tapi inof. T menjadi K sehingga it menjadi ik, what menjadi wak, put menjadi puk. Kalau menanyakan kabar: how are you? Cukup satu kata: allhght? Itu pun lucu kedengarannya: Oraik? Lebih dari itu, basa-basinya memesona. Laki-laki dan perempuan saling memanggil love atau dear. Love mereka bunyikan lof bukan taf. Lof dan dear terdengar empuk, menggelikan, dan menyenangkan di telingaku, di hatiku.
Namun, aku tetap tak betah di Sheffield. Jika malam, aku naik ke loteng apartemenku, mengintip ke luar jendela, memandangi langit. Kadang kala angin malam mendesis, menyibakkan kabut-kabut tipis, lalu melintas rasi belantik, melintas wajah Weh.
Tanggal 28 Maret, aku pergi ke Sungai Ouse di Sussex. Sepanjang hari aku melamun di tepi sungai itu membayangkan pengarang Virginia Woolf memberati sakunya dengan batu untuk menenggelamkan dirinya sendiri pada hari nahas 28 Maret itu. Bagiku, Sungai Ouse laksana Sungai Lenggang di kampungku. Hatiku kelam mengenang saat aku membuka ikatan tali rami yang menjerat Weh dan menegakkan lehernya yang terkulai. Di pinggir Ouse, aku menemukan kembali Weh yang meninggalkan rasa kelu sekaligus rindu dalam sukmaku.
Akhirnya, aku berhasil menyelesaikan risetku. Pukul tiga sore ini aku akan menemui Profesor Turnbull. Biasanya kami bertemu di kampus. Keluarga Turnbull masih me-melihara tradisi minum teh orang Midland. Ia mengundangku ke rumahnya untuk menandatangani laporan akhirku sambil minum teh bersama.
Rumah Profesor Turnbull jauh di luar Sheffield. Tepatnya di Doncaster. Rumah itu memiliki halaman dengan penataan yang memikat. Sebenarnya sederhana saja, yaitu Honorine Jobert didesak-desakkan sekenanya di antara angelonia. Tanaman-tanaman itu tak lebih dari tumbuhan bunga liar. Kerapian hanya diperlihatkan pemilik rumah dengan memagari bunga-bunga liar tadi dengan barisan rapat marigold.
Aku memencet bel sekali. Langkah-langkah lambat berkecipak di dalam rumah. Seorang wanita berusia kira-kira lima puluh tahun berdiri di ambang pintu. Ia tersenyum. Wajahnya anggun, English lady tulen. Kulitnya putih berseri, rambutnya abu-abu, terawat baik, diikat dan diselipi sekuntum patula yang sewarna dengan renda-renda ba-ju dan sandal rumahnya.
"Oh, lof, kau pasti Andrea, ya sapanya halus.
"Aduh, Kins tadi menunggumu, tapi tiba-tiba ia dipanggil ke kampus. Pesannya, silakan kamu menunggu ia kembali ...."
Baru kutahu, panggilan sayang Hopkins Turnbull adalah Kins.
"Harus kukatakan padamu, ia akan pergi selama dua jam, oh, Dear ...."
Wanita yang sangat baik itu mempersilakanku masuk. Aku duduk di ruang tamu yang segala sesuatu di dalamnya mencerminkan tuan rumah adalah orang-orang cerdas berperadaban tinggi. Aku betah berada di tengah rak-rak berseni, berisi buku-buku berbobot: ensiklopedia dan jurnal-jurnal temuan ilmiah terbaru. Namun, dua jam bukan waktu yang singkat. Nyonya Turnbull membaca pikiranku.
"Begini, Anak Muda. Kau bisa memilih. Minum teh dan ngobrol denganku di sini, atau kita berkeliling kebun kecilku, berdiskusi soal bunga dan musim, atau pernahkah kau mengunjungi pedesaan sekitar sini?
"Bus lewat setiap jam di halte depan situ, sore yang indah untuk melihat-lihat desa, dan kembalilah setelah dua jam."
Sebenarnya aku ingin sekali minum teh dan ngobrol dengan wanita elegan ini, tapi jalan-jalan ke pedesaan juga menggodaku. Selama ini aku sama sekali tak tertarik pada Sheffield. Apa salahnya mencoba?
Aku menuju ke halte bus lalu menaiki bus desa yang butut. Di dalamnya duduk terpisah-pisah segelintir petani. Diam. Setiap orang tenggelam dalam lamunan. Bus meluncur berderak-derak, berhenti di setiap desa, dan silih berganti naik turun petani yang kumal. Tak ada yang bicara. Di luar jendela kulihat gudang-gudang tua, ladang bunga matahari, rumput yang digulung untuk makanan ternak, dan kuda yang berlarian di lapangan luas. Sebuah senja yang muram nun di pedalaman Inggris.
Tak terasa, lebih dari sejam aku berada di dalam bus, meliuk-liuk sampai ke pelosok desa yang tak kukenal, jauh, jauh sekali meninggalkan Sheffield. Lalu bus mendaki sebuah lereng bukit yang landai. Mulanya ujung tanjakan ditutupi pohon-pohon cemara yang rapat. Ketika bus berbelok, dedaunan cemara tersibak dan seketika itu pula di depanku tersaji pemandangan yang membuatku merasa terlompat ke dalam sebuah bingkai dalam kepalaku.
Bus merayap, aku makin dekat dengan desa yang dipagari tumpukan batu bulat berwarna hitam. Aku bergetar menyaksikan nun di bawah sana, rumah-rumah penduduk berselang-seling di antara jerejak anggur yang telantar dan jalan setapak yang berkelak-kelok. Aku terpana dilanda deja vu melihat hamparan desa yang menawan. Aku merasa kenal dengan gerbang desa berukir ayam jantan itu, dengan pohon-pohon willow di pekarangan itu, dengan bangku-bangku batu itu, dengan jajaran bunga daffodil dan astuaria di pagar peternakan itu. Aku seakan menembus lorong waktu dan terlempar ke sebuah negeri khayalan yang telah lama hidup dalam kalbuku.
Aku bergegas meminta sopir berhenti dan menghambur keluar. Ribuan fragmen ingatan akan keindahan tem-pat ini selama belasan tahun, tiba-tiba tersintesa persis di de-pan mataku, indah tak terperi.
Kepada seorang ibu yang lewat aku bertanya, "Ibu, dapatkah memberi tahuku nama tempat ini?" Ia menatapku lembut, lalu menjawab. "Sure lof, it's Edensor.
~~TAMAT~~
Jika hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen relativitas Einstein, maka pengalaman demi pengalaman yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbong di atas rel itu. Relativitasnya berupa seberapa banyak kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman yang melesat-lesat itu. Analogi eksperimen itu tak lain, karena kecepatan cahaya bersifat sama dan absolut, dan waktu relatif tergantung kecepatan gerbong ini pendapat Einstein maka pengalaman yang sama dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana, dan secepat apa pengalaman yang sama tadi memberi pelajaran pada seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain.
Banyak orang yang panjang pengalamannya tapi tak kunjung belajar, namun tak jarang pengalaman yang pendek mencerahkan sepanjang hidup. Pengalaman semacam itu bak mutiara dan mutiara dalam hidupku adalah lelaki yang mengutuki hidupnya sendiri, namanya Weh.
Kini lihatlah perbuatan Weh. Taikong Hamim, penggawa masjid, sampai mengacung-acungkan tombak mimbar pada khalayak yang silang sengketa.
"Tahu apa kalian soal hukum agama!”
"Jangan mandikan mayatnya di masjid! Biar dia hangus di neraka berdaki-daki!"
***
Langit, kemudi, dan layar, itulah samar ingatku tentang Weh. Tapi di sekolah lama Mollen Bass Technisce School di Tanjong Pandan, aku pernah melihat fotonya. Tak bohong orang bilang bahwa dia bukan sembarang, karena Belanda hanya menerima pribumi yang paling cerdas di sekolah calon petinggi teknik kapal keruk timah itu. Foto kuno itu sudah buram. Weh seorang pemuda yang gagah. Ia bergaya, berdiri condong menumpukan tubuh kekarnya di atas pemukul kasti. Namun, sesuatu yang menyayat tersembunyi dalam matanya. Seringainya hambar, jauh, dan kesakitan. Weh mengawasi lekat siapa pun yang mendekati fotonya. Aku menatapnya, lama, lalu bisikan garau mendesis dari foto itu, "Engkau, laki-laki zenit dan nadir ...." Bulu tengkukku meruap, seseorang seakan berdiri di belakangku, aku berbalik, sepi. Mengapa Weh kesakitan?
Semula ia baik-baik saja, bahkan tempatnya terhormat di kelas. Sampai penyakit nista merampok hidupnya. Ia kena burut. Burut terkutuk yang meniup skrotum dan kelaki-lakiannya, bengkak seperti balon sampai jalannya pengkor. Jampi dan ramuan tak mempan. Ia atau sanak leluhurnya pernah melangkahi Cjur'an, kualat, tuduh orang kampung tanpa perasaan. Hidup Weh disita malu. Semangat pemuda penuh harapan itu tumbang. Ia keluar dari Technisce School, mengasingkan diri, meninggalkan tunangannya. Weh menjadi nelayan, tinggal di perahu.
***
Aku masih kecil dan Weh sudah tua ketika kami bertemu. Weh adalah sahabat masa kecil ayah ibuku. Puluhan tahun ia telah hidup di perahu. Perkenalan kami terjadi gara-gara aku disuruh ayahku mengantar beras dan knur untuknya. Semula aku ragu mendekati perahunya. Laki-laki itu keluar dari lubang palka, tubuhnya aneh. Ia tampak miris bertemu manusia.
"Lemparkan!" hardiknya melihat benda-benda di tanganku.
Aku terkejut. Enak saja, tidak adil. Ayahku membawa kebaikan untuknya dan ia sama sekali tak punya basa-basi. Dia bisa menakuti siapa saja, bukan aku. Weh meradang, aku bergeming.
"Keras kepala! Mirip sekali ibumu!"
Ia menibar pokok terunjam, merapatkan perahunya ke pangkalan. Aku melompat dan berdiri tertegun di buritan. Sampai aku pulang kami tak berkata-kata.
Esoknya, tak tahu apa yang menggerakkanku, aku kembali ke pangkalan. Weh juga pasti tak tahu mengapa ia kembali menibar pokok terunjam. Ia hilir mudik di depanku lalu menghunus sebilah terampang dari punggungnya sambil menunjuk gerinda di dekatku. Tanpa bicara, aku meraih terampang itu, memutar gerinda, dan mengasah lekak-lekuknya.
Aku masih tak tahu mengapa setiap hari aku mengunjungi Weh. Yang kutahu, ketika melihat matanya yang bening dan kesakitan, hatiku ngilu, ketika melihat jalannya timpang karena burut mengisap air dalam tubuhnya, mengumpul di selangkang, kubuang pandanganku karena hatiku perih, dan ketika melihatnya tidur, memasrahkan tubuhnya yang dikhianati nasib pada senyap sungai payau, aku gelisah sepanjang malam. Akhir bulan aku memecahkan tabungan pramukaku lalu bersepeda puluhan kilometer ke Manggar demi satu tujuan: membeli radio saku untuk Weh.
"Irama Semenanjung Pak Cik, programa RPM Malaysia. Banyak pantun dan lagu cinta, pasti Pak Cik senang." Weh menerima radio itu, meletakkannya di atas rak, dan tak menyentuhnya selama seminggu.
Dua minggu berikutnya aku harus ke Tanjong Pandan mengikuti ujian sekolah. Tak tahu mengapa, setiap hari di Tanjong Pandan, aku merindukan Weh. Kembali dari Tanjong Pandan aku bergegas ke pangkalan. Dekat perahu Weh kudengar sayup lagu sendu. Aku menyelinap pelan-pelan. Weh tidur meringkuk sambil memeluk radio pemberianku. Tak pernah kulihat wajahnya sedamai itu. Programa RPM Malaysia mengalunkan "Kasih Tak Sampai", kemerosok, timbul tenggelam. Aku menggenggam kuat-kuat bungkusan beras di tanganku, hatiku mengembang.
***
Berminggu-minggu berikutnya aku bersusah payah membujuk ayahku agar diizinkan berlayar bersama Weh.
"Tak ada orang yang bernyali ke Mentawai hanya dengan menaikkan layar. Kautahu, Bujangku? Weh menyelami teripang, empat puluh meter di dasar Lingga yang pekat, dengan tabung udara dadanya saja. Hanya dia yang masih berani ke Pulau Lanun. Ia tak peduli lagi dengan nyawanya."
Ayah memilih kata dengan teliti. Ia tak ingin aku terinspirasi keberanian Weh yang gelap. Namun, semakin keras Ayah melarangku, semakin kuat inginku. Ketika Ayah menyerah, semalam suntuk tak dapat kupejamkan mataku.
Akhir pekan, pagi buta, kami bertolak ke tenggara. Weh mengambil jalur pintas penuh bahaya. Perahu ia layarkan melintasi lor-lor ganas Karimata. Di selat sempit itu, Laut Jawa dari utara dan Laut Cina Selatan beradu, terjebak dalam pusaran yang dahsyat. Aku melihat buih berlimpah-limpah. Perahu bergoyang halus tapi cepat serupa denting senar sitar, setiap benda gemeletar, paku-paku yang mengikat papan berderak bak gemelutuk gigi, seolah akan bingkas meledak. Perahu meluncur pelan dan waswas dalam intaian maut, laksana melintas titian serambut terbelah tujuh di atas neraka yang berkobar-kobar.
Terlepas dari daya isap pusaran air, Weh tersenyum melihatku yang pucat karena telah memuntahkan seluruh isi lambungku. Perahu terlontar memasuki perairan Kalimantan di wilayah Tanjung Sambar. Tengah malam, Weh menyalakan obor, merapal sebaris mantra, aku merinding melihat gerakan-gerakan halus di bawah air. Ribuan kerisi dan cumi-cumi menyerbu perahu. Sampai habis tenagaku meraupnya. Mereka tersihir cahaya obor dan aku tertenung kehebatan Weh.
Hari pertama bulan September, Weh mengajakku berburu ikan hiu gergaji. Kami menghadang kawanan besar, memotong jalur migrasi kafilahnya dari terumbu-terumbu Belonna yang dingin di Tasmania menuju Kuala Trenggano yang hangat. Semakin dekat, raksasa-raksasa kelabu itu ternyata jauh lebih besar dari yang selalu kubayangkan. Mereka adalah gajah di laut. Air bah bersimbah setiap kali mereka mengempaskan dadanya yang dilekati teritip. Aku gemetar mengokang tuas harpun dan membidik seekor hiu yang lebih panjang dari perahu kami. Kuinjak pegas tuas, tempuling yang ditambat seutas tali melesat dari larasnya, menikam punggung hiu dan penguasa laut itu menggelinjang berguling-guling seperti buaya mematahkan leher lembu. Simpul tempuling dalam genggamku tersentak, aku terlempar ke udara, melayang, lalu tertujam ke laut laksana peluru. Weh terjun menyelamatkanku. Ia meraih tali tempuling, aku menahannya. Aku tak rela melepaskan hiu besar itu. Ini adalah perburuanku yang pertama, pertaruhan harga diriku. Aku terombang-ambing diseret hiu yang kalap. Weh mencabut sundang di pinggangnya, dengan satu gerakan tangkas, meski tertahan tekanan air. Ia menampas tali tempuling. Aku terlonjak ke permukaan, kehabisan napas. "Keras kepala!
"Keras kepala, seperti ibumu!”
"Kau bisa tewas tak berguna!"
Weh menatapku tajam. Aku tahu ia membacaku. Kuangkat wajahku, tak kusembunyikan siapa diriku.
Perburuan itu, pembuktian martabat itu, berakhir dengan kesimpulan bahwa aku pantas diajak Weh mengelana samudra. Ada gunanya tak kulepaskan hiu gergaji itu. Kami beranjak pulang.
Di tengah perjalanan kembali, Weh menghampiriku.
"Ikal, malam ini, engkaulah nakhoda," tantangnya.
Aku terpana. Laut, hanya laut dan riak gelombang, delapan penjuru angin, sejauh pandang. Bagaimana aku akan membawa perahu kecil ini pulang?
"Kalau salah arah, kita akan terdampar di Teluk Hauraki, Selandia Baru, mati kering seperti ikan asin."
Aku mereka-reka arah, tanpa kompas, tak dapat kubuat keputusan apa pun. Weh bersungut-sungut, menikmati saat berkuasa karena ilmunya. Ia diam sampai aku menyerah.
Sejurus kemudian, ia menunjuk ke arah yang jauh, nun di sana, empat kerlip bintang trapesium perlahan menjelma di horizon.
"Rasi belantik ....”
"Itulah timur”
Aku kagum. Perlahan kuputar gagang kemudi. Sekarang barat daya jelas bagiku. Ke sanalah tujuanku. Sepanjang malam aku menatap belantik. Rasi itu bergerak pelan seakan meniti langit karena bumi berputar. Columbus telah lama tahu pengetahuan ini, maka ia berani bertaruh bumi ini bulat. Tengah malam, trapesium belantik terpancang tepat di atas kepalaku, kubelokkan perahu ke timur laut. Weh berkisah.
"Tahukah engkau, Ikal ...?
"Langit adalah kitab yang terbentang Perahu menyusur gugusan pulau.
"Sejak masa Azoikum, ketika kehidupan belum muncul, langit telah mencatat semua kejadian di muka bumi ...."
Dedaunan trembesi yang merunduk memagari tepian delta, pukat yang centang-perenang, tonggak-tonggak tambak yang diabaikan, laut sepi pasang malam, dan kecipuk anak-anak buaya muara, tepekur menyimaknya.
"Semburat awan-awan tipis itu "
Weh menuding langit utara. Berjuta serpih putih terapung-apung seperti telah dihalau tenaga dahsyat, punggung gemawan berkilau membias cahaya rembulan.
"Adalah ekor puting beliung yang sepanjang hari ini menyapu Selat Gaspar ...." Dramatis.
"Awan-awan sisik di tenggara sana mengabarkan sebentar lagi telur-telur ikan belanak akan menetas Aku terpesona.
"Angin ini, semilir angin ini! Ikal! Dapatkah kaurasakan?" Weh bersidekap, kedinginan.
"Ini bukan Angin Selatan! Ini Angin Timur!
"Artinya, kemarau akan panjang tahun ini." Weh bangkit.
"Tampakkah olehmu lingkaran itu?"
Weh menunjuk berjuta bintang, tak kasat olehku lingkaran itu karena tersembunyi di antara gemerlap miliaran benda langit. Ia menarik sebatang kayu bakar dan melukis langit. Bara kayu bakar melingkar merah. Aku mengikuti lukisannya. Perlahan, seperti menyimak gambar tiga dimensi, sebentuk lingkaran merekah. Ia membagi lingkaran menjadi dua belas iris. Ajaib! Di setiap puncak jejarinya tampak bintang yang lebih gemerlap dari sekitarnya. Dipatrinya simbol-simbol aneh dalam setiap iris lingkarannya, berulang-ulang, sehingga dapat kugambar dalam kepalaku.
Pada setiap simbol Weh bersabda, "Keseimbangan, perawan, Leo sang singa, matahari pertama musim panas, bintang kastor, musim menyemai benih.
Mendebarkan! Langit adalah kitab yang terbentang, kata Weh. Laki-laki uzur ini memiliki indra keenam untuk membagi lapisan langit menjadi halaman-halaman ilmu. Aku mengerti, itulah konstelasi zodiak!
Pada iris kesepuluh ia berpaling padaku. "Anak Muda, dirimu, lelaki Oktober. Sambaran api Mars dan arus dingin Pluto akan menjebakmu ...."
Napasku tercekat.
"Engkau, laki-laki zenit dan nadir
Aku terkesiap. Malam itu, ingin kujadikan malam puisi-puisi Lucre-tius tentang jagat angkasa, galaksi androme-da, dan nebula-nebula triangulum. Tak 'kan ku- kejar Weh dengan pertanyaan-pertanyaan praktis untuk menerjemahkan kalimatnya yang bersayap-sayap. Malam itu terlalu agung untuk memohon petunjuk pedoman hidup yang oportunistik kepada seorang pembaca langit yang adiluhung.
Angin meniup layar, perahu menusuk kabut. Dini hari, tampak sayup setangkup wujud diselimuti halimun hanyut. Apakah pulau itu tujuanku?
Tiga ekor elang gugok melesat diam-diam. Aku tahu, predator itu ingin menyerbu kawanan pipit yang baru bangun di sabana Genting Apit. Darah akan bersimbah di bilah-bilah ilalang. Aku yakin, daratan itulah tujuanku, Belitong. Aku berdiri di hidung haluan seperti Admiral Hook. Aku telah menjadi seorang navigator alam. Weh-lah guru yang mengajariku mengeja bintang. Sulit kugambarkan perasaanku. Aku pulang dari tengah samudra dengan membaca langit. Weh telah membuatku, untuk pertama kalinya, merasa menjadi seorang laki-laki.
***
Berat sekali ketika harus kembali kutinggalkan Weh dua minggu untuk ujian sekolah ke Tanjong Pandan. Menghadapi kertas ujian, pikiranku tak dapat kualihkan dari rencana kami berlayar ke Mentawai untuk melihat penduduknya melukis tubuh dengan tinta daun. Pulangnya, kami akan memburu gurita.
Turun dari bus reyot, tak sempat aku pulang ke rumah, aku langsung ke pangkalan. Namun, kulihat perahu Weh limbung, layaknya bahtera tak bertuan. Penambatnya terseret lunglai. Lampu badai masih menyala. Layarnya bergulung. Di ujungnya terjuntai sepasang kaki yang pucat. Hatiku dingin. Aku melompat ke sungai, berenang menuju perahu. Tubuh Weh terbungkus lilitan layar, berayun-ayun. Laki-laki pembaca langit itu telah mati, mati meragan menggantung dirinya sendiri di tiang layar. Penyakit yang tak tertanggungkan telah merobohkan benteng terakhir semangatnya, benteng terakhir itu adalah aku.
Tubuhku menggigil waktu membuka jalinan tali rami yang menjerat lehernya. Kupeluk tubuh Weh, wajahnya yang tua, keras, dan biru terkulai di lenganku. Di sakunya masih mendesis lagu-lagu cinta orang Melayu dari programa radio RPM Malaysia. Aku berteriak-teriak, tapi suaraku surut diisap sunyi semenanjung, serak ditingkah riak ombak, lindap ditelan angin, terhalau ke Laut Cina Selatan.
Usungan digotong. Pemikulnya menggerutu. Seperti hidup mereka yang terbuang, kuburan para pembunuh diri itu pun dipisahkan, dikucilkan nun di sana, dekat rawa-rawa nifah, tempat gulma bergumpal-gumpal disarangi biawak. Aku diam terpancang seperti nisan-nisan kayu sekunyit yang didesaki ilalang. Orang Melayu bekerja keras sepanjang hidup, membanting tulang-belulang, berkeringat darah, berlumur cobaan berat, siapa yang menyerah tak dapat tempat di hati mereka. Hanya aku sendiri yang tersedan. Lututku lemas melihat Weh dicampakkan ke dalam lubang, diuruk sekenanya, ditancapi gagang pacul yang tadi patah waktu menggali liang lahatnya, lalu ditinggalkan begitu saja.
Pesan terakhir Weh, zenit dan nadir, seperti akar ilalang yang menusuk-nusuk kakiku, menikam hatiku. Nanti, harus kujelajah separuh dunia, berkelana di atas tanah-tanah asing yang dijanjikan mimpi-mimpi, akan kutemui perempuan yang membuat hatiku kelu karena cinta, karena rindu yang menyiksa, untuk memahami kalimah misterius itu. Di kuburan usang, di antara nisan para pendusta agama itu, aku sadar aku telah belajar mencintai hidupku dari orang yang membenci hidupnya, dan Weh adalah orang pertama yang mengajariku mengenali diriku sendiri.
***
MOZAIK 2: Persyarekatan Bangsa-Bangsa
Einstein kedua dalam hidupku yang mengenalkanku pada diriku sendiri adalah tokoh legendaris ini: Mak Birah, dukun beranak kampung kami. "Waktu kau lahir, Ikal .... "Nyalo."
Nyah, tak lain ucapan terakhir yang dipakai orang Melayu jika kehabisan kata untuk melukiskan dahsyatnya angin, gemuruh hujan, dan gempita petir.
"Tengah malam pula”
Mengapa alam bergelora menyambutku? Tak jelas, yang pasti hanya saat itu ibuku senewen ingin anak perempuan. Ibu sudah bosan setiap hari dikerubuti laki-laki: ayahku dan empat orang abangku yang cenderung mengacau. Tertekan batinnya mengurusi makhluk yang secara alamiah punya ego lebih besar dari tubuhnya sendiri. Ibu, yang berteori bahwa seni pengelolaan rumah tangga terletak pada anak perempuan, mengaku lambat laun terkorosi jiwanya, sebab bujang-bujang di rumah kami hanya bisa diredam dengan menerapkan manajemen mandor kawat.
Dulu, setelah mendapat anak lelaki pada persalinan pertama, Ibu tersenyum pahit mendengar Mak Birah meneriakkan Bujang! pada persalinan kedua. Ia bersalin lagi, Mak Birah memekik: Nomor tiga! Bujang lagi! Persis teriakan panitia penghitungan suara. Namun Ibu, yang besar dalam penindasan Jepang sehingga menjadi pribadi yang liat, tak sudi takluk meski Mak Birah, lagi-lagi, berseru bujang pada persalinan keempat. Ia pantang menyerah sebelum Mak Birah berteriak dayang!
"Persalinan kelima cerita Mak Birah.
"Bahkan ibumu sudah menyiapkan nama anak perempuan."
Nama itu, Nur Tantiana Wassalam. Nur adalah cahaya. Tantiana dari bahasa Melayu pedalaman, tanti', artinya ditunggu-tunggu. Wassalam, ya wassalam. Secara halus, nama itu berarti cahaya terakhir yang telah lama ditunggu-tunggu. Hari persalinan tiba. Mak Birah selalu menceritakan ini setiap aku mengantar tembakau untuknya.
"Ibumu, perempuan yang keras pendiriannya ....
"Kau tahu, Ikal? Tanggal 23 Oktober waktu itu, pukul setengah dua belas malam, hujan lebat. Sudah satu jam ibumu sakit perut, tapi tak sedikit pun ia mau mengejan."
Perempuan tua temperamental itu meninggikan suaranya.
"Kupaksa berkali-kali ia mengejan, dilawannya semua perintahku! Ibumu tersengal-sengal, matanya melotot melihat jam weker.
"Jam weker! Masya Allah! Jam weker! Aneh, bukan?!"
Tembakau yang tadi kuberikan tak dilinting Mak Birah tapi diremasnya menjadi bola kecil dan dibelesakkannya ke dalam geraham. Artinya, ia sedang serius.
"Tak ada yang paham apa mau ibumu!"
Cerita makin seru.
"Hampir pukul dua belas malam, ketubannya pecah! Ibumu megap-megap tapi masih berkeras tak mau mengejan! Matanya tak berkedip mengawasi jam weker! Bibi-bibimu tak dapat membujuknya agar mengejan, keadaan sudah gawat, kami cemas bukan buatan!
"Kuhardik ibumu: 'Nyi! Mengapa kaupandangi terus jam weker itu?! Kau mau melahirkan tidak?!1
"Ibumu tak peduli! Sama sekali tak peduli! Dianggapnya angin saja gertakku!
"Itulah kalau kau mau tahu watak ibumu! Keras seperti kawat! Aku marah besar!"
Aku tegang menyimak.
"Kumarahi lagi ibumu: 'Apa maumu Nyi?! Keluarkan bayimu! Sekarang!'
"Ibumu pucat, kehabisan napas, tapi masih membatu!
"Air ketuban bersimbah-simbah, aku panik, habis sudah kesabaranku!
'"Apa kau mau mati, Nyi!?' "Ibumu tersentak, ia menatapku, tajam sekali." Dan inilah bagian yang paling kusukai dari seluruh cerita ini.
"Sambil terengah ibumu membentakku; 'Kau tengok baik-baik jam weker itu, Rah! Tunggu sampai jarum panjangnya lewat angka dua belas! Aku ingin anak ini lahir tanggal 24 Oktober! Tidakkah kaudengar maklumat di radio?! Dua puluh empat Oktober adalah hari berdirinya Persyarekatan Bangsa-Bangsa, PBB! Hari yang penting! Aku mau anak ini jadi juru pendamai seperti PBB!'"
Pukul dua belas malam lewat sedikit, bayi itu lahir, sungsang, kakinya lebih dulu. Baru setengah tubuhnya di alam bebas, lewat paha sedikit, bahkan sebelum matanya melihat dunia, demi mengecek propertinya, Mak Birah bersorak.
"Nomor lima! Bujang!"
***
MOZAIK 3: Juru Pendamai
Bayi nomor lima itu berkening luas. Ayahku mena-mainya Agil Barrag Badruddin.
"Aqil, bahasa Arab, artinya akal. Barraq adalah berkilauan, bahasa tinggi orang Yaman," papar Ibu.
Peran serta Badruddin atau purnama agama tak lain adalah karena nama lelaki Melayu selalu berakhiran Din. Dalam terjemahan yang paling bebas, makna namaku itu kurang lebih Anak soleh berjidat mengilap yang tidak akan melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dalam hidupnya.
Di belahan dunia lain orang boleh mengatakan apalah arti sebuah nama. Namun bagi orang Melayu pedalaman seperti kami, nama amat penting, nama berurusan dengan agama dan dianggap sumber aura. Din itu buktinya, asalnya Dienul Islam: agama Islam. Jika tabiat anak tak beres, pasti namanya yang pertama diselidik. Kebijakan purba itu dianut taat oleh ayahku.
Ternyata, harapan menggelora yang diletakkan di atas deretan kata agung namaku itu, hancur berserakan. Aku belum sekolah waktu bersekongkol dengan adikku si nomor enam yang juga bujang dan membuat ibuku kapok bersalin menyembunyikan naskah khatib sehingga ia gelagapan di atas mimbar. Aku dan adikku, bak Qabil dan Habil. Kejadian itu menjadi memorandum premier kejahatanku seumpama catatan debut Qabil dalam sejarah kriminalitas umat.
Kalau terompah Wak Haji pindah ke langit-langit dan beduk bertalu-talu bukan jam salat, pasti aku yang dicari karena memang aku pelakunya. Sering aku menyamar memakai mukena sepupuku, menyelinap dalam saf putri, membuat onar. Bulan puasa, aku melubangi buku-buku bambu dengan linggis, kuisi air dan karbit, lalu kuarahkan ke jendela masjid saat seisi kampung tarawih. Gas karbit yang mampat dalam lubang bambu yang sempit berdentum laksana meriam saat sumbunya kusulut. Jemaah kocar-kacir.
"Keriting berandaaaaaalll!!" teriak Taikong Hamim, penggawa yang kondang garangnya.
Aku ditangkap. Malamnya aku didamprat ibuku. "Lihatlah dirimu itu!" bentak Ibu. "Inikah sang juru pendamai itu!? Bikin malu!"
Wajahnya kaku karena bersusah payah menahan diri. Aku tahu, sebenarnya Ibu ingin menghamburkan omelan yang lebih tajam, tapi pasti ia merasa setiap kata yang ia semprotkan memantul lagi kepadanya. Ia sadar aku menuruni watak kepala batunya, karena setiap inci diriku berasal dari setiap inci dirinya. "Terserah Yah Ni
Ayah yang pendiam hanya menatapku putus asa. Dalam keadaan ini, biasanya Ayah menaikkanku ke tempat duduk belakang sepeda Forever-nya, mengikat kakiku ke tuas di bawah sadel dengan saputangannya agar tak terlibas jari-jari ban, lalu memboncengkanku ke bendungan PN Timah. Sepanjang jalan Ayah menasihatiku tentang kedamaian hidup seperti dicontohkan burung-burung prenjak berdasi, capung-capung, dan kaum kecebong. Pulangnya aku dibelikan tebu yang ditusuk tangkai-tangkai lidi.
***
MOZAIK 4: Pengembara Samia
Kejadian meriam bambu itu adalah bukti bahwa nama Aqil Barraq Badruddin terlalu berat untukku. Ayah memutuskan untuk menggantinya. Demi menemukan nama baru, Ayah rajin berunding dengan juru tulis kantor desa, perawat puskesmas, polisi pamong praja, pelayan restoran, penjaga pintu air, atau siapa saja yang berseragam. Bagi Ayah, orang-orang berseragam lebih pintar dari orang kebanyakan. Siang ini ia berbincang dengan pria yang gerak-geriknya seperti beruk karena ia seorang pemanjat kelapa. Di kampung kami ada persatuan pemanjat kelapa dan mereka berseragam. Pulang ke rumah, Ayah bersukacita.
"Telah kutemukan nama baru untuk si Ikal itu,
Bu!"
"Kabar gembira!" jawab Ibu.
"Dengan nama ini, kau pasti jadi santri teladan, Ikal."
Waktu itu aku dan adikku tengah dihukum mencuci piring karena tanpa alasan jelas mengibarkan bendera merah putih setengah tiang.
"Tak tanggung-tanggung, Bu, kata Mahader pemanjat kelapa, nama ini dapat membuat orang menjadi bijak."
Aku ngomel dalam hati, bagaimana kalau aku tak sudi dengan nama baru itu ?
Ayah: Arti nama ini adalah pria lemah lembut nan berjiwa besar!
Aku: Hmm ... bagus sekali ya, tak seorang pun minta pendapatku, padahal akulah yang akan memikul nama itu seumur hidup!
Adikku, yang gembrot dan lugunya minta ampun itu, tak peduli. Ia meniup-niup gelembung sabun. Bruuuphhh ... brupphh.
"Apakah gerangan nama yang hebat itu, Yah?"
Ayahku bangkit, berkumandang.
"Waaa ... dudhl! Wadudh! Itulah namanya! Kata Mahader, nama itu gelar untuk menghormati orang yang paling tinggi akhlaknya di kalangan pengembara Samia!"
Ibu: Subhanallah\ Mahasuci Allah! Hebat nian nama itu!
Aku: Wadudh? Pastilah pengembara berkafiyeh yang suka minum susu kambing itu! Adikku: Bruuuphhh ... brupphh.
***
Sayang seribu sayang, pengembara Samia yang bijak bestari itu menjelma menjadi garong. Tak lama setelah nama agung itu dilekatkan kepadaku, aku memimpin komplotan santri untuk menjarah tambul, penganan yang disumbangkan umat ke masjid jika Ramadan. "Ketua Wadudh," begitu santri-santri itu memanggilku. Nakalku makin menjadi. Aku blingsatan mencari diriku sendiri, tersesat dalam ide-ide yang sinting. Dengan sogokan sebungkus kuaci, kuhasut adikku si nomor enam itu untuk menyanyikan lagu "Indonesia Raya" dengan pengeras suara masjid. Suaranya yang cadel melolong-lolong seantero kampung. Aku dan Ayah kena sidang.
"Wadudh sudah tak bisa diatur!! Tak boleh lagi dia ke masjid ini!" Haji Satar emosi.
Para penggawa yang mengelilingi kami mengangguk-angguk.
"Oh, gawat
Wajah Ayah biru menahan malu. Ia menatapku. Tatapan yang tak pernah kukenal sebelumnya. Naluriku berbisik, Ayah akan mengambil tindakan ekstrem untuk mengganjarku. Aku mengerut ketakutan.
"Onar! Hanya onar saja dibuatnya!!" Wak Tarjik histeris. Kopiahnya pernah kulumuri minyak rem.
Ayah makin tajam menatapku. Aku tak pernah dikasari ayahku, bahkan ia tak pernah menaikkan suaranya kepadaku, tak pernah, walau hanya sekali. Namun, kejadian "Indonesia Raya" itu memang sudah kelewat batas. Majelis menuntut Ayah bertindak tegas. Dalam mata Ayah, jelas kubaca ia tak tega kepadaku. Posisinya serbasalah. Ia bak Ibrahim yang diperintah Tuhan menyembelih anaknya. Aku miris membayangkan dibuang Ayah ke pesantren Pulau Penyengat, menyeberangi Selat Melaka, tak pulang bertahun-tahun. Aku terlalu kecil untuk sanksi sekeras itu.
"Beri hukuman berat sekalian agar Wadudh jera!" hardik Taikong Hamim.
Berat sekali cobaan Ayah.
"Bagaimana keputusanmu, Pak Cik?! Apa tindakanmu agar tabiat buruk Wadudh tak terulang lagi?!" Taikong tak sabar, nadanya mengancam. Suasana hening. "Bagaimana, Pak Cik?" Ayah berulang kali menarik napas panjang. "Baiklah, Taikong
Suara Ayah terbata-bata karena ia akan menyesali keputusan kejamnya padaku. Tapi ia tak punya pilihan lain. Aku terkulai di lengannya. Majelis waswas menunggu keputusan keras Ayah ....
"Akan kuganti lagi namanya
***
MOZAIK 5: Partner In Crime
Ratusan ribu kalong menyerbu pesisir. Perutnya buncit karena puas menjarah putik kemang di -pulau-pulau kecil tak bertuan. Kepaknya sombong tak peduli. Hewan berparas mengerikan serupa tikus terkutuk itu mendekor langit dengan bercak-bercak hitam, hanyut di angkasa dilatari deburan troposfer. Belitong menjelang malam, adalah semburan warna dari seniman impresi yang melukis spontan, tak dibuat-buat, dan memikat. Azan magrib mengalir ke dalam rumah-rumah panggung orang Melayu, umat berduyun-duyun menuju masjid, menuju kemenangan.
Masjid, seperti oase bagi semua anak Melayu udik. Di sana, bukan sekadar tempat salat dan mengaji, tapi tempat bermain dan membuat janji-janji. Masjid nan indah, tasbihnya berupa-rupa, kaligrafinya memesona, dan pilar-pilar tingginya memantul-mantulkan suara. Di atas lantai pualam terbentang sajadah panjang dari Turki, semerbak harum setanggi, kitab-kitab tua sejarah nabi, dan lebih dari semuanya, para jemaah putri! Belum lagi satu kegembiraan yang aneh, kegembiraan yang secara ajaib menjelma kalau Ramadan tiba. Mungkin jika Ramadan, orang Islam mendadak menjadi dermawan, berebutan mengantar tambul ke masjid.
Semuanya semakin indah karena keluarga kami memungut Arai, sepupu jauhku, yang mendadak menjadi sebatang kara dalam usia delapan tahun. Maka, aku memanggilnya Lone Ranger. Ia memanggilku Tonto dan kami segera menjadi partner in crime.
Ayah kembali pusing memikirkan namaku. Wajahnya redup. Diusap-usapnya kopiah resaman-nya. Ia kehabisan cara mengatasiku dan kehabisan nama untukku.
"Baiklah Bujang, sekarang pilihlah sendiri nama untukmu
Saat itu aku tengah membolak-balik halaman majalah Aktuil. Di salah satu pojoknya aku membaca berita usang tentang polisi Italia yang dibuat repot seorang wanita sinting karena memanjat tiang telepon dan mengancam menerjunkan diri jika Elvis Presley tak membalas suratnya. Nama wanita itu Andrea Galliano.
"Ayahanda, bagaimana kalau Andrea?"
Telinga Ibu berdiri.
"Ain! Nama macam apa itu? Itu bukan nama orang Islam!"
Ayah berpendirian lain. Mungkin karena ia sudah mati akal.
"Kalau begitu maumu Bujang, apa tadi? Andrea ah, bagus juga kedengarannya, tak ada salahnya dicoba ...." Ibu tak terima. "Yah Ni, tak ada nama orang Melayu seperti itu. Itu nama orang Barat. Mereka tak peduli soal nama dan itu nama anak perempuan." Ayah menangkis.
"Bukankah selalu kauidamkan anak perempuan,
Bu?"
Ibu berbalik meninggalkan kami, marah, tapi aneh, ia tersenyum. Mulai malam itu aku punya nama baru. Di peraduan kukenang kembali nama-namaku. Aku menarik kesimpulan, ternyata tabiat orang tak berhubungan dengan gelar yang disematkan kepadanya, bukan pula bagaimana ia menginginkan orang hormat kepadanya, tapi lebih pada berapa besar ia menaruh hormat kepada dirinya sendiri. Kebenaran sederhana ini membuat hatiku ngilu.
***
MOZAIK 6: Rahasia Gravitasi
Ketika pertama kali melihatnya, melihat paras kukunya, lebih tepatnya, aku merasa seperti dipeluk arus Sungai Lenggang, berenang bersama lumba-lumba, dijemput jutaan kunang-kunang, lalu diterbangkan menuju bintang. Ia tersenyum, aku tak dapat bernapas.
"Namaku A Ling katanya menyalamiku, menggenggam hatiku. Ingin kusampaikan satu nama terbaik dari deretan nama agung pemberian ayahku, tapi tak satu pun kuingat. Di depan gadis kecil Hokian itu, aku lupa semua namaku. Perasaan indah memancar sampai ke ujung-ujung simpul pembuluh darahku.
Minggu depan kami akan bertemu. Berkali-kali aku berkaca. Rupanya aku telah berkumis! Maka tak ada alasan takut untuk minta izin kepada bapaknya. Kami akan naik komidi putar! Sabtu sore, dengan enam helai kumis terhunus, kudatangi toko kelontong Sinar Harapan milik bapaknya, A Miauw.
Laki-laki gendut itu sedang menjentikkan biji-biji sempoa. Melihatku, jentikannya makin keras.
"Ba ... Ba ... Baba
"Apa Ba, Ba? Mau apa!?"
Sebenarnya dia tahu aku ingin mengajak putrinya.
"Ba, hmm ... hmm ... mmm "Apa! Mau apa!?" "Begini Ba ... hmm "Apa begini, begini?!"
Tiba-tiba A Ling muncul dari balik tirai. Ia menarik tanganku, kami kabur. "A Ling!
"Oi hii na boui?\\
"Chon lisak\h
"A Ling!
"A Liiiiing ...!!
"Njoo Xian Liiiiiiing ...!!!"
Teriakan bapaknya layap dan kami melayang-layang dalam komidi. Indah sekali, melebihi ledakan aurora di atas belantara Amazonia. Kuberi tahu Kawan, rahasia romansa komidi putar adalah fisika sederhana: hukum gravitasi! Waktu komidi mencapai posisi empat puluh lima derajat dari porosnya, daya tarik bumi membuat mempelai dalam kurungan ayam tadi seperti akan terjungkal. A Ling histeris, takut campur manja, memeluk erat lenganku. Perasaanku melambung, melesat-lesat seperti mercon banting. Gadis Hokian itu menatapku ronhon.. perlindungan dan aku jatuh cinta, sungguh
Mau kemana?
Kesini!
jatuh cinta, untuk pertama kalinya
***
Rupanya, tak ada yang lebih aneh selain orang dimabuk cinta. Segalanya tiba-tiba berubah menjadi serbabaik. Kini, dalam penglihatanku, setiap benda menjadi indah, semuanya memiliki dimensi geometris yang berseni. Sekolah Muhammadiyahku yang doyong seperti gudang kopra itu ternyata bangunan kubus simetris yang efisien, bergaya etnik tropikal dengan spesifikasi multifungsi: sebagai kelas dan kadang-kadang sebagai kandang ternak. Bukankah optimal? Kalong-kalong yang rakus bukan lagi tikus yang terkena kutukan tapi hewan langka familia Palaeochiropteryx tupaiodon yang harus dilindungi, kalau perlu dengan undang-undang. Pengganggu hewan rupawan itu tak lebih dari manusia tak tahu diri. Taikong Hamim! Haji Marhaban Hamim bin Muktamar Aminnudin nama lengkapnya, sama sekali bukan guru ngaji yang kejam, bukan, sama sekali bukan, tapi ia tak lain manusia terpilih penegak syiar Islam, ulama penting penyelamat anak-anak Melayu dari rayuan iblis.
Aku mengaji dengan khusyuk. Kacamata Taikong sampai merosot, bibirnya tumpah. Ia bergegas menemui ayah ibuku.
"Tak pernah kulihat Ikal seperti ini, Pak Cik, teduh nian tabiatnya sekarang. Kalian apakan dia?"
Ayah kaget, sumringah. Ibu ternganga. "Mahasuci Allah! Bu, percayakah kau sekarang?"
Ibu masih menganga.
"Apa kataku soal nama Italia itu!"
***
MOZAIK 7: Segitiga Tak Mungkin
Arai, Weh, dan Mak Birah, bagiku seperti bangunan segitiga tak mungkin, impossible tria-ngle Oscar Reiitersvard dengan dimensi yang susah diterjemahkan, dengan sudut-sudut yang mengandung anomali.
Mak Birah, seorang protagonis, amat menghargai kehidupan dan menganggapnya sebagai pe-rayaan kebesaran Allah.
Sebaliknya Weh, sang antagonis, mengutuki hidupnya sendiri. Baginya, kelahiran adalah keputusan aklamasi tanpa negosiasi dan selamatlah manusia yang tak pernah lahir. Sedangkan Arai, ketika orang yang senasib dengannya tersuruk-suruk, ia malah memperlihatkan jiwa besar, lebih dari siapa pun.
Hari ini, di kelas, Lone Ranger itu menggenggam tanganku kuat-kuat. Ia terpesona pada benda yang dibawa guru sastra S M A kami, Pak Balia.
"La originalidad consiste en volver al origen, Antoni Gaudi, maestro mozaik, Barcelona 1877."
Dengan gaya teatrikal, Pak Balia memikat murid-muridnya sambil mengelus benda itu seekor iguana dari tanah liat replika karya Gaudi.
"Orisinalitas berarti kembali pada bentuk orisinal."
Kulit iguana itu ditempeli ratusan mozaik berwarna-warni dari pecahan kecil porselen: piring, kendi, tempayan, dan ubin. Unik, ganjil, artistik.
"Murid-muridku, berkelanalah, jelajahi Eropa, jamah Afrika, temukan mozaik nasibmu di pelosok-pelosok dunia. Tuntut ilmu sampai ke Sorbonne di Prancis, saksikan karya-karya besar Antoni Gaudi di Spanyol."
Kalimat itu adalah letupan pertama angan-angan yang menggelisahkan kami sepanjang waktu. Pungguk merindukan bulan! Tapi kepribadian Arai membuatku selalu berada di puncak Everest semangatku.
"Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu," katanya. Esoknya Arai menumpang truk ke Tanjong Pandan. Ia terbanting-banting di dalam bak, berdiri di celah tong-tong timah, hanya untuk membeli poster Jim Morrison.
"Penyanyi kesayanganku, Kal!" Arai bangga memamerkan poster itu. Tak tampak lelah di matanya.
"Mengapa Jim Morrison, Rai?"
"Karena aku akan berjumpa dengannya, walau hanya pusaranya, di Prancis!"
Arai yakin pada Jim Morrison, yakin pada Prancis, dan yakin pada pujaan hatinya Zakiah Nurmala, perempuan yang selama tiga tahun di 5MA ditaksirnya, dan selama tiga tahun itu pula ia ditolak. Tak pernah kujumpai orang segigih Arai.
Suatu ketika, pada bulan puasa, kami harus pulang karena ayahku sakit. Tak ada kendaraan yang dapat ditumpangi. Kami berjalan kaki, tiga puluh kilometer dari kota tempat SMA kami berada.
Matahari membara, tepat di atas kepala. Panas menjerang tanpa ampun, aspal meleleh. Perutku kosong, kerongkongan kering. Aku melangkah seperti rangka kayu yang reyot. Pandangan berkunang-kunang. Kami kehausan dan menderita dehidrasi, bahkan sudah tak lagi berkeringat. Aku tak sanggup, waktu melewati danau aku ingin membatalkan puasaku.
"Jangan," sergah Arai tersengal-sengal. Ia membopongku. Kami melangkah terseret-seret. Aku tak mampu bertahan. Kembali melewati danau, aku mendesak ingin minum.
"Jangan," sergah Arai.
"Jangan, Tonto, jangan menyerah."
Arai menaikkan tubuhku ke atas punggungnya. Ia memikulku. Langkahnya limbung, terseok-seok
berkilo-kilometer. Ia istirahat sebentar, lalu memikulku lagi. Napasnya meregang satu per satu, hidungnya mendengus-dengus seperti hewan disembelih. Tumitnya mengucurkan darah karena terjepit jalinan kasar sepatu karet ban mobil. Ia melangkah terus, terhuyung-huyung. Tak sedikit pun ia mau menyerah.
Sampai di rumah, aku terkapar tak berdaya. Arai tersenyum. Aku menatap matanya dalam-dalam. Tiba-tiba Prancis rasanya dekat saja.
***
MOZAIK 8: Wawancara
'Tamat SMA, aku dan Arai merantau ke Jawa. Di Bogor kami melamar kerja. Sebuah usaha distributor memanggil untuk wawancara. Wawancara: indah dan kota sekali kedengarannya. Kami mempersiapkan diri dengan membaca buku Tiga Serampai Rahasia Sukses Wawancara. Pada bab tujuh "Membuat Pewawancara Terkesan", pengarang buku itu berulang kali mengingatkan "jangan sekali-kali mengulang pertanyaan pewawancara, karena pertama, Anda dianggap tidak memerhatikan, kedua, Anda tidak sopan, dan ketiga, ada yang tak beres dengan telinga Anda."
Dengan pakaian terbaik, kami berangkat. Aku gugup. Seumur-umur baru kali ini aku diwawancara, ah, diwawancara, sungguh modern!
Ternyata calon majikan kami, seorang wanita mungil berkulit putih, sangat informai. Ia menemui kami di kantornya, sebuah garasi. Ia baru bangun tidur, berkaus oblong dan celana pendek. Kardus besar bertumpuk-tumpuk berantakan. Di luar garasi, seorang pria menggeber gas Harley Davidson. Gadis itu membaca surat panggilan. Ia berusaha keras mengingat sesuatu. Agaknya ia lupa pernah membuat panggilan. Ia mengamati kami dan berteriak, "Da ... da ... na ...." Broomm ... bum! Bum ... brooomm ....
"Ja ... na Broooom ....
"Na ... da??"
Suaranya timbul tenggelam di antara raungan Harley. Kuingat pesan buku Tiga Serampai: pantang mengulang pertanyaan pewawancara! Aku pun menebak-nebak.
"Dari Belitong, Bu
Broomm ... bum! Brooomm ....
"Ya, dari Belitong!!" Gadis itu menggeleng. Tendangan gas Harley memekakkan, ia menjerit.
"Phaaa ... kha ...."
Bromm!! Bum! Brom!!
"Phaa ...."
Brom! Brooomm ....
"Kha!!!!???"
"Naik kapal, Bu, ya, naik kapal!! Brom! Kapal ternak!!"
"Phaa ...??" Brom! Brom!
"Kapal ternak, Bu, K A P A I !"
Bbroooomm .... "Phaa!?"
"KAPAAAAAAAllll!"
Gadis itu jengkel. Ia membanting surat panggilan, menarik tanganku, lalu merogoh sakunya, mengeluarkan uang lima ribu.
"Ini ongkos angkot?. Pulang sana!"
Meski gagal dengan gadis kecil itu tapi tak mengapa. Paling tidak kami telah diundang, walau ia lupa pernah mengundang, dan diundang untuk wawancara, ah, kata itu, selalu menimbulkan perasaan senang dalam hatiku.
Berbekal ijazah SMA, kami melamar lagi. Sebuah perusahaan penyedia keper/uan dapur memanggil. Sesuai wejangan buku Tiga Serampai, kami melatih pernapasan agar tak gampang gugup.
Kantor perusahaan itu adalah sebuah ruko. Kami memencet bel, roiiing door bergulung naik. Di dalamnya, seorang perempuan gemuk berbalik. Agaknya tadi ia mau ke kamar kecil karena di depannya ada pintu bertulisan TOILET. Ia mengamati kami yang berdiri di ambang pintu ruko.
"Kalian diterima," katanya.
Ya, begitu saja. Tanpa basa-basi apa pun, bahkan tanpa mempersilakan masuk dan tanpa wawancara,'
Perempuan itu masuk ke dalam toilet, srak! Srok! Srak! Srok! lalu keluar dan sambil mengeringkan tangannya yang basah dengan tisu, ia bersabda, "Potong rambut gondrongmu itu, mandi yang bersih, besok pagi pukul enam datang lagi ke sini."
Cepat dan praktis. Tak ada kejadian seperti yang sering kulihat di TV, misalnya: Congra-tutations! Selamat bergabung,' Sitakan menandatangani kontrak, Anda akan menjadi aset penting perusahaan kami,' Atau, Orang dengan kualifikasi seperti Andafah yang kami cari selama ini,'
Esoknya perempuan itu menyuruh kami naik ke bak mobil pick up, berkeliling, lalu menurunkan kami di sebuah perumahan. Ia menyerahkan dua tas besar dan memberi sedikit instruksi. Jadilah kami salesman alat-alat dapur, dari pintu ke pintu.
Hanya beberapa minggu bekerja, kami dipecat. Penjualan kami memalukan, demikian istilah perempuan itu.
Nasibku membaik karena diterima bekerja di kantor pos. Sedang Arai merantau ke Kalimantan, bekerja dan kuliah di sana. Sambil bekerja di kantor pos Bogor, aku melanjutkan kuliah. Lewat surat kukabarkan kepada ayahku bahwa aku telah menjadi seorang amtenaar dalam kolom pangkat tata usaha, dan punya seragam. Benar pendapat Ayah dulu, mereka yang berseragam tampak lebih pintar. Pangkatku: Pengatur Muda Pos. Bukan sembarang, Kawan. Dengan pangkat itu aku berwenang mencairkan wesel sampai seratus lima puluh ribu rupiah. Di atas angka itu, atasanku, Amtenaar Odji Dahrodji, yang turun tangan.
Aku berjasa bagi mahasiswa miskin yang tak
punya bukti sah bahwa ia warga Republik, sehingga sulit menguangkan wesel. Biasanya mahasiswa IPB dari daerah minus itu cengar-cengir menghadapku, dan wajahnya berbunga waktu punggung weselnya kuhantam dengan cap sakti mandraguna ini:
Saat menghujamkan cap itu aku dilanda perasaan menjadi orang penting, dirasuki sindrom kekuasaan. Oh, Power is sweet. Sekarang aku paham mengapa orang gila kuasa. Aku mengerti mengapa banyak pejabat hilir mudik ke paranormal agar tetap berjaya, dan maklum melihat pejabat pensiun segera kena borok usus atau mati separuh badan. Aku dan Arai berhasil menyelesaikan kuliah tepat waktu. Kami mengikuti tes beasiswa untuk sekolah strata dua ke Eropa.
Sejak kecil aku harus bekerja keras demi pendidikan, mengorbankan segalanya. Harapan yang diembuskan beasiswa itu membuatku terpukau. Aku sadar bahwa apa yang kualami selama ini bukanlah aku sebagai diriku. Beasiswa itu menawarkan semacam turning point: titik belok bagi hidupku, sebuah kesempatan yang mungkin didapat orang yang selalu mencari dirinya sendiri. Aku telah tertempa untuk mengejar pendidikan, apa pun taruhannya.
Aku memutuskan keluar dari pekerjaan di kantor pos yang telah menggiringku ke kutub moderat. Semakin lama semakin berkurang tantangannya. Pekerjaan itu tidak memberiku kelimpahan, tapi memberi keamanan finansial dan kehidupan yang itu-itu saja, demikian gampang diramalkan kesudahannya. Aku terjamin secara sederhana, terlindung oleh sistem, stabil secara psikologis, mapan secara sosial, dan semua itu membuatku bosan. Aku merasa seperti tupai yang sibuk menggendong pinangnya, kura-kura yang mengerut ke dalam tamengnya, atau siput yang sembunyi di balik cangkangnya.
Aku ingin hidup mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium; meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah yang mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup!
***
MOZAIK 9: Saputangan
ku dan Arai menerima surat pengumuman tes beasiswa itu di Belitong. Dr. Michaella Woodward yang memberi komentar pada pengumuman itu membuat kami berbesar hati. Intinya, ia menganggap hasil riset kami berpotensi melahirkan teori baru dalam disiplin ilmu kami masing-masing. Karena itu Dr. Woodward meluluskan tes beasiswa kami. Aku gembira, berbulan-bulan kutekuni buku tebal yang runyam berjudul Financial Econometrics, sebelum menyusun proposal risetku, ternyata ada gunanya. Namun, aku tahu persis, kesuksesan proposalku bukan hanya karena aku dapat mengaplikasikan teori ketidakpastian termasuk gerak Brown atau segala sebaran Gauss untuk memetakan interkoneksi telekomunikasi, namun karena Motivation Letter-ku yang hebat luar biasa. Beginilah kutulis motivasiku:
Akan saya sumbangkan seluruh ilmu dan pengalaman riset yang saya dapatkan di Sorbonne demi kemajuan nusa dan bangsa, demi tanah tumpah darah saya! Tak berlebihan saya sampaikan bahwa secara diam-diam, sebenarnya saya telah lama bercita-cita ingin mencurahkan seluruh kemampuan yang saya miliki, tak digaji pun tak apa-apa, demi mengangkat harkat dan martabat umat manusia yang masih terbelakang di negeri saya, negeri yang benar-benar saya cintai dengan sepenuh jiwa ....
Aku yakin, kata-kata yang kusadur dari sebuah buku berjudul Garis-Garis Besar Haluan Negara itu telah membuat Dr. Woodward terharu hatinya dan tak menemukan alasan untuk tidak memberiku beasiswa. Maka, bagi kawan yang sedang menulis buku Tiga Serampai Tata Cara Memperoleh Beasiswa Luar Negeri, kusarankan jangan lupa memasukkan siasatku itu.
\***
Arai berusaha menghubungi Zakiah Nurmala cinta bertepuk sebelah tangannya itu untuk pamitan. Zakiah pasti menerima surat Arai, tapi tak sudi membalas. Seperti dulu sejak SMA, perempuan itu tetap indifferent, tak acuh.
Baru kutahu ada orang yang ditampik hampir sepuluh tahun tapi tetap kukuh berjuang. Arai tak pernah tertarik pada perempuan lain. Zakiah adalah resolusi dan seluruh definisinya tentang cinta. Ia telah menulis puluhan puisi untuk belahan hatinya itu, telah menyanyikan lagu di bawah jendela kamarnya, berhujan-hujan mengejarnya, dan bersepeda puluhan kilometer hanya untuk menemuinya lima menit. Zakiah tetap tak acuh. Mungkin Arai telah diserang sakit gila nomor dua puluh enam: tak bisa membedakan diterima dan ditolak.
Sementara aku merindukan A Ling. Malam hari, aku keluyuran, menjumpai para sahabat lama: dermaga dan toko kelontong Sinar Harapan. Aku melamun di depan toko yang telah diabaikan itu. Pintu pagar berdecit-decit ditiup angin. Kuingat A Ling berdiri di balik pagar itu, tersenyum padaku. A Miauw telah meninggal. Keluarganya terpecah belah. Sejak meninggalkanku ke Jakarta waktu aku SMP dulu, tak ada yang tahu kabar A Ling. Ia pergi, aku merasa seakan semua makhluk di Belitong dinaikkan Nabi Nuh ke bahteranya, aku tak diajak, hanya aku sendiri tak diajak.
***
Mengetahui aku dan Arai akan pergi jauh, doa Ayah lebih panjang dari biasanya. Ia bersimpuh terpekur. Jika kami cium tangannya, ia menggenggam tangan kami kuat-kuat. Kami tahu, sebagian hatinya ingin kami tak pergi. Kukatakan pada Ayah, kami akan terbang enam belas jam dan transit di Frankfurt. Ayah bersedekap, tercenung. Tak sedikit pun kenyataan itu dipahaminya. Aerodinamika gelap baginya, ia bahkan tak paham arti kata transit. Aku semakin dekat dengan ayahku. Setiap hari aku mengakurkan jam weker kenangan pensiun PN Timah untuk Ayah setelah beliau bekerja di perusahaan itu hampir empat puluh tahun. Jam serupa juga dihadiahkan PN Timah untuk kakekku dan ayah kakekku.
Ayah baru pensiun. Mengherankan ia dapat bertahan di tambang selama puluhan tahun. Ayah adalah seorang family mari. Sejak muda ia mengencangkan ikat pinggang, bekerja membanting tulang. Seluruh hidupnya tercurah hanya untuk istri dan anak-anaknya. Setiap tindak lakunya hanya untuk memberikan yang terbaik pada keluarga.
Minggu pagi, kami bertolak ke Bandara Soekarno Hatta naik Fokker 28 dari bandara perintis Buluh Tumbang di Tanjong Pandan. Pagi yang amat pilu. Kami berpamitan, Ayah menyerahkan bungkusan untuk kami.
"Buka jika telah sampai di sana," katanya. Ayah mengatakan ia bangga aku mampu mencapai apa yang tak pernah dicapainya. Aku bangga ayahku mengatakan itu, karena itu berarti ia melihat dirinya dalam diriku.
Ayah melepas kami seperti tak 'kan melihat kami lagi. Bagi beliau, Eropa tak terbayangkan jauhnya. Ayahku yang pendiam, tak pernah sekolah, puluhan tahun menjadi kuli tambang. Paru-parunya disesaki gas-gas beracun, napasnya berat, tubuhnya keras seperti kayu. Ia menatap kami seakan kami hartanya yang paling berharga, seakan Eropa akan merampas kami darinya. Air matanya mengalir pelan. Aku memeluk ayahku, ayah yang kucintai melebihi apa pun, tangannya yang kaku merengkuhku. Betapa aku menyayangi ayahku.
Pesawat kecil itu terangkat, dari jendela kulihat Ayah melambai-lambai dengan saputangan, sapu tangan yang dulu sering dipakainya untuk mengikat kakiku pada tuas sepeda Forever-nya, supaya kakiku tak terjerat jari-jari ban. Setiap sore aku dibonceng Ayah naik sepeda ke bendungan. Dadaku sesak. Aku tahu aku akan merindukan laki-laki pendiam itu. Kulihat lambaiannya sampai jauh, sampai tak tampak lagi. Aku tersedu sedan.
***
MOZAIK 10: Curly
Di Bandara Soekarno Hatta aku mempelajari lampiran surat pengumuman beasiswa Uni Eropa itu. Berlapis-lapis. Semuanya ada di sana: jalur detail perjalanan, penjemput, bahkan telah disiapkan alamat e-mait intranet, lengkap dengan user name dan password untuk akses data warehouse universitas.
Kami akan ke Belanda dulu dan akan dijemput seorang pegawai dari kantor perwakilan Uni Eropa di Amsterdam lalu ke kantor pusat Uni Eropa di Belgia. Kulihat nama penjemput kami: Ms. F. Somers. Dari cara menulis namanya, aku mendapat kesan pastilah Somers ini seorang ibu-ibu gemuk, atau lajang lapuk, pegawai yang tak pen-ting, pengurus hal remeh temeh di bagian administrasi. Ms. itu ditegaskan betul dalam deretan namanya. Suatu isyarat yang nyata, seperti bubungan tebal asap unggun Indian Cherokee, bahwa dirinya available, masih sendiri.
Hijau, hijau seluas mata memandang. Biru, biru tak putus-putus, semakin tinggi semakin biru, samar, dan me-lesat, kutinggalkan Indonesia. Tiga puluh tiga ribu kaki di atas permukaan laut, enam belas jam paling tidak, diam, sepi, terapung-apung. Dini hari, lewat jendela kulihat tiga aliran sungai berkejaran. Kubuka buku saku Collins World Atlas. Sungai-sungai itu Rhein, Maas, dan Schelde bermuara di Belanda. Permukaannya ganjil. Tak pernah kulihat tanah berwarna putih. Desember, musim salju. Tiba di bandara Schippol Arai membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, persis seperti dilakukannya dulu di atas bak truk kopra ketika ia masih kecil saat aku dan ayahku menjemputnya: Dunia, sambutlah aku! Ini aku, Arai, datang untukmu,' Demikian maknanya.
***
Masih dalam lingkar pemanas Bandara Schippol, kami tak menyadari kalau suhu dingin di luar seganas gigitan hewan buas. Kami celingukan mencari wanita gemuk petugas administrasi itu. Pasti ia berdiri di sana, di antara para penjemput, sambil memegang benda semacam bat pingpong dengan tulisan dari tinta emas: Mr. Andrea Hirata and Mr. Arai Ichsanul Mahidin, welcome to HoIIand. Namun, tak ada tanda semacam itu. Yang ada hanya gadis muda berandal yang berteriak-teriak tak keruan ini.
"Oiiikl Oiiikl Oiiiiikkkkl"
Ia berlari-lari menuju kami, kami terkejut, menoleh kiri-kanan, siapakah dia? Ia pasti salah mengenali orang.
"Oiiikl Oiiikl Oiiiikkll"
Tapi memang kami yang dipanggilnya. Aneh. Kami berhenti, ia megap-megap.
"Waithhhh ..." dengusnya. Ia membungkuk, keringatnya bersimbah, dadanya kembang kempis. Lalu ia tegak lagi, bertelakan pinggang sambil mengatur napas. Kami masih mematung. Bingung. Siapakah gadis berandai ini? Ia sangat jangkung, 180 senti mungkin. Atletis, padat berisi. Tubuhnya dibangun kerangka Kaukasia yang sempurna. Ia mengenakan shapeiy tank top. Perutnya kelihatan dan pasti dia sering sit up. Rambutnya berantakan, pirang menyala-nyala. Belakangan kami tahu, oik adalah cara orang Belanda menyebut hai.
Aku harus menengadah untuk melihat wajahnya dan aku terkesiap. Ia gadis muda yang luar biasa cantik, gorgeous. Aku seakan menatap cover majalah Vogue.
Apa yang diinginkan wanita buie yang jeiita ini? Ia mengatur napas dan kami terbius pesonanya. Ia sangat mirip Daria Werbowy, Anda tahu kan? Supermodel haute couture yang sering melenggok di Fashion TV berbusana Dolce and Gabbana itu. Kenal, kan? Kenal? Sudahlah, tak usah dipusingkan. Aku sendiri tak kenal.
"EU schoiarship awardees, yeeah ...?" tanyanya akrab. Tak menunggu jawaban ia nyerocos lagi.
"Saya Famke ...." Ia menyalami Arai. Bola matanya biru langit, bukan, lebih indah, biru buah ganitri muda.
"Famke Somers."
Ya, Tuhan, inilah Ms, F, Somers yang kusangka ibu-ibu gendut petugas administrasi itu. Sekarang, terus terang aku gugup karena ia cantik tak kepalang tanggung.
"Saya mengenali kalian dari foto saja ...." Ia tersenyum senang.
"Saya Arai," orang udik itu memperkenalkan diri.
"Whatl Ray?"
"Oh, no ... A ... rai."
"Great ...."
Kalau sempat Arai mengiyakan Ray itu, aku sudah siap mengenalkan diri sebagai curly-i.
"And yon ... bagaimana sebaiknya aku memanggilmu, Kawan?"
Native Eropa pertama yang kami temui di tanah airnya sendiri, keramahannya mencengangkan. Ia meraih koper kami. Koper berat kulit buaya itu ringan saja di tangannya.
"Ikut aku, dan pakai jaketmu."
Kami membuntutinya menuruni tangga dan memasuki platform kereta underground'. Terlepas dari sistem pemanas Bandara Schippol, kami langsung menggigil digigit suhu dingin delapan derajat celcius. Famke tergelak melihat kami gemelutuk. Ia sendiri hanya bercelana jeans ketat bolong-bolong dan tank top itu.
"Jangan cemas, Kawan, kita segera naik kere-
4 Ikat -feny ta, nanti di dalam panas lagi," katanya.
Aku takjub melihat gadis Belanda ini. Tak sedikit pun ia kedinginan. Tak heran Kumpeni bisa menjajah kita sampai karatan. Dari central station Amsterdam kami naik ke-reta menuju Brussel. Dalam sekejap, kami akrab dengan Famke. Ia tak berhenti bicara dan kami tak berkedip menatap kecantikannya. Seperti kami, ia juga penerima beasiswa Uni Eropa, ia mahasiswi Amsterdam School of the Arts. Ia mendalami street performances atau pertunjukan seni jalanan. Perspektifnya tentang seni jalanan amat memikat.
"Jalanan adalah karya seni instalasi yang sempurna. Ia lurus, berhiaskan lampu dan bunga, menikung, menanjak, dan kadang-kadang buntu. Ia mengarahkan, meloloskan, menjebak, dan menyesatkan."
Aku terpana.
"Jalan tempat berparade, pamer kejayaan, juga tempat menggelandang. Jalan tempat lari dari kenyataan, tempat mencari nafkah. Orang hilir mudik di jalan, mereka bergerak indah, melamun, riang, dan berduyun-duyun, siapa mereka? Ke manakah mereka?"
Belum pernah kudengar pandangan seperti itu, pandangan yang mengandung kecerdasan seni tingkat tinggi.
"Jalanan seperti panggung dengan kemungkinan konfigurasi dekorasi yang amat luas. Semua kemungkinan seni dapat ditampilkan di jalanan. Seniman jalanan menghadapi tantangan seni terbesar
***
.
MOZAIK 11: John Wavne
Kereta meluncur melintasi Utrecht dan Dordrecht, terus melaju keluar Belanda lewat Breda, langsung ke kota kecil di pinggir Belgia, yaitu Brugge. Di sanalah akomodasi kami. Dari penduduk Belgia yang separuh berbahasa Belanda separuh Prancis, Brugge lebih Belanda. Kami tiba di muka pagar besi sebuah rumah bertingkat yang berdesain kaku dan berwarna hitam.
"Oke, sampai di sini, Kawan. Temui Famke membuka sepucuk kertas. "Simon Van Der Wall. Ia landlord (Induk semang/pemilik kost) tempat ini. All set. Aku yakin kita akan berjumpa lagi."
Kami bersalaman.
"Senang sekali telah kenalan dengan kalian, take care."
Berat sekali berpisah dengan Famke. Ia telah menjadi sahabat yang sangat baik. Sayang sekali ia harus mengejar kereta terakhir kembali ke Amsterdam karena ada keperluan mendesak.
Aku dan Arai memasuki halaman dan tertegun di depan pintu yang membingungkan. Diketuk berkali-kali, tak direspons; diputar-putar gagangnya, terkunci; didorong-dorong, macet. Dari kaca jendela, tampak beberapa orang ngobrol di dalam. Mereka melongok lalu kembali ngobrol karena tak kenal mereka merasa tak perlu membuka pintu. Kami mafhum, ini negeri mind your own business\ Uruslah urusanmu sendiri.
Tak ada bel. Yang ada, di samping pintu, hanya deretan kotak kecil, nomor-nomor lantai gedung, tombol-tombol, speaker, dan label nama. Aku memencet tombol berlabel Van Der Wall.
Ding dong, bel melengking.
Drreeeeeetttt ... disambut kumandang seseorang di speaker.
"Oik\ Hhrrgghh hoegnog nog geehhnn nog nog gog ggghrhrhrh ..."
"Brghrrh ... grrrrh ... oik! Oik!"
Secuil pun tak kupahami, disambung lagi.
"Grrhhh nog ikhh grrhhstgen grrrrrh ... oik\"
Pasti bahasa Belanda, karena seluruhnya dibunyikan dari kerongkongan, berat seperti beruang menderam-deram. Dreett itu meraung lagi, lalu sepi. Kupencet lagi, ding dong ... lembut bergema-gema.
Dreeeettttl!
"Grrhhh nog W Ikhh grrhhstgen grrrrrr\\\" Pasti dia jengkel. Diam. Sepi lagi, kupencet lagi.
"Ghhrrr ...!!"
Senyap. Kupencet lagi.
"Oiikkk!! Ghhhhrrrrrrrrl!"
"Mis ... Mister ... Mister Van Der Wall ...?" Aku mendekatkan mulut ke speaker.
"Ghhhhrrrrrrrhll"
"Mister ... Mister
"Ghhhrrrrrl! Ghhhhrrrrrrl!"
"Mister, English please ...."
Diam sebentar, dreeeeeeetttttttt ... plus jeritan histeris.
"PUSH THE DOOR R1GHT AFTER THE BELL!"
Dreeeettttttttttttt ....
Kami cepat-cepat mendorong pintu, terbuka. Rupanya suara dreet yang tadi berulang kali melolong adalah alarm kunci pembuka pintu. Kami tertawa. Sederhana saja tampaknya perkara pintu ini, tapi inilah persentuhan pertama kami dengan individualisme. Sikap Van Der Wall, orang-orang yang ngobrol dan tak peduli meskipun tahu kami terjebak di muka pintu, teknologi pintu itu, gedung apartemen ini, sesungguhnya desain sosiologi orang Barat.
Di lantai tiga kami melihat pintu ditempeli pelat: Simon Van Der Wall, MVgT, Building Manager. Kami mengetuk dengan sopan dan masuk ke dalam ruangan. Simon tinggi besar dan berewokan, santai tapi angker, duduk menekuri meja seperti burung pemakan bangkai menunggui mangsa. Seluruh wajahnya disita oleh hidung bongkoknya. Gayanya mengembuskan cerutu secara mencolok, sekaligus menggelikan, jelas mencitrakan dirinya John Wayne. Bukan baru sekali aku berjumpa dengan tipe seperti ini, yaitu mereka yang masa remajanya tercekoki film macho konyol John Wayne, lalu sepanjang hidupnya mati-matian ingin seperti John Wayne. John Wayne wannabe istilahnya. Semenit bicara dengan Van Der Wall, aku langsung menyesal mengapa Famke buru-buru pergi.
"Saya sudah berulang kali mengonfirmasi kedatangan kalian pada Jakarta, tak ada jawaban.
"Memang ada kamar kosong, tapi sistem di sini tidak bekerja seperti ini.
"Impossible," tukasnya tanpa perasaan. Kami tak diberi kesempatan berdalih.
"Ini hari Minggu, kebetulan saja saya ada di kantor. Jika tidak, bahkan kalian tak bisa melewati pagar itu!"
Sikap Van Der Wall delapan derajat celcius, lebih dingin satu strip dari suhu di luar. Kulihat Arai ingin marah dan aku ingin mengatakan bahwa kami tak tahu harus ke mana jika tak boleh tinggal di apartemen itu. Tapi kami tahu sikap itu hanya akan membuat Van Der Wall memuntahkan kata-kata yang lebih menyakitkan, misalnya: Itu bukan urusanku! Silakan menggelandang di luar, itu urusan kalian! Nasib kalian sial karena ketololan kalian sendiri! Atau, begitulah cara kalian orang Indonesia bekerja! Tak ada sistem! Tak bisa antisipasi! Tak efisien sama sekali!
"Tunggu sampai besok, hubungi Dr. Woodward. Kalau administrasi beres, baru kalian bisa tinggal di sini."
Dari jendela, kulihat lajur-lajur putih sepanjang jalan, berkilat tepi-tepinya karena bentangan es. Butir-butir kecil seperti terigu melayang-layang dari langit. Perutku naik menyundul-nyundul ulu hatiku. Betapa kerasnya dunia setelah ini.
Kami keluar ruangan, sempat kulirik Van Der Wall. Ia mengawasi kami. Tubuhnya ia tumpukan pada tangan kanan yang menekan ambang pintu, sedikit nungging, seakan sepucuk pistol dan selempang peluru melilit pinggangnya. Tangan kirinya mengayun-ayunkan cerutu. Seringainya seperti ia baru saja menghalau cecunguk pelintas batas dari Meksiko, John Wayne palsu! Tengik bukan main.
i\ v?
Kami meninggalkan gedung yang tak bersahabat itu, terseok memanggul ransel dan menyeret koper butut yang berat, tak keruan tujuan, yang ada dalam pikiran hanya bagaimana menyelamatkan diri dari sengatan dingin. Dalam rumah-rumah persegi berjendela kaca, orang berkerumun di ruang tamu, mengelilingi pohon natal, temaram, bersenda gurau, tak mau jauh dari jangkauan pemanas. Di sini tak bisa sembarang mengetuk pintu rumah orang. Pengalaman dengan Van Der Wall sedikit banyak mengajari kami, dan kami belum melapor pada pihak berwenang. Mengetuk pintu dalam keadaan seperti itu sangat mungkin berurusan dengan hukum. Motel tak tampak. Brugge sama sekali bukan tujuan wisata.
Semua bangunan tertutup, tak seorang pun keluar rumah dan tak ada kendaraan melintas. Kami tak tahu bahwa semua orang bersiap untuk situasi gawat yang akan terjadi malam nanti. Suhu akan drop secara ekstrem. Kami malah mengobral diri, berkeliaran di alam terbuka, mengumpankan diri pada taring iblis musim salju. Arai membeli lilin di sebuah kios kecil yang kemudian langsung tutup.
Kami bergerak terus agar tak membeku. Pohon-pohon menjadi putih. Jalan raya menyempit dilamun bongkahan es. Atap-atap digelayuti timbunan salju.
Dari buku Collins World Atlas aku melihat Brugge tepat berada di sisi North Sea (Laut Utara), laut terdingin yang disarankan untuk dihindari selama winter (musim salju), karena dinginnya berbahaya. Laut Utara adalah mainstream laut es Artik di Kutub Utara. Jika winter tiba, bahkan burung-burung red knox di Brugge melarikan diri ke pantai-pantai Italia.
Di ujung Jalan Oudlaan kami menemukan bangku taman. Kami duduk di bawah naungan kanopi. Hujan salju makin lebat. Sunyi, mencekam. Desis angin berubah menjadi seribu mata lembing, menghujam tubuh kami yang lapar dan kedinginan. Seumur hidup dijerang suhu dalam kisaran tiga puluh empat derajat celcius, bahkan baru sehari yang lalu di Belitong kami bermandi panas tiga puluh sembilan derajat, kini kami menghadapi suhu yang bisa jatuh sampai minus.
Malam merambat. Iblis es dari Kutub Utara gentayangan. Mula-mula menggigit daun telinga, berdenging, lalu mencakar-cakar pipi, dan menyerap ke dalam tubuh, menusuk-nusuk tulang, membekukan sumsum. Kami terperangkap suhu dingin yang terus merosot sampai sulit bernapas.
Pukul dua pagi, Arai mengeluarkan termometer, kami terbelalak, suhu telah terjun ke titik minus sembilan derajat celcius. Kami cemas karena sama sekali tak berpengalaman dengan suhu seekstrem ini. Tak seekor hewan pun tampak, semuanya berlindung di dalam liang, menyelamatkan diri dari gempuran salju yang buas.
Semakin malam makin tak tertahankan. Embusan uap es dari Laut Utara menyapu Semenanjung Zeebruggae di perbatasan Belanda, melesat bebas bersiut-siut, yang menghalanginya hanya dua tubuh kurus anak Melayu yang seumur hidupnya tak pernah berjumpa dengan salju. Gelap mengerucut dililit dingin, suara alam lenyap terisap angin, bahkan angin sendiri membeku.
Kami duduk berpelukan, lengket, mengerut, dan menggigil hebat. Gigi gemelutuk seperti perkusi tulang, jemari kisut dan perih. Tubuh gemetar tak terkendali seakan diguncang-guncang. Dingin menyengatku sekejam sengatan lebah yang paling berbisa, lalu kurasakan keganjilan dalam diriku. Pandanganku berputar dan aku tak merasakan kepalaku. Aku tak berkepala! Kemudian leherku tercekik. Aku meronta-ronta. Inikah serangan maut pulmonary ademal Arai menundukkan kepalaku, darah tumpah dari rongga hidungku, merah menyala di atas salju yang putih. Aku menghirup sedikit oksigen lalu kembali tercekik. Arai membuka syalnya, melilitkannya di leherku.
"Bertahanlah, Tonto!" jeritnya panik. Ia membuka koper, mengeluarkan semua pakaian, dibalutkannya berlapis-lapis di tubuhku. Jemariku biru lebam, aku tersengal-sengal. Tiba-tiba Arai mengangkat tubuhku lalu pontang-panting, terhuyung-huyung melintasi timbunan salju setinggi lutut, menuju pokok pohon rowan. Aku ditidurkannya di tanah, di bawah rimbun dedaunan rowan. Mengapa Arai menidurkanku di tanah? Aku makin menderita karena tanah telah menjadi balok es. Aneh sekali kelakuan Arai. Apakah ia kalut dan menjadi gila karena tahu aku akan tewas? Tindakan Arai makin ganjil. Ia menimbuniku dengan daun-daun rowan.
"Apa yang kaulakukan, Ranger?"
Ia tak menjawab. Wajahnya cemas, mulutnya komat kamit, matanya sembap. Ia terus menimbuniku dengan daun. Aku tak dapat mencegahnya karena seluruh sendi tubuhku lumpuh.
Arai menghiba-hiba, "Bertahanlah, Tonto! Jangan pergi! Jangan takluk!"
Namun tubuhku makin lemah, lorong putih berkelebat-kelebat dalam pandanganku. Beginikah rasanya ajal? Kesadaranku timbul tenggelam. Aku berusaha menguatkan diri, aku tak mau mati1. Tak mau mati konyol seperti ini di hari pertama
petualanganku] Aku masih ingin mengelana Eropa sampai ke Afrika, aku mau kuliah di Sorbonne, aku belum menemukan A Ling\
Arai memelukku kuat-kuat, air matanya meleleh. "Bangun! Bangun!" ratapnya putus asa.
Aku tahu, sesuatu yang fatal akan menimpaku. Suhu mungkin telah jatuh sampai minus belasan derajat. Aku tak 'kan tertolong. Detik demi detik merayap, lorong putih yang berkelebat itu padam, gelap, senyap. Kemudian pelan, pelan sekali, terjadi keajaiban. Hawa hangat yang halus berdesir di punggungku. Daun-daun busuk yang ditimbunkan Arai ke sekujur tubuhku seakan menguapiku. Arai melihat perubahan itu, ia kembali menimbuniku dengan daun rowan. Kesadaranku berangsur pulih, detak jantungku kembali normal, sedikit demi sedikit kukumpul-kumpulkan lagi nyawaku. Aku takjub menatap Arai, ia memekik girang.
"Humus! Humus, Kawan. Humus Pyrus aucupa-ria menyimpan panas! Begitulah cara tentara Prusia bertahan di musim salju! Apa kau tak pernah membaca buku sejarah?"
Aria kembali bersemangat menimbuniku dengan daun-daun rowan sambil tertawa terkekeh-kekeh. Untuk kesekian kalinya, sejak kecil dulu, aku kagum akan beragam ilmu-ilmu antik sang simpai keramat ini,
Arai menyalakan lilin dan membuka bungkus plastik ikan teri sangon ibuku. Kami memanggang ikan mungil itu dengan cahaya lilin. Inilah gala dinner kami di Eropa. Bau ikan teri membangunkan
keluarga tupai, kelinci, dan rakun mapache. Suasana semarak karena makhluk-makhluk itu jinak. Mereka mencicit-cicit gembira, pipinya gembil, sibuk memamah biak ikan teri, rakus tapi lucu. Anak-anaknya bermunculan dari liang hibernasi, malas, manja, dan gendut-gendut. Beberapa ekor berdiri, seolah berkata, "Selamat datang di Eropa, Pangeran Salju."
***
MOZAIK 12: Paranoia
Pagi sekali kami berjumpa orang-orang yang mengenakan kaus bertuliskan kampanye beraroma diskriminasi Belgy for the Belgium. Mereka tergopoh-gopoh, barang-ali ingin berangkat unjuk rasa. The Belgium, begitulah penduduk asli Belgia menyebut diri mereka. Mereka sibuk berdemo untuk mengusir imigran yang mereka anggap telah merampok lapangan kerja. Salah satu dari mereka menunjuki kami arah menuju Stasiun Brugge.
Hebat sekali kantor Uni Eropa, meraja di jantung kota Brussel, kukuh berwibawa melambangkan supremasi bangsa-bangsa Eropa. Arsitektur dasarnya seperti kuburan juragan kaya Tionghoa, seperti tubuh yang ingin memeluk. Maksud desain itu bukan hanya soal estetika, namun lengan-lengan yang merengkuh taman berlantai granit itu adalah rancangan untuk berlindung dari guncangan bom. Selain sebagai lambang digdaya, gedung Uni Eropa juga metafor paranoia, penyakit kronis orang Barat.
Di gedung itu berseliweran tentara dengan seragam berupa-rupa, tampak tentara bayaran yang gagah: legiun asing Prancis. Delegasi berbagai bangsa disambut para interpreter yang terpelajar. Bahasa-bahasa asing hiruk-pikuk. Delegasi Afrika hadir dengan atribut-atribut tradisinya: para wanita mengenakan amuria, amdu, dan bubu berwarna-warni dengan ikat kepala tinggi-tinggi. Pria-prianya berselempang panjang, berjubah yoruba, babariga, dan bertopi asa oke. Mereka sangat bergairah, barangkali ingin membicarakan program peternakan burung unta dengan para petinggi Uni Eropa. Setelah itu bergelombang kelompok orang dengan tanda pengenal Dominican Republic. Mereka juga gembira, menyapa setiap orang, tentu bersemangat akan mendiskusikan soal komputerisasi di kawasan Karibia. Wajah mereka optimis menatap masa depan. Terakhir, di pintu masuk untuk orang-orang yang kurang penting, di pojok sana, aku melihat segelintir manusia yang rasanya kukenal. Aku sering melihat mereka bertengkar soal minyak tanah di televisi tanah air. Mereka kelihatan semakin tidak penting dengan sosoknya yang kecil di antara raksasa hitam dan putih. Agak berbeda dengan delegasi lain, mereka kurang percaya diri, sedikit malu-malu, tertunduk-tunduk memasuki kantor Uni Eropa. Ini pasti soal utang piutang.
Pengamanan di kantor Uni Eropa amat ketat. Jika tak menyebut nama Dr. Woodward jangan harap bisa melintasi sekuriti yang tak terhitung lapisnya. Kamera CCTV terpasang di mana-mana.
Terakhir, lekuk-lekuk tubuh kami digeledah, ini untuk ketiga kalinya, oleh seseorang yang telah lupa bagaimana cara tersenyum. Lalu, seorang perempuan bertubuh penuh, bukan gendut, cantik dan pirang, menyambut kami. Ia tak mengucapkan apa pun selain good morning. Aku menduga ia seorang Skandinavia.
Erika Ingeborg, nama perempuan itu, sekretaris Dr. Woodward. Benar sangkaku, ia seorang Skandinavia, Finlandia tepatnya. Ia tak begitu ramah, tapi jelas ia peduli, dan seperti Skandinavian umumnya: ia tampak cerdas dan efisien. Erika membawa kami ke kantor Dr. Michaella Woodward, pengambil keputusan terakhir beasiswa Uni Eropa.
Aku selalu menduga Michaella orang yang temperamental. Dulu dibantingnya telepon waktu mewawancaraiku tentang akibat ekonomi penyakit sapi gila. Jawabanku memang tak keruan. Sekarang, sepintas melihatnya, aku langsung tahu kalau wanita Irlandia itu lebih keras dari dugaanku. Umurnya mungkin empat puluh lima tahun. Kerutan di pangkal hidungnya mengesankan ia sering mengambil keputusan dilematis yang berakibat pada hajat hidup orang banyak. Namun secara umum, ia sama sekali tak dapat dikatakan tidak menarik. Waktu remaja ia pasti seperti Claire Forlani., lalu dewasa mirip Carrie-Anne Moss, sekarang setengah baya ia tampak tak kurang dari Juliette Binoche, nanti jika tua ia akan mirip almarhumah Jessica Tandy.
Michaella adalah seorang doktor ekonomi yang sangat cemerlang, dan seorang keynesian karena ia penganut ajaran ekonom kondang John Maynard Keynes. Otomatis, ia juga seorang monetarist, yakni orang yang percaya bahwa sektor moneter (keuangan) adalah katalisator pembangunan ekonomi.
Di sebuah jurnal ternama, Dr. Woodward pernah menulis artikel berjudul Why Monetary Reform Works? Bagi para ekonom, judul itu provokatif, karena makna generiknya adalah mengapa reformasi moneter berhasil membangun ekonomi, sedangkan reformasi sektor riii tidak? Artinya, Dr. Woodward terang-terangan mengibarkan bendera perang pada penganut ajaran klasik ekonom Adam Smith yang justru percaya bahwa sektor riil sebagai katalisator pembangunan ekonomi. Dr. Woodward adalah generasi kesekian yang melestarikan pertikaian kronis mazhab klasik dan mazhab moneter yang telah berlangsung ratusan tahun. Dalam berbagai forum, aku telah melihat sepak terjang keynesian. Kesimpulanku: jika tak siap dengan argumentasi cerdas dan data yang komplet, jangan berurusan dengan mereka. Keynesian adalah pendebat yang kompulsif, tak mau kalah. Aku gugup menemui Dr. Woodward.
Lagi pula, ternyata kami datang pada waktu yang keliru karena Dr.Woodward sedang diprotes Famke Somers lewat telepon. Rupanya semalam Famke menelepon Simon Van Der Wall untuk menanyakan keadaan kami. Mengetahui perlakuan Simon, Famke menyemprot John Wayne kodian habis-habisan. Dr. Woodward juga marah dan celakanya, baru saja ia menutup telepon, masuklah empat orang pria. Tanpa basa-basi, mereka langsung mendebat Dr. Woodward. Seorang pria selalu melontar kata bernada tinggi: aberrant! S'effondrer! Infere! Aku paham kata-kata Prancis itu, artinya: tak masuk akal! Bangkrut! Implikasi! Pria kedua membantah dalam bahasa Spanyol: cuanto cuesta? Importa, esta inciuido!? Pria ketiga sering menyebut rabota. Setahuku, itu kata Rusia untuk kerja. Pria keempat berbahasa Inggris. Mereka beradu pendapat, dan luar biasa, Dr. Woodward meladeni setiap orang dengan bahasa ibu mereka. Kurang dari sepuluh menit di ruangan itu aku te-lah mendengar Dr. Woodward bicara paling tidak dalam empat bahasa! Termasuk bahasa Rusia. Wajar saja Irlandia tak pernah dapat dijajah siapa pun. Si Prancis paling agresif. Jelas ia juga seorang keynesian. Ia dan si Inggris memihak Dr. Woodward. Mereka menyerang orang Spanyol dan Rusia itu mungkin kedua orang ini penganut paham klasik Adam Smith. Debat memanas, akhirnya melalui sebuah teriakan marah, Dr. Woodward menyuruh mereka keluar.
"Nanti kita sambung lagi!" cetusnya tak puas. "Aku mau mengurusi orang-orang Indonesia ini dulu!"
Tubuh Dr. Woodward tampak kaku. Aku ngeri membayangkan ia berbalik dan melolong.
"Apakah kalian juga pengikut Pak Tua Adam Smith itul\
"Kalau iya keluar dari ruangan ini1.
"Saya tidak menerima tamu selain monetaristl "Keluarl"
Tapi itu tak terjadi. Ia berbalik dan mendesah. "Sungguh keterlaluan Simon Van Der Wall itu.
Unbelievable. Terrible. Horrible
Dr. Woodward berusaha ramah. Ia ingin menetralisir suasana.
"Ok then, let's start overl!
"Maafkan aku atas kejadian semalam, Anak Muda. Saya dengar suhu drop sampai minus enam belas, bagaimana kalian bisa bertahan? OutrageousU Tapi jangan khawatir, Erika akan membawa kalian kembali ke Brugge dan membereskan semua persoalan dengan Simon, ok?" Erika menanggapi tanpa ekspresi.
"Istirahatlah, besok kembali lagi. Seminggu ini kita akan membuat term of reference riset kalian. Sabtu depan kalian bisa ke Sorbonne."
Mendengar kata Sorbonne, kerak-kerak es yang lengket di dinding hatiku berderak pecah dan meleleh.
***
Bersama Erika kami kembali ke Brugge. Di jalan, Erika tak banyak bicara. Ia konsentrasi menyetir dengan sikap tubuh penuh tanggung jawab pada keselamatan penumpang. Kami sampai di apartemen Brugge. Di pintu apartemen, kami tak perlu memencet-mencet bel konyol itu.
Di kantor Van Der Wall, Erika menolak dipersilakan duduk. Aku dan Arai berdiri di belakangnya.
"Aku tak punya banyak waktu!" tegas Erika.
"simon, dengar ini baik-baik. Sediakan akomodasi lengkap untuk orang-orang ini."
Kami bersorak dalam hati.
"Bantu semua keperluan mereka dan registrasi-kan mereka segera ke Alien PoliceV
Pria Belanda itu mengerut di balik meja. Rasakan olehmu, John Wayne jadi-jadian!
"Hari ini juga! Dan semua yang kaukerjakan harus kaulaporkan padaku paling lambat pukul tiga."
Mana lagak tengikmu sekarang? Mana segala teorimu tentang sistem-sistem?
"Kalau terjadi lagi peristiwa seperti semalam, kau akan berurusan denganku!"
Van Der Wall beringsut-ingsut di kursinya.
"Paham?!"
Kawan, itulah contoh efisiensi Skandinavia. Tak heran bangsa Viking berulang kali menindas bangsa-bangsa lain di Eropa. Sementara kami menciut di belakang Erika. Tak heran bangsa kita tertindas selama tiga ratus lima puluh tahun.
***
MOZAIK 13: Nyonya Besar
Seminggu penuh kami bekerja keras merumuskan terms riset. Jika ada sedikit waktu, kami menghambur ke La rue de L'etuve, melihat patung bocah lucu yang sedang pipis: manekken pis, aikon pariwisata Belgia pahatan Jerome Duquesnoy tahun 1619. Belum ke Belgia kalau belum melihat patung anak kecil gembrot yang tingginya hanya sekitar setengah meter ini.
Brussel adalah kota tua yang indah, senyawa cita rasa Belanda yang fungsional dan Prancis yang berseni. Palais Des Beaux Arts dan pusat jajan yang ditata artistik di seputarnya, membuktikan bahwa kaki lima tidak harus kumuh dan mengganggu. Tetapi kami tak peduli dengan semua itu karena pikiran kami tertuju pada Prancis.
Sabtu malam, naik bus Euroline, kami melesat ke Prancis. Sepanjang jalan aku melamun. Seminggu sudah kami di Eropa. Sebenarnya belum apa-apa perjalanan kami. Bentuknya baru seperti huruf S yang tak sempurna, melintasi tiga negara yang saling bersambung Belanda, Belgia, dan Prancis tapi kami telah berjumpa dengan gadis secantik super-model: Famke Somers, seorang John Wayne wannabe, seorang gadis Skandinavia yang efisien, dan seorang doktor ekonomi pejabat tinggi Uni Eropa. Pun telah kami rasakan tikaman maut suhu dingin Laut Utara. Pelajaran moral nomor sepuluh dapat dipetik dari semua itu, yaitu jangan sekali-sekali datang ke Eropa pada bulan Desember.
Bus melaju, sopirnya saksama menyiasati jalan bersalju. Meretas ke selatan, kami melewati tempat-tempat yang semakin lama semakin Prancis: Liege, Marche, Bastogne. Rumah-rumah penduduk sepi menyendiri dan pertanyaan mengerumuniku: bagaimana kota-kota itu jatuh dan bangun dalam masa perang Eropa? Bagaimana rasanya berada dalam tarik-menarik budaya Belanda dan Prancis? Bahasa apa yang mereka pakai? Mengapa bahasa bisa berbeda padahal hanya terpisah sejauh tetangga? Inikah akibat kutukan seribu bahasa dari Tuhan pada kaum hedonis Babylonia, karena telah kurang ajar membangun tangga menuju surga? Apakah Njoo Xian Ling tersembunyi di salah satu rumah yang temaram itu?
Aku berusaha tidur, namun sejak bertolak dari Brussel aku dan Arai tak dapat memejamkan mata. Sebabnya jelas, karena mimpi perjalanan ke Prancis telah bersemayam dalam kalbu kami selama bertahun-tahun. Sulit kupercaya bahwa aku duduk dalam bus ini, menjalani kenyataan mimpi itu dan tak lebih dari empat jam lagi kami akan sampai di Prancis!
***
Prancis belum bangun ketika kami tiba di terminal bus Gallieni. Sepi. Di sudut-sudut terminal, di bantaran lorong-lorong menuju platform kereta underground, para imigran gelap membenahi sleeping bag-nya. Sebagian duduk terkantuk-kantuk, tampak lelah berjuang di metropolitan Paris.
Kami bergegas menuruni tangga yang curam menuju metro, kereta underground. Seorang pria berkulit gelap meneguk kopi dari cangkir besar dalam sebuah booth persegi berjeruji. Ia pasti telah lama menjadi penjual tiket sehingga menyatu dengan perabot dalam booth. Setiap benda yang ia perlukan berada dalam jangkauannya. Ia menerima kami sebagai pembeli tiket pertama. Ia ramah dan aku langsung terkena imbas pertikaian ratusan tahun Inggris dan Prancis. Apa pun yang kutanyakan dalam bahasa Inggris, dijawabnya dengan bahasa Prancis.
"Dua tiket, my friend. Tiket apa pun yang
menuju Menara Eiffel." Dia tergelak.
"Selamat datang di Paris, Monsieur."
Kami melompat ke dalam metro. Penumpangnya hanya beberapa gelintir orang berbaju tebal dan semuanya berwajah Asia dan Afrika. Kuduga mereka pembantu rumah tangga yang berangkat subuh-subuh menuju rumah majikannya di downtown Paris.
Aku mempelajari jalur metro yang terpajang di atas pintunya, membingungkan, karena hanya berupa sambungan titik-titik berwarna merah dan biru yang berawal dari Gallieni dan berakhir di satu tempat yang sulit diucapkan: Pont de Levallois-Becon. Metro meluncur deras di bawah tanah. Kami excited membayangkan kesan pertama melihat Eiffel tapi masih belum tahu cara menuju ke sana. Metro berhenti di sebuah stasiun, seorang wanita India berbaju sari masuk. Ia duduk di sampingku, aku bertanya.
"Eiffel? The Tower? Trocadero!" katanya.
"Di situlah kalian harus berhenti.
"Sampai Stasiun Havre Caumartin kalian ganti metro ke Pont de Sevres, lalu turun di Trocadero, ok?"
Kami mengikuti saran perempuan berbaju sari itu. Akhirnya kami sampai di Stasiun Trocadero. Tak ada siapa-siapa karena masih sangat pagi. Kami berjalan menyusuri lorong dan pelan-pelan menaiki anak-anak tangga untuk keluar dari bawah tanah. Kami menyeret koper besar dan menenteng ransel.
Arai berjalan di depanku, tiba-tiba ia memekik. "Subhanaliahl"
Aku berlari meloncati anak tangga menyusul Arai, ingin tahu apa yang terjadi. Aku terpaku melihat sosok hitam samar-samar dibalut kabut, tinggi perkasa menjulang langit seperti hantu. Menara Eiffel laksana nyonya besar. Tegak kekar, tak peduli. Puncaknya mencakar ketinggian yang tak terkatakan, serupa mahkota yang melayang-layang dalam buaian halimun. Ia pongah dengan kepala mendongak dan hanya mau bercakap-cakap dengan awan. Namun, kerlingnya tajam mengawasi setiap gerakan kecil di Eropa Barat. Kami terkesima di bawah roknya yang lebar. Semilir angin yang terhembus dari riak-riak emas Sungai Seine menyambut kami. Sungai itu terbelah dua ditudungi selang-seling jembatan-jembatan artistik berusia ratusan tahun. Damai dan tenang seperti air yang pelan-pelan dicurahkan. Katedral, avenue, taman-taman, ornamen, dan galeri-galeri menghiasi pemandangan kiri kanan kami, harmonis memeluk kaki sang nyonya besar berkaki empat itu. Kudekati Eiffel, kusentuhkan tanganku padanya. Ia masih tak peduli. Apalagi sekarang, ia makin cantik karena matahari merekah menghangatkan lengan- lengan perkasanya yang hitam berkilat-kilat. Kawan, mimpi-mimpi telah melontarkan kami sampai ke Prancis.
***
OZAIK 14: Paradoks Pertama
Maurent LeBlanch nama perempuan itu. Tiga puluh tahunan. Tipikal ibu muda saja. Kalau dinilai dari wilayah perut dan lingkar pinggangnya yang mulai berebut menonjolkan diri, barangkali ia sudah beranak satu atau dua, atau boleh jadi ia salah satu pasangan yang menikah dan hidup bersama, tapi tak berminat punya anak. Suatu pilihan gaya hidup yang sedang booming di Prancis. Konon pemerintah republikan pening dibuat gaya hidup ini karena persentase kelahiran native Prancis merosot tajam.
"Lama-lama bangsa ini bisa punah," ujar seorang nasionalis di sebuah tabloid.
Titouan Bernarzou dan Isabelle Copernic, yang telah seminggu ini menjadi sahabat baik kami di Apartemen Mallot, berpendirian lain.
"Anak?
"Ughhhh ... no way, man ...."
"Ngompol, basah, lengket, bau, ribut, dan sangat egois!" Isabelle bersabda.
Titouan menyambung: Repot bukan main dan mahalnya minta ampun!
Isabelle retorikal; Kausangka murah punya anak?
Titouan pesimis: Di zaman edan ini kriminalitas di mana-mana, anak sangat mungkin jadi korban kejahatan. Lebih sedih lagi, sangat mungkin ia sendiri jadi penjahat!
Kompak betul pasangan itu. Tak heran mereka harmonis hidup bersama tanpa anak selama lima belas tahun. Mereka memenuhi kualifikasi kebahagiaan perkawinan versi Oprah: kesamaan pandangan.
Aneh, mengapa mereka gamang soal sumber daya? Titouan adalah fotografer profesional, kontributor Maison de la France, dan Isabelle seorang /iterary agent yang ternama, tugasnya menilai naskah-naskah sastra, mendesain intellectuat framework sebuah diskusi buku, sampai mengurusi beberapa penulis kondang Prancis. Di sisi lain, jaminan sosial sangat bagus bagi warga Prancis.
Lalu di tanah air? Kriminalitas mengganas, jaminan sosial amblas, pendapatan per kapita terjun bebas, tapi bayi terus-menerus lahir. Rajin sekali kita beranak. Di Apartemen Mallot kutemukan paradoks pertama.
***
Maurent Leblanch membuyarkan lamunanku tentang paradoks. Ia hilir mudik mengamati apartemen kami.
"Kuharap kalian betah di sini. Jangan lupa ke kantor saya besok, pukul dua, untuk membereskan administrasi."
Maurent akan selalu berhubungan dengan kami karena ia adalah Liaison Officer, petugas penghubung kami dengan Sorbonne. Artinya, sejak awal, kesan yang baik harus ditunjukkan padanya.
Maurent memandang ke luar jendela. Jika diamati dengan teliti, ia adalah perempuan yang atraktif.
Pertama, aku tertarik pada tasnya. Diam-diam, aku mengembangkan semacam keahlian menilai perempuan dari tas mereka. Tas itu Fendi, maka jelas ia punya cita rasa, juga punya uang. Tasnya bergaya clutch, talinya pendek dan dipakai dengan cara disandangkan di bahu. Body tas diapit di bawah ketiak, sehingga pemakainya seperti mengokang senapan. Pengamatanku menunjukkan bukti bahwa perempuan yang senang memakai tas clutch seperti itu memiliki gabungan kepribadian maskulin dan feminin. Mereka selalu siap, terbuka namun menjaga jarak, berpikir untuk menilai situasi, dan penuh antisipasi. Mengesankan.
Kedua, adalah kenakalan yang kusembunyikan jauh di dalam hati, sehingga Maurent sendiri tak tahu bahwa aku selalu berusaha agar dia menyebut namanya berulang-ulang.
"Jadi, besok kami harus menjumpai Anda aku berlagak mengingat sebuah nama, sambil
menunjuknya.
"Maurent jawabnya riang.
Mengingat tugasnya yang runyam di Sorbonne, ia tergolong masih muda. Mengurus ratusan mahasiswa baru dari berbagai bangsa dengan beragam ekspektasi, tentu memusingkan. Dapat dikatakan ia cocok untuk jabatan itu karena ia berpembawaan gembira.
"Baiklah, kami akan ke kantor Anda. Pada petugas resepsi kami akan mengatakan ingin menjumpai
Anda ... siapa? Aduh, maaf, cepat sekali saya lupa ii
"Maurent jawabnya lagi, tak berkurang riangnya.
Ah, ia sebutkan lagi namanya! Aku senang karena orang Prancis membunyikan ng secara sengau pada setiap akhiran n. Morong, begitulah pendengaranku. Ng sengau itu meyakinkanku bahwa aku benar-benar sedang berada di Prancis.
"Tapi Madame, pasti banyak pintu di sana. Apakah tertempel nama Anda di pintu? Sehingga kami mudah menemukannya? Bagaimana nama Anda tertera di sana?"
"Maurent, Maurent LeBlanch." Indah bukan main. Morong LeBlang, sengau, beradab, terpelajar, dan sangat berkelas.
***
MOZAIK 15: Aku Dan Anggun C. Sasmi
Apartemen Mallot yang kami tempati terletak dekat Stasiun Gare de Lyon, salah satu stasiun antarnegara. Apartemen itu memberi kami satu keistimewaan yang manis karena jika jendelanya dibuka, menjelmalah nyonya besar Eiffel yang congkak dan tak punya urusan pada siapa pun itu.
Kalau Eiffel dianggap sebagai jantung hati Paris, Gare de Lyon, yang tentu saja musti dibunyikan dengan sedikit gaya sengau Gard' Liong, boleh dianggap sepelemparan batu saja dari jantung Paris. Aku selalu menyukai ide tinggai dekat dengan pusat kota. Ide itu kuanggap sebagai tantangan bagi orang yang selalu ingin berada di tengah pusaran kejadian. Semua itu memberiku kesan bahwa aku memiliki informasi yang selalu ter-up date.
Dengan mudah, kami dapat menemukan kantor Maurent LeBlanch. Kemudian ia mengajak kami melakukan tur orientasi. Kami berjalan melewati sebuah selasar yang dibangun pada Abad Pertengahan. Ia menjelaskan bahwa ruang kuliah di kiri kanan selasar itu pernah dihinggapi Montesquieu, Voltaire, Pascal, Louis Pasteur, Rene Descartes, Derrida, dan Beaudelaire. Hatiku bergetar. Nama-nama itu mengintimidasiku, menuntut dedikasiku sebagai kompensasi privilese belajar di universitas yang melegenda ini. Nama-nama itu memaksaku mengakselerasi metamorfosisku dari seseorang yang selalu setengah-setengah melakukan sesuatu, dan hanya tertarik dengan aspek petualangan dari apa pun, menjadi pribadi yang harus siap memikul konsekuensi sebagai seorang ilmuwan. Sungguh menyesakkan. Aku sendiri belum yakin apakah akan mampu mengemban komitmen itu, bahkan belum yakin apakah aku memiliki kualifikasi yang memadai untuk menyelesaikan risetku. Tapi aku yakin akan satu hal, bahwa ketika melewati selasar itu, mimpi kami menginjakkan kaki di atas altar suci almamater Sorbonne telah menjadi kenyataan. Ingin segera kukabarkan berita ini kepada Pak Balia, guru sastra SMA kami dulu, yang pertama kali meletupkan cita-cita agung ini padaku dan Arai.
y-,
Minggu berikutnya kami mulai matrikulasi dan terjebak dalam rutinitas yang hanya berisi tiga macam kejadian: kuliah, menonton pertunjukan seni, dan belajar di apartemen. Baru kali ini kutemukan rutinitas yang tak membosankan, karena Paris adalah gelimang pesona. Sering pulang kuliah kami mengambil jalur memutar untuk singgah di berbagai studio, galeri, dan teater. Ekspresi seni diumbar sampai tandas, bahkan pengamen jalanan tampil atraktif. Penduduk Prancis memiliki cufture /itterair, melek budaya, dan bercita rasa tinggi.
Paris, selalu memberi kejutan yang menyenangkan. Pulang kuliah sore ini kami iseng mengunjungi toko musik di kawasan elite L'Avenue des Champs-Elysees. Kami meloncat-loncat girang karena di antara jejeren compact disk musisi dunia tampak album Anggun C. Sasmi dengan lagu yang dibawakan dalam bahasa Prancis. Aneh, untuk pertama kalinya rasa patriotik membuncah dalam diriku, semuanya karena seorang vokalis dan saat aku berada di negeri orang. Perasaan ini amat sulit kutumbuhkan selama aku hidup di bawah naungan Burung Garuda Pancasila.
Anggun membuatku bangga menjadi orang Indonesia. Apalagi pulangnya, di dalam metro kami berkenalan dengan sekelompok gadis Prancis. Begitu tahu kami orang Indonesia, mereka serentak berteriak.
"O Ja ta\\ Anggung! Anggungl!"
"Voulez-vous me presenter Anggung?" Maksudnya: Mau nggak mengenalkan kami sama Anggun?
Kami sering iseng menanyakan pada orang Prancis apakah mereka mengenal Anggun. "La Neige au Sahara1" pekik mereka. Semua orang mengenal perempuan Jakarta nan hebat itu. Jika aku belajar sampai dini hari dan radio-radio FM Paris mengudarakan lagu "La Niege au Sahara", aku berhenti membaca, kututup bukuku, kupejamkan mataku.
Si la poussiere emporte tes reves de iumiere
Je servii ta lune, ton repere
Et si le soleil nous brule
Je prierai qui tu voudras
Pour que tombe la neigi au Sahara
Jika harapanmu hancur berkeping-keping
Aku akan menjadi bulan yang menerangi jalanmu
Matahari bisa membutakan matamu
Aku akan berdoa pada langit
Agar sal}u berderai di Sahara
Suara Anggun membawaku melayang. Aku teringat akan bangsaku, bangsa yang gemar membanggakan diri, padahal babak belur karena carut marut. Tapi aku ingin pulang. La Niege au Sahara: Snow on The Sahara adalah metafora hidupku. Anak Melayu pedalaman di Paris, tak ubahnya salju di Sahara. Lagu itu selalu diputar radio-radio lokal, menggema seantero Prancis. Anggun telah mengharumkan nama bangsa. Ia satu-satunya artis Indonesia yang punya internationaf fan club. Anggun adalah artis kesayanganku, selain Rhoma Irama tentu saja.
***
MOZAIK 16: Mengapa Kau Masih Tak Mau Mencintaiku?
Beberapa hari ini aku merasa tak enak hati, tanpa alasan jelas. Gejala ini semacam sixth -sense yang tumpul. Bisa tak berarti apa-apa, namun dalam banyak kejadian, sesuatu yang buruk akan menimpaku. Arai pamit ingin pergi ke suatu tempat yang tak mau ia katakan. Janggal. Sebentar saja, katanya. Petaka.
Malam menjelang, aku menunggu di apartemen. Arai tak kunjung pulang. Tak pernah sebelumnya ia begini. Semalaman aku menunggu, tak ada kabar. Kuhubungi teman-temannya, nihil. Aku waswas tapi tak tahu harus mencari ke mana. Pagi-pagi kepalaku pening karena tak tidur.
Aku tergopoh-gopoh ke kampus. Kuharap ia ada di Departemen Biologi, sedang sibuk mengaduk-aduk zat ajaib berwarna hijau dalam tabung labunya, atau ia ketiduran di laboratorium. Tapi ia tak ada. Kutanyai semua orang, bahkan kutanyai supervisor risetnya, tak seorang pun tahu. Gelap.
Arai raib.
Aku naik ke tingkat tertinggi gedung Sorbonne. Dari atas kulihat belantara gedung dan Sungai Seine yang berkelak-kelok, sayup sampai di luar batas pandang. Aku cemas, ke manakah Arai?
Aku pulang ke apartemen, berharap Arai sudah menunggu di sana, mengejutkanku di pintu, tertawa, menggodaku dengan Jenaka, seperti biasanya. Namun, Arai tak tampak batang hidungnya. Sudah sore, nyaris dua puluh empat jam Arai hilang. Haruskah kulaporkan pada polisi?
Ini perkara serius. Bukan baru sekali kubaca di Internet berita penculikan orang Asia oleh sebuah sindikat, organisasi-organisasi rahasia, atau penganut sekte pemuja setan. Korbannya dipenggal atau dibedah untuk dipreteli ginjalnya, bola matanya, jantungnya, atau disedot sumsum tulang belakangnya, untuk dijual atau untuk ritual sesat. Atau, jangan-jangan, tanpa sepengetahuanku, Arai terlibat kegiatan tertentu di tanah air, sehingga ia diciduk di Paris, diracun dan dilenyapkan? Hatiku ngilu.
Bayangan-bayangan seram membuncah. Aku menghambur keluar apartemen, tak tentu arah seperti ayam diuber. Aku menyelusuri Jalan Hector Mallot. Tiba-tiba, aneh sekali, dari radio-radio kecil para penjual bunga aku mendengar lagu yang sama. Semua radio membunyikan lagu yang sama! Mana mungkin? Kusimak lagu itu sampai usai, makin aneh! Lagu yang sama itu diulang lagi, semuanya sama! Mustahil!
This is the end my beautifiiljtiend It hurts to setyoujree The end ofnights we tried to die This is the end....
Mengapa semua stasiun radio mengudarakan lagu yang sama? Aku beranjak, syair itu membuntutiku. Aku berlari ketakutan menuju Diderot, menyembunyikan diri dalam keramaian, namun radio di kios-kios koran di Diderot juga menyiarkan lagu yang sama. Aku dikepung lagu mistik, syairnya berdengung di telingaku seperti tiupan mantra dari mulut iblis. Apakah ini hanya pendengaranku? Mungkinkah karena kalut kehilangan Arai aku menjadi sinting?
Aku panik, berlari pontang-panting ke stasiun metro, menerobos kerumunan orang yang heran melihatku. Aku melompat ke dalam metro. Apa yang terjadi padaku? Pada Arai? Perempuan yang duduk di sampingku tak memedulikanku. Ia tepekur menghayati lagu dari headphone. Kusimak lagu yang samar mendesis dari headphone itu, dan aku hampir pingsan karena yang kudengar juga lagu yang sama tadi! Aku gemetar, berkeringat dingin. Bertahun-tahun jarum jam kewarasan telah berdetak dalam kepalaku dan sore ini jarum itu mati. Aku telah menjadi orang gila.
Wanita itu hanyut bersama syair-syair setan yang menyiksaku. Wajahnya terpejam lalu air matanya meleleh. Ia sedih. Mengapa ia menangis? Kusimak lagi sayup syair yang berbisik dari headphone, kucoba mengenali suara penyanyinya. Sekonyong-konyong lonceng berdentang keras dalam kepalaku. Aku langsung siuman dari tamparan maut sakit gila. Jarum kewarasanku berdetak lagi.
Aku paham mengapa hari ini semua radio di Paris menyiarkan lagu yang sama. Di stasiun berikutnya aku turun dan berlari melintasi beberapa blok bangunan sampai di sebuah taman yang luas dengan gapura logam antik bertulisan Cimetiere du Pere-Lachaise. Taman ini adalah kuburan angker berusia ratusan tahun. Aku menyelinap di antara celah nisan yang berdesakan, tinggi menjulang, berukir-ukir kata latin, hitam berlumut-lumut. Bulu tengkukku meruap melihat nisan kukuh bergaya Roman Catholic, di atas salib balok beton tertulis nama komponis Frederick Chopin. Hampir dua ratus tahun ia telah bersemayam di situ.
Banyak nisan yang patah, tertungging menghujam tanah, atau tersandar pada nisan sebelahnya. Burung-burung gagak bertengger, berkaok-kaok. Aku teringat film dedemit The Omen. Kabut hanyut membelai burung-burung neraka itu. Aku mencium bau harum, bercampur busuk. Seorang Shaman pernah mengatakan padaku, bau hangus, harum, dan busuk adalah pertanda kehadiran lelembut.
Kudengar sayup senandung, seperti nyanyian dan ratapan. Aku melangkah ke sana. Semerbak aroma dupa dan harum bunga menyambutku. Aku bergabung dengan orang-orang yang berpakaian seperti Hippies. Mereka memegang lilin dan menaburkan bunga pada sebongkah pusara. Sebaris nama terpahat di pusara itu: Jim Morrison. Hari ini, tiga Juli, peringatan kematian Jim Morrison, seorang rocker flamboyan, pentolan The Doors, dewa bagi penganut mazhab antikemapanan.
Ratusan penggemar Morrison dari berbagai belahan dunia bersimbah air mata. Mereka melakukan penghormatan pada sang legenda dengan caranya masing-masing. Seorang lelaki tua, dengan kecapinya, membawakan lagu abadi Jim: "End of Night", lagu yang sepanjang hari ini diputar radio-radio Paris. Seorang wanita kulit hitam meniup saxophone melantunkan "Amazing Grace". Para hadirin sesenggukan. Aku terhanyut dalam kesedihan sekaligus takjub dengan kharisma almarhum. Seorang pria Jepang memainkan lagu Jim yang lain "Light My Fire" dengan harmonika. Silih berganti pengagum Morrison mengungkapkan perasaannya. Hening sejenak, lalu seorang pria kerempeng berpakaian rombeng seperti gipsi, gembel lebih tepatnya, tampil ke depan. Wajahnya sendu. Ia tampak sangat terpukul atas kepergian artis pujaan hatinya. Lama ia tepekur kemudian pelan-pelan ia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya. Napasnya naik turun menahan rasa. Ia membentang kertas itu dan membaca puisi dengan suara garau penuh tekanan. Dipekikkannya untaian kata yang pedih sambil menepuk-nepuk dadanya.
Puisi untuk satu-satunya cinta dalam hidupku' Zakiah Nurmala....
Di sini! Disaksikan pusara Jim Morrison, kukatakan padamu! Rampas jiwaku! Cuti masa depanku! Jarah harga diriku! Rampok semua milikku! Sita!
Sita semuanya!
Mengapa kau masih tak mau mencintaiku?!
Para peziarah, yang tak mengerti bahasa Indonesia, bertepuk tangan mengapresiasi puisi yang dibawakan Arai sepenuh jiwa. Tak ada yang paham kalau puisi itu bukan untuk Jim. Namun, Jim Morrison dan Zakiah Nurmala adalah belahan hati Arai. Keduanya telah menempati kamar yang menyesakkan dadanya. Hari ini, Arai mengguncang-guncang kamar itu dan cinta, rindu, harap dan putus asa yang lama bertumpuk di sana, terburai-burai, tumpah ruah di atas pusara Jim Morrison.
***
MOZAIK 17: The Pathetic Four
sejak dulu, aku senang mengamati kehidupan. Aku selalu tertarik menjadi semacam life obser-ver, sejak aku menemukan fakta bahwa sebagian besar orang tak seperti bagaimana mereka tampaknya, dan begitu banyak orang yang salah dipahami. Di sisi lain, manusia gampang sekali menjatuhkan penilaian, judge minded. Aku suka mempelajari motivasi orang, mengapa ia berperilaku begitu, mengapa ia seperti ia adanya, bagaimana perspektifnya atas suatu situasi, apa saja ekspektasinya. Ternyata apa yang ada di dalam kepala manusia seukuran batok kelapa bisa lebih kompleks dari konstelasi galaksi-galaksi dan Kawan, di situlah daya tarik terbesar menjadi seorang life observer. Aku bergairah menemukan kelasku di Sorbonne. Mahasiswa-mahasiswa dari beragam bangsa di dalamnya membuat kelasku seperti laboratorium perilaku. Kelasku bukan sekadar ruang untuk belajar science tapi juga university of life.
Selalu berkoar-koar seperti angsa trumpeter, tak lain orang-orang Inggris, The Brits. Mereka paling meriah dan bermulut besar. Belum selesai dosen bicara mereka tunjuk tangan; bertanya, berteori, membantah, mengeluh, protes, atau terang-terangan mengajak bertengkar. Namun, meski mereka provokatif, konfrontasi mereka beradab. Ini tak lain produk sekolah yang membiasakan mereka berbeda pendapat secara positif sejak usia dini.
Selain itu, kutemukan catatan yang objektif bahwa dari dua ratus orang paling berpengaruh dalam sejarah manusia, sebagian besar orang Inggris, tentu Isaac Newton dan Adam Smith termasuk. Sebaliknya, dari buku Crank and Crankpots hasil riset Margareth Nicholas, dikabarkan pula bahwa sebagian besar manusia paling eksentrik di muka bumi ini, juga The Brits. Bagaimana makhluk-makhluk dari pulau kecil yang bentuknya seperti tatakan kue sempret itu dapat berbuat hebat begitu rupa? Orang Inggris, karena bakat dan nyentriknya, selalu mendapat tempat tersendiri di hatiku.
Naomi Stansfield, lebih senang dipanggil nama belakangnya Stansfield, dialah dedengkot The Brits. Seperti kebanyakan orang Inggris, sikapnya primordial. Perangai itu ia kibarkan lewat makian British kebanggaannya: bollock! Jika mood-nya sedang encok, ia semburkan: bloody moron! Stansfield seorang perempuan yang trendy. Orang Inggris sendiri menjuluki orang seperti dia sebagai a dedicated foliower o f fashion, orang yang berkejar-kejaran dengan mode, kira-kira begitu.
Setiap melenggang ke dalam kelas, aku tahu, Stansfield menikmati tatapan kagumku pada pakaiannya. Ia tersenyum berbunga-bunga.
"It's a Mooks, Man," bisiknya sembari memamerkan jaket barunya.
Seperti kebanyakan kawula muda Londonesse, Stansfield senang berdandan sporty: sepatu kets, kaus dengan nomor besar bintang sepak bola favoritnya, dan jaket training yang tak dikancingkan. Nyatanya ia memang hooligan klub Queens Park Ranger. Banyak yang heran bagaimana aku bisa akrab dengan Stansfield yang sengak itu. Padahal rahasianya gampang, yaitu pujian. Pujian bagi wanita tertentu, tak ubahnya bulu ketiak Benyamin Tarzan Kota, di situlah titik lemahnya.
Mahasiswa yang doyan meladeni The Brits hanya pemuda-pemudi dari negeri Paman Sam. Kepala gengnya Virginia Sue Townsend. Pernahkah Kawan mendengar istilah Vermont Stubborn? Alkisah, ladang pertanian di Vermont, negara bagian keempat belas di Amerika, berkarang-karang. Hanya kemauan baja yang dapat menaklukkannya. Karena itu, orang-orang Vermont terkenal keras kepala hingga lahir julukan Vermont Stubborn. Nah, Virginia lahir dari keluarga Vermont tulen.
Townsend sadar betul kalau dirinya mirip Jen-nifer Aniston, maka ia habis-habisan meng-copy janda kembang itu. F word merupakan ciri khas makiannya, trade mark-nya. Sungguh tidak santun.
Jika Stansfield mengumpatnya Bloody Aniston Moron, Townsend membalasnya yeah, yeah, yeah, Stansfield, ha ... f@$#king Brit! Go to f@$#king hell, yeah, dengan logat British yang dilebih-lebihkan untuk mengejek.
Ada empat orang Amerika di kelas kami dan kaum Yankee ini bertabiat sepadan dengan leluhurnya, orang-orang Britania itu, tapi terdapat sedikit perbedaan. Dalam diskusi, kelompok Amerika cenderung mendominasi, intimidatif, penuh intrik untuk mengambil alih kendali, lalu mem-bangun aliansi. Perangai yang tak asing, bukan?
***
Prestasi akademik The Brits and Yankee fluktuatif. Sesekali paper mereka mengandung terobosan yang imajinatif. Misalnya, ketika mengobservasi perilaku konsumen lewat konstruksi kubus, mereka membuat survei yang kreatif untuk mendeteksi perubahan paradigma utilitas konsumen dari waktu ke waktu. Ide-ide cemerlang mereka sampai dapat mengubah silabus mata kuliah perilaku konsumen. Dosen sering menghargai mereka dengan nilai tres bien alias bagus sekali.
Selalu duduk di tempat duduk yang sama di tengah kelas, pasti hadir sepuluh menit sebelum acava, taktis, metodikal, dan sistematis, adalah beberapa gelintir mahasiswa Jerman: Marcus Holdvessel, Christian Diedrich, dan yang paling istimewa, seorang wanita Bavaria nan semlohai,
Katya Kristanaema. Mereka tak pernah ribut, sering kikuk, layaknya orang yang sedang mengumpul-ngumpulkan kepercayaan diri. Ini pasti akibat hujatan seantero jagat pada tingkah polah Paman Fuhrer, pria berkumis Charlie Chaplin itu, dalam Perang Dunia Kedua. Jika bicara, mereka seperti berbisik-bisik saja. Mereka sangat tenang, quite, sepi, tenteram, persis kota kecil Purbalingga, pukul sepuluh malam.
Selayaknya mesin-mesin otomotif buatan negerinya, mereka adalah pribadi-pribadi yang penuh antisipasi. Motto mereka Tiga P: Preparations Perfect Performances, maksudnya, penampilan yang sempurna tak lain karena persiapan yang matang. Mereka tak mau melakukan sesuatu tanpa ancang-ancang. Tergopoh-gopoh tak keruan, bukanlah nature mereka.
Katya, Marcus, dan Christian sangat unggul dalam materi-materi hitungan. Matematika, statistika, dan analisis kuantitaif seperti mengalir dalam darah mereka. Paper mereka jarang menerobos namun intensitasnya mencengangkan. Kajiannya atas konstruksi kubus tadi tak sekadar soal utilitas, tapi sampai pada pembuktian geometri dimensional. Itulah buah manis pendidikan dasar berstandar tinggi di Jerman sana. Ide mereka lebih besar daripada ide The Brits dan Vankees, yaitu bukan hanya mengubah silabus mata kuliah perilaku konsumen, melainkan orang-orang Jerman ini menyarankan untuk sekalian mengubah silabus ilmu ekonomi. Nilai mereka tak pernah kurang dari distingue, artinya excelient, lebih tinggi dari tres bien. Ketiga orang itu adalah orang-orang terhormat, para atasan di kelas kami.
Namun, majikan kami yang sesungguhnya adalah dua orang gadis pendiam yang agak ketinggalan zaman di belakang sana. Nilai mereka jauh di atas tres bien atau distingue. Nilai mereka Parfait1. Sempurna!
Jika menulis paper tentang observasi perilaku konsumen melalui kubus, mereka membongkar kubus itu, sama sekali tak memakainya, lalu mencipta model mereka sendiri. Kecerdasan mereka tak terkejar siapa pun. Keduanya sudah digadang akan mengantongi summa cum taude jika mudik nanti. Ide mereka lebih gila lagi, tidak sekadar mengubah silabus ilmu ekonomi seperti usulan Katya, Marcus, dan Christian, tapi mereka ingin mengubah Universite de Paris, Sorbonne!
Saat dosen menjelaskan, kedua gadis itu mendongakkan kepalanya yang besar berumbai-rumbai kuning, matanya terang, telinganya terpasang, jidatnya serupa radar mentudungs microwave, siap menangkap ilmu dalam frekuensi berapa pun. Siapakah gerangan kedua supergenius yang dapat melibas panser-panser Jerman itu? Oh, Kawan, ternyata mereka berasal dari negeri terompah kayu yang dulu pernah "mengasuh" kita: Holland!
Saskia de Rooijs dan Marike Ritsema, begitu namanya. Saskia dan Marike tak pernah mengangguk-angguk sok tahu. Hanya sesekali keningnya berkerut, pasti sedang tak setuju dengan ucapan dosen, tapi tak lantas menunjuk untuk protes seperti aksi The Brits dan Vankees. Dandanannya pun konvensional untuk ukuran Eropa pada masa milenium ini. Mereka tak peduli soal itu. Niet belangrijk tidak penting-ujar mereka kalem. Jarang ada suara bersumber dari kedua perempuan Netherlands itu. Mereka sangat sepi, jauh lebih sepi dari orang-orang Jerman tadi. Mereka seperti Purbalingga pada pukul dua belas, malam Jumat Kliwon.
Hanya Abraham Levin, V'hudit Oxxenberg, Yo-ram Ben Mazuz, dan Becky Avshalom yang sesekali dapat menyaingi Saskia dan Marike. Orang-orang Yahudi itu sangat genius. Sering aku menduga kalau Y'hudit dan Yoram sebenarnya lebih pintar dari Saskia dan Marike, tapi kedua orang itu tak terlalu ambil pusing soal nilai. Mereka tak suka perkara sepele. Mereka hanya tertarik pada sesuatu yang besar dan revolusioner. Abraham Levin adalah ahli matematika ekuilibrium paling jempolan yang pernah kukenal. Ia memiliki embrio kecerdasan Nobelis John Nash. Y'hudit, Yoram, dan Becky memperlakukannya seperti seorang imam. Meskipun baik hati, mereka menjaga jarak dengan siapa pun. Pada jam istirahat mereka berkumpul di bangku taman. Levin bicara dengan tenang sambil membelai cambangnya yang telah dipelintir. Mereka selalu seperti sedang merencanakan sesuatu. Ide mereka lebih besar dari ide Saskia dan Marike yang ingin mengubah Universitas Sorbonne. Ide orang-orang Yahudi itu adalah mengubah Prancis.
Pribadi-pribadi yang paling mengesankan diperlihatkan para tuan rumah, orang-orang Prancis; Charlotte Gastonia, Sylvie Laborde, Jean Pierre Minot, dan Sebastien Delbonnel. Mereka seperti selalu terinspirasi semangat revolusi Prancis liberte, egalite, fraternite kebebasan, persamaan, dan persaudaraan maka mereka memandang tinggi persahabatan. Aku memahami karakter mereka waktu kami menonton teater Jean de Florette yang diangkat dari karya sastra klasik Marcel Pagnol. Kisahnya tentang seorang pria bongkok Jean Cadoret yang jujur dan berjuang mati-matian menghidupi keluarga sebagai petani. Pria malang ini selalu dicurangi tetangganya. Aku tak hanya terpesona pada akting Gerard Depardieu tapi terpana melihat Charlotte dan Syvie yang berderai-derai air matanya sejak dirigen orkestra baru saja mengibaskan tangan untuk mengambil nada empat per empat. Esoknya Charlotte dan Sylvie bolos kuliah. Mereka ke Provence, mengunjungi tempat tinggal keluarga Cadoret di desa tandus selatan Prancis, tanpa peduli apakah kisah Jean de Florette nyata atau fiksi. Kawan, itulah yang dapat kukatakan tentang orang Prancis dan nirwana seni yang bersemayam dalam hati mereka.
Kemudian, tak kalah menarik adalah beberapa mahasiswa Tionghoa dari Guangzhou dan Hongkong. Semuanya tampak seperti akuntan.
"Liu Hyuu Wong," kata salah dari mereka mengenalkan diri. "But, please my friend, call me
Eugene. Eugene Wong, that's my international name, ok?"
Nah, Kawan, baru kutahu kalau mereka selalu punya dua nama; lokal dan internasional. Eugene Wong, Heidy Ling, Deborah Oh, dan Hawking Kong, juga selalu berkumpul sesama mereka, komunal. Namun mereka broad minded, berpikiran luas, dan akrab pada siapa pun.
Sisanya selalu terlambat, berantakan, dan tergopoh-gopoh adalah The Pathetic Four empat makhluk menyedihkan penghuni jejeran bangku paling depan. Jika dosen menjelaskan, mereka berulang kali bertanya soal remeh-temeh, sampai menjengkelkan. Anak-anak ini melengkapi diri dengan perekam agar petuah dosen dapat diputar lagi di rumah. Norak dan repot sekali. Beginilah akibat penguasaan bahasa asing ilmiah yang memalukan dan efek gizi buruk masa balita. Jika ide mahasiswa negara lain demikian besar sampai ingin mengubah Prancis, ide The Pathetic Four sangat sederhana, yaitu bagaimana agar dapat nilai passabie yaitu cukup, lulus seadanya dengan nilai C-, tak perlu mengulang, sehingga dapat menghabiskan waktu sejadi-jadinya menonton sepakbola.
Ide lainnya adalah membujuk pemberi beasiswa agar menaikkan uang saku. Kenaikan itu disimpan untuk belanja sandang murah pada obral end season, maka pakaian musim semi dipakai saat musim salju, pakaian musim salju dipakai saat musim panas. Biasanya keempat orang itu menganggukangguk takzim saat menerima kuliah. Lagaknya seperti paham saja, padahal tak tahu apa yang sedang dibicarakan. Mereka itu Monahar Vikram Raj chauduri Manooj, Pablo Arian Gonzales, Ninochka Stronovsky, dan aku. Kami blingsatan, terbirit-birit mengejar ketinggalan.
***
MOZAIK 18: Katya
Monahar Vikram Raj Chauduri Manooj, sangat tak suka kalau nama panjangnya yang megah itu dipotong-potong. Namun, tentu saja menyusahkan untuk memanggil lima orang sekaligus hanya untuk menyapanya. Kami mufakat menyingkat namanya menjadi MVRC Manooj. Dia cukup puas. Persetujuannya ia nyatakan dengan menggoyang-goyangkan kepalanya, gemulai berirama, persis goyang kepala boneka anjing di atas dashboard.
Ia berkulit legam, kurus tinggi, dan berwajah Jenaka tipikal India. Bulu matanya lentik, lehernya panjang. Gaya berjalannya seperti orang ingin menari. Rupanya, ia memang seorang penari, penari goyang kepala yang piawai. Jika menari kepala, lehernya seperti engsel peluru: naik, turun, maju, mundur, patah-patah, menjulur-julur, dan berputar meliuk-liuk. Ditimpali dendang tabla, ia selalu menjadi hiburan di kelas. Kawan, goyang kepala itu bukan perkara sederhana, tapi semacam cutturat gesture. Jika MVRC Manooj menggoyang kepalanya terus-menerus, artinya ia sedang menghormati kawan bicaranya. Jika ia bergoyang tiga kali maksudnya; Apa maksudmu! Aku tak mengerti, Empat kali: Baiklah, akan kupertimbangkan. Lima kali mematuk-matuk cepat: Aku mau buang air\
Tadinya MVRC Manooj adalah juru tulis di kantor sensus Punjab. Ia beruntung mendapat beasiswa Unicef dan lulus admisi di Sorbonne.
Tapi Gonzales lebih Jenaka dari MVRC Manooj. Terutama karena pembawaannya yang gembira dan paras baby face-nya. Matanya adalah mata bayi. Mata bulat yang senantiasa tersenyum. Ia gemuk pendek, kakinya pengkor, berambut keriting tebal.
Gonzales berasal dari keluarga pandai besi di Guadalajara, kantong kemelaratan Amerika Utara. Ia mendapat beasiswa World Bank sebagai bagian dari program pengentasan kemiskinan Meksiko. Sebelum masuk ke Sorbonne, Gonzales memiliki dua profesi, yakni guru matematika SMA dan pelatih sepakbola untuk siswa Sekolah Luar Biasa. Jika dosen menjelaskan sesuatu yang runyam, ia melukis salib di dadanya sambil komat-kamit, "Mamma mia, mamma mia."
Sejak awal semester, Gonzales dan MVRC Manooj telah bersekutu dan Ninochka selalu mengekor ke mana pun mereka pergi. Ninoch, gadis kecil kurus ini, berasal dari Georgia, negara miskin yang baru memerdekakan diri dari cengkeram cakar beruang merah Rusia. Ninoch dapat beasiswa ke Sorbonne dengan cara yang aneh, yakni karena keahliannya main catur. Tapi tak tanggung-tanggung, ia adalah seorang calon grand master. Politisi Georgia sangat bangga akan memiliki grand master perempuan. Mereka menyemangati Ninoch dengan memberinya beasiswa ke Sorbonne.
Tampaknya Ninoch merasa minder bergaul dengan The Brits atau Vankees. Bukan hanya karena penampilan udiknya, sifat pemalunya, atau olahraga anehnya, tapi juga karena penyakit bengeknya yang parah. Ia selalu bersama The Pathetic Four, tempat segala hal yang marginal. Kami berempat adalah satu kelompok diskusi. Ketuanya Gonzales.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya, dan bangsa yang besar menurunkan sifatnya kepada warganya. Awal bulan, ketika baru menerima aiiowance beasiswa, MVRC Manooj dan Gonzales bertingkah laku seperti tak mengenal aku, Arai, dan Ninoch. Mereka melenggang dengan pakaian perlente, baunya wangi. Mereka tak sudi makan siang di kantin mahasiswa. Tapi hal itu hanya berlangsung sampai tanggal lima belas. Setelah itu mereka merengek-rengek minta diutangi untuk bisa hidup lima belas hari berikutnya. Tak jarang MVRC Manooj menggadaikan apa pun yang melekat di badannya. Awal bulan nanti ia akan kaya lagi dan kami akan berutang padanya. Gali lubang tutup lubang, mirip tabiat ibu pertiwi masing-masing.
***
Siang ini kelompok Jerman mempresentasikan tugas mereka: analisis industri otomotif Eropa. Penampilan Marcus Holdvessel dan Christian Diedrich sangat mengesankan. Marcus berdasi dan berjas lengkap seperti alumni Harvard menghadiri interview untuk satu posisi penting di Microsoft. Christian mirip Spiderman saat sedang menjadi orang biasa. Kedua pria ganteng ini dengan tertib membuka kancing jas jika duduk dan kembali mengancingkannya jika berdiri. Tentu saja dengan suatu gerakan yang terdidik. Namun, daya tarik sesungguhnya adalah ketua mereka: Katya Kristanaema. Katya mengangguk halus, memberi kode, ketiganya serentak memencet tombol jam tangan mereka, persis komandan pasukan elite menyamakan waktu dengan pasukan untuk operasi merebut gudang senjata. Presentasi dimulai.
Slide-slide presentasi mereka sangat hebat, berformat flash macromedia yang canggih sehingga begitu banyak substansi cerdas disajikan dalam waktu singkat, dengan sedikit kata saja. Kami terkagum, lalu sampailah mereka pada analisis master ptan industri otomotif Jerman. Christian mencabut konektor internet dari PC dan tanpa dikomando, Marcus menginstal transmitter kecil, menyambungkan konektor tadi pada transmitter, taptop, dan proyektor. Secara bersamaan Katya mengeluarkan handphone-nya, berbicara sebentar dalam bahasa Jerman, dan tiba-tiba muncul seseorang di layar.
"Hallo everyone”sapanya akrab. "Saya, Direktur Research and Development Mercedes Benz, siap memberikan second opinion atas analisis Katya, Marcus, dan Christian."
Hebat betul persiapan tim Jerman. Melalui teknologi video conference, mereka menghadirkan seorang pakar sekaligus eksekutif penting Mercedes Benz secara iive, reai time, langsung dari Munich.
"Bravo! Tres bien!" Profesor Antonia LaPlagia, dosen Manajemen Strategi yang terkenal galak, memuji tim Jerman.
"Apa pendapat kalian?" Tiba-tiba Antonia ber-balik dan menunjuk kelompok kami. Kami mengerut, tak tahu akan berkomentar apa. Berkomentar asal saja di kelas yang terhormat ini hanya akan menghina diri sendiri. Lebih baik diam daripada sok tahu. Antonia kecewa.
"Gonzales?"
Putra pandai besi itu tengah melamun dan mulutnya menganga memandangi betis Katya yang jenjang. Katya meningkatkan daya tariknya dengan memainkan taser pointer di tangannya. Gonzales melotot. Antonia muntab.
"Gonzales!! Kamu ketua grup, kan? Bagaimana tanggapanmu?"
Ia sama sekali tak sadar Antonia memanggilnya. Telinganya tuli karena terkesima pada Katya. "Gonzalleeeessss!!!"
Gonzales terkejut. Ia terlompat dari tempat duduknya.
"Que? SenoritaV "Apa tanggapanmu?!"
Gonzales gelagapan. Ia menoleh padaku, mohon bantuan. Aku menoleh pada MVRC Manooj dan orang India itu menoleh pada Ninoch. Ninoch, seperti biasa, menunduk malu.
"Apa pendapatmu, Arian Gonzales?!"
Gonzales putus asa.
"Mamma mia, Madame ..."
***
MOZAIK 19: Paradoks Kedua
Meskipun kami saling bersaing tajam, semuanya hanya secara akademik. Setelah pertempuran ilmiah habis-habisan, kami menghambur ke kafe mahasiswa Brigandi et Bougreesses, artinya kurang lebih Pak Brigandi dan gundik-gundiknya, di pojok Sorbonne. Di sana kami bercanda laksana satu keluarga. Setiap Jumat, kami melupakan tugas kuliah yang menggunung dengan melakukan ritual pub crawiing: merayap dari pub ke pub seputar Paris, sampai pukul tiga pagi.
Sering aku merasa heran. Kawanku-kawanku The Brits, Yankee, kelompok Jerman, dan Belanda adalah para pub crawier kawakan. Mereka senang bermabuk-mabukan. Tak jarang mereka mabuk mulai Jumat sore dan baru sadar Senin pagi. Sebagian hidup seperti bohemian, mengaitkan anting di hidung, mencandu drugs, musik trash metai, berorientasi seks ganjil, dan tak pernah terlihat tekun belajar, namun mereka sangat unggul di kelas. Aku yang hidup sesuai dengan tuntunan Dasa Dharma Pramuka, taat pada perintah orangtua, selalu belajar dengan giat dan tak lupa minum susu, jarang dapat melebihi nilai mereka. Dengan ini, kutemukan paradoks kedua, dalam diriku sendiri.
Hari ini, di kafe Brigandi et Bougreesses kami merayakan kesuksesan presentasi kelompok Jerman. Stansfield, Townsend, dan Katya berebutan memasukkan koin ke dalam juke box untuk memutar "Murder on the Dance Floor", Sophie Ellis-Bextor, lalu mereka berjingkrak-jingkrak. MVRC menari goyang kepala, Gonzales bercerita soal sepakbola, berteriak-teriak saling mendukung tim bersama Yankees, The Brits, dan dua genius Belanda itu.
Katya adalah primadona. Semua pria di kelas kami, berarti termasuk aku, jika ditawarinya kawin, rela menukar kewarganegaraan, murtad pada bangsa sendiri, untuk menjadi warga Jerman, meski itu berarti harus bekerja membersihkan cerobong asap di Bayern sana. Ia jelita. Pesonanya adalah akumulasi dari sipu malunya jika digoda, cahaya matanya jika terkejut, kata-kata yang dipilihnya jika berargumentasi, dan buku-buku sastra cerdas yang dibacanya. Kenyataan bahwa ia menggilai musik jazz, membuat Katya semakin cantik bagiku. Katya simpiy irresistabie. Apalagi gesture-nya secara eksplisit mengetukkan kode-kode Morse: / am very much avaiiabie\ Masih lowong. Katya, ibarat kolak menjelang buka puasa, ia godaan terbesar di Universite de Paris, Sorbonne.
Setiap ada kesempatan, pria-pria berbagai bangsa merubung Katya, berlomba-lomba membuatnya terkesan. Tapi, meski aku juga pengagum Katya, aku tak termasuk dalam kelompok penebar pesona itu. Aku sadar diri, dari seluruh kemungkinan logis ketertarikan pria wanita secara fisik, materialistik, filosofik, idealisme, kultur, ekspektasi, kemistri, gengsi, atau apa pun, tak secuil pun aku memenuhi kualifikasi Katya.
***
Alessandro D'Archy, si ganteng itu adalah arjuna kelas kami sekaligus seorang Italia yang agak pfay boy. Jika D'Archy mendekati Katya, pesaing lain ciut nyalinya, menyingkir. Sebenarnya D'Archy kekasih Stansfield, namun panggilan jiwanya sebagai kelinci tak membiarkan Katya berlalu begitu saja. Sebaliknya, Katya yang cerdas bukan buatan, tak begitu saja bisa dibuat bertekuk lutut. D'Archy berupaya menaklukkan Katya dengan meniru siasat leluhurnya Cassanova, sang begawan cinta.
Siasat tengik itu, yang dulu membuat Cassanova sukses menguras isi hati, sekaligus dompet ratusan wanita. Pertama-tama memancing pertengkaran, memprovokasi, lalu mengaku bersalah secara gentleman dan minta maaf dengan takzim. Sikap lembut setelah permohonan maaf palsu itu biasanya membuat perempuan seperti ayam kampung mabuk karena menelan gambir, tak cakap lagi menghitung sampai sepuluh. Pelajaran moral nomor sebelas: untuk mendapatkan wanita cantik, tapi bodoh, rupanya Anda hanya perlu menjadi seorang provokator.
Sayangnya, hal ini tak berlaku untuk Katya. D'Archy memang berhasil memprovokasinya, lalu pura-pura berjiwa besar, mengaku bersalah sesuai tuntunan taktik busuk Cassanova. Namun, ketika ia meningkat pada strategi minta maaf dengan lagak gentieman ....
"Itaiiano! Kaupikir kau itu siapa?!"
Katya sama sekali tak terkesan pada D'Archy dan taktik busuknya. Pria Italia itu tamat kalimat. D'Archy tak sanggup menerima kenyataan ditolak. Dalam karier penipuan cintanya, baru kali ini ia bangkrut. Untuk membujuk dirinya sendiri, sekaligus melupakan kenyataan pahit bahwa daya magnetnya mulai aus, di Kafe Brigandi et Bougreesses ia menenggak Johnny Walker langsung dari botolnya. Aku, MVRC Manooj, dan Gonzales terpaksa harus menggotongnya pulang. Sepanjang jalan D'Archy meracau, meratap-ratapkan lagu frustrasi cinta Aerosmith:
That kind ofhving, tums a man to slave
That kind ofhving, sends a man right to his grave
Crazy, crazy, crazy....
Kami membopong D'Archy ke apartemen pacarnya, Stansfield, yang terdekat dengan Brigandi et Bougreesses. Sial, Stansfield rupanya sudah tahu kejadian malam itu. Di ambang pintu, anak London itu melotot.
"Kenapa kau datang ke sini?!
"Enyahlah! "Tidur di luar sana!" Perempuan Inggris itu naik pitam. "Aiiesandro Bioody D'Archy \ "Pathological liari "Bollockl"
Boiiock, demikian menu makan malam yang romantis untuk sahabatku, Alessandro D'Archy, seorang filatelis cinta yang menganggap perempuan seperti prangko.
Stansfield membanting pintu sampai kusen-kusen jendela bergetar.
***
MOZAIK 20: Gracias, Senor
Mendengar Katya menampik D'Archy, padahal ia dijagokan, MVRC Manooj berdiri kupingnya. "Kompetisi semakin masuk akal!" teriaknya. Seperti sering kusaksikan dalam film India, serupa pula strategi MVRC Manooj. Ia, layaknya pria India, amat flamboyan. Mereka senang memuji dan tergila-gila pada sikap sok jantan. Ketika pensil Katya jatuh, MVRC Manooj serta-merta bangkit, melangkah anggun memungut pensil itu dan menyerahkannya pada Katya dengan tatapan sendu yang berarti: akan kubangun Taj Mahal untukmu, belahan hatiku .... Kepalanya bergoyang-goyang gemulai. Seisi kelas tergelak.
MVRC Manooj tak sungkan membual untuk membuat Katya terkesan. Ia, yang hanya seorang juru tulis di kantor sensus Punjab, mengaku bahwa sebenarnya ia adalah seorang executive clerk yang punya enam puluh tujuh anak buah. Bahwa sapinya ratusan ekor, dan ia juga punya usaha pengolahan tinja menjadi bahan bakar, sumur-sumur yang disewakan, ular-ular kobra yang terlatih, mesin-mesin pemotong batang jagung, dan jika selesai dari Sorbonne nanti ia akan membangun pabrik tekstil dengan dua belas ribu karyawan.
Seperti pria India umumnya, MVRC Manooj tentu sangat romantis. Di depan seisi kelas, ia mengatakan pada Katya bahwa ia sering bermimpi bersampan dengan Katya menyelusuri Sungai Gangga di bawah sinar purnama. Katya menatapnya serius, penuh pertimbangan. MVRC Manooj menggoyangkan kepalanya sedikit. Senyumnya mengembang karena menangkap sinyal positif dari Katya. Ia mengharapkan satu jawaban manis.
"Indah sekali, Sahabatku”
MVRC Manooj mekar.
"Tapi kudengar perempuan sering dianggap remeh di negerimu, ya?"
Wajah MVRC Manooj kaku.
"Jadi, begini saja, akan kupertimbangkan tawaranmu kalau perempuan dihargai sama seperti pria di sana, oke?"
Laki-laki Punjab itu menggeleng empat kali. "Untuk sementara, teruslah bermimpi “
Gonzales, yang tak diunggulkan, sangat tipikal Hispanik. Adatnya tak banyak basa-basi. Gramatikal rayuannya sederhana, langsung, dan pragmatis. Dengan gaya untuk mencitrakan dirinya macho, ia menghampiri Katya yang sedang berjemur di halaman kampus.
"Katya, aku menyukaimu. Menikahlah denganku. Aku segera mendapat warisan sebuah bengkel di Guadalajara. Aku akan menjadi manajer para pandai besi dan kau akan membantuku memasarkan ladam kuda. Bagaimana pendapatmu?"
Katya melepaskan sun glasses-nya. Matanya terpicing.
"Pablo Arian Gonzales, sungguh menggiurkan tawaranmu ....
"Engkau pria yang manis. "Aku merasa dihargai .... "Gracias, Senor
Gonzales sumringah.
Katya merenung. Serius.
"Berat buatku menolak tawaran yang menjanjikan ini
Gonzales merekah.
Katya menarik napas. Gonzales berlutut, seperti akan menerima berkah dari santa. "Tapi ...."
Putra tukang kikir itu pucat.
"Begini ya, akan kupertimbangkan tawaran baikmu itu jika nanti utang Meksiko pada Jerman sudah lunas ...."
Gonzales terduduk lunglai. Katya menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut.
"Ok? Amigo?"
The Brits dan pria-pria dari negeri Paman Sam lain pula lagaknya. Mereka jauh lebih percaya diri dibanding pria Asia atau Amerika Utara seperti Gonzales. Mereka langsung mengatakan pada Katya ingin mengajaknya kencan. Tawaran mereka tegas: take it or leave it, filosofi mereka menarik, yakni nothing to loose. Kadang mereka sedikit tendensius dan ofensif, namun jika ditolak, mereka bersikap gent/eman, mengakui keunggulan pesaing lain.
Tapi, ternyata tak semua teman sekelasku menyukai Katya. Bagi Jean Pierre Minot dan Sebastien Delbonnel, pria-pria Prancis itu, wanita tinggi, putih, bermata biru, pirang, dan berwajah solid tipikal Kaukasia seperti Katya tidaklah menarik. Mereka menyukai perempuan yang cenderung petit: mungil, feminin, berambut gelap, dan bermata cokelat. Aroma cantik bagi mereka adalah gambaran wa-nita dalam ce-rita Seribu Satu Malam. Patrick N'Dumu, mahasiswa Senegal di kelas kami juga tak menyukai Katya.
"Terlalu kurus," cibirnya.
Maka kuduga N'Dumu berasal dari suku Ibadan. Zaman purba dulu suku Ibadan biasa menukar anak lelaki atau gadis gemuk dengan empat ekor sapi. Anak lelaki dan gadis kurus cukup beruntung jika dihargai empat ekor burung unta. Adapun orang Meksiko, India, dan Indonesia rupanya sepakat soal definisi cantik, yakni cantik seperti Katya. Aku curiga, citra kecantikan itu tercetak gara-gara gambar wanita di kaleng pengharum Gardena yang menyerbu negara Dunia Ketiga sejak tahun lima puluhan.
Bobby Cash termasuk pria yang ditampik Katya. Ia orang Amerika. Ketika menggoda Katya, sesungguhnya ia masih berstatus sebagai kekasih Townsend. Townsend yang kecewa lalu menggaet D'Archy dan Stansfield potong haluan menuju Bobby Cash sang pria platonik. Tukar guling. Modern, bukan?
Aku tahu sebenarnya Stansfield tak menyukai Bobby, dan tampak jelas pula Townsend berjarak dengan D'Archy. Tapi Townsend dan Stansfield tak ubahnya jungkit-jungkitan. Mereka reaksioner satu sama lain. Apa pun yang dilakukan Townsend akan ditandingi Stansfield, demikian sebaliknya. Ini bukan lagi soal cinta, tapi soal memelihara suatu level persaingan, soal survivat dalam pertaruhan gengsi. Sering kali perseteruan Stansfield dan Townsend tidak rasional.
***
MOZAIK 21: Helium
K atya masih seperti pulau karang tak bertuan di
perairan Pasifik: indah, diperebutkan, tapi tak dapat dimiliki siapa pun. Dirayu-rayu ia tak mau, diprovokasi ia benci, digombali ia tak peduli, ditipu ia tahu, diumpan ia tak mempan. Sekian banyak hati kasmaran tapi ia tak kunjung terkesan. Dan perlombaan menggaetnya bukannya surut, malah makin menjadi, bahkan sampai terjadi pertaruhan. Kini ia ibarat lotere, bahkan mahasiswa dari jurusan lain ikut berlomba.
Tiba-tiba terdengar kabar yang menggemparkan. Pertempuran berakhir! Gencatan senjata! Katya telah menemukan pilihannya! O la la, siapakah gerangan kesatria kuda putih yang beruntung itu? Pasti dia sangat ganteng dan sangat kaya, atau, yang paling mungkin, dia turunan darah biru monarki Prancis. Bisa juga ia seorang duke, anggota keluarga kerajaan Inggris, sepupu jauh pangeran William, yang banyak berkeliaran menuntut ilmu di
Sorbonne. Tapi sungguh tak masuk akal! Sulit dipercaya! Ah, tak mungkin dia! Nauzubiifah1. Tak masuk akal sama sekali!
Ketika sedang browsing untuk mencari materi paper di perpustakaan, aku terbelalak membaca e-maii dari Katya.
Hi, There ....
If you want Co date me, all you have to do....
Just....
Ask....
Much love, Katya
Aku merasa ada pipa dibelesakkan dalam mulutku dan helium dipompa ke dalam rongga dadaku, lalu aku melayang seperti balon gas, menyundul-nyundul plafon. Selama ini aku hanya menonton orang berebut Katya. Sekonyong-konyong, tak ada ombak tak ada angin, ia mengata- kan aku hanya tinggal meminta saja (just ask) jika ingin dekat dengannya. Durian runtuh! Gonzales yang kuminta membacanya sampai melukis salib di dadanya.
"Mamma mia katanya.
MVRC Manooj yang kami beri tahu kemudian di kantin, kehilangan selera makannya. Lelaki Punjab itu menatapku dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki. Ia pasti mengukur tinggi badanku. "Dunia sungguh tidak adil!" teriaknya.
Jangankan mereka, aku sendiri masih tak percaya. Aku tak ikut bertempur tapi memenangkan perang. Aku seperti anak kecil menemukan cincin permata dalam bungkus kuaci. Katya menyukaiku? Ah, tidak real, tidak mungkin. Langsung kuduga seorang pesaing yang frustrasi, yang juga seorang computer freak telah menggelapkan e-mail account Katya untuk memperolokku. Kubalas e-mail Katya, untuk konfirmasi. Konyol sekali.
Dear Katya, apakah kamu tidak salah kirim e-mail?
Ehmm, maaf ya . . . ehmmmm . . . , duh, gimana ya .... Untukkukah e-mail-mu ini?
Ia langsung menjawab.
Definitely, it1 s for you.
Sekarang helium yang memenuhi rongga dadaku meledak dan aku pecah menjadi ribuan kuntum mawar, berjatuhan dari plafon, bertaburan memenuhi perpustakaan. Apa yang dilihat Katya pada diriku? Aku curiga, jangan-jangan ia menderita rabun dekat.
***
Siang ini aku tak makan. Sore nanti aku akan mengantar Katya pulang. Rasa senang membuat perutku kenyang, kembung lebih tepatnya. Satu jam dua puluh menit enam detik, aku berdiri seperti orang senewen menunggunya di mulut Stasiun
Notre-Dame des-Champs. Ia datang dari arah Edgar Quinet, semakin dekat dan aku dilanda tiga macam bentuk demam. Pertama, karena ia terlalu cantik untukku. Perempuan seperti ini biasanya hanya kukenal lewat gambar-gambar almanak. Kedua, aku tak tahu bagaimana cara memperlakukan sahabat sebagai pacar. Ketiga, karena aku harus memastikan bahwa ia tidak menderita rabun dekat, dan ia tak salah orang. Dalam hatiku bergema-gema pertanyaan, "Katya, are you for real?", tapi ia meyakinkanku.
"Ini bukan kesalahan katanya merdu sekali. "It's for real."
Kami naik kereta bawah tanah yang datang dari Mairie d'Issy, menembus jantung Paris menuju ke Porte de la Chapelle. Kami akan berhenti di tengah, di Solferino, dekat apartemen Katya. Duduk di sebelahnya, jantungku berdegub-degub seperti hentakan kereta. Aku ingin ngobrol tentang banyak hal, tapi kalimat tersangkut di tenggorokanku. Aku diam, duduk tegak, membeku. Katya tersenyum-senyum simpul. Senyumnya itu mem- buatku berdoa agar kereta itu mogok, asnya patah tiga, sistem listriknya terbakar, pintunya tak bisa dibuka walaupun oleh lima belas orang, penumpangnya terjebak sehari semalam, Katya pingsan, dan aku jadi pahlawan. Senyumnya itu, membuatku berdoa agar Stasiun Solferino pindah ke Pulau Islandia, sehingga kami akan berada dalam kereta itu selama sepuluh jam, disambung menyeberang naik kapal laut.
Berminggu-minggu aku belajar menguasai diri jika dekat Katya. Setelah agak terlatih, diiringi tatapan iri MVRC Manooj dan Gonzales, secara rutin, aku mem-bezook dia di apartemennya, menemaninya menonton Jerry Springer Show, acara kesenangannya. Kami menikmati daya tarik turning a friend into a lover, mengubah teman menjadi kekasih, ternyata proses itu menyenangkan. Apalagi ia selalu memanggilku my man, membuatku merasa ganteng, merasa menjadi Kesatria Celtic dalam legenda hightander, penyelamat petani dari serbuan kaum begundal. Aku memanggilnya, ya ampun, baby. Ketika mengucapkannya, perutku seperti digelitik.
Senin sore, sangat istimewa, karena siangnya, di mejaku di kelas, pasti kudapat secarik kertas kecil undangan: Tea time, my place, 04.00 pm, yours, Katya. Itu artinya aku akan melewatkan sore dengan wanita menawan itu, sambil duduk minum teh Prancis melange quartier, teh harum dengan campuran pala dan kayu manis, di balkon apartemennya. Nun di sana mengalir Sungai Seine. Riak-riaknya bertingkah riang, memantulkan warna Jingga keperakan.
***
Waktu berlalu. Aku makin mengagumi Katya. Tapi apakah aku mencintainya? Minggu lalu, Katya pulang ke Bayern untuk menemui keluarganya. Ia mendekapku di Stasiun Garede Lyon. Aku berdesir.
Untuk pertama kalinya aku dipeluk seorang wanita dalam nuansa asmara. Matanya memancarkan isyarat janji yang liar jika ia kembali nanti. Aroma keringat perempuan dewasa menusuk hidungku, merasuk. Ia berlari kecil meninggalkanku. Belum lepas ia dari pandangku aku telah merindukannya. Namun, seiring menjauhnya kereta itu, sebagian kecil hatiku ingin agar ia tak kembali lagi ke Paris.
***
MOZAIK 22: Adam Smith VS Rhoma Irama
Di Sorbonne, setiap hari aku diracuni ilmu meski aku tak ubahnya anak burung puyuh yang tersuruk-suruk mengejar induk belibis. Universitas ini menawarkan padaku sebuah petualangan intelektualitas dengan kemungkinan-kemungkinan yang amat luas. Setiap hari aku selalu tertantang untuk memacu kreativitas dalam bidang yang kutekuni. Aku menyimak kuliah selama dua jam tapi pengetahuan yang kudapat senilai kuliah satu semester waktu di tanah air. Jika kembali kuana-logikan pengalaman bak cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbong seperti eksperimen Einstein itu kini aku menyongsong cahaya ekonometrik, statistik, aljabar, dan falsafah ekonomi, dan Einstein pasti mengatakan aku menyerap begitu banyak pelajaran dalam satuan waktu yang relatif singkat.
Setiap hari, selalu ada saja hal baru yang menggairahkan kuperoleh dalam bidangku. Kini bangunan ilmu ekonomi yang telah lama teronggok dalam kepalaku, kurasakan berubah bentuknya, hidup, menggeliat, bertambah kapasitasnya, dan semakin dalam intensitasnya. Kini, aku mengerti secara teoretis maksud-maksud John Maynard Keynes, sang suhu bagi kaum monetarist, dan mengapa buah pikirannya memerangi pandangan klasik yang fenomenal dari si tua begawan ekonomi Adam Smith. Sekarang, aku memahami arti ekonomi sebagai science, sebagai mazhab, bahkan sebagai seni dan filosofi. Semuanya karena dosen-dosen yang hebat di universitas ini menggambarkan dengan jelas gemunung ilmu ekonomi. Mereka mengajarkan dari sudut mana harus menyelusup untuk mendakinya, dan menunjukkan patok-patok untuk sampai ke puncaknya, sehingga aku dapat memetakan peluangku untuk menyumbangkan ilmuku: sebagai seorang pendidik, peneliti, konsultan, atau pembuat kebijakan. Lebih dari semuanya, aku ingin sekali menjadi seperti Adam Smith, menjadi seorang economics scientist, ilmuwan ekonomi. Karena itu, konsentrasi studi yang kuambil di Sorbonne adalah Economics Science.
Aku sangat gandrung pada ide-ide Adam Smith. Berulang kali kubaca bukunya yang fenomenal itu: An Inquiry into the Nature and Causes o f the Weaith of Nations, sampai hafal beberapa bagian. Membaca judulnya saja rasanya aku bergetar-getar. Sungguh istimewa buku yang ditulisnya tahun 1776 itu. Buku itu mengandung kristalisasi pemikiran dengan visi yang timeiess. Menurut pendapatku, buku ini wajib dibaca oleh siapa pun yang mengaku dirinya mahasiswa ekonomi, atau siapa saja yang bertanggung jawab mengurusi hajat hidup orang banyak di suatu negeri. Tak heran Michael Hart mendudukkan Adam Smith, laki-laki Skotlandia itu, pada bangku nomor tiga puluh tujuh sebagai manusia paling berpengaruh dalam sejarah. Ia hanya satu nomor kalah penting dari William Shakespeare, tapi dia lebih berpengaruh dari Thomas Alpha Edison.
Perlahan tapi pasti aku bermetamorfosis menjadi penganut fanatik ekonomi klasik ajaran Adam Smith. Aku tertegun membaca salinan pokok-pokok pikiran beliau yang berusia hampir tiga ratus tahun.
Adam Smith bermata sendu tapi meradang, maka ia mirip Rhoma Irama. Kucetak fotonya besar-besar, 20 R, kupigura dan kusandingkan dengan foto idolaku Rhoma Irama, yang jauh-jauh kubawa dari tanah air.
Dulu cita-citaku ingin menjadi pemain bulu tangkis, lalu gagal, dan kini Adam Smith mendidihkan gairahku untuk menjadi ilmuwan ekonomi. Rhoma Irama adalah sahabat lamaku, kukenal dia sejak poster Hujan Duit-nya me-nutupi lubang dinding SD-ku dulu.
Sering, jika kehabisan ide untuk paper-ku, atau kelelahan ditimbuni tugas kuliah hingga batok kepalaku menciut, aku melongo di depan foto Adam Smith dan Rhoma Irama. Kucoba berdialog secara imajiner dengan mereka.
Adam Smith, selalu seperti orang yang tersinggung, kejengkelan berdesakan dalam kepalanya karena orang-orang tak memahami kegeniusannya.
Aku bertanya, "Bagaimana Anda bisa menjadi begitu pintar, Tuan Smith?"
Ia diam saja, tak acuh. Air mukanya berkata: Enyahlah, Anak Muda f Merepotkan saja. Apa pun yang kukatakan tak 'kan kau mengerti,' Befajartah sana dengan dosen-dosen Prancis gobtokmu itu!
Aku mundur.
"Oke, oke, Tuan Smith, tak perlu marah-marah begitu
Aku berbalik, minggat meninggalkan Tuan Smith yang sedang tidak mood. Tapi baru beberapa langkah aku kaget.
"Hei, Orang Udik! Memangnya siapa kamu? Dari mana asalmu?"
Aku terkejut. Tuan Smith bertanya padaku! Aku berbalik, kembali menghampiri Tuan Smith.
"Dari Pulau Belitong, Tuan Smith." "Di mana itu?" "Di Indonesia, Tuan Smith "Indonesia? Di mana itu?"
Aduh, aku tak tahu bagaimana harus menjelaskan. Kata-kataku macet.
"Ah, sudahlah, Anak Muda. Lupakan saja. Tapi maukah kau bercerita tentang negerimu?"
"Negeriku?"
"Ya, negerimu? Adakah orang-orang pintar di sana?"
Pertanyaan yang sulit. "Ceritakanlah."
Dilematis!
"Ayo, kisahkan kepadaku tentang orang-orang pintar di negerimu. Apa saja terobosan ilmiah mereka?"
Runyam sekali karena aku hanya tahu satu hal tentang orang-orang pintar di negeriku.
"Ayo, Anak Muda, jawablah."
Aku melongo dan aku ingin jujur.
"Banyak, Tuan Smith. Di negeriku banyak sekali orang pintar, pintar mencuri uang negara."
Wajah Tuan Smith merah padam. Matanya melotot menahan teriakan. Gagasan yang hebat dan kemarahan ilmiah yang terkunci dalam wajahnya seolah akan meledak. Ia memberi isyarat agar aku mendekat. Bola matanya lirak-lirik kiri kanan, seperti takut ada yang memata-matai. Ia berbisik, emosional, histeris, tertahan.
"Apa kataku dulu! Apa kata teoriku dulu! Benar,
kan? Pengaruh uang tak ubahnya siulan iblis!" Tuan Smith kembang kempis. "Semua itu gara-gara kaum monetarist keparat itu!!"
Aku bingung. Aku ingin bertanya: mengapa? Tapi Tuan Smith tak memberiku kesempatan. Ia muntab.
"Kau tahu?! Kaum monetarist bersekongkol mengumpulkan uang agar negeri seperti kalian dapat berutang, lalu pelan-pelan negeri kalian tergadai! Mereka itu tak ubahnya rentenir! Kolonial model baru! Tukang ijon! Teori mereka ... teori mereka
Tuan Smith sontak berhenti. Rupanya ada orang lewat, Arai. Tuan Smith kembali ke sikap semula, sebuah foto yang tak acuh, seakan tak terjadi apa-apa. Aku pun begitu. Aku tak mau dianggap sinting oleh Arai karena bicara dengan foto. Kami menyaksikan Arai meninggalkan ruangan. Tuan Smith menarik kerah bajuku.
"Teori mereka? Pembangunan ekonomi berlandaskan moneter? Omong kosong sama sekali! Keynesians itu adalah turis dalam ilmu ekonomi, lebih cocok kalau mereka dimasukkan ke dalam sel! Uang! Semuanya Uang! Lihatlah akibatnya pada pencuri-pencuri uang di negerimu itu!" Aku mengangguk takzim. Tuan Smith makin semangat.
"Proyek fisik! Lapangan kerja! Itulah solusi semua masalah!! Selain itu hanya bualan. Sekarang, lihatlah negerimu itu! Ditelikung dari luar, digerogoti dari dalam, tendangan penalti! Sebelas langkah lagi negerimu menuju bangkrut!!"
Mengerikan! Sungguh mengerikan. Aku sampai merinding mendengarnya. Pelajaran moral nomor tiga belas segera kutarik: jangan bicarakan keadaan negeri kita de-ngan seorang ekonom klasik. Pesimis!
"Satu lagi, Anak Muda, tapi ini rahasia!!" Tuan Smith celingak-celinguk.
"Tak banyak orang yang tahu! Rahasia ini agak berbahaya! Bisakah kau menjaga rahasia?!" nada Tuan Smith mengancam. "Bisa?!"
"Bisa, Tuan Smith
Tuan Smith berbisik keras, "John Maynard Key-nes yang wajahnya seperti lutung habis bercukur itu sebenarnya adalah mantri hewan yang menyaru menjadi dosen ekonomi!"
Aku tersentak, luar biasa! Setelah kurenungkan dalam-dalam, boleh jadi informasi itu benar adanya.
"Setujukah engkau dengan pendapatku itu, Anak Muda?"
Tuan Smith menyentak kerah bajuku, aku tercekik.
"Setuju?"
Setelah kujawab setuju, baru ia melepas-kanku.
Tuan Smith tersenyum puas, demikian pula Rhoma Irama di sebelahnya. Pada detik itu aku langsung tahu rahasia lain bahwa ternyata Rhoma Irama juga penganut mazhab klasik! Aku ingin sekali mendengar komentarnya.
"Kak Rhoma ... apa gerangan pendapatmu tentang negeri kita?"
Disertai senyum simpatik khasnya, beliau menjawab optimis sambil mengutip salah satu judul lagu terkenalnya.
"Ok dech ... bagi yang mudha, yang punya ghaya ... Rambathe Ratha Hayo! Singsingkanh lenganhh bajuhh kalau kitah mau majuhh!!"
***
MOZAIK 23: Surat Dari Ayahku
Rupanya euforia menuntut ilmu di Sorbonne yang tengah kualami, juga dialami Arai. Bermalam-malam ia tak tidur sebab tergila-gila pada riset protein Sitokrom-C, unsur penting yang mendasari kelangsungan hidup organisme, demikian tesis kerja yang disemburkannya padaku berulang kali.
"Tahukah kau, Ikal?! Hasil riset Sitokrom-C ini dapat menjadi kanon yang merontokkan bangunan absurditas teori-teori kaum evolusionis," lagaknya menceramahiku.
Demi semangat persaudaraan, aku berpura-pura paham. Arai begitu bersemangat. Sampai pucat wajahnya karena tak henti menelaah hipotesis Harun Yahya. Sekarang ia adalah seorang ilmuwan kreasionis yang berdiri di garda depan membela kebesaran Tuhan dalam penciptaan di muka bumi ini. Ia ingin menjadi bagian dari pasukan intelektual religius yang menentang kesesatan Darwin.
Lebih spesifik, Arai bercita-cita jadi seorang microbiologist1. Sebuah kualifikasi yang masih sangat jarang di Bumi Pertiwi. Sungguh konstruktif, sekarang aku ingin menjadi economics scierttist dan Arai ingin menjadi microbiologist1. Canggih bukan buatan. Kami menari berjingkrak-jingkrak merayakan visi baru hidup kami seperti Modigliani bersuka-cita menari mengelilingi patung Balzac. Sepucuk surat dari ayahku, menisbatkan semuanya.
***
Sejak hari pertama di Eropa, waktu masih di Belgia dulu, aku telah mengirimi orangtuaku surat. Setelah itu, ke mana pun kami sampai, kami selalu mengabarkan keadaan kami. Aku tak mengharap balasan surat-surat itu, terutama karena maklum bahwa yang memahami huruf-huruf Latin hanya ibuku.
Namun, hari ini sangat mengejutkan. Monsieur Leroux, tandlord apartemen kami, menyerahkan sepucuk surat padaku. Aku gugup melihat cap pos di amplopnya, nama kampungku! Pasti ada sesuatu yang amat penting. Usai kuliah aku menyingkir dari teman-temanku, menyepi di bawah patung Robert de Sorbonne.
Surat itu ditulis ibuku di atas kertas bergaris tiga. Preambulnya mengabarkan bahwa Ayah mendiktekan kata-katanya untuk disalin Ibu. Dengan rapi, Ibu merundukkan huruf-huruf kecil di bawah garis rendah dan huruf kapital diukir seperti kecambah pada awal kalimat. Semua huruf condong dengan sikap sopan santun seakan hendak mencium huruf di sebelahnya.
Selanjutnya, Ayah berpesan agar kami selalu menjalankan perentah agama. Beliau juga mengabarkan satu berita yang sangat menggembirakan, yaitu PN Timah telah menaikkan pangsiun mantan buruh timah dengan tambahan sebesar Rp7.000 sehingga pensiun Ayah sekarang menjadi Rp87.300 per bulan. Tak kurang dari empat kali Ayah mengucapkan syukur atas jumlah pensiunnya yang baru. Kata Ayah, kenaikan pangsiun pertamanya ia belikan per untuk memperbaiki jam wekernya. Tak lupa beliau membeli lima lembar prangko seri Pencak Silat. Dilampirkannya prangko-prangko itu dalam amplop, agar aku dapat membalas suratnya dari Prancis.
Membaca penutup Ayah, hatiku mengembang karena dengan tangannya sendiri Ayah menulis namanya.
***
Berulang kali kubaca surat Ayah, tak kunjung reda gemuruh dalam diriku. Begitu tinggi aku telah membangun ekspektasi hidupku sehingga surat Ayah tak ubahnya dua halaman utopia bagiku. Aku baru saja merayakan cita-cita menjadi seorang economics scientist tapi rupanya ayahku ingin aku menjadi ahli madya pupuk, dan Arai yang terobsesi menjadi seorang microbiologist diharapkan ayahku menjadi seorang asisten apoteker.
Aku menyandarkan diri pada patung Robert de Sorbonne. Robert yang muram, tua, dan berlumut. Delapan ratus tahun yang lalu tokoh visioner ini, dengan kebijakan teologisnya, mendirikan Universitas Sorbonne demi kemaslahatan pengetahuan, demi memecahkan enigma ilmu. Ingin kutanyakan padanya: Monsieur Sorbonne yang bijak bestari, apa yang harus kukatakan pada ayahku?
Kupandangi bangunan Sorbonne yang angker. Bendera triwarna Prancis berkibar-kibar megah di atas gerbangnya. Di dalam gedung itu aku pernah beradu argumentasi dengan dewan profesor untuk mempertahankan teori-teori risetku. Beberapa profesor itu bahkan pernah menjadi kandidat penerima Nobel Ekonomi. Namun di sini, di bawah patung Robert de Sorbonne yang durja, tak mampu kutemukan sepatah pun kata untuk membalas surat ayahku.
Kuulangi membaca surat itu, sepucuk surat yang amat biasa sebenarnya, namun setiap kalimatnya mengandung seribu cerita tentang seorang pria penganut kebenaran hidup yang sederhana seperti ayahku. Dadaku sesak karena keluguan surat itu telah membuatku merasa sangat malu pada diriku sendiri, pada harapan duniawiku yang egois dan materialistik. Ayahku dengan ketulusannya yang tak terukur, dengan pensiun Rp87.30D masih bersemangat memikirkan nasib orang-orang di kampungnya, masih sempat memikirkan apa yang terbaik untuk bangsanya.
Aku membuka tasku, mengeluarkan bungkusan kecil yang dititipkan ayah di Bandara Buluh Tumbang di Tanjong Pandan dulu, yang dipesan-kannya agar dibuka setelah aku sampai di Prancis. Bungkusan itu berisi kain sarung yang biasa beliau pakai jika ke masjid. Aku mencium kain itu lama-lama, aku mencium bau laki-laki pendiam yang selalu menghangatkan hatiku, selalu membelaku apa pun yang terjadi. Sarung itu mengembuskan aroma kebaikan hati dan kasih sayang yang melimpah ruah untukku, menyesaki rongga-rongga dadaku. Lalu aku terkenang, dulu Ayah mengajariku melilit sarung di pinggangku dengan sarung itu. Dan, tak 'kan pernah kulupa, aku dibonceng ayahku bersepeda ke bendungan. Sepanjang jalan beliau menasihatiku tentang kedamaian hidup seperti dicontohkan burung-burung prenjak berdasi, capung-capung, dan kecebong. Pulangnya, aku dibelikan tebu yang ditusuk tangkai-tangkai lidi. Air mataku meleleh. Ayahku adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku. Aku rindu pada ayahku, sangat rindu.
***
MOZAIK 24: Paradoks Ketiga
Paris di hari-hari akhir musim salju tak ubahnya gemerincing snare drum musik country jazz Norah Jones: simpel, terduga, dan menimbulkan perasaan senang. Nada-nada yang riang bereskalasi mengiringi kerak es yang luruh dari tiang-tiang telepon, meteran parkir, kanopi, lengan-lengan jembatan, papan tulis tarif kafe-kafe, batang-batang pohon shagbark hickory dan billboard.
Matahari adalah tukang tenung. Jika bangun subuh, selempang merah membujur di langit timur menjelmakan atap-atap bangunan sepanjang L'Avenue de la Baurdonnais menjadi sayap-sayap burung starling yang mengibas sisa es di bibir talang, di rongga-rongga pancuran dan topi-topi cerobong asap. Rombongan tikus kelabu, kelinci, dan rakun tersembul-sembul dari timbunan dedaun¬an Ulmus montana. Anak-anak tupai mengintip lalu melompat dari celah-celah akar atau dari siku-siku bangku taman. Semuanya berdendang girang, ribut berjingkat-jingkat ditingkahi perkusi pohon poplar yang dipatuki burung-burung pelatuk. Meriah!
Paris memuai menyambut musim panas. Hati yang menciut kedinginan dan mudah putus asa, karena bisikan jahat musim es, kembali merona. Apa pun yang pucat menjadi kuning, kuning menjadi merah, dan kelabu menjadi hijau. Dan merekahlah senyum kondektur metro yang cemberut saja tiga bulan terakhir ini. Tukang bunga menyapa setiap orang yang lewat. Tukang kebab, orang-orang Turki yang terkenal pelit itu, membanting harga sesukanya, penuh pengertian pada mahasiswa negeri Dunia Ketiga. Polisi pun menjadi lebih ramah. Tekanan hidupku sebagai minoritas mencair karena semua orang bicara dalam bahasa yang sama: summer time\ Liburan!
Di teater-teater, para penata artistik mem¬bongkar dekorasi gotik nan kelam. Lakon-lakon musim salju: Bram Stoker's Dracula yang berdarah-darah, Caliguta yang saling bunuh, Raja Arthur yang penuh intrik, diganti dengan pentas Sound of Music. Backdrop-nya pegunungan hijau Switzerland, awan-awan cerah, dan kawanan biri-biri gendut. Penonton bersukacita menonton drama musikal di mana pemerannya para petani, gadis-gadis kecil, penggembala, semuanya tersenyum, bahkan biri-biri gendut itu, tersenyum.
Kisah kaum marjinal yang tertindas, orang-orang yang terbuang karena sikap politik mereka, hikayat orang-orang Kiri, kejahatan kemanusiaan, pelanggaran hak asasi, dan kelakuan represif penguasa, berganti menjadi tema-tema urban yang kreatif. Jika sebelumnya penuh dengan kisah pilu, bahkan kebahagiaan ditangisi, kini pentas diisi oleh aktor yang menertawakan kesusahan. Itulah kisah romansa seorang tukang ledeng, kisah ringan persahabatan tukang koran dan pramuniaga, cerita konyol sebuah keluarga yang mendapati gadis kecilnya bertato di bagian tubuh yang agak pribadi, atau kisah transeksual yang pahit tapi disajikan secara jenaka.
Yang paling kusuka dari teater musim panas adalah cerita orang-orang kaya baru Asia yang berbelanja ke Paris. Pulang ke tanah air, mereka petantang-petenteng mengaku telah menjelelajahi butik Prada sepanjang L'Avenue des Champs-ElyseeSj padahal hanya memborong baju obral di Mal Lafayette. Namun, yang kutonton berulang-ulang adalah parodi, inspired by a true story, tentang dilema seorang mahasiswa Indonesia di Paris yang menjadi guide bagi para petinggi yang ingin berutang. Parodi ini mencapai klimaks saat para petinggi Jepang, yang memberi utang, datang ke tempat pertemuan dengan mobil mini bus carteran, sedangkan para petinggi Indonesia, yang berutang, datang satu per satu dengan limousine. Di panggung teater musim panas di Paris, kutemukan paradoks ketiga.
Aku melekatkan telapak tangan di patung batu Fountaine Wallace dan menempelkan kehangat¬annya di pipiku. Aku merasa senang, tapi gelisah. Gelombang demi gelombang turis membanjiri Paris. Galeri-galeri dipadati pengunjung. Antrean tiket meluber ke jalan raya. Paris seperti festival! Karavan-karavan gipsi memenuhi lapangan-lapangan kosong, mengusik sesuatu yang lama bersemayam dalam diriku, yaitu mimpi-mimpi lama kami: menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Namun, ini bukan persoalan gampang. Masalahnya klasik: biaya. Sedang Benua Eropa amat luas. Satu per satu sajalah, mengelana Eropa dulu baru memikirkan Benua Hitam itu. Afrika, pada tahap ini, tak lebih dari keputusan generik setelah kami merambah Eropa. Afrika menjadi semacam harapan yang tidak realistis.
Aku dan Arai sibuk seperti tupai mengumpulkan biji-biji pinang. Kami banting tulang mencari uang. Melalui persekongkolan dengan beberapa imigran gelap, aku men-dapat pekerjaan part time sebagai door man, tukang buka pintu di Restoran La Jaconde di Goncourt. Meskipun seragamku sangat anggun, lengkap dengan topi tingginya, dan ayahku pasti bangga melihatnya, namun pekerjaan doorman adalah pekerjaan yang mengerikan.
Pekerjaan Arai, jauh lebih mengerikan. Ia men¬jadi tukang lift di sebuah hotel di kawasan Grands Boulevards. Dengan seragam berpangkatnya, laki-laki kurus tinggi itu terkurung berjam-jam dalam ruangan sempit lift. Jika sedang tidur sering kulihat jempolnya mengacung-acung, seperti orang me¬mencet-mencet tombol lift. Sayangnya, usai kontrak kerja musiman itu kami hanya mampu mengumpulkan sedikit uang.
Kami tak surut. Cita-cita yang telah terpatri lama itu tak boleh gagal begitu saja. Sekaranglah saat mewujudkannya, right here, right now. Aku kembali bekerja. Tiga pekerjaan sekaligus: enam jam sebagai editor naskah ilmiah ekonomi untuk tabloid universitas, dua jam mengajar statistik di sebuah akademi, dan empat jam menjaga toko kelontong milik seorang Pakistan di Oberkampf, melayani ibu-ibu Prancis yang membeli bawang Bombay.
Arai, sejak dulu memang selalu mendapat pekerjaan yang menggiriskan. Ia hanya mendapat satu pekerjaan, yaitu di pabrik boneka. Ia bekerja delapan jam penuh menyematkan peniti berpita di dada boneka anjing. Setiap kali anjing pudel itu tertekan, ia akan menyalak nyaring. Jika Arai sedang tidur, aku sering mendengarnya mengigau: Kaing1. Kaing1. Kaiiiiiing ...I
Malangnya, setelah seluruh uang hasil jerih pa¬yah itu dikumpulkan, kami bahkan tak mencapai angka sepersepuluh dari anggaran minimum untuk menjelajah Eropa. Jika dipaksakan, kami bahkan tak 'kan mampu beranjak dari Eropa Barat.
Sebenarnya ada cara yang lebih murah, yaitu mengikuti paket hemat agen travel. Tapi kami tak sudi. Agen travel hanya cocok untuk para pensiunan. Perjalanannya tak dapat disebut sebagai penjelajahan. Kami ingin backpacking, tidur dalam sleeping bag di stasiun, terminal, emper toko, dan taman-taman. Kami ingin mengunjungi tempat-tempat yang tak dikunjungi turis, menelusuri jalur yang bukan jalur wisata. Kami ingin melihat inti sari kehidupan bangsa-bangsa Eropa sampai ke pelosoknya. Kami tak mengharapkan perjalanan yang mudah. Kami ingin tantangan yang meng¬getarkan. Inilah esensi petualangan. Kami tak berselera bepergian dengan agen travel yang umumnya dilakukan mahasiswa Indonesia, baik yang baru maupun yang sudah karatan di Eropa. Mereka berkerumun, pelesiran duduk rapat-rapat sesama spesiesnya sendiri. Kelihatan betul mentalitas kolektivis dan komunalnya.
Namun, semuanya tetap muskil tanpa sejumlah uang. Bagaimanapun kami nekat berangkat tanpa bekal, pengurusan visa harus tetap pakai uang. Kami telah bekerja habis-habisan dan sekarang hilang akal. Liburan musim panas makin dekat. Dalam siksaan frustrasi yang memuncak, keajaiban itu datang. Kami menerima e-mait.
Oiik, guys!! How is life?
Hinggu depan aku ke Paris, fashion show untuk summer, di Various, kecemu ya ....
Cheers Bamke Soiners
Aku melonjak. Kuingat kata Arai dulu waktu ka¬mi menerima pengumuman beasiswa ke Sorbonne: bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu. Membaca e-mail Famke, aku mendapat firasat, gadis cantik Belanda itu akan memberi solusi untuk kami.
***
MOZAIK 25: Artikulatif
Waktu pertama bertemu dengannya di Bandara Schippol dulu, aku telah melihat supermodel Daria Werbowy dalam diri Famke Somers. Kawan, apa yang bisa kukatakan padamu tentang Daria Werbowy? Kurasa, meski bagian dari keindahannya, sedikit kurang respek kalau ia kurepresentasikan lewat nomor-nomor lingkar dada, pinggang, dan pinggulnya. Kuharap cukup artikulatif kalau kubeberkan angka-angka ini: 180 dan 52. Itulah tinggi dan beratnya dalam sentimeter dan kilogram. Maka ia adalah tiang listrik. Tiang listrik yang jelita, namun dialah satu-satunya alasanku menonton Fashion TV.
Jika ia melenggok di atas catwalk, membawakan rok belah tinggi Christian LaCroix, ekspresinya tak ambil pusing, langkahnya tergesa-gesa, kakinya yang panjang silang-menyilang tangkas, seperti pemain center back sepakbola ingin merobohkan striker. Sering aku cemas, kalau-kalau cara berjalan seperti itu membuatnya turun berok.
Sejak Werbowy dibaiat sebagai supermodel, aku terus mengikuti kabarnya. Ia membuatku memahami bahwa sikap obsesif perempuan terhadap make up dan busana, memang beralasan. Tapi sebenarnya aku tak pernah peduli soal rancangan haute couture yang ia pakai. Aku kagum padanya sebagai pribadi. Karena ada kecerdasan di balik seluruh kesan kecantikannya dan karena penolakannya memakai busana dari kulit binatang. Werbowy, manifestasi keindahan perempuan sebagai seni, pengejawantahan sesuatu yang jauh, telah menjadi semacam ilham bagiku. Ia hadir dalam imajinasiku seperti gambar yang mengawang-awang, biarlah begitu.
E-mait Famke hari ini membuktikan instingku itu. Aku yakin, suatu hari nanti perempuan Belanda yang semlohai itu akan menjadi seperti Werbowy. Yang aku tak yakin justru benda yang kupegang saat ini: undangan. Sebuah event organizer mengundangku dan Arai untuk acara fashion show, tentu saja karena permintaan Famke secara pribadi. Kami bingung karena tak tahu apa yang akan dikenakan untuk acara bergengsi itu. Beruntung mantan majikan kami bersedia membantu. Akhirnya, kami hadir dalam acara hebat itu mengenakan setelan jas door mari dan lift man yang sedikit dimodifikasi.
Kami duduk di nomor kursi paling belakang, tak dipedulikan siapa pun. Tak mengapa, karena lihatlah di situ. Tak jauh dari kami, di bangku-bangku depan itu paling tidak aku melihat Jennifer Jason Leigh, Keira Knightley, Sharon Osbourne, dan Victoria Beckham. Di belakang mereka, tak kurang dari hair stylist ternama yang sering kulihat di Fashion TV; Laurent Philippon, sedang cekikikan dengan desainer yang amat berbakat Elie Saab. Para fashion editor, paparazzi, dan fotografer dari Vogue dan majalah-majalah mode terkenal seperti Carine Roitfield, Mario Testino, Robert Rosen, Jennifer Houston, sibuk tak keruan.
Hentakan halus tone-tone techno memasuki ruangan, fade in. Hentakan makin keras. Diiringi tepuk tangan meriah, turunlah bidadari dari khayangan. Satu per satu kemudian berduyun-duyun, melangkah di atas catwaik, cepat bersaling silang, tak peduli. Aku terpana melihat pemandangan anggun di depanku. Fashion show haute couture di Paris bukan sekadar soal sandang tapi keseluruhan konsepnya adalah karya seni adiluhung. Kami bertepuk tangan keras-keras melihat Famke Somers muncul dari balik pang-gung. Ia melenggang penuh gaya membawakan busana bernuansa gipsi: boho, trend musim panas tahun ini. Sekonyong-konyong, baru saja menikung dengan elegan dari arah belakang, muncullah si bohemian Ukraina yang jelita itu. Napasku macet. Ia memandang lurus, sedikit sombong, tubuhnya meluncur, wajahnya dramatis. Aku melonjak dan bertepuk tangan sejadi-jadinya seperti menyemangati Liem Swie King melawan Misbun Sidek dalam skor 14-14. Kawan, tahukah dirimu? Si bohemian yang baru saja menikung itu adalah Daria Werbowy!
***
Usai acara Famke mengajak kami ke Museum Le Louvre. Di sudut halamannya penonton berdesakan mengelilingi seniman-seniman muda yang menampilkan koreografi pirouettes: penarinya berputar sambil saling menumpukan kaki pada penari lain. Koreografi baroque itu menjadi menawan karena mereka gabungkan dengan gaya tari kontemporer. Semarak. Perkusi berdentam-dentam nakal menggoda penonton untuk ikut bergoyang. Para penari itu adalah sahabat sekelas Famke dari Amsterdam School of the Arts. Famke bergabung dengan mereka, menari berputar-putar. Pengunjung tak henti-henti melemparkan koin Euro ke dalam topi yang disediakan untuk menampung sumbangan.
Kami ceritakan pada Famke rencana kami keliling Eropa dan kesulitan yang kami hadapi.
"Mengamen saja di jalanan," sarannya ringan.
Kami tertegun, bimbang. Tapi Famke serius.
"Mengapa tidak? Kalian lihat kan uang dalam topi tadi?"
Aku berpikir keras. Tawaran itu konyol tapi sangat masuk akal. Selama musim panas memang banyak orang membiayai perjalanan keliling Eropa dengan mengamen dari kota ke kota. Tapi mereka adalah seniman jalanan profesional., mahasiswa-mahasiswa seni, atau komunitas yang punya kultur tampil di jalanan seperti kaum gipsi. Sedang kami tak bisa menyanyi, tak rancak menari, tak pandai berakting, menyulap, atau memainkan alat musik. Famke membaca pikiran kami. "Jangan cemas, Kawan,"
Ia mengamati kami. Gagasan kreatif pasti sedang berpijar-pijar dalam kepalanya.
"Berapa tinggimu?" ia menanyai kami satu per satu.
"Temui aku di Amsterdam minggu depan. Aku punya solusi untuk kalian, ok?"
Kami penasaran tapi tak bertanya. Sebagai mahasiswa seni yang cemerlang, kami yakin ia tahu apa yang sedang ia rencanakan. Menurut istilah Arai, Famke punya wewenang ilmiah dalam bidang seni jalanan. Diam-diam aku merasa gembira. Di sekitar kita ada kawan yang selalu hadir sebagai pahlawan. Famke adalah kawan semacam itu.
***
MOZAIK 26: Cinta Adalah Channel TV
Hari ini aku menjemput Katya di stasiun. Hampir sebulan ia di Bayern. Aku rindu padanya. Tapi aneh, aku berusaha mengalihkan rindu itu dengan mengamati backpacker Kanada yang sedang mengemasi sleeping bag setelah semalam mereka tidur di taman dekat stasiun. Tak tahu mengapa, aku tak ingin memikirkan Katya, malah yang kubayangkan adalah penjelajahan backpacker Kanada yang mengagumkan. Aku telah mempelajari bahwa backpacker Kanada adalah explorer dengan jarak tempuh amat jauh, yang terdampar di Paris musim panas tahun ini telah melintasi India dan melalui jalan darat menembus Bangladesh, Burma, Malaysia, bahkan menyeberang ke Belawan, Sumatra Utara. Mereka kompak, egaliter, dan penolong. Kuat dugaanku, tradisi backpacking dan kode etik tak tertulisnya dimulai oleh backpacker Kanada. Ke mana pun pergi, mereka selalu membawa gambar identitas bangsanya: daun maple.
Katya, turun dari kereta, dengan pesona yang lebih dari saat ia berangkat. Hari-hari berikutnya kulalui dengan rutinitas yang biasa dengan Katya. Tapi seperti musim, rupanya aku telah berubah. Kini aku dilanda perasaan ganjil: setiap melihat Katya, yang kulihat A Ling.
Belasan tahun cinta pertamaku dengan A Ling terkunci dalam diriku, lekat dan indah. Cinta A Ling menimbulkan perasaan seperti aku baru pandai naik sepeda. Ia se-perti kembang api, seperti pasar malam, seperti lebaran. Cintanya mengajakku menulis puisi, cintanya adalah sastra. Sebaliknya, cinta Katya amat berbeda. Cinta Katya adalah kemistri. Cintanya memancing caudate nuc/eus dari sudut-sudut gelap otak, menyalakan dopamin pengundang risiko-risiko moral, dan memantik simpul-simpul saraf yang mengobarkan ide-ide platonik.
Pada suatu kesempatan, saat aku mengantar Katya pulang, aku bertanya, "What love means to you, Katya?"
"Aaa, my man ... cinta adalah channei TV! Tak suka acaranya, raih remote-mu, ganti saluran, beres!"
Aku terkesiap. Sedalam mana pun perasaanku, sehebat apa pun teoriku, semudah itu saja! Bagaimana kalau nanti aku menjadi acara TV yang membosankan? Seperti sinetron atau acara Dari Desa ke Desa? Hari ini aku mengenal satu sisi Katya yang harusnya sudah kupahami sejak dulu. Cinta bagi wanita cantik ini adalah katarsis. Tak ada yang salah dengan hal itu, apalagi itu haknya, namun ia dan nilai-nilai yang dianutnya menimbulkan situasi oportunistik bagiku. Sebenarnya, dengan sedikit sikap culas, aku bisa meraup keuntungan besar dari wanita yang setiap aspek dalam dirinya diidamkan setiap laki-laki ini. Katya bak buah khuldi yang ranum, cintanya simalakama. Dilematis, dilematis!
Kukatakan pada Katya apa arti cinta bagiku, sangat India. Biar lebih dramatis, kutambahkan bahwa kami mengalami apa yang disebut pengacara perkara rumah tangga di Hollywood sebagai irreconciable differences, perbedaan yang tak dapat didamaikan. Ia mendekatiku dengan suatu gerakan slow motion. Tapi aku telah berketetapan hati untuk mengakhiri romansa, dan telah kusiapkan kalimat memuakkan: cinta tak harus saling memiliki1. Sangat Indonesia. Ternyata ia menghormati perbedaan itu. Sampai di sini cintaku dengan perempuan Jerman itu khatam. Selanjutnya, kami menikmati saat-saat turning back a iover into a friend, membalikkan lagi dari pacar menjadi teman, rupanya, bisa juga menjadi indah.
***
Katya adalah perempuan menawan yang akan selalu menjadi sahabat baikku. Tak 'kan kulupa ia pernah membuatku merasa ganteng. Kuceritakan pada MVRC Manooj bahwa aku walk out dari Katya, ia menggoyangkan kepalanya tujuh kali. Kamu bodoh sekali1. Itulah maknanya. Namun, bukankah sejarah pribadi bergantung pada bagaimana kita membuatnya? Orang-orang bisa saja mengenangku sebagai si naif yang hipokrit, tapi aku tak ingin mengenang diriku sendiri sebagai seorang oportunis. Aku senang telah mengenal Katya, terutama karena perempuan canggih dari Eropa itu telah memberiku pelajaran moral nomor dua belas yaitu: ke mana pun tempat telah kutempuh, apa pun yang telah kucapai, dan dengan siapa pun aku berhubungan, aku tetaplah seorang lelaki udik, tak dapat kubasuh-basuh.
Kini tak lagi kulewatkan sore sambil minum teh Prancis mefange quartier di balkon apartemen Katya. Sore ini aku melamun sendiri di pinggir Sungai Seine. Aku merindukan A Ling, rindu pada senyumnya ketika melihatku, rindu pada caranya melipat lengan bajunya, dan rindu pada paras-paras kukunya. Aku ingin bertemu, tapi ia masih raib. Kata A Kiong sepupunya, mungkin A Ling di Singapura atau Eropa untuk belajar merancang busana, sesuai cita-citanya dulu. Mungkinkah A Ling berada di suatu tempat di Eropa atau Afrika? Bagaimana cara menemukannya? Yang dapat kulakukan hanya mengetik namanya di mesin-mesin pencari Internet: Njoo Xian Ling + Fashion + Hokian + Europe + Africa, dan muncullah ratusan nama dengan beragam kejadian dan profesi. Kulebarkan spektrum pencarian. Jangan-jangan ia juga sudah punya internationaf name. Kuketik Emily Ling, Patricia Ling, atau Margareth Ling, tumpah ruah.
Di Prancis sendiri kutemui tiga Njoo Xian Ling.
Salah satunya ternyata tinggal di Apartemen Chevalier, hanya satu blok terpisah dari apartemenku di La Rue Hector Mallot. A Ling, yang rasanya telah kucari seumur hidupku, mungkin saja selama ini hanya terpisah satu blok dariku. Kuharap ia tak punya anak lima dan bersuamikan seorang pialang saham serupa Hugh Grant.
***
Aku bergegas ke Chevalier dengan seribu doa di hatiku. Salah satunya, "Ya, Tuhan, kalaupun A Ling harus bersuami, tolong, tolong Tuhan, suaminya jangan setampan Hugh Grant!"
Landhrd Chevalier memberi tahuku nomor pintu ruangan Njoo Xian Ling. Aku nervous mendekati pintu itu. Aku memencet bel, seorang pria Tionghoa yang sangat tua membuka pintu. Matanya bengkak. Rupanya sejak tadi, atau mungkin sejak pagi tadi, ia menangis. Pelupuknya lebam seperti petinju kena hantam. Ia sesenggukan.
Aku masuk ke ruang tamun dan bertanya, "Njoo Xian Ling ...?"
Lali-laki tua itu mengangkat wajahnya. Ia menangis sejadi-jadinya seperti anak kecil kena knalpot. Ia memelukku seolah dirinyalah manusia paling malang di dunia ini.
"Kamerad katanya, sambil memandang sebuah foto.
"Kameraaad begitu berulang-ulang.
Kutangkupkan foto itu, baru ia sanggup bicara.
Rupanya istrinya, Njoo Xian Ling, baru saja meninggal dalam usia 70 tahun. Kami berbincang sebentar. Aku berusaha menghiburnya.
Aku meninggalkan Apartemen Chevalier dengan perasaan campur aduk. Aku prihatin pada nasib Vung Hong, lelaki tua itu, yang kini harus hidup sendiri, aku sedih karena tak menemukan A Ling, namun kamerad Hong tak setampan Hugh Grant, aku senang.
***
Njoo Xian Ling kedua jauh di luar kota. Di Bordeaux. Ternyata ia bayi perempuan berusia tiga bulan. Gendut dan lucu. Bapaknya, yang senang dapat anak perempuan, setelah enam orang anak laki-laki, mengabarkan berita itu ke mana-mana, sehingga Njoo Xian Ling cilik muncul di search engine Internet. Mereka gembira menerimaku. Aku diberi panggilan kehormatan: Paman Ikal.
Njoo Xian Ling yang ketiga, lebih jauh lagi. Di kota pantai yang terkenal, Cannes. Berjam-jam aku naik kereta ke sana. Pagi-pagi aku mempersiapkan diri dengan mengenakan pakaian terbaik. Aku ingin terlihat ganteng kalau nanti A Ling menemuiku. Di kios bunga aku membeli anemon, kuntum-kuntumnya putih memesona. Aku bergegas menuju alamat rumah seperti disebut di Internet. Tiba di depan rumah itu semangatku tiarap karena Njoo Xian Ling adalah sekeping papan. Papan nama kios binatu. Sungguh mengenaskan.
Aku kembali ke Paris dalam keadaan frustrasi. Barangkali aku telah melakukan hal-hal yang tak masuk akal. Tapi hanya itu yang dapat kulakukan untuk melipur rinduku, selain membaca novel Seandainya Mereka Bisa Bicara karya Herriot, kenangan A Ling untukku. A Ling menandai cerita tentang keindahan Desa Edensor dalam novel itu. Kubaca bagian itu berulang-ulang. Desa khayalan Edensor itu seakan membuka jalan rahasia dalam kepalaku, jalan menuju penaklukan-penaklukan terbesar dalam hidupku, untuk menemukan A Ling, untuk menemukan diriku sendiri.
"Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seakan berguling ditelan langit sebelah barat. Bentiknya laksana pita kuning dan merah tua. Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu lalu terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembah-lembah nan hias. Di dasar lembah sungai berliku-liku di antara pepohonan. Rumah-rumah petani Edensor yang terbuat dari batu-batu yang kukuh dan berwarna kelabu bak pulau di tengah ladang yang diusahakan. Ladang itu terbentang seperti tanjung yang hijau cerah di atas lereng bukit. Di pekarangan, taman bunga mawar dan asparagus tumbuh menjadi pohon yang tinggi. Buah persik, buah pir, buah ceri, buah prem, bergelantungan di atas tembok selatan, berebut tempat dengan bunga-bunga mawar yang tumbuh lia.
***
MOZAIK 27: Pertaruhan Nama Bangsa
Gila!
“F0##ing nutsl"
Townsend histeris mendengar rencanaku dan Arai. Kafe Brigandi et Bougreesses hiruk-pikuk. Semua orang membuat ancang-ancang untuk liburan musim panas. Sahabat sekelasku merubung kami.
"Mengamen untuk biaya keliling Eropa? Sampai ke Afrika? Gila sekali! Belum pernah kudengar ide sekonyol itu."
"Tahukah kalian? Paling tidak, tiga puluh satu negara harus kalian lintasi, dan Rusia? My God! Daratannya hampir separuh dunia."
Yang lain komat-kamit, bergumam-gumam, sambil menggeleng-gelengkan kepala, sepakat dengan Townsend. Impossible, celetuk mereka.
"Apa kalian mampu? Hidup seperti seniman sirkus gipsi?"
Aku berkecil hati.
"Tak terbayangkan kesulitan yang akan menimpa kalian."
Pendapat gadis Vermont itu sangat benar. Ia nyerocos lagi.
"Tampil di jalanan? Dari kota ke kota? Kalian bisa mati kelaparan! Atau diciduk polisi! Kalau aku? Ha! No way, tak sanggup."
Melihat Townsend mengerut, Stansfield mendongak. Ia pasti ingin memperlihatkan dirinya lebih unggul dari perempuan Amerika itu. Sejak tukar guling D'Archy dan Bobby Cash, persaingan Townsend dan Stansfield makin membara. Stansfield bersungut-sungut meremehkan Townsend.
"Ah, aku pernah ngamen main trombon di Piccadilly, London. Dapat duit lumayan. Berani, itu saja modalnya."
Townsend memutar lehernya, menatap Stansfield tajam. Ia tersinggung.
"Maksudmu? Kau ingin mengatakan aku penakut?"
"Maksudku, aku pandai main trombon Stansfield pamer dan mengejek. Kalimatnya kalem tapi menikam.
Townsend panas. Ia melengking, "Tadi kau bilang aku penakut? Sekarang kauhilang aku tak bisa main musik?!" Perang!
"Geee ... aku jago main akordion, tahu! Aku pemain akordion yang hebat, lebih hebat dari siulan trombon bodohmu itu!"
Siulan? Main trombon dianggap bersiul? Kurang ajar betul. Semua orang tahu trombon adalah alat musik yang tingkat kesulitannya bisa bikin senewen. Jangankan mencari nadanya, agar benda itu bisa berbunyi saja diperlukan latihan yang bisa membuat orang kena hernia. Stansfield muntab. Kedua bilah gigi taringnya memanjang, rambut pirangnya menjadi api. Kawan, perempuan yang marah sama sekali jangan dianggap enteng!
"Mau bertaruh denganku? BoIIockV
Townsend tak kalah gertak, "Semburkan taruh-anmu, bitch\ Kalau aku main akordion di Piccadilly, aku akan dapat duit lebih banyak darimu!"
"Ayeee ... tahu apa orang Vermont soal akordion? Bangsa petani gandum. Inggrislah kantor pusat musik dunia Stansfield menohok sarkastik.
Townsend tertusuk. Ia naik pitam. Kecantikan janda kembang Jennifer Aniston-nya menguap. Dihantamkannya sloki di atas meja kayu. Sisa rum yang tergenang di dasarnya tempias ke wajah MVRC Manooj.
"Tarik kembali kata-katamu itu!!"
"F@##ing Bhtl Ayo bertaruh!!"
Situasi jadi sangat serius. Bartender Piere De-lano sampai mematikan Snoopy Doggy Dog yang berdentum-dentum menimpali pertengkaran yang buruk itu. Stansfield menenggak tandas martini di gelasnya. Ninoch, aku, Arai, Gonzales, MVRC Manooj, kelompok Jerman, dan Belanda yang mengelilingi kedua perempuan itu, terpaku pada perseteruan yang memuncak antara perempuan Inggris bangsa penakluk dan wanita Amerika berkepala batu. Stansfield mendekatkan wajahnya ke wajah Townsend, hidung bengkok paruh bayan mereka hampir bersentuhan. "Anytime, anywhere
Townsend berpaling padaku, meradang. Aku gemetar. Lalu ia mengatakan sesuatu yang mungkin akan disesalinya nanti.
"Oke, Andrea, tadi perempuan Inggris ini bilang aku penakut, lalu dia bilang aku tak bisa main musik. Catat ini: aku juga berani keliling Eropa, ngamen main akordion!"
Kami tersentak. Ia ingin ikut ngamen? Mana mungkin? Ide ngamen keliling Eropa saja sudah cukup sinting, berbahaya, dan masih jadi polemik. Pertaruhan Townsend sangat besar. Begitulah, Kawan, baru saja kukatakan padamu, perempuan marah, jangan sekali-kali dianggap enteng. Katya menengahi.
"Sudahlah, Townsend, tak usah emosi. Jangan mau bertaruh bodoh seperti itu. Jangan kauikuti Andrea dan Arai. Mereka memang sudah tidak waras."
Tapi Katya salah duga. Bagi Townsend masalahnya bukan lagi keliling Eropa ngamen main akordion, masalahnya adalah ia gelap mata karena bernafsu menjatuhkan mental Stansfield. Bagi mereka, ini sama sekali bukan soal pertaruhan mengelana Eropa, tapi ini soal hierarki Maslow: self esteem. Sebaliknya, Townsend salah duga, orang Inggris telah menaklukkan segala hal sejak abad permulaan. Jangan coba-coba menantang orang
Inggris, mereka tak 'kan surut.
"Kaukira aku tak berani keliling Eropa ngamen main trombon?!"
Nah, persaingan perempuan! Adalah hal yang sangat ajaib. Profesor Michael Porter ahli strategi persaingan sekalipun, belum tentu dapat mengurainya.
"Mamma mia desah Gonzales.
MVRC Manooj tegang. Tapi aku dan Arai bersorak, sebab rencana kami mendapat partisipan, meskipun secara tak sengaja akibat pertaruhan gengsi dua wanita.
Melihat kami girang, atau karena undangan magis musim panas, MVRC Manooj tergoda. Ia sendiri sudah lama ingin keliling Eropa.
"Kalau begitu, aku juga bisa keliling Eropa, ngamen menari goyang kepala. Aku ikut bertaruh."
Kami terperanjat. Kafe Brigandi et Bougrees-ses makin gaduh, aku sampai berteriak agar terdengar.
"MVRC Manooj, Sahabatku, sudahkah kaupikirkan benar-benar?"
Lelaki Punjab itu menggoyangkan kepalanya ke depan, lalu ke kiri kanan, dan ke belakang tiga kali, persis bangau kena jerat cekik. Artinya: aku yakin!
Meledaklah suasana. Sebagian pengunjung mendukung MVRC Manooj. Ia menggoyang-goyangkan lagi kepalanya, lemah gemulai tak henti-henti, tanda hormat pada pendukungnya. Ruangan disesaki euforia musim panas. Winter sickness telah dilungsurkan oleh summer fever.
Gonzales pun terhasut, "Amigo, aku ikut denganmu, Andrea! Catat ya, aku juga bertaruh! Aku akan beratraksi memainkan bola kaki di pinggir jalan!"
Hadirin bersorak-sorai mendengar rencana ajaib itu. Banyak yang mendukung, banyak pula yang meragukan. Namun, di tengah suara gaduh kami sontak terdiam, karena ada suara kecil timbul tenggelam, terjepit mencari perhatian.
"Aku mau ikut, Kawan, aku mau ikut .,,!"
Kami melongok menuju suara yang halus itu, dan semua orang tak percaya, suara itu datang dari Ninochka.
"Aku ingin ikut katanya mengacungkan jarinya malu-malu.
Ninoch menatap polos puluhan pasang mata yang memelototinya.
"Maksudmu kau juga ingin ikut bertaruh, Noch-ka?" tanya D'Archy.
"Iya, aku ingin bertaruh. Boleh, kan?"
Hadirin saling pandang. Secara fisik Ninoch tak mungkin menjelajah Eropa, apalagi dengan cara backpacking. Ia lemah, pucat, dan penyakitan. Bukan baru sekali aku melihatnya berpegangan pada para-para parkir sepeda karena sempoyongan diterpa angin. Amat berbeda dengan Stansfield dan Townsend. Mereka adalah Xena dengan tinggi di atas 175 senti. Stansfield berlari paling tidak lima kilometer setiap hari dan mampu push up sebelah tangan sampai lima belas kali. Townsend seorang lifter. Aku pernah melihatnya mengangkat barbel 110 kilogram secara clean and }erk\ Tendangan
Taekwondonya pernah membuat tukang sobek tiket klub Fat Lover tak masuk kerja tiga hari. Tapi, bukankah kami sedang berada di Prancis, salah satu negara paling demokratis di muka bumi ini? Hak Ninoch dijamin undang-undang.
"Apa yang akan kaulakukan, Gadis Kecil?" tanya Gonzales bimbang, disertai senyum sok macho yang mengandung kesan: Ini urusan orang dewasa. Dik. Berkelana keliling Eropa perlu mental dan tenaga baja. Kamu anak kecil, tahu apa? Cuci kaki1. Tidur sana1.
Ninoch menjawab kalem, "Aku kan pandai main catur? Aku akan main jebakan catur di pinggir jalan. Tiga langkah skak mati dan aku dapat duit. Lumayan, kan?"
Tak pakai pikiran! Nekat, lucu, dan lugu minta ampun. Namun serempak, seisi kafe bertepuk tangan mendukung, lebih heboh dari dukungan pada Gonzales.
Aku takjub melihat perkembangan rencana kami karena kami sendiri belum tahu akan diapakan oleh Famke Somers. Bahkan Ninochka ikut bertaruh, walau aku menduga, ia nekat karena tak tahan ditinggalkan Gonzales dan MVRC Manooj selama musim panas. Hanya dua orang itu sahabat karibnya. Ide-ide sinting memang selalu memiliki dua dimensi: dicemooh atau diikuti orang-orang frustrasi.
Kami langsung menyusun aturan pertaruhan. Sederhana saja: yang dapat menempuh paling banyak kota dan negara, dialah pemenang. Kehadiran di setiap kota dibuktikan dengan meng-up had foto digital ke yahoophoto sehingga dapat dipantau lewat Internet. Hukuman bagi yang kalah, yang menempuh paling sedikit kota dan negara, amat mengerikan, yaitu mengurus taundry peserta lain selama tiga bulan, membayar cover charge untuk c/ubbing, dan yang paling meng-giriskan, harus menuntun sepeda secara mundur dari museum legendaris Le Louvre ke gerbang L'Arc de Triomphe melintasi kawasan paling prestisius di Paris: L'Avenue des Champs-Elysees. Sepeda yang dituntun akan digantungi pakaian-pakaian rombeng. Pasti tak tertanggungkan malunya ditonton, dipotret turis, dan jika apes, ditanyai polisi, lalu diborgol, atau diciduk petugas dinas sosial, disangka edan, dan dicekoki obat pelembut perangai xanax. Membayangkannya saja aku tak berani.
***
MOZAIK 28: Street Performance
Paris terang benderang. Peserta pertaruhan menjelajah Eropa kembali berkumpul di Kafe Brigandi et Bougreesses dengan backpack dan properti ngamennya masing-masing. Bersukacita. Apalagi semua sahabat sekelas kami berkumpul, berteriak-teriak menyemangati jagoannya.
Gonzales mencoba-coba penampilannya. Ia memain-mainkan bola dengan kaki, dada, tandukan, bahkan dengan perut gendutnya. Ia terampil bukan main. Bola itu tak pernah sekali pun jatuh. Kostumnya? Luar biasa! Ia berpakaian sepakbola meniru tim nasional Meksiko, semarak. Senyum berbunga-bunga dari wajahnya yang Jenaka. Penampilannya semakin memukau karena setiap gerakannya diiringi tabuhan riang tabla dan goyang kepala MVRC Manooj.
MVRC Manooj sendiri tampil dengan busana yang membuat napas tertahan. Secara umum ia tampak seperti Genie yang baru menguap dari botol. Sepatunya lentik serupa perahu junk orang Tongsan. Celananya komprang berwarna hijau mencolok dari satin dan terikat ketat di bawahnya, seperti sarung nangka. Rompinya beledu berwarna marun. Mahkotanya seperti sorban Tuanku Imam Bonjol.
Gonzales dan MVRC Manooj memadukan sepak-bola dan tahan, mengawinkan gairah Meksiko yang binal dengan artistri India yang sensual. Ini konsep street performance yang genius, yang akan membuat para turis menghujani mereka dengan koin-koin Euro. Mereka bukan saja yakin akan menang taruhan tapi, dengan penampilan seperti itu, mereka bisa kaya!
Stansfield mendemokan kebolehannya. The Giri from Ipanema, dibawakannya tak kalah dari sentuhan Dizzy Gillespie. Ia meniup trombon dengan teknik tinggi, yakni mengumpulkan udara dalam mulutnya sehingga pipinya kembung, lalu dengan penataan napas yang terlatih, diselusupkannya udara itu lewat lubang sempit trombon untuk menemukan nada-nada kres dengan presisi yang menga-gum-kan. Kesulitan trombon ibarat rocket science dalam ilmu pasti. Dari sepuluh trombonis yang kudengar, tak lebih dari dua orang yang tak pernah meleset tone-nya. Stansfield yang tetap cantik meski pipinya seperti ikan mas koki dan matanya melotot, termasuk dalam dua orang itu.
Tentu saja Townsend tak mau kalah. Ia melentingkan nada-nada akordionnya bahkan saat Stansfield belum selesai dengan lagunya. Penonton
bertepuk tangan mendengarnya membawakan nada-nada riang Jerry Garcia, suatu nuansa country jazz berlandaskan musik tradisional Amerika yang juga disebut jazz blue grass, stansfield dan Townsend memang mahasiswa ekonomi, tapi mereka juga musisi berbakat.
Akhirnya, kami siap berangkat, diiringi lambaian selamat jalan para sahabat. Katya menghampiriku dan mengatakan jangan ragu menghubunginya jika kami kesulitan di jalan. Ia hadir bersama kekasih barunya. Pria itu kalem, gentleman, dan sangat baik. Ia seorang kurator di museum terkenal Musee d'Orsay, dan orang itu tampan seperti Harrison Ford. Hatiku remuk.
***
MOZAIK 29: Kutukan Capo Lam Nyet Pho
'T1 ownsend ingin membuktikan pada Stansfield bahwa jika ngamen di Piccadilly, London, ia bisa dapat duit lebih banyak dari Stansfield. Maka jalur pertamanya adalah Inggris. Stansfield sendiri memulai perjalanan melalui Swiss. Ninochka menyusuri Prancis Selatan menuju Turin, Italia. MVRC Manooj dan Gonzales merambah Belgia. Aku dan Arai, karena harus menemui Famke Somers, menuju Belanda.
Kami naik bus Euroline dari Terminal Gallieni di pinggir Paris. Semalaman, sepanjang jalan, aku dihantui bayangan rencana Famke yang masih misterius. Konsep seni jalanan seperti apa yang ia siapkan? Bagaimana kalau kami tak mampu melakoninya?
Kami tiba di poot bus Amstel lalu naik kereta sebentar ke stasiun sentral Amsterdam. Baru saja melompat dari pintu kereta, pria wanita hilir mudik di celah-celah pilar platform, berjalan atau bersepeda, meliuk-liuk menawarkan berupa-rupa narkoba. Santai saja, seperti berdagang asong.
Mengikuti sketsa dari Famke, kami melintasi centang-perenang rel trem di luar central station menuju Damrak, yang terkenal seantero jagat sebagai red zone Amsterdam. Damrak membuatku merinding. Tempat ini seperti markas besar PBB bagi kaum PSK. Dalam kamar kaca yang berderet panjang, wanita-wanita berbagai bangsa memamerkan dirinya, mengobral habis semuanya, semuanya! Di Damrak aku melihat Belanda sebagai sanctum kebebasan ekspresi, sekaligus anakronis Babylonia. Kamar-kamar kaca itu rapat memagari kiri kanan Jalan Zeedijk. Aku melaluinya dengan perasaan gugup. Hatiku berkeras tak ingin melihat, aku menunduk, tapi mata dan leherku rupanya telah bersekongkol melawan tuannya. Kurang ajar betul.
Di ujung kawasan Zeedijk, dari sebuah balkon, seseorang memanggil kami, "Oiiiikkk ...!!"
Dialah Famke Somers. Kami bersalaman. Ia memberi tempelan pipi tiga kali khas Belanda: kanan, kiri, kanan lagi, cukup menyenangkan. Famke semakin memesona saja. Kami ceritakan kepadanya bahwa rencana kami menjelajahi Eropa telah menjadi pertaruhan sesama teman kuliah di Sorbonne.
"Allright, sekarang jadi menarik, bukan?!"
Ia tentu membaca nada bicara kami bahwa kami mengharapkan solusi yang jitu darinya. Aku tak tahan, akhirnya kutanyakan konsepnya. Ia tersenyum, tak menjawab. Cukup siapkan mental saja, katanya. Aku makin penasaran. Esoknya, Minggu pagi, Famke mengajak kami ke pusat keramaian Amsterdam: Koninklijk Paleis, sebuah istana tua. Koninklijk adalah pusat keramaian Amsterdam. Halamannya luas berlandaskan paving block hitam dikelilingi toko-toko dan Museum Madame Tussauds. Ribuan orang berjalan dan bersepeda berseliweran di antara trem dan mobil. Jika musim panas, Paleis menjadi surga bagi para penampil jalanan. Di sana tampil ratusan seniman mulai dari pemain harmonika yang ditemani anjingnya, sirkus mini, musisi hippies, pemain gitar dan biola, aksi gipsi, teater jalanan, sulap dan akrobat, pembaca puisi, berbagai bentuk parodi, sampai big band lengkap dengan section alat tiup puluhan orang. Hiruk pikuk, semarak seperti festival.
Kami berlari kecil menuju sebuah apartemen di belakang Paleis. Famke mengetuk pintu. Aku tahu, solusi yang dijanjikan Famke, yang selalu menghantui kami seminggu terakhir ini, berada di balik pintu itu. Aku gugup. Pintu dibuka oleh seorang perempuan pirang yang langsung terlonjak melihatku dan Arai.
"Oik\ Aha, about t/me!!11 jeritnya bersemangat. Rupanya apartemen itu telah disulap menjadi studio. Belasan sahabat Famke dari Amsterdam School of the Arts sejak tadi menunggu kami. Kami berkenalan, lalu tanpa dikomando, setiap orang serta-merta bergerak. Artis-artis muda itu sibuk lalu lalang menyiapkan kotak make up, menyemprotkan cat pada gumpalan terpal sehingga menjadi batu karang, merangkai tali temali, membuat peti harta karun seperti dalam film Pirates of the Caribbean, menggambar sketsa-sketsa, merekatkan manik-manik, dan menata dua buah mahkota besar. Mereka cepat dan profesional. Apa yang terjadi?
Perempuan yang tadi membuka pintu, Kath namanya, mendekati kami, mereka-reka ukuran tubuh kami, mengangguk-angguk kecil seperti sedang bicara dengan dirinya sendiri, lalu ngeloyor pergi. Semuanya bekerja, tak seorang pun bicara. Famke tersenyum melihat kami. Ia menyelinap sebentar. Kemudian terdengar suara seperti ia membuka sebuah lemari besar. Lalu ia muncul lagi sambil menyeret dua potong pakaian yang membuat kami terperanjat.
Pakaian itu semacam baju terusan dari karet dengan panjang hampir tiga meter, berkilauan, karena seluruhnya ditempeli manik-manik. Warnanya metalik berkilat, sangat tebal. Pada kulitnya bertimbulan duri, sisik-sisik, dan sirip-sirip. Bentuknya demikian orisinal, seperti baru kemarin dikuliti dari makhluk dasar samudra. Keong-keong kecil, resim, dan teritip menempel di sela-sela sisik itu. Secara umum pakaian itu ganjil tapi megah, misterius, dan agak menakutkan.
"Inilah solusi yang kujanjikan untuk kalian!"
Famke bergairah. Kami terkesima. "Kalian akan tampil di pinggir jalan sebagai manusia patung!"
Arai terbelalak dan aku mau pingsan mendengar
Famke berteriak, "Kalian akan menjadi ikan duyung!!"
Seisi ruangan bertepuk tangan. Arai menyambar tanganku, menggenggamnya kuat-kuat dan mengguncang-guncangnya. Tak dapat kugambarkan perasaanku. Beberapa saat aku masih terpana. Kami saling pandang lalu menyadari betapa hebatnya ide itu. Sebuah ide yang sedikit pun tak pernah terlintas di benak kami. Kami melompat-lompat senang.
"Oke, Gent/emen. Penampilan pertama kalian, Koninklijk Paleis! Sekarang! Ayo, bekerja cepat! Sudah siang!"
Tim make up menggiring kami ke meja rias. Setengah jam kami disulap dari makhluk berwajah manusia menjadi makhluk berwajah ikan. Selesai make up sampailah pada kostum ikan duyung yang naudzubil/ah itu.
Tubuhku, dengan cara diangkat lebih dulu, dibelesakkan ke dalam kostum karet tadi. Aku merosot karena berat kostum itu hampir sepuluh kilogram. Ekornya, masya Allah, sangat panjang, terbelah dua, masing-masing belahannya berbentuk sirip selebar dua meter. Namun istimewa, setiap kali kugerakkan, sirip itu melambai-lambai. Jika aku berjalan, ekorku menggelepar persis ekor buaya. Sungguh kostum yang mendebarkan.
Sebaliknya, jangan disangka mudah, kostum itu mengapitku sampai mata kaki, sehingga aku tak dapat berjalan dengan menekuk lutut, bahkan tak dapat mengangkat kaki. Aku melenggak-lenggok seperti pinguin karena hanya bisa merayapkan telapak kaki. Kakiku terlilit serupa kaki ibu-ibu berjarit.
Berikutnya, dadaku dibalut karet lain seperti stagen dan agar kukuh, kostum tiga meter tadi dilubangi berbentuk empat cincin besi di batas atas depan dan belakang. Dua potong suspender kulit dikaitkan pada klem cincin tadi untuk menambatkan kostum di bahu kiri kananku. Hanya dengan cara begitu agar busana sepuluh kilogram itu tidak melorot.
Kuat dugaanku, pakaian ini dibuat seorang seniman idealis yang tak mau tanggung-tanggung, atau seseorang yang terobsesi pada ikan duyung. Kehadiran suspender disamarkan dengan ditutupi jalinan rumput laut seperti pola sumbu kompor, dililit-lilitkan bergaya tali sepatu. Aku kesulitan bernapas. Meski sangat autentik mewakili ikan duyung, tak dapat dimungkiri, kostum itu mengandung unsur siksaan.
Tiba-tiba, dari ruangan lain, Arai muncul sudah sebagai ikan duyung. Aku hampir semaput melihatnya. Ia seperti hantu laut yang menjelma dari balik terumbu. Sisa tubuhnya yang tak ditutupi kostum ikan duyung, dilabur cat body painting. Wajahnya cantik namun sangat aneh, sebuah kecantikan yang magis. Matanya menjadi sangat dalam, tersembunyi di balik maskara tebal berwarna Jingga, bibirnya ungu. Kepalanya dipasangi mahkota yang megah, tiruan rumput laut kiambang yang direkatkan secara berantakan seperti gimbal rastafaria. Arai bak Medusa, dewi berambut ular itu.
Ia juga terkejut melihatku.
"Adinda Ikal ...? Engkaukah itu?" tanyanya ketakutan.
"Iya, kakanda Arai. Ini aku, Ikal
Luar biasa, mahasiswa Amsterdam School of the Arts adalah seniman-seniman muda yang berbakat. Dalam tiga jam, mereka telah mengubah aku dan Arai menjadi dua ekor ikan duyung yang jelita. Famke senang tak kepalang.
"Oh, my God\ PerfectW" Ia berputar-putar mengelilingi kami.
"Look a t you, guys, fantastic!. Allhght, sekarang acting-nya."
Famke mengarahkan gaya kami.
"Begini, kita akan mengangkat tema lingkungan, yaitu ikan duyung yang sedih karena eksploitasi laut .... Arai, kau akan jadi ibu ikan duyung!"
Arai ingin mengangguk tapi lehernya terlilit rumput laut.
"Kau, Ikal ... hmmmm ... karena kau kecil, kau adalah anak ikan duyung.
"Nah, Arai, sebagai ibu ikan duyung yang berduka, kau harus seperti ini."
Famke mengambil pose, berdiri melengkung menopangkan dagu di atas punggung tangan kirinya. Tangan kanannya bertelekan di atas dekorasi batu karang gabus. Wajahnya merana.
"And you, Ikal, sebagai anak ikan duyung, kau berbaring miring seperti wanita mengiklankan sun block di tepi pantai, memeluk ekor ibumu. Tapi ingat, wajahmu juga ha-rus sedih, paham?"
Kami menyatakan pengertian dengan berkedip-kedip karena susah mengangguk. Famke memberi wejangan terakhir bahwa seperti bentuk seni lainnya, seni manusia pa-tung juga memiliki estetikanya sendiri. "Kalian tak boleh berinteraksi dalam bentuk apa pun dengan penonton, meski digoda bahkan jika diprovokasi. Kalian harus mem-beku dalam satu ekspresi minimal satu jam."
"Ok then. Let's go guys, let's rock Amsterdam!"
Kami tak bisa menuruni tangga maka kami dipikul, dimasukkan ke dalam VW Comby. Ban mobil gemeretak di atas paving block dan jantungku berderak. Aku nervous. Kecemasanku memuncak saat kami memasuki kawasan Koninklijk Paleis. Dari kaca mobil aku mengintip, demikian banyak pengunjung. Aku demam panggung.
Mobil kami berhenti. Arai mendongakkan kepala. Tiba-tiba terdengar teriakan seorang perempuan.
"Fantastic, lookl"
Serombongan turis kaus singlet dan topi jerami, orang-orang Jepang yang murah hati itu berdecak kagum melihat kami. Seketika itu juga, kepercayaan diriku melompat.
Kami dibopong. Dekorasi batu karang gabus, terumbu-terumbu dari terpal, peti harta karun, jangkar dan tali temali dipasang. Para penonton berduyun-duyun merubung kami. Famke memilih lokasi yang pas dekat museum Madame Tussauds, menghadap ke timur Koninklijk Paleis, karena ia ingin matahari sore musim panas memantulkan sinarnya di atas ribuan keping manik-manik di sekujur kostum ikan duyung, dan kami menjadi elegan bak dua peri laut yang sedang durja. Penonton berbondong-bondong mendekat, makin rapat mengelilingi kami. Kulirik Arai, betapa kemayu, sedikit melengkung, dengan rambut Medusa yang terburai-burai sampai ke bahu. Alisnya panjang tebal, bulu matanya lentik, hidung jambu airnya telah disulap, dan pandangan matanya lendut: malu tapi menggoda, syah-du tapi bergairah, tak acuh tapi minta dilihat. Tak diragukan, Arai adalah putri duyung yang jelita tak terperi. Aku, selaku anak ikan duyung, memeluk ekor Arai, memajang ekspresi memelas, mohon diselamatkan dari keserakahan manusia yang menjarah laut tanpa perasaan. Aku menggelosor di tanah tapi tetap menjaga keanggunan. Kulitku tampak fantastic karena lengket ditaburi teritip dan bulir-bulir mutiara imitasi.
Mataku sampai silau karena sambaran blitz dari ratusan kamera. Pengunjung antre berfoto dekat-dekat kami. Decak kagum bersahut-sahutan. Kami makin menghayati ekspresi. Dari jauh Famke mengacungkan dua jempolnya. Ia terharu. Perasaanku melambung. Aku langsung mencintai profesi baruku sebagai seniman jalanan. Segera kusadari bahwa manusia patung adalah bakat terpendamku! Mengapa selama ini aku selalu merasa bakatku adalah pemain bulu tangkis? Keliru besar!
Penonton semakin banyak. Mereka bahkan meninggalkan manusia patung Rolling Stones di sebelah sana. Sungguh istimewa rancangan kostum, make up, dan penataan artistik dari mahasiswa seni Amsterdam School of the Arts. Karya mereka adalah master piece.
Setelah satu jam, Famke menghentikan show
kami.
"You were great\" pujinya. Kawan-kawannya bergantian menyalami kami. Dalam waktu singkat berhasil terkumpul dua ratus lima puluh Euro! Jumlah yang membuat kami optimis dapat menaklukkan Eropa sebagai manusia patung.
***
Famke menyerahkan kostum ikan duyung kepada kami. Ia mengajari cara bev-make up, menggunakan pembersih wajah, alas bedak, two way cake, bedak tabur, maskara, lipstick, glitter, dan cat body painting.
"Jangan sekali-kali pakai cat sablon karena kulitmu bisa melepuh. Kalau tak punya uang, pakai akrilik."
Kupandangi Famke dan bertanya, "Mengapa kau begitu baik pada kami, Somers? Orang sepertimu, seorang model haute couture, calon supermodel yang akan dikontrak Versace, dengan mudah dapat mengabaikan kami."
Jawabannya melambungkan semangatku. "Karena kalian berani bermimpi. Mimpi-mimpi kalian menginspirasiku."
Kami berpisah dengan Famke di Stasiun Sentral Amsterdam. Tujuan kami adalah Jerman, melalui kota paling utara Belanda yakni Groningen.
Perpisahan yang menyedihkan. Take care, gtiys, pesan terakhir Famke. Kereta bergerak pelan.
Kostum ikan duyung itu sangat besar, tak seluruhnya dapat masuk ke dalam backpack, Ekornya menjulur-julur. Melihat ekor ikan duyung itu, aku teringat akan seorang perempuan luar biasa, jawara pasar ikan, nun jauh di kampungku: capo Lam Nyet Pho. Dulu kami pernah bersembunyi dalam peti ikannya untuk meloloskan diri dari kejaran wakil kepala SMA kami yang garang. Capo yang terkejut ketika membuka peti mengutuki kami: Ikan duyung1. Bertahun lewat, langit yang menyimpan kutukan itu, hari ini mengguyurkannya ke sekujur tubuh kami. Perbuatan-perbuatan kecil yang buruk tak ubahnya bayi-bayi jantan Hyena, ia akan tumbuh, dan cepat atau lambat, akan mengepung induknya sendiri.
***
MOZAIK 30: Mevraouw Schoenmaker
Aku memasuki Groningen dengan perasaan seperti menghirup bau tengik buku-buku sejarah lama tentang kaum imperialis. Rasanya ingin muntah karena aku menjumpai tempat-tempat yang samar pernah kukenal lewat buku-buku itu: Zwolle, Emmen, Assen. Setelah satu jam meninggalkan Amsterdam, sampai ke Groningen, rumah-rumah penduduk saling berjauhan. Jarang kelihatan orang, bahkan sapi-sapi di sana tampak kesepian. Rasa mual itu meluntah sebab dari rumah-rumah terpencil tak bertetangga semacam itulah Westerling, Deandels, Jan Pieterszoon Coen, berasal. Mereka itu tak lebih dari orang kampung, namun mampu meramaikan hatiku dengan hikayat kejam yang berkobar-kobar. Hikayat tentang petualangan laki-laki putih yang memaksakan kehendaknya, membunuh, menindas, dan merampok rempah-rempah di mana pun mereka jumpai, untuk meracik arak agar mereka tak kedinginan pada bulan Desember.
Sejak awal aku tak ingin melewati Groningen. Lebih baik ke Jerman lewat Enchede atau Arnhem, pikirku. Namun, aku harus ke Groningen. Seorang perempuan, atau apa pun itu, yang bernama Njoo Xian Ling, tinggal di Nieuwstad di Groningen. Begitu berita Internet dalam bahasa Belanda yang tak terlalu kupahami.
Centrum, demikian sebutan pusat kota Groningen. Di sana ada prasasti untuk menghormati tentara Kanada yang menyelamatkan kota kecil itu dari kangkangan Nazi. Tower gereja, legendaris dengan sebutan Martini Toren, menjulang lesu. Agaknya ia lelah setiap hari menyaksikan bromocorah hilir mudik mencuri sepeda.
"Bike! Bike.'"
Maling-maling tengik itu mendesis keras setiap melihat wajah yang dengan cepat dapat mereka kenali sebagai pendatang baru di Groningen. Jenis sepeda dapat dipesan. Kurang dari satu jam mereka akan hadir membawa sepeda yang diinginkan. Maka jangan heran jika di Groningen melihat sepeda keranjang anak-anak diikat tambang kapal.
***
Kami berangkat ke Nieuwstad. Sampai di sana semangatku lumpuh karena tempat itu ternyata lokalisasi. Groningen's Red Zone. Apakah A Ling telah terdampar di sini? Di Nieuwstad memang banyak perempuan berwajah Asia dan mereka paling digemari. Aku bergegas menghampiri rumah sesuai nomor yang kudapat di Internet.
"Apa yang bisa kubantu, Anak Muda?" tanya seorang nyonya. Dari penampakannya aku yakin kalau Mevraouw Schoenmaker, begitu nama nyonya setengah baya itu, adalah seorang mucikari. Aku bertanya apakah ia mengenal Njoo Xian Ling.
"Banyak perempuan datang dan pergi, Anak Muda. Tempat itu seperti toilet umum saja." Hatiku ngilu.
"Aku tak mungkin ingat nama setiap orang, tapi Mevraouw Schoenmaker terkejut melihat reaksiku mendengar tapi.
"Bukan aku ingin memberimu harapan kosong, Anak Muda, tapi nama itu, siapa tadi ...."
"Njoo Xian Ling, Ma'am."
"Ya, nama itu, Xian Ling, sepertinya cukup familiar bagiku.Siapa ya, dia? Siapa, ya? Rasanya nama itu berhubungan dengan Rotterdam. Ah, aku lupa. Begitu banyak perempuan, silih berganti. Belum cukup tua yang ada, sudah bermunculan yang muda-muda."
Mevraouw Schoenmaker berusaha mengingat.
"Aku mungkin saja lupa Xian Ling. Namun, aku akan selalu ingat, suatu ketika seorang perempuan Tionghoa pernah datang, bekerja padaku sebentar, lalu pergi. Kata-nya ia ingin ke Rusia."
Hatiku runtuh. Dari data yang ku-print ada Xian Ling di kota pantai Belush'ye nun jauh di tepi utara Rusia sana. Tenggorokanku rasanya tersayat setiap kuingat Belushye. Kudengar kabar burung dari para backpacker, lokalisasi di Belush'ye sangat liar, tak manusiawi.
"Siapamukah Njoo Kian Ling itu, Anak Muda? Sepertinya ia sangat penting bagimu, ya?"
Aku diam saja karena hatiku telah lebam. "Oh, ya, aku selalu ingat pada perempuan itu karena dia sangat cantik, tinggi, dan baik."
Ingin aku menanyakan, apakah paras-paras kukunya indah? Namun, aku takut menerima kenyataan bahwa wanita itu A Ling. Aku cepat-cepat minta diri. Hatiku porak poranda.
***
MOZAIK 31: Ke Utara, Terus Ke Utara
O ebagai pemegang Schengen visa, kami bebas ^ keluar masuk banyak negara Eropa. Sebagian -negara Eropa tercakup dalam perjanjian bebas visa yang dirundingkan di kota kecil Schengen di Jerman. Kami tampil sukses di Bremen dan Frankfurt. Penjelajahan Eropa yang kami duga akan berat, ternyata tak lebih seperti plesiran pejabat BUMN untuk menghabis-habiskan sisa anggaran tahun takwim.
Malam terakhir di Jerman, kami membungkus diri dalam sleeping bag, tidur di sudut Stasiun Koin. Semula kuduga akan diusir petugas keamanan. Tengah malam dua orang tentara patroli yang masih muda, pria dan wanita, mendekati kami. Mereka menenteng senjata serbu otomatis Uzzy yang dapat memuntahkan lima ratus peluru per menit. Berpura-pura tidur, aku tahu salah satu tentara itu mengancingkan sleeping bag Arai. Jerman telah terbiasa dan menghormati tradisi backpacking.
Sikap tentara itu adalah kesan yang akan selalu melekat dalam hatiku dari bangsa yang memiliki sejarah politik yang kelam ini.
tv -w- -/>
Jalur kereta terentang panjang menuju permukaan air yang beriak-riak tenang. Gelombang pecah, mengurung bongkah-bongkah daratan yang seolah ditebarkan sekenanya dari langit, berkilauan disinari matahari musim panas. Timbul tenggelam, terang dan samar, lalu menghilang ke selatan, menuju Laut Baltik. Skandinavia, kami datang!
Gigiku gemeretak dicengkeram angin utara yang terperangkap di delta-delta, semenanjung, dan teluk yang berlika-liku di celah pulau-pulau kecil, meliuk-liuk. Denmark dikerubuti air. Di sana sini air, dan dingin, sedingin orang-orangnya. Mereka berkelompok di kafe-kafe, tak terlalu senang berkeliaran dan kurang tertarik pada seni bohemia jalanan. Seni mereka adalah lukisan-lukisan di galeri, seni teknologi, musik klasik, atau performing arts yang terpelajar. Di Denmark, Swedia, dan Norwegia kami tak laku.
Kami ke Islandia, jauh dan harus naik feri. Meski bersusah payah, aku bertekad ke sana karena Njoo Xian Ling. Aku berhasil menjumpainya. Ia terukir pada sebuah pusara: Xian Ling Montgomery, July 16, 1945-August, 18, 2DD2. Xian Ling adalah istri Brigadir Maurice L. Montgomery, komandan pangkalan militer Amerika di Islandia.
Helsinky, Finlandia, adalah kota Skandinavia terakhir yang kami kunjungi. Aku optimis. Sebab Helsinky kota yang toleran, tempat berbagai pertikaian besar umat manusia diselesaikan. Kota itu selalu berarti tiga kata bagiku: konferensi, negosiasi, dan resolusi. Ternyata, kota cantik nan penuh pengertian itu, terang-terangan mengkhianati kami. Kami membeli tuna sandwich, sepotong dibagi dua, itulah uang kami yang terakhir. Aku gamang karena kami akan mengarungi daratan raksasa. Daratan yang saking besarnya konon sampai terlihat dari bulan, negeri yang merindingkan bulu kuduk, negeri beruang merah yang garang: Rusia.
Melalui Internet kulihat kemajuan pesaing kami. MVRC Manooj dan Gonzales tengah jaya-jayanya di Belanda. Dalam foto, MVRC Manooj mendongak, tentu ia sedang menggoyang kepalanya sembilan kali, tanda hatinya riang gembira. Gonzales berpose bersama lima wanita sekaligus. Pria Meksiko itu makin tambun!
Townsend telah sampai ke Belfast, Irlandia. Kantongnya tebal dan semakin getol menyerang Stansfield, "Tak pernah ada orang Inggris melihat orang main akordion sepertiku."
Stansfield ngamuk, "Tentu saja! Karena di Inggris akordion mainan anak-anak!" Tak lupa ia melampirkan salam manisnya: bollock1.
Stansfield sendiri tengah beraksi di kota tua Zalsburg, berarti dia sudah menaklukkan Austria dan segera menyerbu Slovenia. Ninoch sudah mencapai Spanyol. Aku dan Arai menempuh jalur yang keliru, karena semakin ke Eropa Timur, seni jalanan semakin tak laku. Seharusnya kami lebih lama di Eropa Barat yang kaya seperti para pesaing kami, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya di sana untuk bekal melintasi Rusia.
Saat ini kami berdiri di bibir Finlandia, Kajaani. Beberapa puluh meter di depan kami teronggok Belomorsk, tanah federasi Rusia paling timur yang akan mulai kami jelajahi, dan kami tak 'kan berhenti sebelum menghirup udara Olovyannaya di titik paling barat Rusia, dekat Mongolia sana. Aku selalu terobsesi pada tantangan tertinggi dan cobaan sampai batas terendah aku dapat menoleransi daya tahanku. Berdiri di Kajaani, aku sadar, tantangan yang sesungguhnya menungguku dalam jarak belasan ribu kilometer antara Belomorsk dan Olovyannaya. Akankah aku dan Arai mampu menaklukkannya?
***
MOZAIK 32: Pohon-Pohon Plum
Kami memasuki Belomorsk dalam keadaan •^-bangkrut. Tiga jam tampil di sana, sampai bengkak kakiku, tak seorang pun melemparkan uang. Persoalannya: tak ada turis yang sudi bertandang ke pedalaman Rusia ini dan para penduduknya sendiri miskin. Keluar dari Belomorsk kami menapaki jalur gerobak lembu yang dipagari pohon-pohon plum. Berpantang meminta-minta, kami melahap buah plum mentah. Rasanya pahit di belakang lidah, seperti mengunyah getah.
Dengan menumpang bus sayur atau diam-diam melompat ke gerbong kereta minyak, kami sampai ke Moskwa. Kami tampil di Jalan Arbat bersama penari Kalinka dan hopaks. Kami juga berkenalan dengan seorang tua, Lara Mirniavsky. Ia orang Cossack dan badut jalanan kontra agusta yang berkarakter anarkis tapi lucu. Lara sedang mengumpulkan uang untuk biaya pulang ke Kansk namun ia sudah terlalu tua untuk tampil. Kami meloakkan kamera digital, jaket, dan sleeping bag untuk membantu Lara membeli tiket kereta. Menjual sleeping bag adalah perbuatan tolol, sebab sebagian besar Rusia Timur sebenarnya tak pernah mengalami musim panas. Tak mengapa, kami masih punya second s/c/n-baju terusan semacam baju monyet yang penting untuk melawan dingin.
Di Syzran nasib yang paling sial menghadang. Kami ditangkap polisi karena dianggap mengganggu. Seorang inspektur dan dua orang kopral yang tak bisa berbahasa Inggris, malah tersinggung waktu kuterangkan bahwa kami punya dokumen sah dan dilindungi konvensi Schengen. Baginya semua orang harus berbahasa sepertinya, jika ingin bicara dengannya. Sungguh sombong. Ketiga kalinya kuulangi penjelasanku. Inspektur yang mulutnya berbau vodka itu marah. Ia menghantam perutku dengan popor Kalashnikov. Arai melompat ingin melindungiku, kopral menghantam tengkuknya dengan gagang pistol Glock. Ia tersungkur, wajahnya menabrak kaki meja. Aku menghalangi inspektur yang ingin menendang Arai. Aku syok. Tak pernah, sama sekali tak pernah, ada orang memperlakukan kami seburuk itu.
Esoknya polisi-polisi itu mengantar kami ke luar batas desa. Kami dicampakkan dalam keadaan lapar, mulut bengkak, dan hati yang terluka. Peralatan penting, kompas dan Coflins World Atlas, tertinggal di kantor polisi. Beberapa batang pohon plum tumbuh liar dekat kami. Musim berbuahnya telah lewat, bahkan putik-putiknya tak tampak. Kami gasak daun-daunnya. Rasanya, tak dapat kugambarkan karena aku mengunyahnya sambil memejamkan mata, menahan napas.
***
MOZAIK 33: Ujung Dunia
Tika memang ada ujung dunia, Belush'ye-lah tempatnya. Belush'ye berada di Taiga Siberia, -bagian dari Siberia yang paling pelosok. Kota pelabuhan ini menempel di Cheshskaya, delta Laut Barents. Setelah itu tak ada apa-apa lagi selain Samudra Artik dan Kutub Utara. Jika musim dingin, suhunya merosot sampai minus 46 derajat celcius. Belush'ye dijuluki penjara dunia, surga bagi pelaut hidung belang dan orang-orang ganas yang tak menyukai daratan. Mengapa A Ling sampai terempas ke sumur neraka itu? Mengumpankan dirinya pada lelaki tak beradab? Jika terlintas akan hal itu, aku membeku di tempatku berdiri, waktu seakan diam, apa pun yang sedang kumakan, tawar rasanya.
Kami minta izin kondektur agar dapat menumpang dalam gerbong yang mengangkut bahan bangunan. Tengah malam ia menurunkan kami begitu saja, bukan di stasiun karena ada inspeksi.
Kami berjalan menuju desa terdekat dan bingung menghadapi perempatan: Kungur, Ufa, Kazan, Magnitogorsk. Tanpa kompas dan peta kami seperti tikus buta di tengah labirin. Keputusan tak boleh sembrono. Jika tersesat bisa dimangsa beruang. Tiba-tiba aku teringat akan seorang navigator alam tanpa tanding: Weh!
Aku mengeja bintang satu per satu dan aku tersenyum. Nun di langit yang jauh, tampak samar trapesium yang pernah kukenal.
"Arai! Lihat rasi belantik itu. Itulah timur!" Demikian Weh dulu mengajariku membaca langit. Belantik berada di atas Kazan, berarti utara di sebelah kanan.
"Kungur, Arai! Kungur adalah tujuan kita!"
Celah-celah dinding papan rumah penduduk Belush'ye masih disumpal potongan koran ketika kami tiba. Ada lubang sedikit saja, angin dingin Laut Barents dapat berakibat fatal bagi penghuninya. Aku bertanya pada seorang rastafari, guide lokal, apakah ia pernah mendengar seorang wanita penghibur bernama Njoo Xian Ling. Ia tertawa lebar, sinar matanya senang, penuh kenangan indah akan Njoo Xian Ling.
"Aye, aye, Xian Ling?"
Ia menunjuk sebuah perahu besar yang sengaja dikandaskan di tepi pantai. Perahu itu adalah rumah bordil. Pria-pria sangar keluar masuk pintu-pintu kecil di anjungan. Aku ragu. Aku bisa saja berbalik, melupakan rumah bordil sialan ini, melupakan A Ling, lalu hidup dengan tenang, penuh penipuan pada diri sendiri. Tapi aku tak ingin hidup seperti itu. Aku harus menemuinya, bagaimanapun hatiku akan berantakan. Aku menaiki tangga perahu, seorang pria menghadangku.
"Njoo Xian Ling?" kataku pelan.
Ya., Tuhan. Kuharap centeng itu mengatakan: siapa? Njoo Xian Ling, maaf tidak kenal, tidak ada yang namanya Njoo Xian Ling di sini.
"Aye, Xian Ling, ehmmm, dia ada di dalam," katanya tersenyum.
Meskipun aku telah mempersiapkan diri untuk kabar buruk ini, jawaban itu seperti tangan yang merobek dadaku, merogoh jantungku.
"Masuklah, Tuan."
"Bersenang-senanglah
Aku melangkah menuju pintu. Kakiku seperti digantungi barbel. Aku berdebar-debar mengantisipasi pertemuan dengan A Ling. Aku memutar gagang pintu. Rupanya Xian Ling telah berdiri di situ menungguku. Ia tak mengenaliku. Ia montok seperti bass cekik, batang lehernya jenjang, pinggulnya aduhai, berderet-deret di atas rak. Aku melonjak girang seperti orang menang judi buntut karena Xian Ling adalah merek obat kuat yang tertempel di botol-botol.
***
MOZAIK 34: Enigma
Seperti konstelasi bintang penunjuk arah yang mulai kupahami, kini semua enigma tentang Njoo Xian Ling terang bagiku. Para pelaut dari Nangjin dan Tiangjin yang berlayar menyusuri Selat Bering, berbelok ke utara memasuki pantai Rusia dan buang sauh di Eropa Barat termasuk Belanda, membangun jaringan distribusi Xian Ling di rumah-rumah bordil murahan sepanjang pelabuhan. Karena itu, Mevraouw Schoenmaker sempat mengatakan Xian Ling mengingatkannya akan kota pelabuhan Rotterdam dan obat kuat lelaki dalam botol seksi itu pasti pernah singgah di lokalisasi Nieuwstad di Groningen. Konon Xian Ling diramu sendiri oleh para pelaut dari bahan empedu ikan singa dan teripang.
Kami berbalik lagi ke barat, menuju Olovyannaya nun di tapal batas Mongolia. Setiap melewati perkebunan zaitun kami melamar kerja membantu petani memetik buahnya demi upah beberapa butir kentang. Ribuan kilometer telah kami tempuh.
Tanpa peta, kami tak tahu berada di mana dan tak tahu Olovyannaya sudah dekat atau masih jauh. Kebanyakan orang yang kami tanyai tak tahu di mana Olovyannaya. Kalaupun tahu, mereka menyebutnya dengan cara berbeda. Mengapa kami tak kunjung sampai? Rusia sangat luas, tak ada habis-habisnya. Di atas daratan ini bumi seakan rata, tak ada kesudahannya. Sejauh mata memandang adalah Rusia. Sering pandangan terhalang gunung dan hutan. Di balik gunung-gemunung itu, masih Rusia, dan di balik hutan-hutan itu, masih Rusia lagi.
Kami melewati kampung demi kampung. Sebagian adalah kampung tambang yang telah diabaikan: dingin, terpencil, dan seram. Kami terperosok ke pedalaman, menjumpai hal-hal yang aneh misalnya orang Muslim beribadah seperti Nasrani dan orang Nasrani fasih membaca Al-Qur'an. Ada masyarakat yang memuja kambing, memandikan bayi baru lahir dengan darah lembu, dan melemparkan ari-ari ke atas atap. Ada pula komunitas yang demikian patriarkis, para istri harus tidur di lantai dua gudang jerami dan hanya dikunjungi para suami jika diperlukan. Seperti kami inginkan dulu, terselip di antara bebatuan Gunung Urai, di desa-desa terisolasi yang tak pernah dikunjungi turis, kami melihat esensi Eropa. Kami menumpang kendaraan apa saja. Sering kali kami melakukan lifting, yakni mengacungkan jempol di pinggir jalan untuk minta tumpangan pada truk-truk ternak atau mobil tangki, dan kami makan apa saja yang ditemui di jalan, kebanyakan hanya daun.
Ajaib, secara fisik seharusnya aku telah runtuh. Namun, dalam diriku memantik bara yang membesar hari demi hari. Semakin kejam Rusia menindasku, semakin keras inginku menaklukkannya. Rusia telah membuatku menemukan intisari diriku. Rusia adalah potongan terbesar mozaik hidupku, yang membuka ruang dalam hatiku untuk memahami arti zenit dan nadir hidupku, seperti pesan Weh dulu.
Kami menumpang truk yang hanya kami tahu meluncur ke utara, berdesakan dalam baknya bersama perempuan pemetik buah pear. Mereka adalah orang-orang Chita, suku yang umumnya bekerja di kebun-kebun sebagai pemetik buah. Mereka bersahabat, mengajak kami bicara dengan bahasa yang sama sekali tak kupahami.
"Kai ... tuat ... kaituana ... tun ... na ... na
Bak truk riuh rendah karena mereka heran melihat orang asing. Dielus-elusnya rambut kami, dicubitinya kulit kami, diamatinya tubuh kami yang kumal dan compang-camping. Mereka memberi kami jeruk dan air minum. Perempuan-perempuan Chita berwajah lain dari kebanyakan penduduk asli Rusia yang telah kulihat. Mereka seperti orang Tongsan tempo dulu: lengannya besar-besar, tengkoraknya kukuh, rambutnya kaku, matanya kecil. Truk terbanting-banting di atas jalan berdebu. Pohon-pohon pear berjejer rapi. Tiba-tiba aku terperanjat, salah satu perempuan mengatakan sesuatu pada temannya.
"Tuat nai na Olovyannaya kai nai na."
"Tuat nai Oiovyannaya."
Aku melompat ke depannya, memekik.
"OLOVYANNAYA!"
Perempuan kecil itu terheran-heran. "Nai ... Oiovyannaya, Oiovyannaya, nai ...." Kami menghampirinya, mengguncang-guncang tubuhnya. Ia bingung. Seisi bak truk menatap kami. "Oiovyannaya! Oiovyannaya!" Kami menunjuk delapan penjuru angin. Ia paham. Ia menunjuk selatan, ke perempatan jalan yang baru saja dilewati truk.
"Oiovyannaya," katanya pelan.
"Stop! Stop!"
Penumpang bak truk menggedor-gedor kap depan truk, menyuruh sopirnya berhenti. Kami meloncat turun. Mereka berteriak-teriak, senang dan haru. Mungkin mereka merasakan, Oiovyannaya seperti tanah pengharapan yang telah kami cari seumur hidup.
"Oiovyannaya! Oiovyannaya!" puluhan tangan menunjuk ke arah yang ditunjuk gadis kecil tadi.
Pertemuan singkat kami dengan perempuanperempuan Chita itu amat mengesankan. Kami seperti dicampakkan oleh tangan nasib ke dalam bak truk untuk bertemu dengan mereka, satu kesempatan dari ribuan kali mereka berangkat ke kebun pear. Tanpa mereka, kami tak 'kan pernah tahu di mana Olovyannaya. Mereka seperti lebah yang membantu bunga-bunga bersemi. Merekalah potongan mozaik terakhir kami di Rusia. Perempuan-perempuan buruh kebun itu melambai-lambai, tanda perpisahan. Ada yang menghapus air matanya. Truk berlalu, hilang ditelan luapan debu.
Kami berlari kencang ke selatan. Di kejauhan tampak papan lusuh berbentuk anak panah dengan tulisan yang kabur. Kami mendekatinya dengan gugup. Berjuta perasaan menggelegak dalam hatiku. Semakin dekat semakin jelas, di situ tertulis Olovyannaya.
Arai menatap plang nama itu, matanya berkaca-kaca. Kami duduk di bawahnya, diam, tak berkata-kata. Kami tak punya apa-apa lagi, tubuh kami ngilu, tak bertenaga, tak sanggup melangkah lebih jauh. Puluhan ribu kilometer telah kami tempuh., berbulan-bulan menjelajahi Rusia, dengan cara yang tak 'kan pernah dipercaya siapa pun, dengan kisah yang kata-kata tak 'kan cukup untuk melukiskannya. Di bawah tiang arah itu aku takjub akan kekuatan mimpi-mimpi masa kecil kami. Sesungguhnya bukan kami, tapi mimpi-mimpi masa kecil itulah yang telah menaklukkan Rusia.
***
MOZAIK 35: Arloji
Aku terpukau mendapati diriku tengah berdiri di haribaan Laut Kaspia. Di utara situ adalah tanah nah Parsi: Iran. Orang-orang Parsi yang elegan, kenyang akan cobaan. Wanitanya jelita, tangguh, misterius. Orang Parsi selalu diidentikkan sebagai orang Arab, padahal sama sekali berbeda. Mereka mewarisi budaya tinggi gemerlap Islam dan kental akan pengaruh Eropa. Parsi adalah tanah peradaban, pertaruhan gengsi masa lalu, dan tarik-menarik estetika yang membingungkan, namun memesona.
Tak jauh di sebelah timur, persis di belakang kami, adalah Mongolia yang tak tersentuh, mengandung mara bahaya yang menerbitkan rayuan petualangan. Ingin rasanya mencoba-coba tantangan yang diembuskan angin-angin lembahnya yang jahat, tidur di padang sabananya sambil menghalau serigala dengan kayu bakar, atau terhalusinasi hantu-hantu gurunnya yang berumur ribuan tahun. Mongolia, sungguh menggoda! Tapi nanti saja, karena kami harus menemui janji-janji kami, kami harus ke selatan, terus beringsut ke selatan, menyelesaikan apa yang telah kami ikrarkan di Paris.
***
Dewi Fortuna tertawa lebar, sampai terbahak-bahak, ketika kami sampai di Akropolis, Yunani. Selesai tampil kami duduk di kafe pinggir Pantai Nabpaktos memesan makanan terenak, sampai kembung kebanyakan minum soda. Kami telah berpuasa panjang di Skandinavia, ditiup angin dingin Laut Baltiknya yang tajam, lalu dirajam ganasnya Rusia, kelaparan, dan terlunta-lunta, akhirnya terdampar di selatan Eropa, di Nabpaktos, berbuka puasa sembari dibelai angin laut Mediterania yang hangat sepoi-sepoi. Kami gemuk lagi dan bergelimang uang. Aku membeli kacamata ray ban yang selalu kuidamkan. Lebar kacanya, besar tangkainya, dan cokelat warnanya. Berkilat-kilat dari jauh. Celanaku cutbrai kordurai, cokelat juga warnanya. Kawan, aku sengaja masuk salon untuk memelintir rambutku, bergaya Bob Marley. Kemejaku? Bukan main kemejaku itu, mereknya Manly Executive, biasa dipakai salesman asuransi tingkat atas untuk menaklukkan janda kaya yang keras hatinya.
Lengan kemejaku itu panjang, lengket mengikuti lekak-lekuk tubuh, dan tentu saja, cokelat warnanya. Kemeja itu memiliki motto yang tertulis di bungkusnya: Baju untuk pria modern yang siap menghadapi tantangan miienium baru. Bukan main. Sepatuku, tak kurang dari Nike yang paling mahal, kusesuaikan warnanya dengan warna favorit rumah-rumah nelayan Yunani di Levkas: biru laut. Sentuhan terakhir, ikat pinggang dengan kepala yang sangat besar bergambar wajah Presiden Amerika Serikat Benjamin Franklin, pembebas kaum budak. Aku melangkah anggun penuh gaya pada satu sore yang syahdu di sepanjang Pantai Preveza, disinari cahaya kesuksesan. Aku mirip pimpinan orkes dangdut.
Tapi biarlah, biarlah norak begitu. "Toh, kita sudah pernah menggasak daun plum untuk bertahan hidup," cetus Arai. Ia membeli jaket kulit yang hebat. Bulu cerpelai melingkari lehernya. Agak sedikit kurang cocok di penghujung musim panas ini sesungguhnya. Tapi biarlah, biarlah norak begitu. Sepatunya sepatu koboi yang dapat dipakai untuk menyalakan korek api. Yang paling istimewa, Arai membeli jam tangan besar dengan tiga lingkaran di dalamnya.
Arai sangat bangga, nyaris terobsesi dengan jam tangan itu. Tak pernah luput satu hari pun ia tak mengelapnya, dengan saputangan khusus tentu saja. Jika ia berangkat tidur, jam tangan yang sangat mahal itu ia selimuti secarik beledu, lalu, dengan satu gerakan hati-hati, dibaringkannya di dalam sebuah kotak yang lux. Kotak itu dimasukkan lagi ke dalam kotak lain berkunci nomor kombinasi.
Tak pernah jauh dari jangkauannya. Sebelumnya ia mengamati dulu suhu kamar, apakah keadaan suhu tidak akan memengaruhi kinerja jamnya, sesuai petuah manualnya.
Kuamati jam yang hebat itu. Memang luar biasa. Satu lingkaran kecil di dalamnya menunjukkan waktu. Lingkaran lainnya seperti kompas, dan lingkaran ketiga, tak jelas. Dalam lingkaran ketiga ada cairan memantul-mantul liar. Ketika kukatakan pada Arai mungkin lingkaran ketiga itu semacam water pass atau neraca air yang biasa dipakai kuli bangunan untuk mengukur kemiringan permukaan papan, ia tersinggung tak kepalang.
"Lidah tak bertulang! Gampang nian kau bicara! Periksa kata-katamu, orang udik!"
Belum sempat aku membela diri
"Tahukah kau! Meskipun barang second, penjualnya bilang jam ini edisi langka Swiss Military!"
Aku menyusun kata untuk berkilah, tapi, belum sempat aku berteori ....
"Swiss Military! Dapatkah kaubayangkan itu?!"
Arai menggosok jamnya dengan lembut, seolah membujuk karena jam itu juga telah tersinggung.
"Jangan sembarang, ya! Ini arloji mahal! Tahan ban-ting, teknologi kinetik, kacanya kristal, bingkainya baja, tujuh turunan tak 'kan rusak! Tengok baik-baik, pernahkah kau melihat arloji segagah ini?!"
Benar juga, seingatku, aku hanya pernah melihat jam tangan seperti itu dipakai Syah Bandar Tanjong Pandan.
Ia merepet, "Jam ini kedap air, tahu! Bullet proof) Tahan peluru! Kaupikir Swiss Military jam kodian?! Jam ini dipakai para laksamana untuk berperang!"
Aku menyesal. Tak kuduga perkara arloji bisa sangat berarti bagi Arai. Aku ingin minta maaf pada sepupuku tersayang ini. Tapi ia masih sangat marah. Aku menyebut diriku sendiri sebagai ... insensitive.
"Tahu apa kau soal jam!"
Arai naik darah. Ia menggebrak meja, namun pada waktu yang sama, mendadak sontak kaca penutup arloji yang melekat di lengannya copot, jatuh ke bawah meja. Aku terpana, Arai pucat pasi.
Mulut kami ternganga melihat kaca bulat penutup arloji Swiss Military itu berguling-guling, berputar mengitari kaki meja, makin lama putarannya makin lemah lalu terbaring menyedihkan seiring luruhnya semangat Arai. Mental Arai merosot tajam. Aku diam terpaku, wajah Arai tegang. Aku menikmati detik-detik kemenangan semanis madu sambil menahan tawa sehingga rasanya kepalaku akan pecah.
Suasana membeku, tak ada yang bicara. Aku berinisiatif menyatakan kebenaran hakiki pendapat-ku melalui satu sikap gentleman yang menyebalkan, yaitu dengan memungut kaca itu dan menyerahkannya dengan takzim kepada Arai. Dalam hatinya pasti ia ingin mencekikku, tapi piramida kebanggaannya telah rontok. Wajahnya kuyu. Ia tak percaya arloji itu telah tega mengkhianatinya.
Aku mengusap-usap punggung Arai untuk membesarkan hatinya. Kukatakan kepadanya bahwa industri jam tangan tak se-innocent yang ia duga. Ia mengangguk campur jengkel. Pelan-pelan kutinggalkan Arai dan aku merasa beruntung sebab kejadian itu memberiku pelajaran moral nomor tiga belas yang sangat berguna yaitu tukang jam, tukang reparasi televisi, tukang dadu cangkir, dan penerbit buku adalah profesi-profesi yang patut dicurigai, di mana pun mereka berada.
***
MOZAIK 36: Janda-Janda Kecoa
Sekonyong-konyong, nasib kami berbalik di negeri Balkan. Orang-orang Balkan (Bosnia, Serbia, dan sekitarnya), korban perang itu, jangankan mengapresiasi seni, bahkan masih trauma akan peluru yang baru saja reda berdesing di atas kepala mereka. Secepat kehancuran Yugoslavia, sesegera itulah kami kembali jatuh miskin. Kacamata rayban-ku, celana kordurai, jaket bulu Arai, sepatu koboinya, semuanya harus tergadai atau dibeli setengah paksa oleh manusia-manusia setengah tentara setengah preman kaum rebef, renegade, para oportunis perang demi setangkup roti. Pohon plum jarang tumbuh di Balkan sehingga kami tak dapat menjadi herbivora dengan menggasak daun-daunnya. Di perempatan-perempatan jalan di Macedonia, kami menunggu mobil salvation army utusan gereja. Para pengikut Kristus yang taat itu setiap malam berkeliling kota membawa dandang besar berisi sup kacang merah. Mereka memberi makan para gelandangan, tanpa peduli gelandangan itu katholik, protestan, mormon, baptis, agnostik, atheis, budha, muslim, komunis, demokrat, repu-blikan, homo, lesbian, transeks, hetero, atau penjahat. Mobil bala keselamatan berkeliling kota setiap pukul sebelas malam. Jika kami berpuasa sunnah, maka kacang merah pukul sebelas malam itu adalah buka puasa sekaligus sahur kami untuk puasa esoknya.
Kami memasuki kantong-kantong kemiskinan Eropa: Bulgaria dan Rumania. Sejak hari pertama di Crainova, Rumania aku waswas. Seorang bapak tua berperawakan kurus tinggi selalu mengawasi kami. Gerak-geriknya mencurigakan. Ia berbaju over al/ seperti tukang, bersepatu boot, berkacamata gelap, kumisnya baplang, dan topi Greek Fisherman-nya jelas ia pakai untuk menyamarkan wajahnya. Ia celingak-celinguk. Jika kami dekati, ia menjauh. Ia mengisap tembakau dengan cangklong dan menyandang ransel. Isi ransel itu sebuah tabung. Seutas slang penyemprot menjulur dari kepala tabung. Ganjil. Selama menjelajahi Eropa, kami telah banyak melihat keanehan. Barangkali bapak tua itu dilanda waham kebesaran, megalomania, merasa dirinya detektif Sherlock Holmes, sakit gila nomor dua puluh empat.
Jika kami memandangnya, ia membuang muka. Kami beranjak, ia lekat mengikuti. Kalau kami tidur di bangku taman, ia tak jauh dari kami, mengintai sepanjang malam, seperti serigala menunggu mangsanya lengah. Malam ini kami kedinginan dan memilih tidur di halaman sebuah taman kanak-kanak, di bawah perosotan, karena halaman aspal taman kanak-kanak menyimpan panas siang tadi.
Tengah malam, aku sontak terbangun karena backpack yang kujadikan bantal ditarik seseorang. Aku melonjak.
"Arai!"
Belasan tahun, sejak kecil, Arai selalu melindungiku. Secara refleks, dalam keadaan genting, aku pasti memanggilnya. "Ikal!"
Rupanya refleks Arai sama denganku.
Kami bangkit dan mundur. Tiga orang lelaki dan seorang perempuan dengan seringai mengancam mengepung kami. Pria-pria itu besar seperti pintu dan selintas saja aku langsung tahu kalau mereka langganan jeruji besi. Tato yang dibuat untuk menyatakan mereka jagoan merambati tubuh mereka. Namun, yang paling seram adalah sang perempuan. Dia pasti menenggak narkoba sejak sarapan dan jelas ia gembong para begundal itu.
Mereka menggertak bersahut-sahutan, bahasanya, mungkin Slavia, sama sekali tak kami pahami. Tapi gerak lakunya adalah kalimah yang nyata bahwa mereka menginginkan apa pun yang kami miliki. Berulang kali kami dengar tiga pria itu menyebut Gothia jika bicara dengan sang perempuan. Kupastikan Gothia adalah nama betina liar itu. Pantas saja ia seram, namanya saja diambil dari kata Gothica.
"Jonas! Kostov! Ronin!" perintah Gothia pada
anak buahnya.
Jonas mendekat sambil menghunus trisula. Kostov, laki-laki beruang itu, memutar-mutar pentungan basebalf, Ronin membuka tutup lipatan pisau tajam Victory Knox, mengintimidasi. Situasi gawat, tapi aneh, Arai malah maju, kalem penuh nyali, sangat mengesankan.
"Guys, i f yon want to rob us, at least, do it in English
Gothia marah.
"Englishatannn!
"Hoitl Hoitl"
Sekonyong-konyong ia merogoh jaketnya dan, astaga, kejam sekali, perempuan itu mengeluarkan double stick, dua pentungan yang dihubungkan rantai. Benda itu gampang sekali membuat kepala benjol. Arai bergeming, dan ajaib, ia malah mengambil kuda-kuda seperti Muhammad Ali akan menumbukkan ketupat Bengkulunya ke pelipis George Foreman. Arai menantang mereka. Gila!
Merasa diremehkan, para penjahat itu kalap. Mereka merangsek. Arai berlari-lari di tempat, mengayun-ayunkan tinjunya, persis Muhammad Ali. Sinting! Seumur-umur aku antikekerasan, tak pernah sok jago, tapi melihat gaya Arai, keberanianku melambung. Aku menarik napas lalu mengeluarkan jurus-jurus yang aku sendiri tak tahu. Perampok makin rapat mengepung. Aku membuka ikat pinggang berkepala besar Presiden Amerika Serikat Benjamin Franklin pembebas kaum budak itu, kuputar-putarkan di udara, lalu aku melolong-lolong seperti Bruce Lee. Kami tak 'kan menyerah begitu saja. Bagaimanapun Rusia telah mendidik kami dengan keras, menempa sekaligus mengobati seperti racun obat. Bukankah sesuatu yang tak mampu membunuhmu akan membuatmu makin kuat? Aku dan Arai saling memunggungi, siap menerima terkaman empat begal.
"Hoit\ Hoitl" Gothia murka.
Mereka mengintai celah untuk menyerang. Aku tahu, sekali sergap saja kami pasti tumbang. Kami persis sepasang ayam hutan dalam kepungan kawanan jakal. Tapi kami tak 'kan menyerah tanpa berkelahi dulu. Tiba-tiba siasat ahli strategi perang Cina zaman purba Tsun Zhu menyelinap dalam kepalaku: buatlah musuhmu gelap mata. Mereka yang gelap mata tak 'kan menang. Sambil terengah gentar, aku mengejek para penjahat itu, agar mereka gelap mata.
"So, you don't understand English?1. Ye, Gothial?
"I bet, you don't.!
"Even a bit\\"
Arai paham maksudku, ia memprovokasi.
"Terribly stupid1.
"Can you read? Gothiall"
Aku menyambung, memanas-manasi Gothia. "Don't you have something important to do, Gothial?
"Pathetic criminals1. Scumbags1. "Hopelessl"
Benar saja, seperti menggoda anjing beranak, wajah mereka merah padam. Terutama Gothia. Lingkaran hitam matanya menjadi kelam, bibir kisut pecandunya bergetar-getar. Ia menyelipkan kembali doubie stick di pinggang kanannya, namun, ya ampun, dari pinggang kirinya ia mengeluarkan sebilah wakizashi, pisau yang dipakai orang Jepang untuk merobek perut dalam harakiri. Tajam berkilauan. Gothia naik pitam.
"You peopie, you die, tonight1. Hoitl
"Die, die, diel"
Tsun Zhu yang sok tahu! Pasti orang Cina tak pernah berhadapan dengan begundal Rumania! Mengapa kuikuti muslihat tololnya? Inilah akibatnya. Tadi mungkin Gothia hanya ingin merampas dan meninggalkan kami dalam keadaan benjol, tapi sekarang, mereka tak 'kan berhenti sebelum memotong telinga kami.
"Die, die, diel"
Kostov melayangkan pemukul basebaii. Gothia menusuk-nusukkan wakizashi. Arai menendang-nendang dan aku memutar ikat pinggang kencang-kencang. Kawanan rampok makin beringas. Kami pasti habis kali ini. Turis tewas dijarah adalah berita biasa. Ronin berhasil menyentak Arai, ia terjengkang. Aku ingin melindungi Arai tapi wuth! Pentungan Kostov nyaris membabat lututku. Jonas menarik backpack-ku, isinya terburai. Gothia menunjuk kostum ikan duyung, ia menginginkan kostum itu. No way! Kostum Famke Somers itu adalah nyawa kami. Aku berusaha meraihnya tapi Gothia memotong jangkauanku dengan menampaskan pisau wakizashi. Perempuan kejam itu bahkan tak peduli kalau tindakannya dapat memutuskan tanganku. Sadis tak kepalang. Barang-barang kami berhamburan. Mereka tak peduli karena bernafsu mencelakai kami. Mereka mendesak, kami terjajar ke dinding taman kanak-kanak, terpojok, tak berdaya. Gothia siap membantai kami. Ia maju dengan buas, nyawa kami di ujung tanduk, namun dalam krisis yang memuncak seseorang berteriak "Tarnuil Tainuil"
Sesosok bayangan berkelebat dan tiba-tiba, dari balik kegelapan, menyeruak bapak tua Sherlock Holmes itu. Ia menghambur dan jelas ingin menyelamatkan kami. Ia meraih kepala slang tabungnya, menutup hidungnya dan menyemprot para penjahat itu dengan gas putih. Aku mencium racun: pestisida! Kami menutup hidung. Para perampok kocar-kacir, berteriak memaki-maki, tunggang-langgang tak keruan arah. Bapak tua itu megap-megap. Begitu cepat semuanya berlangsung. Beberapa detik yang lalu kami terancam bahaya maut, tiba-tiba dalam sekejap semuanya aman. Kami diselamatkan oleh pria yang dua hari ini kami anggap penderita sakit gila nomor dua puluh empat: waham kebesaran.
Terus terang aku takut. Jangan-jangan kami baru saja lolos dari mulut buaya dan masuk lagi ke kerongkongan ular boa, dan ular boa ini jauh lebih berbahaya. Senjatanya pestisida. Aku pernah tahu, di Lampung orang meracuni gajah dengan pestisida, mamalia jantan seberat lima ton dengan mudah dapat putus nyawanya. Kehidupan malam di jalanan Eropa sering mengerikan. Psikopat, anarkis, paedophile, serial killer, exhibionist, megalomaniac, berkeliaran men-cari mangsa. Bapak tua ini pasti salah satunya, namun semua prasangka itu luntur waktu ia membuka penutup wajah balactava-nya. Dari kilau kuning lampu jalan tampak wajah yang Jenaka. Ia tersenyum bersahabat, meskipun agak mengerikan karena ia hampir tak punya gigi. Ia mengulurkan tangannya, menyalami kami, dan apa yang dikatakannya membuatku nyaris semaput.
"Nhamha sayhha Toha, ashlhii Purbhalinggha."
Arai memekik.
"Toha! Asli Purbalingga?!"
Bapak itu tertawa lebar, mengangguk-angguk penuh semangat. Ia membuka topinya dan aku mengenali wajah pribumi yang biasa kulihat menjaga pintu kereta api, menarik ongkos bus ekonomi antarkota, atau menjual brem di sepanjang jalur Alas Roban. Menakjubkan, nun di kota terpencil nan kumuh Crainova, di pelosok Rumania, bahkan tak tampak di peta, kami menemukan orang Jawa.
Kami melompat-lompat berpelukan. Sejak pertama melihat kami di Stasiun Crainova, Pak Toha yakin kami orang Indonesia, tapi ia minder untuk kenalan. Mengapa minder? Sekarang ia senang berjumpa dengan kami, seperti telah ditunggunya sepanjang hidup. Senyumnya tak kun-jung padam. Ia berkisah berapi-api. Dialek Banyumasnya masih kental. Hanya saja, giginya yang ompong menyebabkan kata-katanya banyak dicampuri huruf dan y. Namun, suaranya berubah menjadi berat saat bercerita bahwa ia telah tinggal di Rumania sejak tahun 196S. Menyebut tahun 196S, matanya berkaca-kaca. Kami tak bertanya. Tahun politik Indonesia yang gelap gulita itu telah membuat Pak Toha terpelecat jauh dari Purbalingga sampai ke negeri Balkan, dan merasa dirinya orang terbuang membuatnya minder. Pak Toha tahu sejak dua hari lalu kami diincar begal. Di-am-diam, ia mengawasi kami untuk melindungi.
"Athi-athi, bhhanyahhk rhamphhok."
Menyenangkan sekali ngobrol dengan Pak Toha. Seperti kebanyakan orang Banyumas, ia bersahabat dan periang. Obrolan yang paling seru adalah soal profesinya.
"Akhu therkenhal mulhai dhari Orhadhea sampai ke Bhiradh."
Oradea sampai ke Birad, itu artinya Rumania dari ujung ke ujung. Kami bertanya, apa gerangan profesinya hingga ia masyhur.
"Akhu adhalah seorhang pembasymi kechoa."
Pak Toha ke mana-mana membawa tabung pestisida karena ia adalah seorang insect exterminator. Pekerjaannya mengusir tikus, nyamuk, rayap, kecoa, dan berbagai serangga pengganggu rumah. Dengan rendah hati dan humor khas Banyumas, ia memarginalkan dirinya sebagai pembasmi kecoa saja. Pak Toha ternyata juga seorang ahli elektronik. Dulu, sebelum hengkang dari Indonesia, ia tukang rep-rasi elektronik. Kami penasaran melihat benda kecil berbatere lima volt rakitannya sendiri, ia memencet tombol on.
"Bhukanh syulhap, bukhan syihir, he ... he ... he ...I"
Mulanya tak terjadi apa-apa. Tapi lambat laun dari sela-sela rangka perosoton, dari balik papan ayunan anak-anak, dari dalam ban-ban mobil pengaman benturan, kulihat beberapa ekor kecoa berputar-putar kebingungan. Lalu aneh binti ajaib! Kecoa-kecoa itu mendekati perangkat kecil ciptaan Pak Toha. Belasan ekor jumlahnya. Mereka mengerumuni benda itu, lalu dengan satu gerakan tangkas yang terlatih, Pak Toha memencet kepala slang tabungnya, dua detik kemudian kecoa-kecoa bergelimpangan, tertungging-tungging seperti ekstremis dibedil Kumpeni. Aku terpana.
"Nashib syial kechoa jantan, he ... he ... he ...."
Perangkat kecil itu seperti tak berbuat apa-apa, diam saja di situ, tapi sebenarnya ia memancarkan suara frekuensi tinggi yang tak dapat didengar manusia, hanya didengar kaum kecoa. Lebih aneh lagi, Pak Toha mampu membuat suara godaan bagi kecoa jantan. Jika benda itu dihidupkan, kecoa jantan terbakar berahinya, berbondong-bondong menuju asal suara, namun ternyata mereka hanya menemui ajal di tangan malaikat sakaratul maut Toha. Pusing kepalaku memikirkan bagaimana Pak Toha melakukan semua itu. Arai, sebagai seorang mahasiswa biologi yang cemerlang dan telah belajar ilmu paal hewan-hewan, sampai mengaduk-aduk rambutnya.
Pak Toha rupanya ingin ke ibu kota Rumania:
Bukares. Kami ceritakan kepadanya bahwa kami pun hanya mampir di Rumania dalam rangka menjelajahi Eropa dan akan terus ke Eropa Barat sampai ke Afrika. Cangklong Toha menggantung, matanya yang lucu melotot. "Ghuendheng!"
Ketika akan berpisah, kuat sekali Pak Toha memeluk kami. Detak jantungnya lambat tapi berdegup-degup dan kutangkap satu kilatan yang pahit di matanya. Pasti karena kerinduan yang akut akan kampung halaman, atau karena penganiayaan batin tanpa belas kasihan. Kami saling menguatkan dengan menceritakan kejadian-kejadian lucu. Aku tak ingin sedih meninggalkan Pak Toha. Lagi pula, sulit kutahan tawa, sebab aku tahu, jika nanti Pak Toha sampai di Bukares, akan banyak kecoa Bukares yang menjadi janda.
Di antara senda guraunya, Pak Toha berkali-kali mengusap matanya yang basah. Aku mengagumi ketabahan dan prinsip-prinsipnya yang selalu optimis, meski mungkin ia telah difitnah, ditakut-takuti, dan ditinggalkan semua orang. Kami saling melambai sampai jauh. Pak Toha tetap terse-nyum, malah aku yang tersedu. Toha, orang Banyumas berhati mulia yang kutemui di pedalaman Eropa adalah Weh kedua dalam hidupku. Weh dan Pak Toha, laki-laki terbuang dengan pilihan hidup yang getir, mencerahkanku dengan cara yang tak dapat kujelaskan. Tapi paling tidak, Pak Toha telah memberiku pelajaran moral nomor empat belas tentang filosofi kebahagiaan, yaitu: tertawalah, seisi dunia akan tertawa bersamamu; jangan bersedih karena kau hanya akan bersedih sendirian.
***
MOZAIK 37: Trasendental
T bunda guru Muslimah Hafsari, adalah guruku yang pertama. Dulu, waktu aku masih SD, beliau pernah berpesan pada kami, murid-muridnya, para Laskar Pelangi, "Jika ingin menjadi manusia yang berubah, jalanilah tiga hal ini: sekolah, banyak-banyak membaca Al-Qur'an, dan berkelana." Aku paham sekolah dan membaca Qur'an dapat mengubah orang karena di sanalah tersimpan kristal-kristal ilmu. Baru di sini, di Rumania, aku dapat menggenapi arti pesan itu.
Berkelana tidak hanya telah membawaku ke tempat-tempat yang spektakuler sehingga aku terpaku, tak pula hanya memberiku tantangan ganas yang menghadapkanku pada keputusan hitam putih, sehingga aku memahami manusia seperti apa aku ini. Pengembaraan ternyata memiliki paru-parunya sendiri, yang dipompa oleh kemampuan menghitung setiap risiko, berpikir tiga langkah ke depan sebelum langkah pertama diambil, integritas yang tak dapat ditawar-tawar dalam keadaan apa pun, toleransi, dan daya tahan. Semua itu lebih dari cukup untuk mengubah mentalitas manusia yang paling bebal sekalipun. Para sufi dan mahasiswa filsafat barangkali melihatnya sebagai hikmah komunikasi transendental dengan Sang Maha Pencipta melalui pencarian diri sendiri dengan menerobos sekat-sekat agama dan budaya. Aku dan Arai menyebutnya sebagai: itulah akibatnya kalau berani-berani bepergian sebagai pengamen1.
Awal September kami sampai ke Estonia. Tak seperti biasanya, Arai bermuram durja. Senyum manisnya yang selalu mengembang tiba-tiba padam. Seharian ia melamun di bawah pohon hawthorn yang juga selalu tampak sendu. Ia menghadap ke pelabuhan Estonia. Hatinya mendung, pandangannya jauh. Aku tahu, pikirannya hanyut menyeberangi Teluk Finlandia., meluncur ke Laut Utara, mengalun-alun di atas riak perairan Inggris, bergabung dengan Samudra Atlantik, berbelok ke Samudra Hindia, lalu hinggap di rumah kos Zakiah Nurmala di Srengseng Sawah, Depok.
Tanggal 14 September adalah ulang tahun Zakiah. Inilah sumber gundah gulana itu. Sungguh setia cinta dalam hati Arai. Cinta yang besar, suci, dan rabun. Aku ingin melipur laranya. Diam-diam kuloakkan second skin-ku, tindakan yang tolol tak terkira—padahal jika dingin menyerang, second skin itu nilainya sama dengan nyawa demi membeli Asiacard untuk Arai.
"Hadiah ulang tahun untuk Zakiah, Rai."
Arai tercengang, telinganya berdiri, hidung jambunya mengembang.
"Kau punya nomor telepon Zakiah kan, Rai? Telepon dia sekarang. Ucapkan selamat ulang tahun. Ini Asiacard, kartu internasional IP Teiephone, teknologi Internet, canggih."
Arai melompat girang. Kesedihannya menguap.
"Sungguh perhatian, mengharukan! Orang se-pertimu akan masuk surga, Kal."
Sore itu kami bergegas ke booth telepon umum. Arai menggosok belakang kartu untuk memunculkan pin-nya dengan sikap seperti orang primitif memantik batu untuk menyalakan api. Setelah memencet nomor yang panjang dan mengikuti instruksi dalam bahasa Inggris yang merdu, telepon berdering di Srengseng Sawah sana. Hebat betul IP Teiephone. Deringnya deiay tapi suaranya nyaring. Arai pucat mengantisipasi suara Zakiah. Tubuhnya kaku waktu telepon diangkat. Dari speaker di gagang telepon yang dipegang Arai, jelas kudengar suara Zakiah. Ia menderam seperti mengigau. Pasti ia kaget disentak dering telepon.
"Hooaaacchhh ... eehmmm ... alo, alooo, hhooacchhh ...!" nadanya jengkel.
Saking bersemangat, aku dan Arai tak sadar kalau di Indonesia saat itu pukul dua pagi.
"Halo, halo, Zakiah, ini Arai, Arai!"
"Hhhooacchhh!"
"Ini Arai, Arai, selamat ulang tahun, ya." Arai sumringah, tapi jawaban Zakiah sengak. "Ha, Arai!"
Arai, seperti biasa, menjawab dengan polos.
"Ya, Arai, Arai, selamat ulang tahun, ya
"Arai!" bentak Zakiah kejam. "Tahukah kau jam berapa sekarang?!"
Arai cengar-cengir, tapi senang. Baginya, mendengar suara Zakiah Nurmala cukup untuk membuat hatinya bersuka cita, meski suara itu adalah omelan.
"Tahukah?!"
Arai kena semprot.
"Menelepon anak perempuan pukul dua pagi, bahkan ayam-ayam belum bangun! Kausebut dirimu laki-laki Melayu yang santun?!"
Arai meringis.
"Itu rupanya ajaran yang kaudapat di luar negeri, ya? Tak tahu adat!" Crakk!
Zakiah membanting telepon sekuat tenaga. Arai terpaku. Aku membuang wajah keluar booth telepon, tak tega memandang muka sepupu jauhku itu. Tapi kemudian Arai terkekeh sambil menepuk-nepuk bahuku.
"Jangan cemas Ikal, kaudengar tadi, kan? Dia masih mencintaiku."
Kami telah menusuk ulu hati Eropa setelah membabat habis seluruh Eropa Timur, Tengah, dan negeri-negeri Balkan. Estonia adalah puncaknya. Kami hanya terhenti ka-rena dihadang Laut Baltik. Kapal feri membawa kami dari pelabuhan Estonia ke Hamburg, merambah lagi Eropa Barat melalui Swiss.
Swiss, gemah ripah hh jinawi. Pada setiap sudut tercermin kekayaannya. Kami menyelusuri avenue di Interlaken, sebuah mobil Bentley menepi dan menekan klakson hati-hati. Aku menyingkir. Mobil mewah itu memperlambat lajunya lalu berhenti. Sopirnya, sudah tua, bertopi seperti pilot, menurunkan kaca dan melambai. Barangkali ingin me-nanyakan alamat. Aku mendekat. Dengan bahasa Inggris yang sangat halus, ia bertanya, "Bersediakah Anda masuk ke dalam mobil ini?"
Ia melirik seseorang di jok belakang. Di situ duduk seorang pria Kaukasia setengah baya dengan pakaian top eksekutif yang elegan. Sepertinya ia sedang break sebentar dari sebuah seminar. Ia ramping dan tampan, rambutnya putih. Ia tersenyum dan mengangguk sopan.
Tawaran yang sangat baik dan tak biasa.
"Bersediakah?"
"Terima kasih, maaf, saya biasa berjalan kaki, terima kasih."
Aku beranjak, dia bertanya lagi, "Bersediakah?" Laki-laki tampan tadi tersenyum, mengangguk lagi, agak aneh.
"Terima kasih, Pak. Tak apa-apa, saya jalan kaki saja."
Aku melengos pergi. Bentley d\-start, meluncur pelan mengiringiku. Sang sopir tak sabar. Ia berteriak kecil, memecah misteri.
"Tiga ratus tujuh puluh lima Euro? Bersedia?" Aku tertegun. Ah! Betapa naif aku tadi. Kini aku paham maksudnya, terang benderang. Laki-laki di jok belakang itu seorang gay.
"Short time, Boy," sopir makin eksplisit.
"Not more than one hour," ia berani kurang ajar.
Aku tak acuh, Bentley mengekor. "My boss wants yon, Boy," kalimat sopir menjadi mekanik. "Please ...."
Mobil ngerem mendadak, diam di tempat dengan mesin menyala. Kuhampiri Bentley itu. Tiga ratus tujuh puluh lima Euro, bukan sedikit uang. Menggiurkan. Dirupiahkan hampir empat juta. Berdiri sebagai manusia patung ikan duyung selama lima jam, berhari-hari, belum tentu dapat segitu. Jika kuiyakan, aku termasuk high ctass male prostitute. Apa yang dilihat laki-laki itu pada diriku? Ia pasti berspekulasi aku akan meladeni tawarannya. Spekulasi, membuat transaksi ini mahal.
Kuketuk kaca belakang. Ia membuka jendela mobil. Sebenarnya aku ingin langsung mendampratnya tapi itu tak adil. Disorientasi bukan pilihan, homoseksualitas bukan kejahatan, dan ekspektasi adalah hak. Aku tak pantas melukai hatinya, aku bahkan tak perlu menjadi kasar untuk menegaskan bahwa aku hetero.
"Piease accept my apoiogy, Sir. Kind o f bus y today, how about some other time? May bel"
Ia tahu aku telah menampiknya dengan halus.
"Fine, Young Man, Some other time then, have a wonderfui day ..."
Bentley meluncur. Aku dan Arai melanjutkan perjalanan. Kulihat Bentley itu sampai jauh dan satu firasat terbit dalam benakku bahwa makin ke selatan aku beranjak, akan semakin ajaib pengalamanku. Aku waswas mengantisipasi Austria di depanku.
***
MOZAIK 38: Enam Belas Tahun Tuhan Menunggu
Ia menjual kebab di depan Stasiun Sentral Austria. Namanya Mashood. Tubuhnya tambun, wajahnya licin, bulat, dan Jenaka. Matanya riang.
"Brother Muslim1. Oh, Subhanal/ah, marhaban, marhaban."
Kami tanyakan di mana masjid. Merasa ditanggap, ia senang tak kepalang. Mungkin selama hidupnya ia selalu tak dipedulikan, bahasa Inggrisnya tak keruan.
"Ada beberapa masjid, yeee, understand? Antum, understand, yeee ...." Kami manggut. "Very good." Darinya kami mendapat sedikit pelajaran tentang adat orang Islam di Eropa.
"Ada masjid orang Arab, dan hanya orang Arab di sana. Lain lagi masjid Turki, hanya melulu orang Turki, yeee. Selebihnya, brother muslim berkumpul di Masjid Afghanistan, di Gmunden."
Mashood mangatur napas.
"Jema'ah Somalia, Sudan, Etiopia, Maroko, Syria, Palestina, Yordan, Irak, Iran, Malaysia, dan sering ada Indonesia tumplek di Masjid Afghanistan, yee ... very good, understand, yeee ... tapi ... brothers
Mashood mendekat, berbisik, bangga meletup-letup dalam dirinya. "Simak ini”
Ia menenangkan diri.
"Siap ...? Siapkah kalian mendengarnya ...?!" Kami merapat.
"Sudah siapkah kau itu, brothers?" Menjengkelkan. Yang akan dikatakan tukang kebab ini tentu sangat penting.
"Imam masjid itu sangat hebat! Hebat sekali! Masih muda, bukan sembarang! Imam itu pahlawan Afghanistan! Bukan sembarang!"
Mashood benar-benar mengagumi sang Imam. Sampai-sampai berkeringat ia menceritakannya. Ia membekap dadanya, meredakan detak jantungnya, bersusah payah me-matut-matut kalimatnya.
"Selain pahlawan perang, ia juga seorang hafiz, ia hafal Al-Qur'an! Dapatkah kaubayangkan itu? Tahukah engkau berapa ratus lembar Cjur'an itu? Ludes di luar kepalanya! Yeee ... hebat bukan buatan Imam itu. Ia disegani Imam mas-jid mana pun, disegani siapa pun, bahkan Pemerintah Austria takut padanya."
Hebat nian, siapakah Imam itu?
"Gedung putih juga takut! Understand? Yeee
Kami manggut lagi "Very very good\"
***
Kami penasaran. Ingin sekali berkenalan dengan Imam yang sakti itu. Jumat pagi kami berangkat ke Gmunden. Bangunan yang kami temukan sama sekali tak tampak seperti masjid, ia hanya sebuah bangunan tua art deco yang dulu mungkin gudang senjata. Umumnya negara-negara Eropa melarang eksposur atribut-atribut agama, bahkan azan tak boleh terdengar ke luar gedung.
Rupanya Mashood sudah menyebarkan berita akan datang dua jemaah baru dari Indonesia. Di depan masjid, kami disambut kelompok Palestina, hangat sekali. Lalu orang-orang Sudan dan Somalia: hitam, solid gang-nya, pekerja kasar, tapi taat salatnya. Mereka memeluk kami satu per satu. Berikutnya kelompok Syria, Iran, dan Mesir. Hari itu sangat ramai, ratusan orang berduyun-duyun. Mereka bergerombol mengelilingi kami, menanyakan kabar beberapa tokoh Islam penting di tanah air. Cukup mengagetkan karena mereka tahu sepak terjang tokoh-tokoh itu le-bih dari kami. Namun, belum kelihatan orang-orang Afghanistan. Tiba-tiba Mashood mendekat.
"Imam ingin bertemu kalian! Ah, alangkah beruntungnya!" pekiknya. "Very very gooooddd ...."
Jemaah lain mengangguk-angguk. Satu kesan jelas kutangkap, orang Afghanistan disegani sesama orang Islam dari bangsa mana pun. Mungkin karena mereka patriot, para prajurit tempur, dan tetap tak terkalahkan meski negerinya porak poranda. Kemudian datanglah rombongan patriot Afghanistan itu. Mereka tak lain pejuang Mujahiddin yang mendapat suaka politik di Austria setelah bertikai dengan Aliansi Utara milisi Taliban.
Rombongan itu berjalan tenang, beriringan, jubahnya melambai-lambai. Tampak betul mereka tak pusing lagi dengan urusan dunia. Jelas terbaca dari pancaran wajahnya bahwa mereka dengan senang hati rela menyerahkan nyawa demi membela agama, bahwa yang paling mereka rindukan adalah pertemuan dengan Ilahi untuk diangkat ke Arash-Nya. Mereka tampak gagah berani. Keberanian yang tak diumbar melalui kata-kata kasar dan paras yang sangar. Keberanian mereka adalah keberanian yang dalam, tersembunyi di balik wajah tampan bercambang dan mata nan teduh. Aku takjub, aku seakan melihat serombongan kha-lifah penguasa jazirah.
Satu di antaranya sangat bersahaja. Ia dikelilingi pria-pria tinggi besar semacam body guard. Ia paling muda, tapi setiap orang menjaga jarak dengannya. Pastilah ia sang Imam. Rombongan yang tadi mengerubuti kami membuka jalan, menunduk takzim, dan bersahut-sahutan mengucap salam pada sang Imam. Aku paham, tak begitu saja seseorang dapat diangkat menjadi Imam untuk masjid pusat pertemuan muslim berbagai bangsa ini, sang Imam, meskipun masih muda, tentulah bukan manusia sembarang. Setiap suku kata Mashood, benar adanya.
Di ambang pintu masjid seseorang menghampiri Imam, berbisik. Imam menoleh kepada kami, ia tersenyum. Aku terkesiap. Imam, bersama empat orang body guard-nya tadi, berbalik menuju kami. Aku gugup.
Sebenarnya posturnya kecil saja, sedikit lebih tinggi dariku, namun ada sesuatu yang membuatnya kelihatan sangat besar, sesuatu yang tak kasatmata. Ketika ia melangkah, seakan udara bergelombang dilibas jubahnya yang melayang-layang. Orang ini memiliki aura seorang raja. Imam semakin dekat, wajahnya yang tirus dihiasi cambang, bersih bercahaya karena air wudhu yang hidup terus-menerus. Arai pucat, aku gemetar, aku merasa seperti dihampiri malaikat.
"Assalamualaikum, my brothers," sapanya lembut namun penuh tenaga. Ia langsung memelukku dan Arai.
Kami hanya mampu menjawab dengan lirih. Aku tak sanggup menatap wajahnya. Di depan orang ini, aku, dan ibadahku yang naik turun, rasanya tak pantas. Aku malu pada diri sendiri. Ia mengucapkan kata-kata selamat datang, kami masih tertunduk, lalu jantungku rasanya copot waktu ia mengenalkan namanya.
"Saya Oruzgan, Oruzgan Mourad Karzani "
Masya Allah. Kami mengenalnya! Bertahun-tahun yang lalu kami telah mengenalnya! Dialah yang kulihat di TVRI balai desa dulu dari reportase Ibu Toeti Adhitama. Inilah pahlawan besar Balloch yang menumbangkan resimen Tentara Merah di Lembah Towraghondi tahun 1988, Salah satu penentu hengkangnya Rusia setelah dua belas tahun menginvasi Afghanistan.
Dia memang sama sekali bukan orang sembarang. Wajar saja kharismanya mampu menelan kami bulat-bulat. Laki-laki ini telah melemparkan granat ke iring-iringan tank Rusia, berjingkat-jingkat menghindari ladang ranjau, hidup bertahun-tahun dalam lubang perlindungan, menyerbu musuh dalam desing peluru, berlari menyandang senapan AK-47 di atas mayat-mayat yang bergelimpangan, ketika usianya baru empat belas tahun!
Betapa aku mengagumi Oruzgan. Ia menatap kami, sinar matanya lembut namun mengandung kekuatan yang dahsyat. Di depannya rasanya aku bersedia mengakui semua kesalahan yang pernah kulakukan, melaporkan semua kejahatan kecilku, Arai sampai ingin mencium tangannya.
Lama kami berbincang dengan Imam. Pengetahuan agamanya seluas samudra.
"Al-Qur'an mengandung science dan sastra terhebat," ujarnya.
Azan pun berkumandang. Masjid penuh sesak. Aku dan Arai mengambil tempat di tengah. Nyaman rasanya berada di dalam masjid yang hangat, di antara ratusan brother muslim yang bersahabat. Usai khotbah, yang disampaikan dalam bahasa Arab, jemaah berdiri untuk salat Jumat, berdesakan.
Aku di sisi kiri Arai, Mashood di kanannya. Imam Oruzgan memimpin salat dan mulai membaca Al-Fatihah. Jemaah terpaku dalam khidmat.
Sejak imam mengucapkan Basmallah, aku dan Arai terpejam, khusyuk. Suara imam mendayu dalam masjid yang senyap. Aku dan Arai terhanyut. Senandungnya perlahan membawaku melayang ke Masjid Al-Hikmah di kampungku di Belitong, sebab lekukan tajwid, gaya, dan lagu imam sangat mirip dengan senandung imam kampung kami, Taikong Hamim. Ayat demi ayat mengalir, membelai-belai dan aku tercabut dari masjid itu. Aku serasa berdiri bersama puluhan anak Melayu di saf belakang Masjid Al-Hikmah. Suasana tenteram dan damai, namun ketika Imam Oruzgan sampai pada ayat terakhir Al-Fatihah, Waiad Dhoiiiiiin kekhusyukanku sontak berantakan. Aku terperanjat mendengar jeritan panjang, nyaring meliuk-liuk, seperti serigala mengundang kawin.
"Aaammmiiinnn ... mmmmmiiinn
mmiiiiiiiinnnnn ... mmmiiiiiiiiiinnnn
Rupanya Arai melolong seperti dulu sering dilakukannya di Masjid Al-Hikmah untuk mengejek Taikong. Aku lebih kaget lagi karena suara amin itu hanya sendiri, sebab mazhab yang dianut jemaah masjid ini hanya mengucapkan amin dalam hati. Suara Arai nyaring bergema-gema, meliuk-liuk, terpantul-pantul sendirian dari pilar ke pilar dalam ruangan besar itu. Di sebelahku tubuh Arai bergetar-getar hebat, kulitnya yang menempel padaku menjadi dingin, keringatnya mengalir deras, dan giginya gemelutuk. Mashood mendengus-dengus seperti kambing bengek. Ia pasti setengah mati menahan tawa.
Tuhan Tahu tapi Menunggu, kata Tolstoy, Enam belas tahun Tuhan menunggu untuk membalas kejahatan Arai dengan rasa malu yang tak tertanggungkan pada jemaah Afghanistan yang terhormat. Ribuan kilometer dari Masjid Al-Hikmah di Belitong, nun jauh di negeri yang sedikit pun tak pernah terbayangkan, karma menemui Arai. Usai salat Arai menghampiri Imam, ia bersikap gentieman, memohon maaf dan mengatakan semua terjadi di luar kesadarannya.
"Sesuatu yang berasal dari keisengan masa kecil, Imamku," kilahnya menyesal.
Imam tersenyum simpul.
"My brother," sapanya halus. "Tak selembar pun daun jatuh tanpa sepengetahuan Allah."
Kami bergegas kabur. Dari kejauhan kulihat segerombolan besar orang tertawa terbahak-bahak sambil meme-gangi perut, sampai terduduk-duduk. Mashood tergopoh-gopoh meraih sepeda ontelnya, pontang-panting menyusul kami.
"Brothers, brothers ....
"Very very goooood ...."
***
MOZAIK 39: Cinta, di Mana-Mana Cinta
Tepat tengah malam, kereta murahan yang kami tumpangi dari Gmunden berhenti di Venesia. Stasiun Venesia berada di semacam semenanjung sehingga ia seperti pulau. Air, di mana-mana air. Dari jendela kereta kulihat ratusan backpacker bergelimpangan tidur di platform stasiun. Di antaranya backpacker yang selalu kukagumi, backpacker Kanada!
Kami telah melintasi Rusia dari ujung ke ujung, tapi cerita backpacker Kanada mencengangkan. Mereka melintasi Siberia, berangkat ke Beijing dari Moskwa dengan kereta ekonomi yang terus melaju selama tiga minggu. Seorang perempuan muda, Denyah Wilson namanya, tampak lebih cocok menjadi penjaga pameran mobil mewah, menjadi pentolan kelompok itu. Denyah seorang French Canadian dan mahasiswi antropologi di Cjuebec, bagian dari Kanada yang berbahasa Prancis. Ia hanya tinggal punya enam jari kaki, jemari lainnya terpaksa ia kerat sendiri dengan pisau komando karena frostbite. Ia mengisahkannya seperti kehilangan kaus kaki saja, namun mereka menunjukkan sedikit respek pada kami demi mendengar kami membiayai perjalanan sebagai pengamen ikan duyung.
"Fantastic1." kata mereka, tak tahu karena kagum atau geli.
"Bagaimana kalian bisa melakukan semua itu?" kalimat pujian itu Denyah alamatkan sambil mengunyah senyum, maka kupastikan: karena geli.
Kami diam saja, sebab tiga hari tiga malam tak 'kan cukup untuk menceritakannya.
"Hati-hati backpack-mu, Kawan," saran Denyah. "Peluk backpack-mu kalau tidur."
Rupanya di Stasiun Venesia banyak pencoleng. Polisi berjaga-jaga. Seperti di Jerman, polisi Italia menghormati tradisi backpacking. Di luar lingkar lampu-lampu tinggi stasiun, kulihat gerak-gerik mencurigakan. Para pencoleng itu serupa rubah mengincar telur camar. Lengah sedikit saja, backpack melayang. Ini satu sisi gelap Italia yang hanya diketahui backpacker.
Namun, semua kecemasan sirna begitu matahari merekah dan kami mendapati diri dikelilingi air yang terhampar seperti permadani cahaya, beriak-riak menggenangi sudut-sudut Venesia. Kanal-kanal kecil berkilauan, meliuk-liuk menyelingi rumah tua penduduk. Gondola meluncur syahdu. Venesia, secara keseluruhan tampak seperti repli-ka, seperti negeri buatan. Lalu riuh rendah teriakan.
"Grazie "Amore "Ciao
Pria wanita berkerumun di kafe-kafe dengan gerak laku seperti sedang bermain sandiwara. Dialek mereka mengalun seumpama nyanyian dan kadang meledak-ledak. Pria-pria berseliweran, membawa bunga atau bicara romantis dengan seorang wanita, di samping scooter berwarna kuning, meyakinkan wanitanya betapa ia mencintainya, dan bahwa semalam ia tak pergi dengan perempuan lain. Sang wanita bersikap dramatis persis di film-film. Tangannya bersilat-silat. Orang Italia, melihat hidup sebagai seni. Mereka merayakan kehidupan dan jatuh hati pada setiap sendinya.
Italiano mendamba kekasihnya lebih dari mendamba dirinya sendiri. Mereka tak sungkan menangis, membaca puisi, dan berdoa mengekspresikan cintanya, meskipun se-dang berada di pasar ikan. Tak pernah, di mana pun, kusaksikan pemandangan semacam ini. Italia menyajikan tandscape yang memesona dihiasi adegan-adegan cinta yang memukau.
Benar, seperti kubaca di buku. Pria Italia sungguh flamboyan dan mereka passionate: penuh gairah. Kaum lelaki selalu berlagak agar perempuan di dekatnya terkesan. Agak sedikit norak barangkali. Jika ada wanita cantik lewat, mereka bersuit-suit. Kelakuan ini mengingatkanku pada Yogyakarta. Tapi tak pernah kulihat suatu komunitas di mana kaum pria rata-rata berwajah rupawan. Hanya Italia yang seperti itu. Tukang parkir, penjaga toko, masinis kereta, calo, tukang pos, nelayan, pengemis, kondektur, sopir bus, bahkan pencopet, semuanya ganteng.
***
Penampilan kami yang paling mengesankan adalah di Fontana de Trevi, Roma. Dua ekor ikan duyung menghiasi air mancur terindah di planet ini. Ini yang disebut maestro seni jalanan Famke Somers sebagai pemilihan lokasi untuk meraih efek teatrikal. Di sudut sana, manusia patung lain menyaru sebagai tiga pendekar The Three Musketeers dan santa-santa, semakin mengentalkan nuansa seni sore itu.
Kami telah menampilkan seni patung ratusan kali hampir di seluruh Eropa. Barangkali sudah cukup pantas kami menyebut diri profesional. Sekarang kami pandai berimprovisasi, tak lagi sekadar paduan ibu ikan duyung dan anaknya yang merana, tapi lebih kreatif, yaitu sebagai putri duyung yang nakal menggoda, putri duyung malu-malu kucing, putri duyung cemberut, putri duyung penurut. Bisa juga putri duyung musim panas, putri duyung musim hujan, putri duyung banyak uang, putri duyung banyak utang, putri duyung perawan, putri duyung janda kembang, atau putri duyung mata duitan, semuanya piawai kami lakoni.
Kadang kami tak peduli apakah akan ditonton, difoto, dipuji, dimaki, atau diberi uang. Kami telah pandai menikmati daya tarik seni patung, yaitu sensasi teatrikal dari keseluruhan konteks artistiknya. Jika sampai pada sensasi itu, aku merasa menjadi elemen keindahan dalam arsitektur kosmos. Menggetarkan, bukan? Jika memasuki sebuah kota, kami tak serta-merta berdandan dan tampil, namun, demi menciptakan efek teatrikal tadi, kami berkeliling dulu, menilai keadaan, mempelajari selera setempat, mencari-cari inspirasi, dan mereka-reka lakon. Di Verona, inspirasi itu adalah Romeo dan Juliette.
***
Jika ada sesuatu yang paling absurd di muka bumi ini, itu adalah cinta. Aku melihatnya sendiri di Verona. Tak jauh dari Colosseum Verona, ada sebuah rumah tua. Rumah tua yang biasa saja, namun dulu, William Shakespeare, jauh-jauh datang dari London untuk kost di rumah itu, tentu saja demi suatu ilusi suci yang disebut kaum seniman sebagai inspirasi. Shakespeare ingin menyerap gairah cinta Italia. Di rumah tua itulah ia menulis kisah cinta terbesar dalam sejarah umat: Romeo and Juliette.
Kota Praja Verona serta-merta memanipulasi kesintingan manusia akan cinta menjadi peluang bisnis. Rumah tua itu dijadikan objek wisata. Pamor rumah itu hampir mengalahkan Colosseum Verona. Aku memasuki kamar di tingkat dua yang disebut sebagai kamar Shakespeare. Di luar kamar itu ada balkon. Waktu menulis adegan Romeo memanjat kamar dengan gordijn yang dijulurkan Juliette, Shakespeare pasti terinspirasi oleh balkon itu. Berbondong-bondonglah para turis, terutama yang sedang kasmaran mengunjungi balkon yang kondang dengan sebutan Juliette Balcony. Lebih indah lagi, mereka boleh menuliskan ikrar cintanya di sana. Awalnya hanya di balkon. Namun karena semakin banyak turis yang datang, mereka dibolehkan menulis ikrar asmara di seluruh dinding luar rumah.
Agar lebih dramatis, di bawah balkon didirikan patung perunggu Juliette dalam pose berdiri. Ia kemayu, matanya penuh cinta, namun bermuram durja, dan tubuhnya sedikit terbuka. Dengan sangat jeli karena tahu cinta itu absurd. Petugas kota praja, atau tak tahu siapa, mendengungkan kabar yang sedikit melankoli bahwa jika romansa ingin langgeng, pasangan yang sedang dimabuk cinta harus mengusap dada patung Juliette.
Kawan, sering kudengar kabar tentang sintingnya cinta namun baru di Juliette Balcony kubuktikan semuanya. Jutaan, ya, jutaan kekasih telah mengusap dada kanan Juliette sehingga mengilap seperti diamplas, sedang bagian tubuhnya yang lain tetap segelap perunggu. Kasihan aku melihat Juliette. Lalu para sejoli yang mabuk kepayang menulis ikrar cinta mereka. Puluhan, mungkin ratusan juta ikrar cinta dalam ratusan bahasa asing menghiasi tembok. Tembok tak cukup, mereka menulis di lantai, di bangku-bangku taman, di pilar, di tiang-tiang, bahkan di plafon. Pun Arai tak lupa, karena sudah tak ada tempat, ia menulis di kusen jendela: Arai Zakiah Nurmala. Aku menulis cinta sahabatku Jimbron dan istrinya: Jimbron loves Laksmi kutulis di tungku. Aku sendiri tak mau kalah, dekat talang air kutulis namaku, nama A Ling, dan gambar hati yang besar. Satu lagi, namaku dan Katya, tapi gambar hati-nya lebih kecil nakal sekali.
Karena kejelian kota praja memanipulasi kekonyolan cinta, Verona menjadi salah satu wilayah terkaya di Italia. Blessing in disguise, berkah terselubung dari turis-turis mabuk kepayang yang sudah tak lurus lagi akalnya. Padahal banyak ahli sejarah yang meragukan apakah William Shakespeare menulis Romeo and Juliette di Verona dan pernah tinggal di rumah itu. Lebih dari itu, Romeo dan Juliette hanyalah sebuah fiksi. Pencitraan dan representasi, itulah inti persoalan di sini. Kami ingin tampil merepresentasikan Juliette.
***
Di pelataran Colosseum Verona aku dan Arai mengambil pose persis patung perunggu Juliette. Seperti nasib buruk cinta Juliette, kami menjadi ikan duyung yang merana karena cinta terlarang. Ekspresi kami penuh romansa sekaligus putus asa. Sungguh suatu pertimbangan estetika yang sempurna. Dalam waktu singkat kami dikelilingi pasangan-pasangan yang sedang jatuh hati, rapat berlapis-lapis. Koin-koin Euro tumpah ruah. Bencana pun datang.
Mulanya sepasang kekasih berbahasa Mandarin mendekat. Mereka sudah tak muda, barangkali empat puluh lima tahun. Keduanya tampak tergila-gila satu sama lain. Dari penampilannya, aku menduga sang pria baru saja mengakhiri jabatannya sebagai bujang lapuk dan mendapatkan kekasih melalui biro jodoh atau lewat kencan buta. Sang perempuan, mungkin sudah lima kali kawin dengan empat belas anak dan akhirnya menemukan a hve for a lifetime. Tiba-tiba, dengan satu gerakan yang sama sekali tak kuduga, perempuan itu menjangkau dan mengusap dada kananku. Aku kaget tapi tak mungkin bereaksi. Aku adalah manusia patung profesional dan Famke Somers dengan tegas berpesan bahwa manusia patung tak boleh bereaksi, meski diprovokasi sekalipun.
Celaka, tindakan perempuan Tionghoa itu diikuti pasangan lainnya. Penonton menghampiri dan tanpa sungkan mengusap dadaku dan Arai seolah kami patung Juliette. Silih berganti, puluhan orang meraba dada kananku, sebagian mengusap, ada yang mencubit, bahkan meremas sambil cekikikan. Aku kesakitan, dadaku panas, merah, dan perih. Setiap kali seseorang membekapkan tangannya ke dadaku rasanya aku ingin terkencing-kencing.
Pasangan kekasih tua, muda, setengah baya, homo, lesbi, hetero, satu per satu menggasak dada kami. Aku sudah tak tahan. Kulihat ekspresi Arai berubah dari putri ikan duyung Juliette yang jelita menjadi ikan duyung meringis. Sungguh besar cobaan menjadi seniman manusia patung. Akhirnya, satu jam berakhir dan kami cepat-cepat ambil langkah seribu dari Verona. Malamnya kami baru bisa tidur setelah mengompres dada dengan es. Cinta memang edan.
***
MOZAIK 40: Galliano
Ia lebih cantik dari segala hal yang ada di Milan.
Bahkan kolibri yang meracau-racau di pucuk-pucuk sibbaldia, bungkam waktu melihatnya berlari terpantul-pantul. Ia manis seperti madu dan baru saja melompat dari Ferrari merah marun. Pintu mobilnya dibukakan seorang pria A fro-Amerika berjas lengkap dengan dasi serasi. Wajah pria itu menunjukkan kesediaan sepenuh hati mengumpankan tubuhnya sendiri pada peluru, jika ada seorang penggemar obsesif menembak majikannya. Ia berbusana serba putih. Kemeja tipisnya melayang-layang melapisi t-shirt kasual. Ia memasuki gedung dengan tulisan Why Not di atas pintunya. Apakah ia A Ling?
Di Internet ia adalah Roxane Ling. Kurang jelas apakah ia pemegang saham, desainer, atau model di Why Not sebuah agensi bagi para supermodel. Aku masuk untuk menemuinya.
Resepsionis menanyaiku, "Apakah sudah punya janji?"
"Belum."
Gadis itu mengangkat gagang interkom.
"ROK, seseorang ingin berjumpa denganmu."
Tak ada jawaban. Interkom ditutup. Kulirik sudut langit-langit yang dipasangi kamera-kamera CCTV. Aku tahu Roxane sedang mengamatiku. Tiba-tiba pria Afro body guard tadi datang. Bergaya sedikit over acting ia mengecek situasi. Ah, hanya seorang pria toioi yang ingin berfoto, pasti begitu pikirnya. Ia bicara pada CCTV.
"Ok, Babe, clear."
Roxane Ling keluar dari ruangan, berjalan menghampiriku. Aku gugup karena ia sangat mirip A Ling, tapi ia bukan A Ling. Tak dapat kusembunyikan kecewaku. Lama aku berbincang dengan Roxane, ia membesarkan hatiku.
"Kalau yang kaucari cinta, kau akan menemukannya," bujuknya bijak. "Percayalah ucapanku ini, kau akan menemukannya di Afrika."
Aku merinding. Tak pernah kuberi tahu siapa pun bahwa di Internet aku menemukan seseorang yang gambaran dan namanya serupa A Ling di Zaire, Afrika. Aku menatap Roxane. Ia serius. Ia sangat yakin akan kata-katanya. Sedetik aku dikuasai keyakinannya itu. Aku percaya, tapi detik berikutnya, aku ragu. Aku mohon diri. Di ambang pintu aku menoleh pada Roxane, air mukanya tak sedikit pun berubah.
"Afrika," katanya pasti.
***
Malam-malam di Milan kami lewatkan dengan berlindung di gereja, karena Milan ternyata kota yang berbahaya. Berbulan-bulan hidup sebagai backpacker hidup di jalanan dan tidur di sembarang tempat kami telah pandai menimbang keadaan rawan. Taman adalah tempat tidur yang paling tidak aman. Lewat tengah malam, taman-taman di Eropa menjadi sanctum bagi para psikopat. Emper toko tempat berisiko tinggi. Terminal dan stasiun jauh lebih aman. Benda yang paling berharga bukanlah uang, tapi paspor. Paspor yang dipalsukan berharga fantastik di pasar gelap, dan ke-nalan yang terlalu ramah adalah kenalan yang paling jahat.
Banyak kota yang berkarakter seperti orang tua: melindungi warga seperti anak, menghormati tetangga, dan menyambut pendatang. Namun, ada pula kota yang berperangai seperti bandar judi: mencandu kemewahan, memberi kesempatan pada siapa saja untuk mempertaruhkan apa saja, lalu mencampakkan yang kalah tanpa ampun. Milan adalah kota semacam itu.
Di Milan pertempuran antarimigran gelap Maroko dan India yang bersengkongkol dengan orang-orang buangan dari Balkan telah akut bertahun-tahun. Siapa pun yang berada di jalanan saat larut malam sangat mungkin celaka jika terperangkap dalam pertempuran itu. Beberapa kali aku dan Arai mengalaminya. Mereka bertarung memperebutkan pekerjaan kasar mengais sampah atau soal parkir. Dalam keadaan ini, tak ada tempat yang lebih aman selain gereja
Masih di Milan, di depan sebuah butik bernama Eternita, aku tertarik menyaksikan sekelompok orang berpakaian seperti Elvis Presley. Rupanya mereka anggota klub penggemar Elvis yang berkumpul untuk meresmikan galeri memorabilia artis pujaannya itu. Aku mendatangi gedung itu. Di lobi, seorang perempuan sepuh menghampiriku. Ia menyapa dan menyalamiku. Rupanya ia pemilik klub itu. Peresmian dimulai. Seorang pria berpidato menggebu dalam bahasa Italia. Kupahami sedikit bahwa ia memuji perempuan kaya yang tadi menyapaku karena ia telah menyumbangkan rumahnya untuk dijadikan galeri. Tepuk tangan bergemuruh ketika nama perempuan murah hati itu disebut.
"Hadirin, tepuk tangan yang meriah untuk Andrea Gallianooooo ...!"
Aku terempas di atas tempat duduk. Dulu, waktu ayahku kehabisan nama untukku, aku menemukan potongan berita di majalah Aktuit tentang wanita Italia yang mengancam terjun dari tiang telepon jika Elvis Presley tak membalas suratnya. Nama perempuan itu Andrea Galliano. Nama depannya itu kuambil sendiri menjadi namaku. Dengan logika apa pun tak dapat kujelaskan bahwa beberapa menit yang lalu aku baru saja bersalaman dengan Andrea Galliano. Di tempat yang sangat jauh dari rumahku, di sudut Milan, kutemukan lagi sepotong kecil mozaik hidupku.
Peristiwa dengan Andrea Galliano membuatku seperti melihat cahaya yang meyakinkanku bahwa sekecil apa pun hal terjadi memang karena suatu alasan. Karena itu, aku tak ragu menuju ke Florence. Aku tahu, hal yang menakjubkan bisa saja terjadi lagi padaku di sana, tanpa pernah kuduga dari mana arah datangnya.
***
MOZAIK 41: Tanah Yang Telah Dijanjikan Mimpi-Mimpi
O epintas saja melihatnya aku tahu kalau laki-laki ^ itu pastilah seorang brother muslim. Secara naluriah, aku kenal. Sejak kecil, aku dikelilingi laki-laki semacam itu: guru sekolahku, guru ngajiku, ayahku, khatib, atau juru sunatku. Ia menonton kami tampil di Ponte Vechio, Florence. Disampirkannya selembar uang sepuluh Euro, dengan kesan seakan uang itu bukan miliknya, tapi hak musafir seperti kami. Ia hanya dititipi Allah Yang Mahatinggi.
Sejak lama kami ingin tampil di Jembatan Ponte Vechio karena kecantikannya tak dapat dilukiskan kata-kata. Lengan-lengan jembatan itu dilekati rumah-rumah penduduk berusia ratusan tahun, bertingkat-tingkat seperti kandang merpati.
Usai tampil, aku termenung memandangi riak sungai di bawah jembatan purba itu. Aku tahu air sungai itu asin karena ia tak lain empasan ombak Tyrenian. Dari sinilah pa-da masa lampau pedagang gagah berani dari Zanzibar, Arab, Cina, dan India memasuki Italia. Jantungku berdetak. Telah kutempuh perjalanan yang amat jauh sampai ke Florence dan nun di situ, tak jauh dariku, bahkan tepat di depan hidungku, ombak Tyrenian terempas di pesisir yang telah lama kami impikan. Kawanku, tahukah dirimu? Lima belas derajat lintang selatan dari tempatku berdiri, tanpa ada lagi daratan menghalang, di situlah Afrika!
Kami tak tahu bagaimana dan dengan cara apa dapat mencapai Afrika. Afrika adalah sesuatu yang amat berbeda. Tak ada Schengen visa di sana, tak ada budaya backpacking, dan tak dapat diramalkan respons penduduknya pada seni jalanan. Di sana orang kehausan, penyakitan, kelaparan, bunuh-bunuhan, dan dilahap singa. Tapi di lengan Jembatan Ponte Vechio kami mengukir: Jimbron, kami akan ke Afrika! Kaudengarkan itu, Bron? Afrika! Dari Florence, kami naik kereta ke ujung selatan Italia, Regio. Brother muslim itu melompat ke dalam gerbong. Kami masih belum saling menyapa. Setiap melihat kami, ia tersenyum.
Makin ke selatan ternyata Italia semakin miskin. Kami naik kereta malam yang bobrok. Di dalamnya seperti barak dengan tempat tidur tingkat. Kami tertidur pulas berdesakan bersama nelayan-nelayan miskin. Tak pernah ada yang datang memeriksa tiket.
Dini hari seseorang berteriak, "Messina! Messina!"
Celaka! Kami ketiduran dan bablas. Kereta menyeberangi Selat Messina. Tiket kami hanya sampai Reggio tapi kami terangkut ke Messina, berarti kami terdampar di sarang gembong mafia: Pulau Sisilia.
Kami senang bercampur panik. Di kafe kecil kami memesan kopi dan disuguhi dua gelas liliput. Pria-pria tua memakai rompi dan bertopi baret duduk mengelilingi meja-meja kecil. Dinding dengan tembok yang pecah-pecah, kapstok gantungan mantel dan topi, salib besar, patung Bunda Maria, kursi-kursi kayu berwarna hitam, lampu yang rendah dengan kap berenda-renda, persis film Godfather.
Seorang wanita, yang berwajah sangat Italia, menuangkan kopi ke dalam gelas liliput tadi. Kopi itu sedikit sekali, hitam, pekat dan kental. Kami melihat orang-orang minum kopi itu sekali teguk. Aku meneguknya dan seumur hidupku tak pernah kurasa kopi seperti itu. Ketika meluncur melalui tenggorokan, mataku langsung terang benderang seperti lampu yang hampir putus, lalu di dalam kepalaku petir menyambar-nyambar. Itulah kopi kaum mafia.
Kami bergegas menuju kota terbesar di Pulau Sisilia, Palermo. Tak pernah kulihat sebuah kota di Eropa Barat yang sepi dikunjungi turis. Sisilia dan reputasi mafia membuat turis enggan berkunjung ke kota tua yang sesungguhnya indah itu. Kami tampil di Palermo dan anehnya, salah satu penonton kami adalah brother muslim itu!
"Assalamualaikum," sapanya ketika kami berkemas-kemas. Namanya Bilal. Ia seorang pedagang keliling. Ia berdagang keperluan ibadah seperti sajadah, kopiah, dan baju-baju muslim. Kami saling bercerita tujuan masing-masing.
"Sebenarnya kami ingin ke Afrika."
"Berkunjung saja ke Tunisia," saran Bilal santai.
"Bicara apa kau, Brother? Tak terbayangkan susahnya urusan visa," cetus Arai.
"Visa? Kaubilang kau orang sekolahan?"
Info dari Bilal membuat telinga kami berdiri. Sebagai sesama anggota OKI, organisasi negara Islam itu, ternyata muslim Indonesia bebas visa ke Tunisia. Tunisia adalah gerbang utara Afrika, batu loncatan untuk mengarungi Benua Hitam itu.
***
Tak buang tempo, kami tergopoh-gopoh menuju kantor duane dan segera naik kapal dari Mazara ke Tunisia. Kapal meluncur menembus Kanal Sisilia, terapung-apung dalam rengkuhan daratan luas
Italia, Pulau Sardinia, dan Pantai Malta. Kapal merapat di Dermaga Kelibia, Tunisia. Kami dilanda haru karena berhasil menginjak tanah yang belasan tahun telah dijanjikan mimpi-mimpi; Afrika.
Laut Mediterania tak ubahnya tabir ajaib yang memisahkan dua tempat yang sama sekali berbeda. Baru beberapa saat yang lalu kami berada di Eropa yang dingin dan tak peduli, kini kami berdiri di tanah Afrika yang panas dan terang benderang. Hatiku senang melihat laki-laki dan kambing-kambing berkeliaran. Perempuan memakai kerudung kaftan dan berdebu. Hatiku gembira meluapluap mendengar azan sahut-menyahut.
Aku berdiri di tengah padang rumput esparto. Sampai ke manakah padang rumput esparto itu? Aku tak tahu. Padang itu terhampar sampai jauh ke sana. Lalu, di sebelah sananya, rumput esparto lagi. Afrika kosong, gersang, kuning, dan luas tak terbayangkan. Di angkasa burung-burung yang tak dikenal berkaok-kaok dengan suara lebih keras dari burung-burung di wilayah lain. Barisan pohon citrus seakan pagar yang tak putus-putus, semakin kecil sampai tak kelihatan, tapi tetap tak habis-habis.
Sebenarnya kami ingin melintasi Afrika dari titik paling utara, yakni Kalibia di Tunisia sampai ke titik paling selatan Pantai Gading. Setelah apa yang kami alami di Rusia, kami yakin mampu menaklukkan Afrika. Namun, kami tak punya waktu. Kami harus kembali ke Paris untuk menyelesaikan kuliah. Akhirnya, diputuskan ke titik tengah Afrika saja, yaitu Zaire. Itu pun karena ingin menemui Njoo Ling, seseorang yang seusia dengan A Ling, dan ia seorang perawat. Mungkinkah ia A Ling seperti dugaan Roxane Ling? Apa yang A Ling lakukan di tengah-tengah Afrika? Apakah ia telah menjadi relawan yang bekerja untuk Unicef? Sejujurnya aku ragu itu A Ling, namun semakin aku ragu, semakin kuat kemauanku untuk memastikan. Aku tak 'kan menawar sumpah pada diriku sendiri bahwa aku ingin menemukan A Ling, di mana pun ia berada, bagaimanapun keadaannya.
***
Kami naik kereta api mengikuti jalur negara-negara OKI. Di perbatasan Nigeria dan Mali kami menjumpai serombongan kafilah pedagang yang akan melintasi Gurun Sahara menuju Burkuni. Rombongan itu beriringan dengan tenang. Wanita dan anak-anak dinaikkan ke punuk-punuk unta dan kambing-kambing ditarik dengan tali.
Seseorang yang mengambil air di oasis Niamey mengatakan sesuatu yang membuatku melonjak.
"Mereka adalah pengembara Samia," katanya. Pengembara Samia! Aku dan Arai berlari mengejar kafilah itu. Dengan bahasa Arab seadanya, aku minta izin ikut rombongan mereka. Seorang anak yang kumal menunjuk pria di depan, pemimpin mereka. Aku berdebar melihat gerak-gerik pemimpin khalifah Samia itu. Gelar turun-temurun pria itu, Wadudh, dulu pernah dipakai Ayah untuk menamaiku.
Aku menjabat tangan Wadudh dan memeluknya. Aku merasa senang karena seakan aku memeluk diriku sendiri. Berhari-hari aku dan Arai hidup bersama rombongan pengembara Samia. Kami telah mengelana Rusia yang dingin tak bersahabat, kini kami mengarungi bantaran Gurun Sahara yang panas membara, dekat dengan orang-orang yang hangat. Tak tampak apa pun seluas mata memandang selain pasir bergelombang-gelombang, hanya pasir. Kami menutup wajah dengan kafiyeh, berjalan berhari-hari dengan tongkat, dan tidur beralaskan pelepah korma. Setiap sore, kami mendapat suguhan yang sangat istimewa: susu kambing.
***
Kami pun sampai ke Zaire dan menemui seorang wanita Skotlandia bernama Nadine Scott. Ia sudah tua dan sudah tidak cantik lagi. Tapi matanya bening seperti safir biru. Meski hanya ia sendiri perempuan berkulit putih di antara ratusan perempuan Kamina yang berkulit gelap, namun tampak jelas ia paling berkuasa. Aku tak lepas mengamatinya sejak tadi. Semua hal tentang perempuan yang sudah tidak cantik itu, membuatku terkesan. Terutama karena kuasanya atas perempuan Kamina yang bergaris wajah keras wajah mereka seperti topeng perunggu sama sekali bukan didapatnya dari otoritas atau mandat. Cinta kasih, hanya itu legitimasi Nadine.
Setiap hari, wanita dari Mwanza, Bukama, bahkan dari Moba di bantaran Danau Tanganyika (pemisah antara Zaire dan Tanzania) datang ke Kamina sambil menggendong anak dengan berupa-rupa penyakit. Suster Nadine mengobati anak-anak itu secara cuma-cuma. Nadine adalah muara segala keluh kesah yang telah mengabdikan hidupnya selama puluhan tahun untuk Afrika.
Kadang kala Suster Nadine dibantu relawan dari misi gereja. Dari sinilah terbetik informasi tentang perempuan serupa A Ling. Setahuku A Ling sendiri amat religius, bisa saja ia bekerja bersama Suster Nadine demi mengemban misi agama. Kuceritakan pada Suster Nadine bahwa aku ke Kamina bukan hanya untuk mengejar mimpi lamaku mengelana Afrika tapi juga untuk menemukan A Ling. Kenyataan yang kuhadapi pahit. A Ling tak ada di sini. Jejak menujunya buntu, ke mana pun buntu. Mengapa Roxane Ling di Milan begitu yakin aku akan menemukan A Ling di Afrika?
Suster Nadine menyampaikan satu kalimat bijak untukku, "Kamu telah mencari A Ling demikian jauh sampai ke Zaire, di tengah-tengah Afrika, dan tak kautemukan. Tidakkah kau berpikir kau telah menemukannya?"
Aku terhenyak. Tiba-tiba ucapan Roxane Ling dan Suster Nadine terangkai dalam kepalaku menjadi sebuah filosofi pencarian, pencarian akan hal-hal yang paling kita inginkan dalam hidup ini dan pencarian akan diri kita sendiri. Maksud Roxane Ling dan Suster Nadine sama sekali tak seharfiah kalimat mereka. Karena jika kita berupaya sekuat tenaga menemukan sesuatu, dan pada titik akhir upaya itu hasilnya masih nihil, maka sebenarnya kita telah menemukan apa yang kita cari dalam diri kita sendiri, yakni kenyataan, kenyataan yang harus dihadapi, sepahit apa pun keadaannya.
Aku dan Arai kembali pulang ke Eropa tanpa dapat menemukan A Ling. Namun aneh, aku merasa tak pulang dengan tangan hampa. Suster Nadine telah memberikan jawaban untuk salah satu pertanyaanku atas diriku sendiri. Dan, ia telah mempertemu-kanku dengan salah satu pencarian terbesar dalam hidupku: cinta.
Kami kembali ke Eropa melalui Maroko dan Casablanca. Sepanjang jalan aku membujuk diriku sendiri dengan perasaan gembira karena kami telah berjanji dengan MVRC Manooj, Gonzales, Ninoch, Stansfield, dan Townsend untuk berjumpa di Spanyol. Aku rindu sekaligus penasaran ingin tahu perjalanan mereka. Namun, aku juga waswas, jangan-jangan kami kalah dalam pertaruhan dan harus menerima hukuman yang memalukan di Paris. Dari Casablanca kami berlayar menuju Portugal dan langsung ke Barcelona, Spanyol.
Di Spanyol aku ternganga-nganga di bawah kubah Sagrada Familia, aku merasa seperti berada di dalam kerajaan kaum lelembut. Katedral itu disanggah pilar-pilar aneh dengan cita rasa seni yang ganjil, menjulang, mengerucut, cokelat, tua, berukir-ukir, seakan tak mungkin dicapai imajinasi manusia. Tak dinyana arsiteknya adalah pria Catatan yang sempat dianggap sinting: Antoni Gaudi. Di Pare Guell, aku melihat karya agung Gaudi lainnya: replika reptil-reptil dengan kulit potongan-potongan mozaik. Dengan potongan-potongan mozaik itulah dulu Pak Balia mengibaratkan nasib manusia dan menginspirasi kami untuk berkelana. Di Barcelona aku mencapai puncak filosofi pengembaraanku. Pada titik ini, hatiku merunduk takzim pada pesan-pesan suci Al-Qur'an dan hipotesa Harun Yahya bahwa tak ada hal sekecil apa pun terjadi karena kebetulan.
Aku dan Arai telah menunggu lebih dari setengah jam di Kafe Nou Camp, bersebelahan dengan officiat store Barcelona Football Club. Di tempat ini kami berjanji untuk rendezvous berkumpul. Nun jauh di seberang jalan, dua orang pria melenggang gontai. Wajah mereka tak jelas tapi kami mengenali gesture-nya. Mereka tak lain MVRC Manooj dan putra sang pandai besi Gonzales. Demi melihatku, langkah Gonzales semakin cepat. Wajahnya sembap, seperti orang yang ingin mencurahkan berjuta rasa.
***
MOZAIK 42: Indonesia Raya
Mamma mia, mamma mia.
"Dunia, Amigo jerit Gonzales lirih. "Kejam sekali”
MVRC Manooj, duduk mematung setelah mengisap tandas air mineral yang baru kusuguhkan. Kusuguhkan segelas lagi, diisapnya, tandas lagi. Ia haus dan kelaparan. Lehernya, modal tahan goyang kepalanya itu, dipenuhi tempelan koyo. Ia bahkan sudah tak bisa menoleh. Jika bicara pandangannya lurus, kuyu, dan putus asa.
"Baru sampai Swedia, kami sudah terlunta-lunta," keluhnya.
Aku kasihan melihat pasangan unik itu. Amat berbeda dari ketika dulu mereka berangkat, sekarang mereka seperti gembel. Sekonyong-konyong ....
"Hi, Guysl"
Stansfield! Ceria sekali, bersih, rapi, dan cantik. Tak tampak trombonnya dan tak ada kesan sebagai pengamen. Ia bahkan lebih segar dari biasanya. Stansfield datang bersama seorang pria macho, tinggi besar, menggunung seperti Conan dari Simeria.
"Kenalkan, ini Antonio, Antonio Blender, pacarku yang baru."
Kami tergelak, tapi pria itu, yang dari pandangan matanya bisa ditebak bahwa ia tidak terlalu pintar cuek saja. Ia sangat percaya diri. Ia menyalami kami dengan akrab. Ia tak paham benar bahasa Inggris namun selalu berusaha memancing obrolan. Ia pria yang ramah dan minta dipanggil dengan nama pendek Mr. Blender. Di tengah obrolan, Mr. Blender mohon diri ke kamar kecil. Belum jauh ia pergi, kami merubung Stansfield.
Aku berbisik keras, "Stans, mengapa namanya sampai blender begitu?!"
Stansfield tersenyum puas. Ia tak bisa menyembunyikan perasaannya. Ia juga berbisik keras, "Karena dia aktor film dewasa!"
Semua orang langsung mafhum.
Tak lama kemudian Townsend datang. Ia digandeng mesra oleh seorang pria yang bertubuh seperti si Under Taker, pendekar smackdown itu. Nah, sampai di sini semuanya jelas. Stansfield dan Townsend, dan persaingan mereka yang telah berurat akar. Mulanya mereka keliling Eropa main trombon dan akordion sampai terdampar di Spanyol. Stansfield mendapatkan Blender, Townsend tak mau kalah. Setelah itu mereka tak pernah meninggalkan Barcelona karena fokus persaingan mereka telah bergeser.
Akhirnya, Ninochka tiba. Seperti biasa, ia ceria. Tak jelas apakah ia sukses atau menderita. Ninoch tetaplah Ninoch. Kami ngobrol menceritakan pengalaman masing-masing. Tak satu pun dari mereka percaya bahwa aku dan Arai telah melintasi Rusia sampai ke Afrika, bahwa kami telah menjamah Gurun Sahara dan Zaire, bahwa kami pernah dirampok dan bertahan hidup dengan makan daun.
Penjelajahan usai, Gonzales dan MVRC Manooj adalah tim yang kalah. Ketika kami ingatkan bahwa mereka harus menuntun sepeda mundur dari Le Louvre ke gerbang L'Arc de Triomphe melintasi L'Avenue des Champs-Elysees dengan sepeda yang digantungi pakaian rombeng, Gonzales dan MVRC Manooj termangu-mangu. Mereka tampak benci pada diri sendiri. Pemenang perlombaan adalah aku dan Arai. Aku terharu, rasanya ingin kunyanyikan lagu "Indonesia Raya".
***
Kami pulang ke Paris naik kereta malam. Rasa takjub tak kunjung kasip dalam hatiku. Ekspedisiku telah membuka jalan rahasia yang tersembunyi di antara lipatan sekat-sekat dimensi ruang dan waktu, jalan rahasia yang menghubungkan apa yang kualami saat ini dengan peristiwa-peristiwa masa laluku. Ini adalah ekstase terbesar yang hanya mungkin dicapai mereka yang berani bermimpi, berani keluar dari cangkang siputnya, untuk menemukan jawaban pertanyaan atas dirinya. Inikah postulat hukum nasib? Inikah yang dimaksud Albert Einstein sebagai lingkaran alamiah filsafat manusia?
Tapi aku tetap merasa kesepian karena A Ling masih tak jelas rimbanya. Tak tahu lagi ke mana mencarinya. Hanya dari novel kenangannya aku dapat menemukannya. Kubuka lagi novel lusuh itu, kubaca lagi keindahan desa khayalan Edensor, untuk melipur rinduku.
Jalan-jalan desa menanjak berliku-liku dihiasi deretan pohon oak, berselang-seling di antara jerejak anggur yang ditelantarkan. Lebah madu berdengung mengerubuti petunia. Daffbdil dan astuaria tumbuh sepanjang pagar peternakan, berdesakan di celah-celah bangku batu. Di belakang rumah penduduk tumpah ruah dedaunan berwarna oranye, mendayu-dayu karena belaian angin. Lalu terbentang luas padang rumput, permukaannya ditebari awan-awan kapas....
Demikian nyata gambaran Edensor di kepalaku, seakan dapat kucium semerbak daffodil dan astuaria yang menjalar sepanjang pagar peternakan itu, seakan dapat kusentuh hangatnya bangku-bangku batu yang disiram sinar matahari musim panas. Edensor telah menjadi sebuah bingkai dalam kepalaku. Dalam bingkai itu, aku menggambar gerbang desa Edensor berukir ayam jantan yang berputar seirama belaian angin. Di sisi kiri gerbang kulukis rumah-rumah penduduk. Di sisi kanannya kugambar pohon-pohon willow yang tumbuh di pekarangan.
***
MOZAIK 43: Turnbull
Waktu kami tiba, Paris telah digenggam lagi oleh dingin yang jahat. Suhu sekonyong-konyong drop. Setiap orang bergegas, tak tahan berlama-lama di luar, gemelutuk, dan membungkus dirinya sampai telinga. Jalanan sepi. Gloomy.
Hopkins Turnbull, profesor yang amat terhormat, dan supervisor tesisku, susah payah menahan murka waktu aku masuk ruangannya. Mungkin hanya karena ia meng-anggap dirinya Saksi Jehova yang taat sehingga serapah terkunci di tenggorokannya.
"Tidakkah kau merasa dirimu berlibur terlalu lama, young man?\"
Mengingat reputasi Turnbull, kalimat itu seyogyanya lebih dari cukup untuk membuatku malu. Tak tahu diuntung. Siapa sih aku ini sehingga pantas disindirnya macam begitu? Karena itu, aku bungkam seribu basa saat ia menumpukiku dengan puluhan bacaan wajib dan setimbun tugas uji statistik.
Profesor Turnbull sudah sepuh. Ia sering mengaku, "Aku sudah tak punya energi untuk soal remeh temeh akademik yang dasar-dasar."
Pernyataan sambil lalu itu menimbulkan kesulitan tak terperi bagiku karena artinya ia hanya mau berurusan dengan teorema-teorema. Uji dengan simulasi saja, dan hal-hal sepele semacam itu, akan langsung dicampakkannya. Apa pun yang kuhaturkan ke haribaan meja besarnya yang berwibawa, sudah harus scientifically acceptable-dapat diterima secara ilmiah bukan sekadar hasil kerja tergopoh-gopoh karena deadline dengan argumentasi spekulatif. Bagi Turnbull, seorang mahasiswa pascasarjana di kelas science adalah umat manusia yang seharusnya mampu menciptakan teori. Setiap menghadapnya untuk melaporkan progres risetku, aku sering secara misterius diserang diare.
Butuh waktu dua hari me-reset mentalku dari euforia pengembara untuk kembali menekuni kewajiban sebagai mahasiswa. Beberapa waktu kemudian aku mulai tengge-lam dalam risetku, lupa diri, lupa waktu, nyaris tak memedulikan Arai yang juga sibuk dengan risetnya.
Namun hari ini rutinitas ilmiah itu terpecah. Katya meneleponku, suaranya tersedak-sedak. "Cepatlah ke kampus. Arai ...." Aku langsung tahu ada musibah. Pontang-panting aku berlari ke kampus. Tiba di sana kulihat Arai digotong, hidungnya berdarah-darah. Ia dimasukkan ke ICU. Setengah jam kemudian seorang dokter mengabarkan berita buruk.
"Penyakit ini bisa fatal kalau musim dingin. Sebaiknya, ia istirahat dulu di tempat yang lebih hangat."
Arai diserang Asthma Bronchiale. Penyakit ini berhubungan dengan kerja paru-paru, biasa melanda penduduk negeri miskin, dan mungkin bersifat genetik. Penyakit ini pula yang dulu merenggut nyawa ayahnya di usia muda. Arai mengalami bleeding berat di pangkal hidungnya karena vaso konthksi: pembuluh darahnya mengerut lalu pecah akibat alergi dingin.
Maurent LeBlanch, Liaison Officer kami, prihatin melihat kondisi Arai. Ia tahu Arai adalah mahasiswa yang cemerlang. Namun, Maurent mengemban tanggung jawab besar atas keselamatan mahasiswa dalam perwaliannya. Ia menghadapi pilihan sulit. Akhirnya Maurent memutuskan memulangkan Arai ke Indonesia dan Arai bisa kembali pada musim panas tahun depan untuk menyelesaikan tesisnya.
ft y?*
Hatiku dingin waktu berpisah dengan Arai di Bandara Charles de Gaul/e. Ia duduk tak berdaya, wajahnya pucat. Tapi seperti biasa, dalam keadaan yang paling menyedihkan, ia justru berusaha membesarkan hatiku. Kutatap mata lelaki simpai keramat yang selalu membelaku itu, dialah Lone Ranger-ku. Matanya itu, masih mata yang polos.
Masih mata anak kecil sebatang kara yang menjulangku di pundaknya ketika kami bermain di lapangan memperebutkan bercak-bercak kapuk yang bertaburan. Masih mata anak kecil yang tanpa kutahu menisik bajuku yang terkoyak, menjahit kancing-kancing bajuku, dan menyelimutiku ketika aku sedang tidur.
Kini aku harus terpisah lagi dengannya. "Be strong, Tonto," katanya tersenyum.
Aku memeluk pahlawanku itu kuat-kuat. Ia masih berdiri di depanku, tapi aku telah merindukannya. Dadaku sesak menatap punggung Arai menjauhiku. Air mata menepi di pelupukku.
***
Aku kembali ke apartemen dan semuanya terasa hampa. Ruangan tiba-tiba menjadi terlalu besar. Kemudian hari demi hari kulalui dengan menceburkan diri dalam risetku. Terutama untuk mengatasi kehilanganku akan Arai.
Cobaan hidupku makin berat waktu Maurent memanggilku, mengabarkan berita buruk lagi.
"Profesor Turnbull akan pensiun. Ia mau pulang kampung dan bekerja di sana, di Sheffield, Inggris."
Aku tercenung lesu.
"Kalau tak ingin hilang waktu, ikut saja ex-change program, pindah ke Sheffield Hallam University, lanjutkan risetmu dengannya."
Sejujurnya, aku tak berminat ke Inggris. Setelah Arai pergi, aku hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan kuliahku di Sorbonne lalu mudik, tapi aku tak mungkin putus hubungan dengan Turnbull. Hanya ada enam profesor ekonomi dengan spesialisasi ekonomi telekomunikasi di dunia ini, Turnbull salah satunya, dan salah satu yang terbaik. Nasib tesisku ada di tangannya.
***
Kapal feri membawaku melintasi kanal Inggris dari Calais menuju Folkestone. Dari jauh, tampak White Cliff of Dover yang terkenal. Aku hampir menyentuh Britania tapi hatiku masih membiru. Semuanya sangat berbeda tanpa Arai. Aku merasa pincang, seperti layangan dengan teraju timpang, aku tak seimbang. Arai adalah inspirasi hidupku. Pikiranku dibayangi Arai kecil, delapan tahun usianya, meng-apit karung kecampang, menunggu aku dan ayahku menjemputnya di tengah ladang tebu. Aku menangisi nasib anak sebatang kara itu, namun ia malah menghiburku dengan gasing dan kumbang sagu.
Arai selalu meyakinkanku untuk menjunjung tinggi mimpi-mimpi kami, lalu ia membakar semangatku untuk mencapainya. Arai adalah antitesis sikap pesimis, panglima yang mengobrak-abrik mentalitas penakut, dan hulu balang bagi jiwa besar. Ia telah membawaku mengalami hidup seperti yang kuinginkan. Hidup dengan tantangan dan gelegak mara bahaya. Bersamanya aku melepuh terbakar panas matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin. Sejak kecil kami bekerja keras tanpa belas kasihan. Kami pernah dirampok, diusir, terlunta-lunta, dan kelaparan. Kami pernah dijerang suhu panas sampai empat puluh lima derajat di Sahara dan terperangkap suhu dingin sampai minus sembilan belas derajat di Laut Utara. Dan, kami telah mengelana empat puluh dua negara hanya berbekal keberanian. Semuanya telah kami rasakan, dalam kemenangan manis yang gilang-gemilang dan kekalahan getir yang paling memalukan, tapi selangkah pun kami tak mundur, tak pernah. Kami jatuh, bangkit, jatuh lagi, dan bangkit lagi.
***
MOZAIK 44: Lorong Waktu
Aku termangu-mangu di Terminal Victoria, London, sepi dalam hiruk pikuk anak-anak muda yang ingin berangkat ke Bristol, kiblat bagi pencinta budaya pop, untuk belajar musik, performing arts, dan seni rupa.
Bus antarkota nationat express membawaku ke Sheffield, di Midland, wilayah tengah Inggris, dekat Manchester, Birmingham, dan Leeds.
Sampai di Sheffield, benar seperti yang pernah kubaca, nyata seperti yang kulihat di film Full Monty, tak dusta omongan semua orang, Sheffield memang tak menyenangkan. Kota ini tak lebih dari kota pabrik. Lebih parah lagi, pabrik-pabrik itu sudah bangkrut. Cerobong-cerobong asapnya hitam menjulang disarangi bangau sandhill. Gudang-gudang raksasa dipagari kawat: tinggi dan digren-del, telantar di mana-mana. Sebagian kecil orang berkerumun di kios-kios ftsh and chip. Itu pun hanya kalau terjadi derby, Sheffield United menggempur saudaranya sendiri, Sheffield Wednesday, di Stadion Brammal Lane.
Di Sheffield, aku tinggal di London Road, dalam permukiman komunitas Pakistan, "Sheffield is duli," kata Zahid, Landlord-ku. Duli, satu kata yang dipakai jika boring: membosankan, kurang cukup.
Bulan demi bulan kulalui tanpa gairah. Kota yang pernah digadang-gadang sebagai sentra industri Inggris ini belum juga mampu bangkit dari resesi yang menekuknya sejak 1990-an. Orang-orang hilir mudik dari bar ke bar, persis seperti di film Full Monty, film tentang pria-pria mantan bu-ruh pabrik Sheffield yang terpaksa menjadi penari tanpa busana karena tak tahan menganggur setelah pabrik mereka gulung tikar.
Namun ada satu hal menarik: bahasa. Sungguh menawan bahasa Inggris orang Sheffield atau orang Midland umumnya. Lagunya, cengkoknya, dan basa-basinya sangat istimewa. Inikah akar bahasa Inggris? Aksen Inggris yang pa-ling asli? Jika menyebut O, tegas O. Jika mereka mengatakan enough tidak berbunyi inaf seperti biasa kita dengar, tapi inof. T menjadi K sehingga it menjadi ik, what menjadi wak, put menjadi puk. Kalau menanyakan kabar: how are you? Cukup satu kata: allhght? Itu pun lucu kedengarannya: Oraik? Lebih dari itu, basa-basinya memesona. Laki-laki dan perempuan saling memanggil love atau dear. Love mereka bunyikan lof bukan taf. Lof dan dear terdengar empuk, menggelikan, dan menyenangkan di telingaku, di hatiku.
Namun, aku tetap tak betah di Sheffield. Jika malam, aku naik ke loteng apartemenku, mengintip ke luar jendela, memandangi langit. Kadang kala angin malam mendesis, menyibakkan kabut-kabut tipis, lalu melintas rasi belantik, melintas wajah Weh.
Tanggal 28 Maret, aku pergi ke Sungai Ouse di Sussex. Sepanjang hari aku melamun di tepi sungai itu membayangkan pengarang Virginia Woolf memberati sakunya dengan batu untuk menenggelamkan dirinya sendiri pada hari nahas 28 Maret itu. Bagiku, Sungai Ouse laksana Sungai Lenggang di kampungku. Hatiku kelam mengenang saat aku membuka ikatan tali rami yang menjerat Weh dan menegakkan lehernya yang terkulai. Di pinggir Ouse, aku menemukan kembali Weh yang meninggalkan rasa kelu sekaligus rindu dalam sukmaku.
Akhirnya, aku berhasil menyelesaikan risetku. Pukul tiga sore ini aku akan menemui Profesor Turnbull. Biasanya kami bertemu di kampus. Keluarga Turnbull masih me-melihara tradisi minum teh orang Midland. Ia mengundangku ke rumahnya untuk menandatangani laporan akhirku sambil minum teh bersama.
Rumah Profesor Turnbull jauh di luar Sheffield. Tepatnya di Doncaster. Rumah itu memiliki halaman dengan penataan yang memikat. Sebenarnya sederhana saja, yaitu Honorine Jobert didesak-desakkan sekenanya di antara angelonia. Tanaman-tanaman itu tak lebih dari tumbuhan bunga liar. Kerapian hanya diperlihatkan pemilik rumah dengan memagari bunga-bunga liar tadi dengan barisan rapat marigold.
Aku memencet bel sekali. Langkah-langkah lambat berkecipak di dalam rumah. Seorang wanita berusia kira-kira lima puluh tahun berdiri di ambang pintu. Ia tersenyum. Wajahnya anggun, English lady tulen. Kulitnya putih berseri, rambutnya abu-abu, terawat baik, diikat dan diselipi sekuntum patula yang sewarna dengan renda-renda ba-ju dan sandal rumahnya.
"Oh, lof, kau pasti Andrea, ya sapanya halus.
"Aduh, Kins tadi menunggumu, tapi tiba-tiba ia dipanggil ke kampus. Pesannya, silakan kamu menunggu ia kembali ...."
Baru kutahu, panggilan sayang Hopkins Turnbull adalah Kins.
"Harus kukatakan padamu, ia akan pergi selama dua jam, oh, Dear ...."
Wanita yang sangat baik itu mempersilakanku masuk. Aku duduk di ruang tamu yang segala sesuatu di dalamnya mencerminkan tuan rumah adalah orang-orang cerdas berperadaban tinggi. Aku betah berada di tengah rak-rak berseni, berisi buku-buku berbobot: ensiklopedia dan jurnal-jurnal temuan ilmiah terbaru. Namun, dua jam bukan waktu yang singkat. Nyonya Turnbull membaca pikiranku.
"Begini, Anak Muda. Kau bisa memilih. Minum teh dan ngobrol denganku di sini, atau kita berkeliling kebun kecilku, berdiskusi soal bunga dan musim, atau pernahkah kau mengunjungi pedesaan sekitar sini?
"Bus lewat setiap jam di halte depan situ, sore yang indah untuk melihat-lihat desa, dan kembalilah setelah dua jam."
Sebenarnya aku ingin sekali minum teh dan ngobrol dengan wanita elegan ini, tapi jalan-jalan ke pedesaan juga menggodaku. Selama ini aku sama sekali tak tertarik pada Sheffield. Apa salahnya mencoba?
Aku menuju ke halte bus lalu menaiki bus desa yang butut. Di dalamnya duduk terpisah-pisah segelintir petani. Diam. Setiap orang tenggelam dalam lamunan. Bus meluncur berderak-derak, berhenti di setiap desa, dan silih berganti naik turun petani yang kumal. Tak ada yang bicara. Di luar jendela kulihat gudang-gudang tua, ladang bunga matahari, rumput yang digulung untuk makanan ternak, dan kuda yang berlarian di lapangan luas. Sebuah senja yang muram nun di pedalaman Inggris.
Tak terasa, lebih dari sejam aku berada di dalam bus, meliuk-liuk sampai ke pelosok desa yang tak kukenal, jauh, jauh sekali meninggalkan Sheffield. Lalu bus mendaki sebuah lereng bukit yang landai. Mulanya ujung tanjakan ditutupi pohon-pohon cemara yang rapat. Ketika bus berbelok, dedaunan cemara tersibak dan seketika itu pula di depanku tersaji pemandangan yang membuatku merasa terlompat ke dalam sebuah bingkai dalam kepalaku.
Bus merayap, aku makin dekat dengan desa yang dipagari tumpukan batu bulat berwarna hitam. Aku bergetar menyaksikan nun di bawah sana, rumah-rumah penduduk berselang-seling di antara jerejak anggur yang telantar dan jalan setapak yang berkelak-kelok. Aku terpana dilanda deja vu melihat hamparan desa yang menawan. Aku merasa kenal dengan gerbang desa berukir ayam jantan itu, dengan pohon-pohon willow di pekarangan itu, dengan bangku-bangku batu itu, dengan jajaran bunga daffodil dan astuaria di pagar peternakan itu. Aku seakan menembus lorong waktu dan terlempar ke sebuah negeri khayalan yang telah lama hidup dalam kalbuku.
Aku bergegas meminta sopir berhenti dan menghambur keluar. Ribuan fragmen ingatan akan keindahan tem-pat ini selama belasan tahun, tiba-tiba tersintesa persis di de-pan mataku, indah tak terperi.
Kepada seorang ibu yang lewat aku bertanya, "Ibu, dapatkah memberi tahuku nama tempat ini?" Ia menatapku lembut, lalu menjawab. "Sure lof, it's Edensor.
~~TAMAT~~
2 komentar:
panjang kali , niat amat nulis nya :v
panjang kali , niat amat nulis nya :v
Posting Komentar